Thursday, October 25, 2012

Tahun Baru Imlek



Ir. Herlianto


        Tahun baru Imlek (Sin Chia) bagi orang Tionghoa adalah bagian dari budaya leluhur, dan bagi masyarakat Tionghoa budaya bukan sekedar bagian dari produk interaksi sosial tradisi turun temurun tetapi dalam masyarakat premordial Tionghoa yang sangat kental mempercayai animisme dan pantheisme (penyembahan alam), maka tahun baru bukan sekedar ritual tahunan bulan (lunar) dan secara budaya saja tetapi budaya yang sekaligus menyatu dengan kepercayaan (agama) akan roh-roh nenek moyang, mahluk halus dan kehidupan sesudah mati (reinkarnasi) dan disebut budaya religi.

        Upacara Tahun Baru berkisar pada penyembahan di depan meja sembahyang pada dewa Dapur atau Toa Pe Kong dapur (Ciao Kun Kong) yang dianggap sebagai penunggu rumah dan pemelihara dapur. Seminggu sebelum Imlek, sudah dilakukan upacara penyembahan dewa dapur karena dipercaya bahwa dewa dapur akan menghadap Thian (Penguasa Langit) untuk melaporkan keadaan keluarga yang dijaganya, karena itu dalam suasana ini biasa mulut patung dewa dapur diolesi madu dan dibakar hio wangi agar yang dilaporkan dewa dapur hanya yang manis-manis saja dan berbau harum. Bukan hanya itu, disediakan juga manisan pelakat gigi yaitu moci dan kue keranjang dengan maksud agar dimakan dewa dapur dan membuatnya sulit membuka mulut untuk melaporkan yang jelek, bahkan juga dibakar petasan agar dewa dapur cepat kembali dan pada saat melaporkan kepada Thian laporannya tidak terdengar karena ramainya petasan.

        Khusus pada malam sebelum Imlek, pada tengah malam dibakar hio (dupa) berbau harum sebagai bagian upacara penyembahan dewa dan agar menyenangkan roh-roh nenek-moyang. Ini disebut 'Sembayang Tahun Baru' yang biasa dilakukan dengan sujud (kui) di depan meja sembayang tempat menyimpan abu nenek moyang atau bagi yang tidak memelihara dapat membuat meja sembayang sementara di depan pintu. Sembayang ini juga disebut sebagai sembayang 'Sam Seng' atau sembayang pengorbanan 'tiga hewan' yaitu biasa ditiru ritus pengorbanan darah tiga hewan yaitu babi, ayam dan ikan bandeng. Dalam sembayang 'Ngo Seng' ditambahkan bebek dan kepiting.

        Pada hari Imlek biasa dibagikan amplop merah berisi uang 'Ang Pao' yang melambangkan rejeki, jadi orang tua memberikan rejeki kepada yang muda. Warna merah dalam kepercaan Tionghoa melambangkan rejeki, dan pada hari Imlek selama tiga hari tidak diperbolehkan untuk menyapu rumah dan mengeluarkan kata-kata kotor (sesudahnya boleh?). Pada hari Imlek seluruh keluarga mengucapkan 'Gong Xi Fa Cai' yang artinya mengucapkan selamat dan bahagia.

        Pada hari keempat setelah Imlek, dipasang petasan dalam jumlah banyak untuk menyambut turunnya dewa dapur dari langit dan selain disamput dengan petasan, orang-orang Tionghoa mengundang 'Barongsai' dan 'Bilek Hud' untuk maksud ke rumah mereka. Barongsai dipercaya sebagai dapat mengusir kuasa kegelapan yang ada dalam rumah mereka, karena itu biasanya barongsai diajak menari-nari memasuki setiap ruang yang ada di dalam rumah. Jauh sebelum barongsai dimainkan, barongsai sudah diberi sajian dan disembayangi dengan lilin dan pembakaran hio. Barongsai melambangkan binatang pujaan orang Tionghoa, simbiosa singa dan naga yang dianggap sebagai pembawa pertolongan, pengharapan serta keselamatan pada manusia dan rumah tangganya, dan digunakan sebagai perisai untuk mengusir roh-roh kurang baik (sha-chi). Menurut Xie Xuanjing dalam buku 'Filosofi Budaya' dikatakan bahwa "Mitologi naga adalah suatu kesempatan bagi manusia untuk menjadikan mahluk non-manusia sebagai obyek penyembahan."

        Pada malam tanggal 14 dan 15 sesudah Imlek, dirayakan pesta 'Goan Siao yang di Indonesia lebih dikenal sebagai pesta 'Cap Go Meh' (hari ke lima belas).

        Bagaimana umat Kristen melihat Imlek dalam terang firman Tuhan? Dalam hal Imlek, khususnya orang Tionghoa yang telah menjadi Kristen perlu membedakan antara 'merayakan' Imlek dan 'menghadiri' peringatan Imlek. Merayakan Imlek artinya kita terlibat langsung dalam upacara Imlek seperti misalnya sujud dan sembahyang dengan dupa di depan meja sembahyang pada Toa Pe Kong dapur dan tengah malam sebelum Imlek membakar hio (dupa) sebagai ekspresi penyembahan dewa dan menyenangkan roh-roh nenek-moyang dalam 'Sembayang Tahun Baru' yang dilakukan dengan sujud (kui) di depan meja sembayang tempat menyimpan abu nenek moyang, apalagi kalau mengikuti sembayang 'Sam Seng' (sembayang pengorbanan 'tiga hewan') yang adalah ritus pengorbanan kafir.

        Tidak ada larangan bahwa seorang Tionghoa yang menjadi Kristen tidak boleh 'Menghadiri peringatan Imlek' yang tentu berbeda dengan ikut merayakan upacaranya. Seseorang yang telah menjadi Kristen bisa saja hadir dalam pertemuan keluarga di hari Imlek karena disitu berkumpul anggota keluarga yang belum Kristen dan masih merayakan upacara Imlek, dan menjadi kesempatan reuni keluarga. Tentu seorang Kristen tidak perlu mengikuti upacaranya yang bisa mendukakan Roh Kudus di dalam kita. Soja kui didepan meja sembahyang jelas bukan kebiasaan Kristen demikian juga soja kui didepan orang tua perlu disudahi karena kita hanya menyembah Tuhan saja. Sebenarnya yang menjadi masalah adalah bahwa bagi seorang Kristen Tionghoa ia sebenarnya dapat mengasihi orang tuanya sepanjang tahun, karena itu bila dilihat kasihnya itu oleh orang tua, bila ia tidak soja kui pada hari Imlek tentu tidak menjadi masalah. Kasih yang tulus dan menerus secara Kristiani lebih berarti daripada tata-cara budaya sembah setahun sekali.

        Menghadirkan barongsai atau mengundang barongsai di lingkungan kita harus dibedakan dengan hanya melihat barongsai di TV misalnya. Kita harus menyadari bahwa bagi yang merayakan termasuk yang memainkan, Barongsai bukan sekedar tarian akrobatik tetapi merupakan tarian religi yang berbobot mistik dan okultis. Sumber-sumber ahli masalah budaya cina sendiri mengatakan bahwa:

        "Dalam pemujaan dan dalam upacara-upacara magis yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan religi, banyak bentuk simbol dianggap mempunyai daya misterius yang mempengaruhi orang. Daya ini adalah daya magis … Simbol-simbol religi juga bisa ampuh karena simbol-simbol ini dalam dirinya mempunyai kemampuan untuk mengundang roh dan memerintah roh tersebut … Beberapa simbol memang benar mempunyai daya magis … Singa dipercaya sebagai lambang dan berkah dan juga untuk mengusir pergi pengaruh jahat dengan mendatangi rumah-rumah dan kantor-kantor. Tarian ini disertai dengan pukulan tambur dan gembreng serta mercon untuk mengusir roh jahat (Ong Hean Tat, Simbolisme Hewan Cina, hlm.5-7, 234). .

        Jelas bahwa dalam iman Kristen tidak dipercaya adanya dewa-dewi dan penyembahan kepada roh nenek moyang bukan kehendak Tuhan, apalagi kalau manusia mengharapkan figur 'naga' sebagai simbol juruselamat, karena hanya ada satu juruselamat yaitu Tuhan sendiri yang menjelma menjadi manusia 'Yesus Kristus.' Karena itu, pertunjukan naga (liong) atau ekspresinya dalam bentuk 'barongsai' tidak lain adalah ekspresi 'penyembahan roh-roh' yang perlu dihadapi dengan kritis oleh umat Kristen, apalagi kalau menghadirkan Barongsai dalam lingkungan Kristen sebab kita tahu bahwa fungsi barongsai adalah 'mengusir' roh-roh kegelapan sedangkan kepercayaan itu sendiri bagi orang Kristen sebenarnya adalah 'kegelapan' juga. Kita tahu bahwa pertunjukan barongsai bukan sekedar seni tari atau bagian budaya saja sebab dalam tradisi Tionghoa, budaya dan agama menjadi satu karena merupakan budaya. Itulah sebabnya mempertunjukkan barongsai dalam lingkungan Kristen (di rumah, gereja atau kampus sekolah dan Universitas Kristen) merupakan penyangkalan dari hakekat iman Kristen yang diemban keluarga, jemaat, dan kampus Kristen dan dapat mendukakan 'Roh Kudus Tuhan.'

        Bagaimana sebaiknya kita menghadapi tradisi budaya setelah kita percaya? Tradisi budaya ada yang baik tetapi ada yang berlawanan dengan iman Kristen. Rasul Paulus kepada umat yang telah menerima Kristus menasehati agar : "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus." (Kol.2:8).

        Demikian juga Yesus mengkritik umat Yahudi dan berfirman : "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." (Mar.7:6-8).

        Jadi, ada tradisi yang baik yang tetap dapat kita ikuti tetapi ada tradisi yang tidak perlu kita ikuti bila ternyata itu tidak sesuai dengan kehendak Allah

        Dalam hubungan dengan dirayakannya kembali Imlek, kembali bangun 'semangat primordial tradisi-budaya' yang beranggapan bahwa 'Tiongkok adalah Negara Tengah' dan 'Orang Tionghoa adalah bangsa pilihan dewa' sehingga negara-negara lain dan orang-orangnya dianggap sebagai pinggiran. Sebagai konsekwensinya tradisi-budaya Tionghoa dianggap sempurna dan terbaik. Faktanya banyak sekali tradisi-budaya yang justru menghancurkan ke'tionghoa'an itu sendiri sehingga pemerintahan radikal 'Komunis' merasa perlu menggelar 'revolusi kebudayaan'. Mereka yang pernah berkunjung ke Tiongkok akan sadar bahwa kemelaratan dan keterbelakangan mayoritas rakyat banyak terjadi karena ikatan tradisi-budaya yang membelenggu.

        Dalam masyarakat Tiongkok sampai saat ini, banyak sekali bayi perempuan dibunuh karena kepercayaan bahwa perempuan adalah Yin yang inferior dari Yang dan karena itu pula kaki para perempuan dulu dipingit agar tidak kabur. Banyak pembangunan terhalang karena keyakinan tradisi Fengshui dan banyak perkawinan hancur karena prasangka 'shio'. Tradisi 'angpao' kepada sesama dan juga kepada para dewa dan roh nenek-moyang untuk menyenangkan agar tidak mengganggu kehidupan sendiri dan falsafah 'jalan tengah' telah menyuburkan praktek 'sogok menyogok' yang benar-benar merusak tatanan sosial-budaya dan HAM di Tiongkok (ini jelas membuat para pengusaha Tionghoa lebih luwes dan sukses). Memang harus diakui ada beberapa etik tradisi-budaya Tionghoa yang kelihatannya mendorong persatuan di kalangan pengusaha tertentu, tetapi harus disadari bahwa banyak etik tradisi-budaya Tionghoa yang menumbuhkan dominasi raja terhadap rakyatnya, suami terhadap isterinya, nenek-moyang yang telah mati diberi sesajen dan kuburannya dibangun mahal tetapi tetangga miskin diacuhkan, bahkan untuk mempertahankan suatu dinasti raja ratusan ribu rakyat dikorbankan untuk membangun 'The Great Wall'. Banyak pengusaha Tionghoa ditipu mitranya di Tiongkok ketika mereka mencoba untuk berdagang dengan mereka.

        Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kebangunan 'empat-macan Asia' didorong tradisi-budaya Tionghoa karena negara-negara itu umumnya menganutnya. Argumentasi ini lemah karena sudah ribuan tahun etik tradisi-budaya ini digelar tetapi umumnya masyarakatnya melarat, 'uang' dan 'hokkie' sangat dipuja sehingga menimbulkan jurang kaya-miskin bahkan orang tua atau suhu bisa dihianati dan dibunuh anak atau murid demi 'uang'. Tradisi budaya Tionghoa harus diakui banyak juga mengandung intrik-intrik, sogok menyogok dan tahyul (ini terlihat jelas dalam cerita silat). Baru setelah membuka diri datangnya 'etik Barat' maka empat-macan Asia itu bangun.

        Orang Tionghoa yang telah menjadi Kristen diharapkan dapat menjadi 'garam' bagi sesamanya orang Tionghoa yang masih terikat praktek-praktek tradisi-budaya yang tidak benar apalagi tidak menurut Kristus. Misalnya dalam menghadapi tradisi 'angpao' yang dibungkus 'kertas merah' yang melambangkan rejeki (berkat) dimana orang tua memberikannya kepada anak cucunya. Bagi anak-cucu yang beriman Kristen perlu budaya ini diterangi dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa 'Terlebih berkat memberi daripada menerima' dengan kata lain anak dibiasakan untuk memberi kepada orang tuanya bukan hanya pada hari raya tetapi setiap saat diperlukan atau ada yang bisa diberikan sebagai ungkapan kasih seorang anak, sehingga orang-orang tua tradisional akan melihat 'kebajikan kita dan dipermuliakan Bapa di sorga.' Hidup kita harus menjadi 'berkat' dan bukan minta diberkati dengan angpao.

        Menghadiri orang tua di hari Imlek dapat menjadi momentum untuk kesaksian Iman Kristen, bahwa seseorang yang telah percaya Yesus tidak ikut-ikutan menyembah nenek-moyang. Yang perlu diperhatikan dan dikasihi adalah orang tua selagi masih hidup bukan setelah mati disembahyangi. Demikian juga perilaku anak Kristen yang teguh dapat menjadi kesaksian yang baik bagi orang tua bila mereka dapat melihat bahwa 'sekalipun kita tidak mengikuti upacara Imlek' kita 'mengasihi orang tua sepanjang waktu bahkan rela memelihara mereka.'

        "Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur … Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan Allah, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia." (Kol.2:6-10).

HERLIANTO: TAHUN BARU IMLEK (2)

Jelas bahwa dalam iman Kristen tidak dipercaya adanya dewa-dewi dan penyembahan kepada roh nenek moyang bukan kehendak Tuhan, apalagi kalau manusia mengharapkan figur 'naga' sebagai simbol juruselamat, karena hanya ada satu juruselamat yaitu Tuhan sendiri yang menjelma menjadi manusia 'Yesus Kristus.' Karena itu, pertunjukan naga (liong) atau ekspresinya dalam bentuk 'barongsai' tidak lain adalah ekspresi 'penyembahan roh-roh' yang perlu dihadapi dengan kritis oleh umat Kristen, apalagi kalau menghadirkan Barongsai dalam lingkungan Kristen sebab kita tahu bahwa fungsi barongsai adalah 'mengusir' roh-roh kegelapan sedangkan kepercayaan itu sendiri bagi orang Kristen sebenarnya adalah 'kegelapan' juga.

Kita tahu bahwa pertunjukan barongsai bukan sekedar seni tari atau bagian budaya saja sebab dalam tradisi Tionghoa, budaya dan agama menjadi satu karena merupakan budaya. Itulah sebabnya mempertunjukkan barongsai dalam lingkungan Kristen (di rumah, gereja atau kampus sekolah dan Universitas Kristen) merupakan penyangkalan dari hakekat iman Kristen yang diemban keluarga, jemaat, dan kampus Kristen dan dapat mendukakan 'Roh Kudus Tuhan.'

Bagaimana sebaiknya kita menghadapi tradisi budaya setelah kita percaya? Tradisi budaya ada yang baik tetapi ada yang berlawanan dengan iman Kristen. Rasul Paulus kepada umat yang telah menerima Kristus menasehati agar : "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus." (Kol.2:8).

Demikian juga Yesus mengkritik umat Yahudi dan berfirman : "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia." (Mar.7:6-8).

Jadi, ada tradisi yang baik yang tetap dapat kita ikuti tetapi ada tradisi yang tidak perlu kita ikuti bila ternyata itu tidak sesuai dengan kehendak Allah

Dalam hubungan dengan dirayakannya kembali Imlek, kembali bangun 'semangat primordial tradisi-budaya' yang beranggapan bahwa 'Tiongkok adalah Negara Tengah' dan 'Orang Tionghoa adalah bangsa pilihan dewa' sehingga negara-negara lain dan orang-orangnya dianggap sebagai pinggiran. Sebagai konsekwensinya tradisi-budaya Tionghoa dianggap sempurna dan terbaik. Faktanya banyak sekali tradisi-budaya yang justru menghancurkan ke'tionghoa'an itu sendiri sehingga pemerintahan radikal 'Komunis' merasa perlu menggelar 'revolusi kebudayaan'. Mereka yang pernah berkunjung ke Tiongkok akan sadar bahwa kemelaratan dan keterbelakangan mayoritas rakyat banyak terjadi karena ikatan tradisi-budaya yang membelenggu.

Dalam masyarakat Tiongkok sampai saat ini, banyak sekali bayi perempuan dibunuh karena kepercayaan bahwa perempuan adalah Yin yang inferior dari Yang dan karena itu pula kaki para perempuan dulu dipingit agar tidak kabur. Banyak pembangunan terhalang karena keyakinan tradisi Fengshui dan banyak perkawinan hancur karena prasangka 'shio'. Tradisi 'angpao' kepada sesama dan juga kepada para dewa dan roh nenek-moyang untuk menyenangkan agar tidak mengganggu kehidupan sendiri dan falsafah 'jalan tengah' telah menyuburkan praktek 'sogok menyogok' yang benar-benar merusak tatanan sosial-budaya dan HAM di Tiongkok (ini jelas membuat para pengusaha Tionghoa lebih luwes dan sukses).

Memang harus diakui ada beberapa etik tradisi-budaya Tionghoa yang kelihatannya mendorong persatuan di kalangan pengusaha tertentu, tetapi harus disadari bahwa banyak etik tradisi-budaya Tionghoa yang menumbuhkan dominasi raja terhadap rakyatnya, suami terhadap isterinya, nenek-moyang yang telah mati diberi sesajen dan kuburannya dibangun mahal tetapi tetangga miskin diacuhkan, bahkan untuk mempertahankan suatu dinasti raja ratusan ribu rakyat dikorbankan untuk membangun 'The Great Wall'. Banyak pengusaha Tionghoa ditipu mitranya di Tiongkok ketika mereka mencoba untuk berdagang dengan mereka.

Memang ada pendapat yang mengatakan bahwa kebangunan 'empat-macan Asia' didorong tradisi-budaya Tionghoa karena negara-negara itu umumnya menganutnya. Argumentasi ini lemah karena sudah ribuan tahun etik tradisi-budaya ini digelar tetapi umumnya masyarakatnya melarat, 'uang' dan 'hokkie' sangat dipuja sehingga menimbulkan jurang kaya-miskin bahkan orang tua atau suhu bisa dihianati dan dibunuh anak atau murid demi 'uang'. Tradisi budaya Tionghoa harus diakui banyak juga mengandung intrik-intrik, sogok menyogok dan tahyul (ini terlihat jelas dalam cerita silat). Baru setelah membuka diri datangnya 'etik Barat' maka empat-macan Asia itu bangun.

Orang Tionghoa yang telah menjadi Kristen diharapkan dapat menjadi 'garam' bagi sesamanya orang Tionghoa yang masih terikat praktek-praktek tradisi-budaya yang tidak benar apalagi tidak menurut Kristus. Misalnya dalam menghadapi tradisi 'angpao' yang dibungkus 'kertas merah' yang melambangkan rejeki (berkat) dimana orang tua memberikannya kepada anak cucunya. Bagi anak-cucu yang beriman Kristen perlu budaya ini diterangi dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa 'Terlebih berkat memberi daripada menerima' dengan kata lain anak dibiasakan untuk memberi kepada orang tuanya bukan hanya pada hari raya tetapi setiap saat diperlukan atau ada yang bisa diberikan sebagai ungkapan kasih seorang anak, sehingga orang-orang tua tradisional akan melihat 'kebajikan kita dan dipermuliakan Bapa di sorga.' Hidup kita harus menjadi 'berkat' dan bukan minta diberkati dengan angpao.

Menghadiri orang tua di hari Imlek dapat menjadi momentum untuk kesaksian Iman Kristen, bahwa seseorang yang telah percaya Yesus tidak ikut-ikutan menyembah nenek-moyang. Yang perlu diperhatikan dan dikasihi adalah orang tua selagi masih hidup bukan setelah mati disembahyangi. Demikian juga perilaku anak Kristen yang teguh dapat menjadi kesaksian yang baik bagi orang tua bila mereka dapat melihat bahwa 'sekalipun kita tidak mengikuti upacara Imlek' kita 'mengasihi orang tua sepanjang waktu bahkan rela memelihara mereka.'

"Kamu telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah dengan syukur … Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan Allah, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia." (Kol.2:6-10). (Salam kasih dari Herlianto)

BARONGSAY


Gong Xi Fa Cai diucapkan kepada semua orang yang merayakannya. Perayaan tahun baru Cina merupakan perayaan pembuka tahun baru menurut penanggalan lunar dan tradisi agraris, dan dilakukan untuk mengucap syukur atas datangnya musim semi dimana alam mulai kembali menghasilkan buah setelah tidur dimusim dingin. Sebagai layaknya tradisi kuno, tradisi memang tidak lepas dari pengaruh kepercayaan animistis, mistis dan magis (termasuk penyembahan nenek moyang yang menjadi jantung kepercayaan Cina), karena itu umumnya tradisi disebut sebagai ‘tradisi religi.’

Di kalangan orang Cina kristen ada berbagai tanggapan mengenai perayaan ini, di satu kutub ada yang sama sekali tidak merayakannya dan dikutub lain ada yang merayakannya sepenuhnya tidak beda dengan yang dilakukan oleh mereka yang non-kristen. Memang kedua kutub itu tidak tepat sebab dalam perayaan Imlek, ada hal-hal tradisional yang tidak berbau mistik & magis seperti perayaan datangnya tahun baru dan pengucapan syukur atas datangnya musim tanam, dimana keluarga berkumpul dan saling mengungkapkan rasa rindu mereka. Namun, bagaimana dengan aspek mistis & magis yang banyak ada di dalamnya seperti praktek Barongsay sekitar perayaan Imlek?

Barongsay adalah figur singa yang bukan saja dijadikan lambang namun juga dianggap memiliki kekuatan mistis dan magis dimana manusia memperoleh akses dalam hubungan dengan dunia gaib. Ada buku menarik yang cukup berbobot membahas masalah ini dengan referensi yang cukup luas karangan Ong Hean-Tatt berjudul ‘Simbolisme Hewan Cina’ (Magapoin, Jakarta, 1996).

Ong menjelaskan bahwa banyak bentuk simbol memiliki daya magis:

“Dalam pemujaan dan dalam upacara-upacara magis yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan religi, banyak bentuk simbol dianggap mempunyai daya misterius yang mempengaruhi orang. Daya ini adalah daya magis .... Simbol-simbol religi juga bisa ampuh karena simbol-simbol ini dalam dirinya mempunyai kemampuan untuk mengundang roh dan memerintah roh tersebut.” (Ong, 5,6).


Simbol hewan itu bukan hanya memiliki kekuatan tetapi menjadi perantara bagi dunia roh:

“Bagi orang-orang Cina kuna sejak zaman Dinasti Hsia desain-desain hewan itu tidaklah tanpa makna karena bagi mereka desain-desain itu mempunyai arti penting magis, .... yang berasal dari peran utama mereka sebagai pembawa berita dunia roh.” (Ong, 10).

Simbolisasi itu berasal dari kepercayaan Buddhisme dan Taoisme:

“hewan diperkenalkan kepada kebudayaan Cina sehubungan dengan datangnya ajaran Sang Buddha ke Cina karena dalam ajaran ini Singa digambarkan sebagai pembela keyakinan dan Hukum Buddha. Singa Korea atau Anjing Fu bisa terlihat mengawal bagian depan kuil-kuil Buddha. ... patung-patung Singa banyak terlihat digunakan untuk menjaga suatu bangunan, baik diletakkan di atap maupun di pintu. ... Seorang rahib Tao akan mengundang kekuatan-kekuatan Langit atau roh lewat Hewan-hewan Perlambang .... Upacara-upacara magis Tao yang paling penting, yang mengikuti urut-urutan Lo-Shu, terdiri dari kemampuan untuk mengundang datang kekuatan-kekuatan yang dipunyai jenderal-jenderal Roh ini.” (Ong, 39,39,23,28)


Versi yang paling populer mengenai Singa sebagai lambang adalah Singa yang berdansa sambil berakrobatik (barongsay):

“Dalam hal ini Singa tersebut bisa mendatangi rumah-rumah atau kantor-kantor sebagai lambang rezeki dan berkah dan juga untuk mengusir pergi pengaruh jahat. Tarian ini disertai pukulan tambur dan gembreng serta mercon untuk mengusir roh jahat.” (Ong, 234).

Tarian singa dimainkan oleh kelompok-kelompok pesilat Cina yang menggunakan kekuatan batin chi untuk menggerakkan simbol roh itu, demikian juga Singa itu bagian penyembahan nenek moyang dan merupakan personifikasi dewa-dewa Cina pula:

“Jika terdapat tiga singa maka mereka mewakili Kwan Kung yang bermuka merah dan berjanggut hitam, Liu Pai yang berwarna kuning dan Chang Fei yang bermuka dan berjenggot hitam yang hidup dalam zaman Tiga Kerajaan Han.” (Ong, 234).

Dalam praktek permainan, Barongsay biasa disemayamkan di Klenteng/Vihara dan disembahyangi dengan dupa, dan sebelum bermain para pemain berdoa dan menyembah patung Buddha terlebih dahulu.

Barongsay memang tidak khas bagian dari perayaan Imlek, sebab biasa dimainkan sepanjang tahun, untuk memberkati & mengusir roh-roh jahat dalam pembukaan rumah dan gedung kantor baru, atau untuk menyambut tamu agung, dan lainnya. Namun, karena Imlek merupakan hari raya terbesar tentunya permainan Barongsay sebisanya dilakukan bagi mereka yang memiliki uang karena biasanya permainan barongsay berhenti kalau sudah diberi angpao. Dalam buku Ong ada juga keterangan gambar Barongsay dengan Bilekhud-nya seperti berikut:

“Tari Singa (Barongsay). Tari Singa diadakan untuk menyambut datangnya kekayaan tahun yang baru di rumah.” (Ong, h.233).

Sebenarnya ada juga kaitan Barongsay dengan Imlek, mengingat bahwa perayaan Imlek berlangsung 22 hari dimulai seminggu sebelum Imlek dengan naiknya Toapekong Dapur menghadap kaisar langit sampai Cap Go Meh 15 hari setelah hari Imlek, karena pada tiga hari sebelum Imlek, dewa dapur (Ciau Kun Kong) setelah melaporkan keadaan keluarga ke Kaisar Langit, ia kembali dan untuk itu biasa dibunyikan mercon dan tambur keras-keras bersama Barongsay untuk mengantar kembalinya itu agar tidak diganggu roh jahat. Markus T. Suyanto dalam bukunya ‘Tahun Baru Imlek dan Iman Kristen’ menulis:

“Pada saat Dewa Dapur turun dari langit, selain disambut dengan petasan, maka orang-orang Tionghoa mulai mengundang Barongsai dan Bilek Hud untuk masuk ke rumah mereka. Barongsai dan rombongannya ini bukan sekedar pertunjukan biasa. Ada kepercayaan bahwa Barongsai dan Bilek Hud ini dapat mengusir kuasa kegelapan yang ada dalam rumah mereka.” (h.27).

Melihat hasil kajian kedua budayawan Cina di atas, kita patut merenung: “Sampai dimanakah umat Kristen dapat merayakan Imlek dan mengundang Barongsay mendatanginya? Memang menghadapi tradisi tidaklah mudah karena tradisi memiliki ikatan turun-temurun yang mustahil di hilangkan, namun di balik itu tidak semua aspek tradisi baik bagi iman Kristiani, bahkan tradisi kepercayaan animistik, mistik dan magis (termasuk penyembahan nenek-moyang) yang terkandung dalam lambang Singa dan Barongsay itu merupakan penyembahan berhala dan roh-roh lain yang jelas berantitesa dengan keyakinan Kristen akan kekudusan Allah dan Roh-Nya.

Pernah ada gereja Cina mengundang Barongsay masuk ke ruang kebaktian ketika diadakan perayaan Imlek di gereja itu. Ini perlu benar-benar direnungkan oleh gereja, soalnya, Barongsay mewakili roh-roh nenek moyang yang datang untuk mengusir roh jahat. Dalam konsep keyakinan Kristiani, gereja adalah tempat berkumpulnya orang-orang kudus dimana hadir Roh Allah dalam diri masing-masing jemaat dan di antara jemaat yaitu dalam gedung gereja itu.

Bila gereja mengundang Barongsay dengan berdentangnya bunyi tambur pengusir roh dan pengaruh jahat itu, dalam hal kunjungan barongsay ke umat Kristen yaitu bait Roh Kudus (1 Kor.3:16;6:19-20), ‘Roh siapa mengusir roh siapa?’, dan ‘Roh siapa diusir oleh roh siapa?’ Bukankah hal ini mendukakan Roh Kudus, sebab bukannya Roh Kudus didatangkan untuk mengusir roh nenek moyang dalam tradisi, malah roh nenek moyang tradisilah yang didatangkan untuk mengusir ‘Roh yang mendiami gereja dan umat-Nya.’

Tidaklah mudah bagi umat Kristen menghindarkan diri dari pengaruh sinkretisme tradisi, gereja Roma Katolik sudah membuktikan tidak mudahnya melepas tradisi penyembahan patung dari gereja, demikian juga kita melihat betapa sukarnya bagi orang Cina, Batak, Ambon dan suku-suku lain yang berlatar belakang tradisi animistik, mistik dan magis, misalnya untuk membebaskan iman kristennya dari ikatan tradisi nenek-moyang yang sangat melekat itu.

Di balik itu kita dapat melihat bahwa masa kini banyak tumbuh kesadaran di kalangan Kristen akan kuasa Roh Kudus, kita melihat bahwa banyak anggota gereja Roma Katolik dan gereja Cina, Batak, Ambon dan suku-suku lain, yang sudah bisa membebaskan diri dari pengaruh tradisi yang sarat penyembahan nenek moyang itu, dan mempraktekkan kekudusan Roh Allah dalam ibadat dan kehidupan tradisional mereka.

Ada baiknya kita merenungkan kembali firman Tuhan yang tertulis:

“Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.” (Mrk.7:6-8).

Amin.

Salam kasih dari Redaksi YABINA ministry www.yabina.org

No comments:

Post a Comment