Monday, October 22, 2012

Lelah dalam Pengharapan



Pdt Yohanes Adri Hartopo


Ibr 12:1-3  Karena kita mempunyai banyak saksi, bagaikan awan yang mengelilingi kita, marilah kita menanggalkan semua beban dan dosa yang begitu merintangi kita, dan berlomba dengan tekun dalam perlombaan yang diwajibkan bagi kita.   Marilah kita melakukannya dengan mata yang tertuju kepada Yesus, yang memimpin kita dalam iman, dan yang membawa iman kita itu kepada kesempurnaan, yang dengan mengabaikan kehinaan tekun memikul salib ganti sukacita yang disediakan bagi Dia, yang sekarang duduk di sebelah kanan takhta Allah.   Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.

Dalam suatu pertandingan, memulai dan menjalankan pertandingan dengan baik sangat penting. Tetapi bagaimana mengakhiri pertandingan itulah yang diperhitungkan. Kalau seorang pedagang atau salesman mau memberikan presentasi penjualan, memulai dan menjalankan presentasi dengan baik adalah hal yang penting, namun pada akhirnya bagaimana menyelesaikan yakni menjualnya , itulah yang diperhitungkan. Prinsip yang sama berlaku untuk kehidupan kita. Bagaimana kita memulai dan menjalankan hidup kita itu yang penting. Namun akhirnya bagaimana kita menyelesaikan hidup kita itulah yang lebih penting. Semua kita sudah memulai perjalanan hidup kita. Sejumlah kita sudah menjalankannya dengan baik. Bagaimana mengakhirinya? Dengan baik atau buruk? Memulai sesuatu mudah, menjalankannya tidak susah tapi mengakhirnya tidak mudah. Saya dosen teologi, setiap tahun ada penerimaan siswa baru dan di pertengahan ada yang gugur. Bahkan ada 50% yang gugur dalam 1 angkatan. Hal ini berarti memulai dan menjalankan dengan baik tapi tidak menyelesaikan dengan baik. Saya jadi dosen tamu teologi, mengajar kuliah intensif yang dihadiri orang yang cuti dari pekerjaannya. Mereka rela membayar untuk ikut. Lalu saya memberi tugas untuk diselesaikan. Tetapi selalu saja, setelah ditunggu 1-2 bulan, ada yang tidak menyelesaikannya. Padahal mereka sudah menyediakan waktu, mengambil cuti, ikut kuliah tapi akhirnya tidak menyelesaikannya dengan baik. Prinsip yang sama juga berlaku dalam pernikahan. Pria-wanita yang jatuh cinta tidak sulit saling memperhatikan. Getaran pertama romantika membuat segala sesuatu dengan mudah. Api kesetiaan membuat mereka mampu melakukan hal-hal yang sulit. Tetapi setelah menikah 1, 5, 10 atau 20 tahun gambaran tersebut berubah. Ada kewajiban lain yang menuntut perhatian (banyak gangguan). Getaran romantika sudah hilang. “Api” sudah padam. Perlu usaha untuk saling memikirkan dan memperhatikan. Cukup sering pernikahan yang dimulai dengan baik, berakhir dengan menyedihkan. Cukup sering pasangan Kristen yang cinta Tuhan memasuki pernikahan lalu bubar. Prinsip yang sama berlaku dalam kehidupan iman kita (dalam hubungan kita dengan Allah). Kita mendapati orang yang memulai perjalanan iman dengan baik tapi tidak dapat menyelesaikanmya dengan baik. Orang Kristen yang sibuk menguber karir dan uang, kehilangan fokus dalam iman dan Allah. Ada orang Kristen yang cukup baik kedudukannya akhirnya menyimpang dari imannya. Sejumlah orang Kristen yang karena beban dan tekanan kehidupan meninggalkan Tuhan. Banyak yang memulai dan menjalankan dengan baik tapi tidak menyelesaikannya dengan baik. Firman Tuhan ajarkan kita untuk menyelesaikannya dengan baik. Jangan menyerah terhadap kesulitan.

Rasul Paulus mengatakan aku mengakhiri pertandingan dengan baik, mencapai garis akhir, memelihara iman. Semoga ini menjadi harapan kita juga. Bagaimana kita menyelesaikan dengan baik, sangat bergantung pada apa yang dikerjakan sekarang. Jangan sampai kita menunggu babak terakhir hidup kita, baru berusaha dengan baik. Karena ada kemungkinan kita terlambat. Ada yang berpikir setelah pensiun baru berjuang dengan baik. Kita harus memulainya sekarang! Untuk menyelesaikannya dengan baik di akhir hidup, kita harus memulainya sekarang. Penulis Ibrani, menggambarkan kehidupan Kristen seperti perlombaan lari. Ini bukan pilihan tetapi sesuatu yang diwajibkan bagi kita. Kita tidak boleh mengatakan kita tidak boleh lari. Kita harus masuk arena dan berlari. Penulis Ibrani, mengajak pembacanya untuk berlari dengan benar dan bertekun sampai akhir. Ia ingin kita menyelesaikan dengan baik. Penulis mengatakan kita berlari dengan tekun. Panggilan lari dengan tekun berarti pertandingan jarak jauh. Metafor perlombaan lari jarak jauh menunjukkan kehidupan iman tidak mudah. Penuh tantangan, pergumulan  dan kesulitan. Saya tiap hari lari pagi, tapi sadar kalau ikut lomba lari jarak jauh belum tentu kuat. Karena lomba lari jarak jauh membutuhkan usaha keras untuk menyelesaikannya. Maka penulis Ibrani mengatakan, kita perlu ketekunan. Kita perlu ketetapan hati untuk menyelesaikannya. Waktu mulai berlari tidak banyak masalah. Kita masih kuat. Kita lalu merasa lemah, putus asa setelah lama berlari. Saat banyak kesulitan kita mulai menyerah. Itu gambaran kehidupan iman kita yang memang tidak pernah lepas dari kesulitan , pergumulan dan tantangan. Musa pernah berkata, masa hidup kami 70 tahun kalau kuat 80 tahun. Apa yang bisa dibanggakan? Musa mengatakan, kebanggaannya kesukaran dan penderitaan. Hidup di tengah dunia tidak mudah, penuh pergumulan di tengah hidup. Tidak ada manusia normal yang tidak pernah alami tekanan dalam hidup Orang Kristen juga tidak terlepas dari tekanan hidup Maka salah kalau dikatakan pandanglah Yesus, maka persoalan akan lenyap. Salah kalau ada anggapan, kita punya masalah dan pergumulan berarti kita berdosa. Realita kehidupan menunjukkan kita letih lesu dan membuat kita menyerah. Karena kehidupan kita seperti perlombaan lari jarak jauh. Maka penulis Ibrani mengajak kita berlari dengan tekun. Pasal 11, memberi contoh para pahlawan iman. Mereka orang-orang yang menghadapi kesulitan dan tantangan, tetapi dnegan iman menyelesaikan kesulitan hidup mereka. Mereka jadi saksi iman. Sehingga dikatakan kita punya banyak saksi bagaikan awan mengelilingi kita (menunjuk pahlawan iman di pasal 11). Supaya pembaca Ibrani menekuni iman sampai akhir. Melihat ketekunan dan dikuatkan sampai akhir.  Ada 2 hal lagi, penulis Ibrani menginginkan pembaca berlomba dengan tekun :

1.       Menanggalkan beban dan dosa yang merintangi. Pelari dalam lomba berusaha tidak dihalangi supaya bisa berlari dengan baik. Mereka memakai pakaian seringan dan seminim mungkin. Bahkan Rasul Paulus, hanya pakai celana, karena tidak ingin menghalangi mereka berlari. Yang menghalangi kita : dosa dan beban. Beban itu bukan dosa. Itu rintangan yang dianggap bukan dosa yakni hal tertentu yang dianggap baik tetapi menghalangi kita. Misal : hobi, harta milik, kebiasaan, pergaulan, ambisi, posisi, pencarian kesenangan, ini bukan dosa, tetapi bisa merintangi bila tidak hati-hati. Maka setiap kita harus mengevaluasi diri sendiri. Karena apa yang merintangi iman kita belum tentu bisa merintangi iman orang lain. Musa meninggalkan kemewahan di Mesir untuk menjalankan perintah Tuhan. Kalau ia hidup mewah, ia tidak dapat menjadi alat Tuhan. Maka ia berani tinggalkan kejayaan dan kepopuleran di Negara Mesir. Beda dengan Yusuf. Ia tidak tinggalkan Mesir. Ia jadi penguasa tertinggi di Mesir. Melalui kedudukan itu, ia jadi berkat bagi yang lain. Apa yang menjadi halangan bagi Musa ternyata tidak jadi halangan bagi Yusuf. Harta bagi sesorang jadi halangan tapi bagi yang lain mungkin tidak. Yang paling tahu diri kita sendiri. Waktu kita mengevaluasi adakah rintangan yang menghalangi, harus kita tanggalkan.

2.       Berlomba dan berlari dengan mata tertuju pada Yesus. Ayat 2 : marilah kita melakukannya dengan mata tertuju Yesus yang memimpin kita dalam iman menuju kesempurnaan. Memandang Yesus sebagai teladan. Yesus hadapi rintangan tapi ia bisa menanggung kehinaan penyaliban. Padahal penyaliban adalah penghukuman dan memalukan. Ada siksaan dan penghinaan di depan public, tetapi ditanggung Yesus dengan baik. Ia bertekun (ayat 2 akhir). Yesus melampaui keadaan sulit dengan konsentrasi pada upah yang akan diterima kelak, sehingga rela menanggung salib yang akhirnya menuju kebaikan. Dalam hal ini Yesus memberi teladan yang baik melampaui pahlawan iman di Ibrani 11. Ia tidak ingin pengikutnya lemah dan putus asa. Pembaca Ibrani memulai dengan kesulitan dalam hidup mereka. Mereka merasa lelah sekali. Ada di antara mereka yang memutuskan untuk meninggalkan iman. Tetapi penulis Ibrani mengatakan jangan menyerah. Memandang Yesus sebagai teladan, tetapi bukan sekedar teladan, melainkan juga memimpin kita dan membawa iman kita menuju kesempurnaan. Yesus digambarkan sumber pertolongan dan kekuatan dalam lomba lari jarak jauh yang membuat kita cape dan mau menyerah. Ada Yesus yang menyertai kita sampai garis akhir.Tidak pernah satu detik pun kita berani berkata, kita tidak perlu Yesus. Yesus teladan, kekuatan kita, semuanya terucap. Pikiran kita setuju bahkan kita dapat mengatakan dengan mulut kita. Tetapi benarkah menjadi realita yang kita hidupi. Ada yang tahu Yesus Tuhan dan Juruselamat, Penolong, tetapi menghidupinya hal lain. Saya ketemu orang yang sudah tidak bertemu 20 tahun. Dulu, ia saya bimbing. Kami bertemu di rumah makan dan mengobrol. Ia menikah dan punya anak. Tetapi saya lihat ada yang tidak beres dalam hidupnya. Ia berkata, “Hidup saya berantakan. Rumah tangga saya berantakan. Banyak rintangan dan dosa yang tidak berani saya tanggalkan dan membuat saya berantakan. Saya sudah tidak ke gereja lagi.” Padahal dulu ia cinta Tuhan luar biasa. Ia tahu Yesus adalah Tuhan, yakin perlu Yesus dalam hidup, Yesus sanggup menolong. Ia tahu, tetapi 5 tahun terakhir, ia tidak ke gereja.  Jadi bagaimana pengetahuan terwujud dalam realita. Karena saat pergumulan tidak cari Yesus tapi usaha dengan cara sendiri. Kita tidak mungkin bisa menyelesaikan pertandingan iman dengan baik tanpa Yesus. Jadi kalau Yesus tidak jadi penguasa hidup kita, jangan mimpi kita bisa selesaikan hidup dengan baik. Penulis Ibrani meminta agar pembacanya berlari dengan mata tertuju pada Yesus. Berlari dengan tekun. Suatu kali seorang pianis terkenal mengadakan pertunjukan. Ia lakukan dengan baik sekali. Setelah selesai beberapa pianis mendatangi dia, dan berkata, “Bagaimana bapak bisa bermain dengan bagus. Padahal undangannya mendadak dan waktu persiapannya sedikit?” Ia menjawab, “Saya selalu siap sebab setiap hari saya berlatih selama 8 jam selama bertahun-tahun. Kapanpun saya siap tampil dengan baik.” “Seandainya kami mempunya ketetapan hati seperti itu!” komentar yang lain. Jawabannya, “Kita semua sebenarnya punya ketetapan dan ketekunan itu. Saya hanya memakainya. Di dalam diri kita ada ketekunan dan ketetapan hati. Tinggal kita mau memakai atau tidak.” Di dunia, kita melihat kesuksesan dimulai dengan ketekunan. Dengan ketekunan bisa meraih keberhasilan.

No comments:

Post a Comment