Wednesday, July 31, 2019

Ibadah yang inspiratif (Sesi 1)





(Pembinaan Sesi 1, Sidang Tahunan Sinode GKKK 24-26 Juli 2019)

Narasumber : Pdt. Budianto Lim, Th.M., D.W.S.

Perkenalan

Saya (Budianto Lim) dan istri Lidya Siah baru kembali dari Singapore 2 tahun. Dahulu kami melayani Gereja Presbyterian Bukit Batok di Singapura untuk jemaat berbahasa Indonesia. Kami diberi kesempatan untuk bisa bergabung dengan STT Reformed Indonesia dan membuka Magister Teologi dengan fokus teologi ibadah. Kami bersyukur karena akhirnya Tuhan panggil kami pulang ke Indonesia. Saya kuliah di Singapore Bible College (MDiv). Sebenarnya dulu saya bukan hamba Tuhan fulltimer. Dulu saya  pernah bekerja di BCA Sudirman dan sangat menikmati sekali , tetapi Tuhan buat ‘sesuatu’ dengan diri saya. Intinya saya tidak mau. Dulu istri saya menjadi hamba Tuhan, jadi saya yang mencari duit. Kerja di BCA enak karena semua ditanggung. Tetapi tidak bisa melawan benih panggilan yang sudah ada sejak tahun 1993. Akhirnya saya sekolah  teologia 2001 tapi bergumul sekali dalam aspek panggilan tersebut. Awalnya untuk apa suami ikut istri? Untuk apa sekolah Alkitab? Biarkan saja istri pelayanan di GKY Pluit. Lidya lulus dari music. Pelayanan pertama di GKI Bungur (gereja Tionghoa) mirip GKKK semua menyanyi menggunakan PPK dan KPPK. Kami menggeluti, mendoakan, menekuni aspek peribadahan berangkat dari konteks pelayanan Lidya di GKY Pluit. Dulu gereja ribut tentang musik. Mengapa diributkan? Dalam pergumulan itu, Lidya coba menggali firman Tuhan dan saya turut mendampingi. Kami menemukan tidak perlu membicarakan (mempermasalahkan) musik atau pakai alat musik apa? Yang menarik, ada beberapa gereja di Indonesia yang sampai hari ini masih meributkan hal seperti itu. Sudah 15 tahun lebih (2001-2017) sehingga kami terperanjat mengapa sampai hari ini masih membicarakan hal ini. Berarti ada aspek teologi ibadah yang memang tidak terlalu tersentuh. Saya khawatir, kita semua yang dididik di sekolah teologi (seminar, sekolah Alkitab) tidak pernah mendapat kuliah teologi ibadah. Kita belajar Perjanjian Baru, tetapi kita tidak melihat Perjanjian Baru ditulis setelah orang Kristen berhimpun beribadah. Itulah awal pergumulan kami untuk mencari : Tuhan kamu maunya apa? Mengapa orang Kristen masih meributkan ini? Banyak gereja Tionghoa (injili) merasa terancam dengan gereja kontemporer sehingga akhirnya kita mencoba mengikuti gaya mereka. Tapi mengikutinya tanggung-tanggung. Pemusiknya baru belajar, powerpoint yang digunakan terkesan ‘kuno’. Padahal mereka sudah memakai LCD screen (kita sulit mengikuti mereka). Semoga bapak/ibu bisa secara garis besar mengenal kami meskipun sangat di permukaan saja. Kami menikah 20 tahun lebih, bergumul dan tidak punya anak. Tetapi Tuhan baik karena memberikan banyak ‘anak ketemu besar’, baik di jemaat maupun sekarang di STT. Kami tidak menyangka ada beberapa mahasiswa dari STT yang berani memanggil Lidya sebagai mami. Berarti keberadaan kami at least sudah bisa memberikan berkat meskipun baru 2 tahun.

Catatan tambahan :
Pdt. Budianto Lim, D.W.S. sekarang menjabat Ketua Program Studi Magister Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia (dulu STTRII)  dan dosen Teologi Ibadah dan Perjanjian Lama. Pendidikan : S.Kom, Universitas Bina Nusantara. M.Div, Singapore Bible College. Th.M, Gordon Conwell Theological Seminary. D.W.S, Robert E. Webber Institute for Worship Studies (Doctor of Worship Studies)

Dinamika – ibadah Kristen itu dinamis

Saya berterima kasih kepada Pak Karyanto dan juga bapak/ibu di Sinode yang setuju menerima usulan tema ini. Seperti apa dinamika penyembahan Kristen yang sungguh bisa menginspirasi kehidupan secara holistik? Jadi saya tidak hanya bicara kehidupan jasmani, kehidupan rohani atau secara psikologi. Kita hanya bisa menjawabnya ,kalau mau jujur periksa seberapa jauh selama ini kita menghayati esensi penyembahan Kristen? Saya sudah 2 tahun, Tuhan buka pintu. Kami banyak pelayanan memberikan pembinaan ,khotbah di gereja-gereja dan kami  bertemu pola yang sama, juga di seminari. Ketika ibadah mulai apakah di chapel sekolah Alkitab, sekolah Kristen (saya sempat mengadakan pembinaan sekolah di Bandung) dan gereja , setiap kali membuka ibadah langsung dimulai dengan menyanyi. Bagaimana bisa menginspirasi? Asumsinya dengan menyanyi maka nyanyian dan musik akan menyentuh emosi dan emosi itu akan menggerakkan diri seseorang. Ini yang saya ingin ajak pertimbangkan ulang. Karena arti dinamika di sini, tentu ibadah Kristen tidak statis. Mengapa? Dinamis karena ada liturgi yang memandu dinamika tersebut. Masih ada gereja orang Kristen yang memikirkan bahwa ada gereja yang tidak punya liturgi. Setuju tidak , ada gereja yang tidak punya liturgi?



Leitourgia = work of the people

Setiap gereja punya liturgi, tata urutan , sistem ketika berkumpul. Ada konsensus yakni urutannya seperti ‘ini’. Bahkan gereja kontemporer atau  gereja karismatik seperti Hillsong sekalipun (kami 2 tahun berkeliling gereja juga termasuk GBI, JPCC dll), polanya setiap minggu sama. Menyanyi 30-40 menit kemudian baru masuk firman Tuhan. Di tengah menyanyi musiknya tidak pernah berhenti, di tengah-tengah menyanyi tiba-tiba doa. Kita tidak tahu apakah kita diajak berdoa atau tidak, pokoknya worship berjalan terus. Di gereja kontemporer orang yang demam panggung tidak bisa jadi worship leader karena bisa keringatan di depan meskipun ruangannya ber-AC. Di beberapa gereja tradisional (GKP, HKBP, BKPN, Gereja Toraja) , katanya kalau mau memimpin ibadah, mereka harus minum tuak terlebih dahulu baru lancar (mengerikan sekali).
Tidak ada gereja yang tidak punya liturgi. Liturgi tidak statis karena liturgi adalah  living literature (literatur yang hidup) karena orang di setiap gereja berbeda-beda. Liturgi itu kontekstual dalam gereja lokal. Maka liturgi itu tidak bisa menjadi tradisi yang harga mati tidak bisa diubah 40-50 tahun karena profile jemaat-nya saja berubah. Kami mengalaminya sendiri. Pelayanan kami di gereja Singapore itu awalnya 65% mahasiswa, tetapi 10-15 tahun kemudian profilnya berubah. Mahasiswa tersebut menikah semua dan menjadi keluarga muda. Berarti ada yang harus berubah di dalam konsensus bagaimana kita berjumpa dengan Allah. Bahkan di chapel sekolah Kristen ada liturginya (sama terus setiap minggu). Kalau berbeda sedikit akan diprotes oleh siswa (tidak boleh begini, kita kan begitu urutannya). Ada juga arti liturgi = work of the people. Ketika orang Kristen berhimpun, mereka diajak berdoa, memuji, membaca dan mendengarkan firman dll , jika mereka berpartisipasi berarti mereka berliturgi. Hanya seringkali jemaat tidak diajak partisipasi. Kalau diperhatikan ada gereja-gereja kontemporer yang sebenarnya sama dengan gereja Katolik sebelum transformasi. Gereja Katolik dulunya juga seperti itu, jemaatnya hanya nonton. Dan kebanyakan pada zaman  sekarang gereja kontemporer yang luar biasa, jemaatnya malas menyanyi karena musik-nya  begitu keras sekali. Bahkan kalau kita mau menyanyi sampai pingsan sekali pun dan mulut berbusa-busa  tidak akan terdengar suara kita. Kecuali jemaat dikasih mic.  Jadi ini harus kita perhatikan dan pertimbangkan.

Ibadah yang Dinamis.

              Seperti apa ibadah yang dinamis? Kita perlu masuk komponen kedua dari tema kita yaitu penyembahan Kristen. Di mana prinsip yang paling basic adalah semua orang pasti menyembah sesuatu atau seseorang (everybody worship something or someone). Tidak ada manusia yang ateis. Yang ada adalah idolatrous atau mereka yang jatuh di dalam pemberhalaan. The problem of human beings & God’s people is not atheism but idolatry. Waktu sadar, hal ini dikaitkan dengan aspek kebaktian (peribadahan), kita tidak menghubungkan kebenaran itu dengan wujud praktisnya. Jadi masalah hidup manusia terbesar bukan ateisme tetapi pemberhalaan. Jadi yang perlu diperiksa, apakah yang selama ini dikerjakan, benarkah penyembahan Kristen atau bukan? Jangan langsung memikirkan  nyanyian yang dipakai apa : nyanyian dunia atau sorga? Banyak masalah nyanyian. Pinggirkan dahulu pikiran kita yang kalau bicara penyembahan adalah nyanyian penyembahan. Ini hal yang aneh. Banyak pemimpin ibadah baik di gereja kontemporer maupun gereja injili yang mengikuti gereja kontemporer (gereja Injili yang worship leader- nya ditraining di gereja kontemporer) ada ungkapan seperti ini. Dari depan sudah menyambut dan diajak memuji-muji Tuhan, dengan pujian sukacita, bersorak dan bersyukur. Lalu ia berkata, “Mari saudara-saudari terkasih kita masuk ke dalam penyembahan?” Jadi kalau begitu yang lakukan sebelumnya dianggap apa? Apakah memuji-muji Allah bersyukur itu bukan penyembahan? Ada terminology mengenai penyembahan yang  seolah-olah penyembahan itu hanya ada satu titik. Mendengar khotbah itu juga dianggap bukan penyembahan. Kita berkhotbah dianggap bukan penyembahan. Kita berkhotbah itu pun bukan dianggap penyembahan. Ini yang perlu dipertimbangkan ulang. Apa yang saya bagikan ini , mungkin bagi sebagian dari bapak/ibu merasa tidak nyaman karena akan merombak seluruh pemahaman teologia kita khususnya teologia ibadah dan prakteknya.
              Kami mencoba untuk terus mengajak agar gereja jangan hanya konsentrasi pada pengalaman ibadah (experiential worship). Kalau kita mengalami (mendapatkan pengalaman ibadah) tetapi tanpa pendalaman ibadah, maka pengalaman hanya itu temporer. Nanti kalau zaman berubah, maka kita akan berubah lagi (mengikuti zaman). Pendalaman ibadah itulah yang kami yakini sebagai transformasi gereja yang terjadi dengan utuh.

Inspiratif

Komponen terakhir adalah inspiratif. Dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), inspiratif-adanya ide-ide kreatif yang muncul karena ada rangsangan dari luar. Pertanyaannya adalah untuk kita yang menyembah (melakukan penyembahan kristiani), rangsangannya apa? Apakah rangsangannya dari dunia markerting atau rangsangannya dari firman Tuhan yang digumuli sedemikian rupa sehingga cocok dengan perkembangan zaman? Atau memang ini menjadi pertanyaan yang patut kita pertimbangkan. Seperti apa dinamika penyembahan kristiani yang inspiratif diwujudkan di dalam kebaktian minggu atau pun chapel?
Secara global ada salah satu gereja (bukan satu-satunya) yang kebaktiannya dianggap inspiratif yaitu Willow Creek Community Church. Pdt. Bill Hybels (1951) mencetuskan satu ibadah yang disebut sebagai Seeker sensitive worship service. Siapa yang pernah membaca buku Pdt. Bill Hybles dan kemudian mencoba mengikuti gaya pemuridan dari pendeta ini? Mungkin ada mungkin tidak. Kebaktian ini mencetuskan kebaktian hari minggu dengan slogan sit back dan relax. Jemaat yang ikut kebaktian di gereja awalnya tidak terlalu banyak dan sekarang jemaatnya sudah 25.000 orang. Bayangkan saja lapangan parkirnya besar-besar. Tujuannya kebaktian minggu untuk menginspirasi orang-orang untuk  mengajak teman baru supaya mendengar injil atau minimal mereka mendengar pesan Kristen. Kebaktian minggu didisain untuk orang-orang yang non Kristen, yang belum percaya Yesus. Mereka minta ahli marketing melakukan market research di sekitar lingkungan gereja ini dan kemudian opini publik dikelola dan dipelajari mengenai gereja dan kekristenan. Salah satu hasilnya , gereja merancang kebaktian supaya orang non Kristen tidak mudah tersinggung. Jadi istilah dosa tidak dipakai. Salib sebagai simbol visual satu-satunya gereja Protestan juga tidak dipakai. Kalau diperhatikan gereja kontemporer yang luar biasa, terkadang salib juga tidak ada karena tidak ada tempatnya. Yang di depan apa? Screen yang besar sekali dan orang banyak sekali, pemusik dan sebagainya. Hal ini bukan berarti gereja ada salibnya pasti berpusat pada Kristus, belum tentu juga. Bisa jadi itu hanya pajangan saja. Karena di dalam setiap kebaktian jemaat tidak pernah diajak untuk perhatikan salib. Renungkan hidup seminggu apakah sesuai dengan pengorbanan Kristus atau belum. Apakah ada yang di saat teduh, musik-nya tidak ada tetapi jemaat diajak melihat salib. Jarang! Saya belum ketemu gereja Tionghoa yanga melakukan itu. Jangan-jangan, gereja besar dengan salibnya besar sekali tetapi tidak pernah dipakai untuk fasilitasi mengajak jemaat untuk introspeksi. Senin sampai Minggu ada tidak dosa-dosa yang dilakukan yang  perlu disalib di sini? Ini satu hal yang perlu dipertimbangkan. Semoga apa yang disampaikan di  depan ini, bapak/ibu merasa diberkati.

Saya ingin mengajak kita merenungkan : inti dari contoh ini yang dianggap insipriatif. Kebaktian minggu yang diperlakukan sebagai platform, adalah panggung atau alat penginjilan? Karena sebagai platform, maka model yang dipakai adalah model konser entertainment. Karena bukan hanya musik, tetapi ada visual, pencahayaan dsbnya. Yang menarik adalah pendekatan ini ditiru oleh gereja-gereja Indonesia, pendekatan ini dipakai untuk menjangkau generasi milenial (muda). Mungkin sebagian kita menerima pesan WA di mana dirjen bimas Kristen mengutip bahwa kita punya bonus demografi. Sehingga gereja harus menyesuaikan kebaktian agar bisa menjangkau generasi milenial. Buat saya, saya kesulitan dengan dorongan seperti itu. Karena kalau kita baca bilangan reseach centre hasilnya dibukukan mengenai spiritual generasi muda, bukan hanya kebaktian tapi yang mereka rindu adalah perubahan. Yang nomor satu adalah contoh figur senior yang bisa jadi contoh (teladan). Ini banyak terjadi di gereja-gereja. Gereja Willow Creek ini menjadi model untuk gereja-gereja yang cukup banyak di Indonesia dan secara global. Kebaktian diubah kemasannya, ruang kebaktian dibuat gelap. Ada GKKK yang kebaktiannya digelapkan? Orang tua akan susah berjalan dan bisa tersandung, sedangkan anak muda suka. Karena generasi milenial (muda) adalah generasi yang inginnya ‘terima saya apa adanya’ (I am who I am). Jadi ia masuk ruangan kebaktian gelap dengan satu keyakinan bahwa tidak ada yang melihati dia. Gelap menolong ambience. Saya tidak mau mempermasalahkan gelap atau tidak. Buat saya, kalau secara pastoral itu membantu jemaat untuk mengarahkan hati kepada Tuhan, saya kira itu baik. Hanya ada caranya. Tapi jangan dari awal sampai belakang gelap terus, orang hanya diajak nyanyi sehingga membaca firman Tuhan jadi malas.
Yang saya syukuri dari gereja Willow Creek adalah gereja ini pada Willow Creek Church Summit Starts under Cloud of Sexual Misconduct Scandal tahun 2008 mengakui we made a mistake. Ini dipublikasikan pernyataan tersebut. Kepemimpian gereja ini menemukan bahwa pertumbuhan rohani dalam aspek keintiman dengan Tuhan , pelayanan kepada sesama semua  dipengaruhi sangat kecil oleh aktivitas rohani khususnya aktifitas dalam kebaktian. Asumsi yang selama ini dipakai oleh gereja tersebut (karena menggunakan market research) : kalau orang melayani berarti komitmen orang itu bagus, kalau komitmen orang itu bagus berarti ia bertumbuh dan cinta Tuhan serta puas dengan gereja. Ternyata setelah ribuan jemaat diinterview, bukan itu yang terjadi. Jemaat tidak puas dengan gereja. Jemaat merasa gereja belum melakukan lebih. Naturnya orang Kristen menjadi konsumen (semakin konsumeristik). Ini satu hal yang mengejutkan untuk saudara/i kita yang digandrungi secara global. Strategi yang diambil dari dunia marketing adalah mengakomodasi kebutuhan manusia dengan cara  memberikan apa yang disukai orang-orang ternyata tidak menolong jemaat untuk semakin serupa dengan Kristus. Mengapa begitu? Padahal gereja ini rancangan ibadahnya luar biasa sekali. Yang menjadi masalah adalah rancangan ibadah seperti Gereja Willow Creek makin tidak berbeda dengan dunia hiburan. Ada yang berani mengakui , tetapi begitu mengakui kita dianggap menghakimi. Kita tidak sedang menghakimi tapi sedang mencoba mengajak kembali, coba lihat kembali Alkitab. GKKK adalah gereja injili dan kita meyakini bahwa The Bible is sufficient (Alkitab atau firman Tuahn itu cukup memberi petunjuk untuk kehidupan kita, apalagi aspek penyembahan). Ini sentral karena tiap minggu kita melakukannya.
Ada ahli Sally Morgenthaler mengatakan, Seeker sensitive service Willow Creek Church is “a pre-evangelistic entertainment, a highly captivating (orang ingin ikut) sixty minute, ‘informercial’ for Christianity” (ungkapan yang komersial karena menggunakan social media dlsbnya, dijual juga jadi podcast, CD, buku ,  dsbnya). Saya berpikir memang orang Kristen banyak yang jadi pedagang, sehingga apa-apa dijual. Hal yang kita lihat di Willow Creek juga terjadi di Singapore. Istri Pastor Kong Hee (gereja City Harvest) , Sun Ho, membuat music video dengan penyanyi sexy untuk menjangkau generasi muda. Katanya untuk menginjili generasi muda karena generasi muda katanya suka seperti itu. Akhirnya  pada tahun 2015 lalu, Pdt. Kong Hee dan beberapa pengurus gereja City Harvest divonis bersalah dan dimasukkan ke penjara karena menyalahgunakan uang gereja sebesar 35 juta dolar Singapura untuk mendukung karir menyanyi Sun Ho. Dalam salah satu online news, ada komentar yang berbunyi, “Tidak mungkin menyampaikan Injil dengan kemasan yang bertolak belakang dengan nilai -nilai Injil . Ketika itu terjadi, maka intensitas kekuatan Injil diturunkan derajatnya.” Ini kalimat kebenaran tetapi seringkali tidak bisa dikaitkan ke dalam konteks kebaktian minggu .
Karena sebagai seorang hamba Tuhan apalagi Gembala Sidang , kita selalu deg-degan, minggu ini lebih banyak atau kurang jemaat yang hadir. Ada juga gereja yang memakai KPI (Key performance index). KPI nya bagaimana? Semua di-KPI-kan seperti BCA. Deposito kalau jadi marketing tahun ini harus masuk tahun ini berapa miliar Rupiah nasabah deposito baru. KPI tidak salah di dalam gereja karena ini manajemen dan administrasi gereja. Gereja perlu visi tetapi bukan hanya menjadi mimpi harus ada goal-setting, di mana visi itu diterjemahkan secara konkrit sehingga akhirnya terjadi. Tetapi tidak mungkin semua urusan rohani dinumerikan. Tapi tidak mungkin semua unsur kerohanian di numerikan. Khususnya di gereja-gereja Tionghoa khususnya majelis yang sangat berpikir manajerial sekali, KPI-nya apa? Ujung-ujungnya  jumlah jemaat, uang yang masuk dan mungkin property. Ini satu hal yang kita harus hati-hati sekali. Bahkan Churchleaders.com pernah mengeluarkan artikel Entertainment fatigue, are people tired of the church glitzy stage? (apakah gereja sudah mengalami kelelahan yang luar biasa? Mau bangun sudah malas. Tiba-tiba muncul  sinar terang dan pengkhotbah keluar dari bawah pakai asap. Tetapi di Amerika kalau search di google, banyak yang aneh-aneh terjadi. Tidak sedikit ibadah gereja dirancang berdasarkan model yang mengikuti kultur panggung hiburan yaitu konser. Jika jujur memang format kebaktian gereja banyak mengikuti panggung hiburan khususnya gereja kontemporer atau gereja yang mencontoh gereja kontemporer. Dengan model format panggung berikut seluruh kemasan pencahayaannya. Jadi kalau kita mau menggunakan model konser, maka tidak bisa tidak harus menggunakan cahaya, music, orang banyak di depan, LED screen. Itu lingua franca dari dunia entertainment. Kalau kita mau pakai model seperti itu tetapi mau pakai HD LED display screen, anak muda -anak muda sering berkata,”Apaan seperti itu? Tanggung-, tanggung.” Betul juga pendapat mereka. Begitu kita pakai model tersebut, maka etos panggung hiburan akan masuk kehidupan gereja. Akhirnya pelayan ibadah jadi satu tim elit (bintang panggung). Kita yang duduk adalah customer. Ada gereja-gereja di mana jemaatnya berlomba jadi worship leader karena setiap worship leader ada baju baru, jas baru. Mentalitas orang Kristen sebagai konsumen, semakin menggelembung dan hamba Tuhan , pengurus gereja menjadi tim yang fungsinya seperti event coordinator atau wedding coordinator / planner yang merancang segala sesuatu untuk pasangan mempelai agar mereka bisa dipakai lagi oleh pasangan lain. Ujung-ujungnya keletihan luar biasa, karena rancangan ibadah cenderung untuk memuaskan jemaat.
Apakah kita sederap dengan saya? Benar tidak yang saya katakan? Anda bergumul tidak dalam aspek-aspek ini dalam gereja anda? Ada kencenderungan untuk mengubah kebaktian. Hanya kita tidak tahu cara mengubahnya bagaimana. Kita punya contohnya : toko sebelah karena jemaat kita yang muda-muda banyak yang ke toko sebelah. Sehingga kita pikir kalau kita pakai cara toko sebelah maka diharapkan anak-anak muda balik ke gereja kita. Hati-hati dengan cara berpikir seperti itu. Ada gereja-gereja di Indonesia yang mengikuti kebaktian sampai mengikuti titik seperti ini, penuh dengan cahaya. Lagu yang dinyanyikannya “Sebab Kau Besar”. Kalau trend kebaktian di Indonesia seperti kita, terus mengarah seperti ini maka ekstrim sekali. Kalau trendnya seperti ini maka gereja makin tidak bisa dihadiri oleh orang-orang miskin. Siapa yang berani masuk ke gereja seperti ini? Gereja semakin dipandang sebagai kumpulan orang-orang yang tidak ada bedanya dunia hiburan. Negara kita populasi muslim terbesar, mereka tidak akan mau masuk ke gereja karena gereja itu ‘aneh’. Gereja seperti diskotik, pub, jazz pub dan sebagainya. Gereja semakin mengalami kebingungan identitas sekarang ini. Kita ditempatkan di dalam dunia tetapi kita bukan berasal dari dunia. Dalam hati saya berkata, “Tuhan enak bicaranya sedang kita bergumul. Bagaimana hidup di dalam dunia era digitalisasi tetapi kami bukan berasal dari dunia? Kalau kami pakai cara-cara dunia apakah kami menjadi seperti dunia?” Begitu bolak-balik.
Ada seorang pendeta dan juga presiden k e-3 dari Westminster Seminary di California, Robert Godrey berkata, “Entertainment is often sold in the name of evangelism” (Gereja  menjual hiburan atas nama penginjilan). Ini fakta dan realita di mana gereja bingung akan esensi penyembahan dan penginjilan. Gereja bingung akan identitas dan tujuan mengapa gereja ada. Saya tidak tahu sampai sejauh bapak/ibu di GKKK bisa menjawab pertanyaan seperti tadi. Mengapa ada GKKK di Bandung padahal di Bandung banyak gereja? Demikian juga di Jakarta ada beberapa GKKK padahal sudah banyak gereja di Jakarta. Terkadang saya bingung. Misal : di jalan Pasar Baru. GKY Samanhudi sebelahnya GKBJ. Setiap minggu karena tidak ada lahan parkir, maka ¾ badan jalan habis untuk parkir. Jadi kita tidak ada bedanya dengan orang Muslim yang sedang sembahyangan. Bedanya yang ini mobil sedangkan mereka tikaran. Orang-orang Muslim melihat gereja tidak mau masuk. Orang ke gereja bawa mobil semua sehingga mereka takut.

Ada seorang teolog reform bernama Jean-Jacques von Allmen dari Swiss. Ia menjadi pendeta di Lucerne, Swiss selama 17 tahun dan professor dari teologia praktis di University of Neuchatel dari 1958 hingga pensiun tahun 1980 dan meninggal pada tahun 1994. Beliau menggarisbawahi identitas gereja terkait dengan ibadah dan menulis, “Hanya melalui ibadah atau kebaktian Kristen, gereja menggenapi identitasnya, gereja mencapai kesadaran akan eksistensinya, gereja mengakui dirinya sebagai entitas yang unik dan berbeda”. Kalau kita tidak memperhatikan bagaimana kita melakukan kebaktian (ibadah) setiap Minggu, maka sebenarnya kita sedang menyangkal identitas gereja.

Pelaksanaan ibadah menghidupkan natur gereja yang semestinya.

Waktu kita pergi ke mal melihat begitu banyak orang, lalu bertemu dengan 1-2 orang memakai kalung salib. Apakah kita akan menyebut orang itu sebagai gereja? Tidak! Tetapi kalau kita ke mal, orang tidak pakai salib, ada 3-4 orang masuk ke satu ruangan yang dari depan terdengar suara pujian. Kita akan menyebut orang itu masuk ke gereja. Jadi yang Namanya gereja tidak mungkin 1 atau 2 orang. Tetapi orang menyebut satu kumpulan sebagai gereja ketika ibadah terjadi. Benar tidak? Ibadah dan identitas gereja tidak bisa dipisah. Ibadah tidak bisa jadi alat penginjilan seperti yang dilakukan oleh Willow Creek Community Church.

Yang lebih mengejutkan lagi adalah tulisan alm. Pdt. John Stott. Tulisannya tajam sekali dan saya khawatir banyak dari kita yang tidak setuju.  Ia mengatakan,”Panggilan utama gereja bukan penginjilan (evangelism) tetapi penyembahan (worship)”. Setuju tidak dengan kalimat ini? Kita di Indonesia kan menginjili. Banyak dari kita yang bertobat dan diteguhkan panggilan setelah mendengar kotbah Pdt. Stephen Tong yang sampai hari ini masih terus melakukan KKR gaya abad 18-19 seperti George Whitefield, John Wesley dengan altar call dan sebagainya. Tetapi panggilan utama gereja bukan penginjilan. Hal ini bila didiskusikan bisa menimbulkan pertikaian. Bagaimana mau menyembah kalau tidak tahu Injil dan tidak tahu (kenal) Yesus?. Dalam Lukas 24 ada cerita Yesus sudah bangkit dan tiba-tiba menampakkan diri kepada dua muridNya yang mau pulang ke Emaus tetapi kedua muridNya itu tidak mengenali Yesus. Kedua murid itu baru mengenali Yesus, setelah Yesus mengambil roti, memecah-mecahkan, mengucap berkat dan kemudian memberikannya. Tindakan simbolis dari perjamuan kudus ini yang membuka mata mereka. Intinya mengenali Yesus adalah suatu kunci. John Stott, mengatakan ada 3 alasan Pdt. John Stott mengungkapkan pandangannya itu yaitu :
-        Sebab penyembahan itu akan berlanjut pada kekekalan tetapi penginjilan bersifat sementara.
-        Sebab Allah dan kemulianNya adalah yang terutama sedangkan penginjilan ialah ekspresi konkrit penyembahan yang diterima Allah. Kalau orang benar menyembah Allah Tritunggal, Allah yang mengutus anaknya yang tunggal dan kemudian memberikan Roh Kudus kepada kita, lalu kita berkata untuk apa penginjilan, itu bukan penyembahan. Waktu belajar tentang Perjanjian Lama , saya tidak pernah ketemu Tuhan Allah (Allah Yahweh) menyuruh  (memerintah) orang Israel untuk  menjadikan bangsa lain menjadi seperti orang Israel. Kalau buat paradigma mengenai misi penginjilan, yang dimaksud misi penginjijlan yang Tuhan maksud  bukan sekedar pergi tetapi jadikan komunitas Kristen (jadi mercu suar , beacon). Orang ingin melihat ada apa di komunitas itu. Maka ada cerita, waktu Daud melakukan survei, Tuhan menghukum atau tidak? Tuhan hukum! Mengapa? Apa salahnya melakukan survei? Survei dilakukan untuk menunjukkan keberhasilan dan kekuasaannya. Begitu ia melakukan survei, ujung-ujungnya ia ingin melakukan ekspansi Israel. Tuhan tidak pernah menyuruh ekspansi Israel. Israel segitu saja, tidak perlu apa-apa lagi, tapi hidup seturut amanat yang Tuhan inginkan. Ini suatu hal yang luar biasa dalam Perjanjian Lama yang banyak dari  kita tidak perhatikan (miss).
-        Sebab All true Christian are worshipper but not all Christians are evangelistic.

Dengan paparan seperti ini, saya berharap bapak/ibu menangkap bahwa penyembahan Kristen yang inspiratif harus punya pondasi yang berpijak pada jati diri gereja sesuai perspektif Tuhan Allah. Kalau GKKK bingung identitas unik di dalam kebaktiannya, maka gereja itu belum tentu menjadi inspirasi buat jemaat atau orang-orang yang belum percaya. Salah satu perspektif Allah yang eksplisit mengenai pondasi penyembahan adalah Yohanes 4:1-54. Ayat 23  Tetapi saatnya akan datang dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. God is seeking. Seeking itu pada zaman sekarang  seperti CCTV (searching,. siapa yang sungguh menyembah sejati. Ajaran Kristus dalam konteks percakapan dengan seorang perempuan dari Samaria. Allah Bapa mencari dan kebenaran akan siapa diri Allah di Yohanes 4 konsisten dengan di Kejadian 3. Waktu manusia jatuh dalam dosa, apa yang Tuhan lakukan? Yang pertama Dia mencari. Tuhan bertanya, “Di manakah engkau Adam?” Memangnya Tuhan tidak tahu? Dia tahu! Lalu kenapa masih tanya? Dengan bertanya, Dia menunjukkan siapa diriNya, “Dia adalah Allah yang tidak langsung menghukum”. Betul? Yang kedua kali, Tuhan bertanya lagi. Lihat Kejadian 3:9 Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di manakah engkau?"  Ayat 10 dijawab oleh Adam. Lalu pada ayat 11 Tuhan Yesus bertanya lagi. Firman-Nya: "Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?" Memangnya Tuhan tidak tahu kalau mereka sudah makan? Tahu! Lalu mengapa masih tanya? Ayat 12 dijawab lagi. Ayat 13 Tuhan bertanya lagi. "Apakah yang telah kauperbuat ini?" Tuhan berlagak tidak tahu? Tidak! Lewat pertanyaan dan perkataan Tuhan yang bentuknya pertanyaan, kita menangkap bahwa Tuhan kita bukanlah Tuhan yang langsung menghukum tetapi Tuhan yang mencari,  Tuhan yang terus memberi kesempatan. Itu Tuhan yang kita sembah. Pertanyaan dalam konteks kebaktian tiap hari Minggu, apakah jemaat yang kita layani sadar tidak kalau Tuhan adalah Tuhan yang terus mencari dan  memanggil (ayo pulang)? Dia adalah Tuhan yang cemburu.
Yoh 4:20-22 Nenek moyang kami menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah." Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku, hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.   Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tuhan terus menegur si perempuan. Waktu perempuan mengatakan, “Nenek moyang kami (ini tradisi) menyembah di atas gunung ini, tetapi kamu bilang Yerusalem tempat orang menyembah.” Saat wanita ini mengucapkan kata-kata tersebut berdasarkan iman dia dengan tulus tapi salah. Banyak orang Kristen berkata, “Sudah tidak apa-apa , yang penting hatinya. Yang penting dia tulus”. Kalau tulus tapi salah (tidak sesuai dengan kehendak Tuhan), untuk apa? Jadi kita harus hati-hati. Tuhan mengatakan ini untuk mengoreksi. Karena kalau perempuan Samaria dan orang Samaria menyembah Allah yang tidak dikenal maka tindakan penyembahan pasti salah semua. Tuhan memberikan koreksi karena pikiran itu salah sehingga tindakan penyembahan menjadi salah sehingga diarahkan Tuhan Yesus. Ketika kita mengenal siapa yang disembah, kita tidak terlalu mudah jatuh ke dalam pemberhalaan. Kalau kita tidak mau (kita tidak mau pusing) apakah  jemaat menangkap atau tidak, pokoknya kebaktian caranya begini. Kalau kita pakai seperti itu, apalagi konteks zaman sekarang, maka saya khawatir, yang dilakukan tiap minggu adalah bukan penyembahan tetapi pemberhalaan. Kita melatih jemaat ,”Ayo saya maunya begini.” Apalagi kalau di gereja ada orang penting. Ada contohnya  di kitab 1 Korintus. Jemaat tidak berani tegur orang berpengaruh di dalam gereja karena karena kemungkinan besar dia adalah donatur.
Konteks zaman ini bisa membuat kita menyembah berhala dan bukan menyembah Tuhan. Dan hal ini ditulis dalam buku yang menjadi bestseller yaitu ‘Homo Deus, A Brief History of Tomorrow’ (masa depan umat manusia) oleh Yuval Noah Harari. Diusulkan hamba-hamba Tuhan dan guru-guru sekolah perlu membaca buku yang menjadi bestseller. Ia bicara tentang homo deus dan mengatakan, “Dengan kecanggihan digitalisasi, ego manusia itu semakin besar dan menggelembung tapi dalamnya kosong”. Banyak manusia memberhalakan dirinya sendiri dengan kehidupan di era digital. Contoh : selfie. Bukan berarti tidak boleh foto. Tapi kalau setiap kali makan difoto, bagaimana? Ada teman SD – SMP seperti itu dan memuat fotonya di Instagram. Ia agen asuransi dan dapat bonus jalan-jalan ke Rusia dan negeri lainnya. Di mana pun ia makan difoto. Menurut saya , ini agak berlebihan karena bisa membuat orang iri hati. Kalau penyembahan Kristen sungguh mau menginspirasi maka kita perlu kembali ke esensi penyembahan yang sesungguhnya (penyembahan sejati). Esensi : tidak mungkin terlepas dari pengenalan kita akan siapa diri Allah. Kalau tidak, apa yang dilakukan gereja setiap minggu akan menjadi pemberhalaan. Masalahnya : di gereja sedikit sekali khotbah yang mengajarkan mengenai isu pemberhalaan.
Menurut Pdt. Dr. John D. Witvliet (1967) dari Calvin Theological Seminary, Amerika Serikat. Ia mengatakan, “Asumsi salah : menyembah berhala itu primitf dan tidak akan terjadi pada masyarakat zaman now (sudah ada teknologi tinggi). Pemberhalaan , harus bahas mengenai dosa.” Orang Kristen berasumsi: kalau kita (yang dari tradisi-tradisi Tionghoa) sudah  tidak sembahyang pakai patung, maka kita tidak akan jatuh pada pemberhalaan. Kalau kita yang bukan Tionghoa, mungkin dari latar belakang animisme, dinamisme, dulu leluhur kita pakai dukun dsbnya, kita berpikir ,”Oh itu primitif”. Saya sudah dididik di sekolah Alkitab, jemaat saya tidak mungkin jatuh dalam pemberhalaan. Menurut John D. Witvliet. hal itu asumsi yang salah. Karena ada asumsi yang salah, maka urusan pemberhalaan itu tidak terlalu disinggung di gereja-gereja. Alasan lain  karena begitu omong berhala, berarti omongin dosa, kecuali Pak Tong. Siapa di zaman sekarang yang suka diajak merenungkan dosa? Bersyukur, Pdt. Stephen Tong makin senior semakin jarang omelin orang. Paling tidak kalau jemaat ke toilet tidak diomelin. Saya kira Pak Tong, punya sisi yang kita syukuri, Pak Tong enak kalau diajak ngobrol. Saya mendengarnya dari gembala senior saya di Singapore dan rekan-rekan di STRII yang pernah diajari Pak Tong : sikap humoris, passion - nya, semangatnya. Itu energi dari mana? Naik tangga sudah berat tapi begitu di atas mimbar ada roh yang berbicara melaluinya. Kita bersyukur beliau ada di Indonesia.
Saya adalah hamba Tuhan yang karena bandel tapi melalui Pdt Stong akhirnya menyerah. Kalau mau panggil, panggillah! Pakai malu-malulah. Saya ‘dipanggil’ bukan lewat khotbah tetapi lewat QnA (tanya jawab). Dari rumah saya berkata, saya tidak mau bertanya macam-macam. Benar, tidak ada yang mau tanya-tanya. Biasanya ada yang bertanya bagaimana tahu kita dipanggil jadi hamba Tuhan fulltime. Benar-benar tidak ada yang tanya, saya happy luar biasa. Begitu Pak Tong mau menutup dalam doa, tiba-tiba ada satu orang lari dari belakang dan memberi kertas dan menanyakan hal itu : “bagaimana saya tahu kalau saya dipanggil jadi hamba Tuhan?” Saya kesal sekali. Pak Tong menjawab dan memberi tahu semua. Karena bandel, saya lewati semua itu. Akhirnya Pak Tong berkata,”Kalau benar-benar dipanggil, jangan bandel dan lari nanti ditabok Tuhan dst nya. Saya semakin takut. Tapi saya dari tempat duduk saya tetap keukeuh,”Tuhan, saya tidak mau. Saya bisa melayani engkau melalui konteks market place. Banyak orang Kristen apalagi di gerja, tidak pernah membicarakan bahwa bekerja adalah penyembahan. Padahal bekerja ada sebelum manusia jatuh dalam dosa. Khtobah-khotbah di gereja tidak memperlengkapi umat Tuhan yang ada di tengah-tengah lapangan pekerjaan,yang meluangkan waktu lebih dari 50% untuk bekerja  dan berusaha. Saya keukeuh berkata,”Tuhan ngapain? Sudah istri saya saja!” Saya kepalkan tangan dan berkata,’Saya tidak mau Tuhan!”. Tapi entah kenapa seperti ada awan di belakang saya, sehingga saya bangun berdiri. Tetapi saya tetap kepalkan tangan dan seperti ada yang dorong. Waktu saya maju ke depan, teman paduan suara saya yang kerja di bank juga menertawakan saya.
Kita tidak suka membicarakan aspek dosa. Bagaimana mengatasinya? Rev. Dr. Timothy Keller dari Redeemer Presbyterian Church, New York mengatakan, “Berhala tidak bisa disingkirkan, tetapi perlu digantikan (disubstitusi)”. Kalau kebaktian tiap minggu, jemaat pulang kebaktian, makin tidak kenal siapa Tuhan yang disembah, bagaimana mau menyingkirkan berhala-berhala dalam hidupnya. Tuhan yang dikenalnya hanya satu yaitu Tuhan adalah kasih. Tuhan baik. God is so good all the time. Tetapi apa aratinya? Apa artinya Tuhan adalah kasih? Padahal di kitab Ibrani Tuhan mengatakan,”Kalau Aku mengasihi kamu , aku akan mendisiplinkan kamu”. Saya khawatir, kita menonjolkan Tuhan sebelah saja yaitu imanen tapi yang transenden tidak kita tunjukan. Dasarnya dari Yehezkiel 14:3-4 , Berhala harus diganti Tuhan sejati yang hidup. Yeh 14:3-4   "Hai anak manusia, orang-orang ini menjunjung berhala-berhala mereka dalam hatinya dan menempatkan di hadapan mereka batu sandungan, yang menjatuhkan mereka ke dalam kesalahan. Apakah Aku mau mereka meminta petunjuk dari pada-Ku? Oleh sebab itu berbicaralah kepada mereka dan katakan: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Setiap orang dari kaum Israel yang menjunjung berhala-berhalanya dalam hatinya dan menempatkan di hadapannya batu sandungan yang menjatuhkannya ke dalam kesalahan, lalu datang menemui nabi  —  Aku, TUHAN sendiri akan menjawab dia oleh karena berhala-berhalanya yang banyak itu. Berhala harus diganti dengan Tuhan yang sejati,benar dan hidup. Artinya kebaktian Gereja atau di sekolah Kristen perlu mencari cara bagaimana bisa menonjolkan siapa Tuhan yang disembah, Tuhan yang jauh lebih berharga dari seluruh dunia ini. Saya percaya, untuk kita yang sudah menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, hidup kita hanya sekali, kalau kita sudah serahkan semuanya, dan kita makin tidak mengenal Tuhan, nanti di ujungnya Tuhan berkata, “Siapa kamu? Saya tidak kenal kamu!”

Esensi #1 Penyembahan Kristen : Inisiatif & Identitas Tuhan Allah

Penyembahan yang inspiratif tidak mungkin bergantung pada proyeksi imajinasi kita sendiri mengenai siapa Tuhan. Sebab inspirasi kembali ke definisi awal adalah ide-ide kreatif yang muncul karena ada rangsangan dari luar. Urusan penyembahan, rangsangannya adalah pengenalan kita kepada Tuhan. Siapa Tuhan yang kita cintai dan sembah? Kalau bersumber dari diri sendiri-sendiri yang sudah tercemar dosa dan dihimpit oleh budaya yang berdosa, maka tindakan penyembahan akan salah kaprah. Maka kita perlu Tuhan sendiri yang singkapkan siapa diriNya, barulah kita  bisa tahu cara menyembah dengan benar. Itu pun pengetahuan kita tidak akan sempurna.
Penyembahan tidak bisa (tidak perlu) ada tanpa Tuhan berinistiatif memberitahu siapa identitas diriNya. Jadi inisitatif dan identitas Tuhan nomor satu di dalam penyembahan kristiani yang inspiratif. Kebenaran ini konsisten di seluruh Alkitab.

Balik ke Yohanes 4:1-42 untuk bagian firman Tuhan yang menjadi kunci. Pada ayat 1-8 kita diberitahu setting cerita, Kristus dalam perjalanan ke Galilea dan mampir di Sikhar dekat sumur Yakub pada tengah hari. Yesus berinisiatif membuka dialog untuk minta minum (4:7). Tanpa Yesus buka dialog seluruh kebenaran Yoh 4 tidak ada. Aspek liturgika : tunjukkan bahwa ibadah dimulai karena ada inisiatif Allah. Gunakan Perkataan Alkitab! Ini keyakinan kita bersama. Kami dari STTRI sangat memegang kuat sekali bahwa dasar biblical harus kuat. Jadi Yesus pegang insiatif dan kita perlu tunjukan itu di awal, jadi tidak bisa dimulai dengan nyanyi. Setelah itu apa yang terjadi? Aspek praktis : cari style penyampaian inisiatif Allah melalui Firman Tuhan yang cocok dengan budaya gereja local & menggali jemaat local.
Yang kedua ayat 9-15. Perhatikan respons dari perempuan Samaria berdialog dengan Yesus (9-10,11-12,13-14,15).  Jawaban ini tipe apa? Spontan. Selain itu, apakah nadanya enak? Sinis. Berilah aku minum. Pembukaan dan dialognya simple. Tetapi dijawab, orang Yahudi kenapa minta dari Samaria. Siklus dialog terjadi seperti ini. Ayat 10 Tuhan Yesus tidak tersinggung. Tuhan Yesus keukeuh. Jawab Yesus kepadanya: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." (Yesus menyingkapkan diri : Air Hidup). Ayat 11-12 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan, Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau memperoleh air hidup itu?  Adakah Engkau lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan ternaknya?" Si perempuan respons secara literal mengenai air. Jawaban seperti ini dalam ranah apa? Tuhan Yesus berkata,”Aku akan memberikan kepadamu air hidup” tapi si perempuan balik ke air literal. Tidak sambung.
Ayat 13-14 Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa minum air ini, ia akan haus lagi,  tetapi barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang kekal." Yesus tetap menyingkapkan diri : Air Hidup. Aspek Liturgika  : jemaat diberi kesempatan menyatakan pertanyaan kepada Allah melalui doa-doa. Aspek praktis : ajukan pertanyaan refleksi pemandu bagi umat dalam menyatakan doa-doa.

Yoh 4:1-8 Setting Cerita
4:7 Yesus inisiatif buka dialog
Yoh 4:9-15 siklus dialog 1
4:9  respons sinis si perempuan
4:10 Yesus tidak tersinggung dan menyingkapkan diri : Air Hidup
4:11-12 Si perempuan respons secara literal mengenai air.
4:13-14 Yesus tetap menyingkapkan diri : Air Hidup
4:15 Respons perempuan masih literal.
Terjadi siklus dialog ayat 9-15.  Kalau kita lanjutkan respons wanita masih ada lagi  , tetapi masih literal. Masih bicarakan tentang air secara literal. Ia ingin agar tidak haus lagi.

Yoh 4:16-20 : Siklus Dialog 2. Dimana Tuhan Yesus beralih topik. Kalau tadi urusan minum air, sekarang Tuhan Yesus masuk ke dalam realita hidup pernikahan perempuan, lalu kita lihat respon si perempuan.
4:16 Yesus beralih ke urusan pribadi si perempuan.
4:17 a respons kejujuran si perempuan .
4:17b-18 Afirmasi yesus + pengetahuanNya atas urusan pribadi si perempuan. Dia tahu, saya tidak punya suami. Lalu ia mengatakan bahwa Kau adalah nabi. Jadi ada pengakuan.
4:19-20 repons si perempuan takjub, pengakuan dan pemahaman tentang penyembahan.
Siklus dialog kedua yang terjadi setelah itu ayat 20 ia bicara tentang penyembahan. Topiknya dari air (Tuhan Yesus bicara tentang air hidup,dia bicara air secara literal, lalu Tuhan Yesus bicara tentang urusan pernikahan – sangat personal, ditanggapi lalu Tuhan Yesus tanggapi lagi, lalu ia sendiri yang beralih bicara tentang penyembahan di gunung ini. Lalu Tuhan Yesus menyambut dengan siklus dialog 3. Tuhan Yesus memberi pengajaran yang panjang sekali mengenai penyembahan di dalam roh dan kebenaran.

Yoh 4:21-26 siklus dialog 3.
4:21-24 Yesus menyingkapkan ajaran tentang penyembahan yang sejati.
4:25 respons perempuan mengenai pengetahuan tentang Mesias. Jawab perempuan itu kepada-Nya: "Aku tahu, bahwa Mesias akan datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan segala sesuatu kepada kami." Dia mulai tunjukkan pengetahuannya tentang Mesias.
4:26 penegasan Yesus bahwa Ia adalah Mesias tersebut.

Di depan, Tuhan Yesus memberitahu bahwa Ia adalah air hidup. Kemudian di tengah-tengah Akulah Mesias.  Di tengah-tengah diinterupsi oleh murid-muridNya yang balik. Dari alur ini, menurut saya di dalam konteks kebaktian (percakapan kita dengan Tuhan), maka ada orang-orang yang mengatakan kebaktian itu harus mengalir (ngeflow)  yaitu dengan music. Bagi yang main music, skill-nya harus  baik sekali. Tetapi dari Yohanes 4
Ini adalah salah satu percakapan itu di interupsi. Jadi ide yang praktis pragmatis bahwa ibadah harus mengalir tidak selalu benar. Karena di dalam Alkitab, ada alur yang mengalir tetapi kemudian diinterupsi.

Yoh 4:1-8 setting cerita
Yoh 4:9-15 siklus dialog 1
Yoh 4:16-20 siklus dialog 2
Yoh 4:21-26 siklus dialog 3
Yoh 4:27 : interupsi.
Yoh 4:28-30 implikasi : bersaksi
Yoh 4:31-38 implikasi : ajaran
Yoh 4: 39-42 implikasi : percaya.

Kronologisnya :
-        Yesus menyapa / melawat perempuan Samaria                                          Sapaan Allah
-        Perempuan Samaria terus menyatakan kebutuhan fisik                             Seruan Manusia
-        Yesus terus menawarkan diriNya sebagai air hidup                                    Pernyataan jati diri Allah
-        Perempuan Samaria jujur atas realita hidup pribadi (pernikahannya)         Kejujuran Manusia
-        Yesus mengajar esensi penyembahan yang benar kepadanya                    Ajaran Allah
-        Perempuan Samaria ambil resiko kembali ke kampung beritakan Yesus         Dampak bagi Manusia
-        Yesus menetap 2 hari di Samaria & mereka percaya                                   Berkat Allah
        
Saya mengambil data seperti itu, tetapi saya tidak ingin menyelesaikan ke sana. Ini yang terjadi setelah si perempuan bercakap-cakap dan mendengar bahwa Akulah Mesias itu, kemudian di ayat 28 ia pulang ke kampung. Ia menyaksikan kepada orang-orang kampung padahal dia tahu orang kampung tidak akan percaya. Benarlah orang kampung tidak percaya kepada kata-katanya. Sehingga orang-orang kampung dibawa untuk melihat Yesus sendiri. Itu yang terjadi.  Jadi pada ayat 39 dikatakan Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku segala sesuatu yang telah kuperbuat." Lalu pada ayat 42  dan mereka berkata kepada perempuan itu: "Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat dunia."
Dari awal percakapan sinis, lalu ia jujur dan di ujung dia bersaksi lalu banyak orang percaya kepada Kristus . Ini ibadah inspiratif, karena datangnya sendiri. Banyak jemaat datangnya sendiri atau bersama keluarga, banyak masalah tetapi di dalam merancang kebaktian tidak dipusingkan, yang penting lagunya enak. Kita tidak memusingkan urusan penggembalaan banyak banyak jemaat yang sedang bergumul. Kita perlu perhatikan aspek tersebut tetapi ujungnya agar jemaat bersaksi waktu mereka di  luar sana. Gereja yang terus menerus pakai gaya zaman dulu, orang dibawa masuk gereja lalu diinjili di gereja, menurut saya ini cara yang harus dipertimbangkan ulang. Karena ketika kita berada di tengah masyarakat di situlah kesaksian yang paling luar biasa. Ini adalah kebenaran kita semua, apalagi hamba-hamba Tuhan juga tahu, tetapi  kita tidak pernah menghubungkan dengan aspek pelaksanaan kebaktian.
Dari pola yang kita saksikan dalam Yohanes 4, kesempatan dialog antara si perempuan dengan Yesus memfasilitasi perubahan yang menginspirasi hidupnya. Jadi ibadah adalah perjumpaan di mana di dalam perjumpaan dengan Allah ada percakapan intim. Kalau kita mau jemaat bercakap-cakap dengan Tuhan, berarti jemaat di dalam kebaktian tidak boleh nonton. Paduan suara tidak boleh jadi tontonan. Solois tidak boleh jadi tontontan. Gereja Tionghoa cara pikirnya masih cara pikir lama. Tampil paduan suara. Setelah tampil ditepuk tangani dan membuat senang. Lalu diributkan di kebaktian boleh tepok tangan atau tidak. Kita meributkan hal-hal yang tidak esensial. Karena kita tidak punya teologi ibadah yang mumpuni. Ini aspek yang harus diperhatikan sekali. Bagi si perempuan pasti sudah terinpirasi, maka dia adalah tindakan. Dia pulang walau orang kampung tidak percaya dan ikut dia. Jadi ujung ibadah adalah kesaksian. Misi dan penginjilan jangan dibawa masuk gereja, tetapi saat kita mau melakukan dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini tidak bisa diungkapkan lagi karena perlu dibutuhkan.

Secara praktis pelayanan ibadah, berarti kita tidak bisa dan tidak tepat memulai ibadah dengan menyanyi atau yang lainnya sebelum ada pernyataan diri Allah, melalui firman Tuhan maka tindakan-tindakan yang dilakukan tidak bisa dipandang sebagai ibadah. Sebab ibadah yang inspiratif, selalu menggunakan pola lengkap yang rasional dan relational. Tindakan harus relational, dimulai dari : Sapaan Allah, Seruan manusia, Pernyataan diri Allah, Kejujuran Manusia, Ajaran Allah, Dampak bagi manusia dan Berkat Allah. Dan urutan ini tidak boleh dibolak-balik . Banyak gereja memulai dengan menyanyi dahulu, karena itu puji Tuhan dan bersyukur. Gereja kontemporer ada yang pakai tarian, banner dan sebagainya, itu semuanya tindakan manusia. Tuhan tidak suruh menyanyi. Tuhan suruhnya berdoa, berdiam diri, tetapi kita mulai dengan menyanyi, tidak sambung. Jadi sapaan Allah itu krusial sekali, tidak boleh dibalik. Logika penyembahan yang rasional seperti ini ditekankan pada Roma 12:1-2  Karena itu, saudara-saudara, demi kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini, tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang sempurna.

Pola ibadah yang insiprasional dan relasional.
Tuhan menyatakan atau menyingkapkan siapa diriNya. Kita meresponi atau menanggapi pernyataan diriNya. Kalau focus meresponi (nyanyi panjang), pra ibadah nyanyi. Dipakai blended worship. Alm. Robert Weber menyesal menggunakan blended worship. Seluruh dunia salah tangkap. Porsinya ada beberapa lagu him dan kontemporer. Hampir semua gereja Tionghoa menggumulinya.
Ancient future worship. Yang ditekankan ibadah yang rasional, ibadah Kristen seluruh persembahan tubuh (yang sudah mati , dibangkitkan).

Roma 12:1-2
Ibadah Kristen adalah sebuah tindakan mempersembahkan tubuh yang hidup , kudus dan berkenan pada Allah.
-        Tubuh yang sudah disalibkan, mati bersama Tuhan Yesus
-        Tubuh yang sudah dihidupkan kembali karena kebangkitan Yesus (ayat 6)
-        Tubuh ini artinya keseluruhan diri yang dikuasai oleh Roh Allah (ayat 8)
-        Bukan tubuh lama, tetapi tubuh baru yang hidup
-        Tubuh yang kudus, artinya tubuh yang dikhususkan bukan lagi untuk dunia tetapi didedikasikan buat Allah.

Worship is a verb. Ibadah adalah karya aktif dan nyata
Yang namanya penyembahan jemaat tidak boleh menonton. Jemaat diajak terlibat di dalamnya karena yang bercakap-cakap bukan hanya WL atau pendetanya tetapi kita semua bercakap-cakap sebagai umat kepada Allah. Kalau ini dilakukan maka lokigen latreian (penyembahan yang rasional), barulah terjadi ibadah yang rasional dan  relasional. Mengapa tindakan penyembahan tubuh ini adalah penyembahan yang rasional? Karena kita mengerjakan penyembahan tubuh bukan dengan paksaan, memanipulasi , kewajiban dan seterusnya, tetapi karena kita sudah menerima apa yang Allah kerjakan dan kita semakin mengenal siapa diri Allah. Roma 1-12. Jadi kitab Roma seluruhnya adalah aspek penyembahan. Tetapi kita selama ini kita menganggap kitab Roma hanya membicarakan doktrin. Padahal kita selama ini theology leads to doxology. Kalau kita belajar doktrin tetapi tidak memimpin kita menyembah yang semakin mengenal Tuhan, maka seperti orang-orang di universitas belajar teologi tetapi ateis. Hal ini banyak terjadi di Inggris. Ada professor yang mengajar  Perjanjian Baru tetapi ia tidak percaya Yesus sebagai Juruselamat.

Roma 12:1-2 adalah aspek yang kita sudah dilakukan, ketika sudah menerima anugerah keselamatan. Ini pola ibadah yang rasional (logiken latreian) dan relasional. Jadi persembahan tubuh kita seperti menyanyi , pengakuan iman mungkin ada GKKK yang pakai tarian, pakai slide, semua tindakan manusia adalah reaksi akibat respon bahwa kehidupan setelah kemurahan Tuhan. Kalau kita tidak mengalami kemurahan Tuhan kita tidak bisa menyembah Tuhan karena kita tidak mengenal Dia adalah  Tuhan yang menderita untuk mencapai kemuliaan.

Hidup menyembah Allah selalu memberi diri, memberi tubuh itu adalah bukti bahwa kita sudah mengalami keselamatan melalui Yesus Kristus. Ini esensi penyembahan yang kedua. Yaitu harus berpusat pada karya keselamatan Yesus Kristus. Bagaimana cara mewujudkannya, akan dibahas pada sesi kedua.