Thursday, October 25, 2012

Menjadi Sesama Bagi Sesama




Selasa sore, tanggal 22 Mei 2007 yang lalu, hari keempat keberadaan saya di tempat ini, saya berjalan-jalan di daerah sekitar gereja. Melewati pasar Pecah kulit, menyusuri jalan berpasir di pinggir kali Ciliwung. Rasanya seperti berjalan di jalan antara Yerusalem dan Yerikho. Perjumpaan dengan sesama melahirkan ketegangan-ketegangan batin dalam membuat pilihan: siapakah saya dalam kisah itu? Imam, orang Lewi, atau orang Samaria yang murah hati? Terngiang-ngiang dalam benak saya kalimat pertanyaan sang ahli Taurat yang mencobai Yesus: siapakah sesamaku manusia? Jujur saja, waktu mendapat berita bahwa saya akan ditempatkan di Jakarta dalam praktek dua bulan ini, tadinya saya membayangkan potret kehidupan di Jakarta paling ya begitu-begitu saja. Ternyata saya baru sadar, justru di kota seperti Jakarta, nurani manusia lebih tertantang.
            Saudara-saudara, kisah orang Samaria yang murah hati lahir dari percakapan Yesus dengan seorang ahli Taurat. Lukas mencatat, “Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus, katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?” Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Tetapi untuk membenarkan dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
            Saudara-saudara, “Siapakah sesamaku manusia?”. Pertanyaan yang dilontarkan untuk membenarkan diri, catat Lukas. Rupanya sang ahli Taurat berusaha membatasi lingkup objek kasihnya.
            Terhadap pertanyaan itu, Yesus memberikan sebuah perumpamaan. “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke Yerikho.” Sekadar informasi, jalan antara Yerusalem dan Yerikho memang dikelilingi oleh tebing-tebing yang terjal. Biasanya para perampok bersembunyi di sana menunggu saat yang tepat untuk beraksi.
Malang, pria tadi jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi meninggalkannya setengah mati. 
Adegan berikutnya menyajikan kontras dan ironi yang tajam. Dua sosok pertama yang melewati jalan itu, yang satu imam dan yang satu seorang Lewi, melihat pria malang itu, lalu melewatinya dari seberang jalan.
Saudara-saudara, seorang imam, adalah seseorang yang dikhususkan untuk memimpin peribadatan umat. Mempersembahkan korban, mengucapkan berkat, dan sebagainya. Secara penampilan, seorang imam terlihat sekali perbedaannya dengan umat. Pakaiannya istimewa. Kalau para pendeta sekarang mengenakan jas, dan itu sudah cukup kelihatan beda, seorang imam lebih lagi. Keluaran pasal 28 mencatat: pakaiannya terbuat dari bahan emas dan permata. Jadi, ironis sekali kalau seorang imam, yang secara penampilan terlihat jelas perbedaannya dengan umat, yang menunjukkan fungsi dan peranannya yang khusus, yaitu sebagai pemimpin agama, tidak menunjukkan teladan hidup yang sesuai dengan inti ajaran agama yang dipimpinnya, yaitu yang dari ayat sebelumnya kita dapati adalah: Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti engkau mengasihi dirimu sendiri.
Kita, orang Kristen, bukan hanya pendeta atau penginjilnya saja, tidak jarang terlihat beda secara penampilan dengan orang yang belum percaya. Yang paling mudah dilihat ya pada hari Minggu, lihat saja kalau hari Minggu pakaiannya bagus-bagus, rapi-rapi, bawa Alkitab. Wuah.. orang pasti pikir, ini orang Kristen. Ironis sekali kalau penampilan yang berbeda itu tidak dibarengi oleh kehidupan yang berbeda. Secara benar tentunya. Apalagi saya, yang pake jas ini, haha.. Kalau di SAAT, kami para mahasiswa biasa ada jam-jam keluar kampus. Dan biasanya kalau kami berjalan-jalan, tukang becak dan sopir angkot kerap kali menawarkan, “SAAT a mas?/SAAT a mbak?” Seakan-akan sudah ada kesepakatan di antara mereka: o, kalau modelnya kayak gini, pasti anak SAAT. Akan sangat ironis sekali, kalau penampilan yang berbeda itu tidak dibarengi oleh kehidupan yang berbeda.
Kembali kepada cerita. Masih tentang imam tadi. Kalau kita perhatikan, imam ini berjalan di jalan antara Yerusalem dan Yerikho. Bisa jadi ia berangkat dari Yerusalem menuju Yerikho, bisa jadi juga ia berjalan ke arah sebaliknya. Kalau seorang imam berjalan ke atau dari Yerusalem, maka boleh dikata, ia baru saja atau akan memimpin ibadah. Memimpin upacara keagamaan. Lagi-lagi ironis, bahwa seseorang yang sedang akan memimpin upacara keagamaan, atau baru saja memimpin upacara keagamaan, justru melalaikan intisari ajaran agamanya dalam praktek kehidupan nyata.
Seorang Lewi, sama seperti seorang imam, juga adalah “orang agama”. Tugas seorang Lewi, sebagaimana dicatat dalam Bilangan pasal 3 ialah: mengerjakan tugas-tugas bagi imam dan bagi segenap umat Israel di depan Kemah Pertemuan dan dengan demikian melakukan pekerjaan jabatannya pada Kemah Suci. Jadi, orang Lewi ini pekerjaan sehari-harinya ialah membantu imam di Kemah Suci. Kalau setelah Bait Allah dibangun oleh Salomo, ya di Bait Suci.
Lagi-lagi ironis, orang yang sehari-harinya bekerja di Bait Suci, Kemah Suci, pusat kegiatan keagamaan, melalaikan intisari ajaran agamanya, dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Di gereja ini saya melihat beberapa orang yang sungguh-sungguh aktif di gereja. Hampir tiap hari ketemu. Bukannya tidak boleh atau saya ngga suka, justru itu bagus. Saya sendiri malah tiap hari tinggal di gerjea. Tapi mari kita terus lengkapi itu semua dengan tindakan kasih yang konkret dalam praktek kehidupan sehari-hari.
Tindakan sosok ketiga yang lewat menunjukkan kontras yang tajam dengan dua sosok sebelumnya. Seorang Samaria. Orang Samaria adalah orang-orang yang dianggap remeh oleh orang-orang Yahudi. Latar belakang sejarahnya: pada waktu kejatuhan kerajaan Israel Utara ke tangan bangsa Asyur, mereka menjadi objek  kebijakan kawin campur yang diterapkan bangsa Asyur kepada penduduk jajahannya. Orang-orang Samaria ialah produk dari kebijakan tersebut. Tidak heran kalau orang Yahudi menganggap mereka berdarah campuran, kafir. Orang-orang Samaria dianggap remeh. Kaum marjinal.
Perhatikan konteks dekat di ayat 21, di sana Yesus berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu, Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa, itulah yang berkenan kepada-Mu.” Kerajaan Allah yang dinyatakan kepada dan ternyata dalam diri orang kecil! Ini konsisten dengan konteks kitab Lukas secara keseluruhan, sebagaimana ternyata pada diri, kalau kita lihat pasal-pasal sebelumnya:  gembala-gembala, Simeon, Hana (di pasal 2), pasal 5: para nelayan Galilea, orang-orang yang lumpuh, kusta, pemungut cukai, pasal 7: perwira di Kapernaum, perempuan berdosa yang meminyaki kaki Yesus, pasal 8: para perempuan yang melayani Yesus, orang Gerasa, pasal 9: anak kecil, dsb.  
            Kontras dengan imam dan orang Lewi, agamawan yang melewati begitu saja orang yang setengah mati itu, orang Samaria yang dianggap remeh ini justru tergerak hatinya oleh belas kasihan, ketika melihat orang itu, sebagaimana dicatat dalam ayat 33. Dan belas kasihan itu berlanjut pada tindakan konkret: ia pergi kepadanya, membalut luka-lukanya, menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkan orang itu ke atas keledai tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya. Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu, katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan menggantinya, waktu aku kembali. Luar biasa.
Yesus menutup kisahnya, dengan mengajukan pertanyaan balik kepada sang ahli Taurat: Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? Perhatikan perbedaan pertanyaan ini dengan pertanyaan yang diajukan oleh sang ahli Taurat pada ayat 29. Di ayat 29 sang ahli Taurat bertanya: siapakah sesamaku manusia? Dalam pengertian: siapa yang seharusnya menjadi objek kasihku? Tetapi Yesus membaliknya dengan bertanya: siapakah yang menjadi sesama manusia dari orang yang membutuhkan pertolongan itu? Dengan kata lain, pertanyaannya seharusnya bukanlah: siapakah sesamaku manusia? Tetapi: sudahkah aku menjadi sesama, bagi sesamaku?
Sosok orang Samaria yang murah hati adalah sosok manusia yang ideal. Manusia yang menjadi sesama, bagi sesamanya. Menjadi sesama berarti berbelas kasihan melihat sesamanya manusia yang sedang berada dalam kesulitan. Menjadi sesama berarti siap mengorbankan diri, waktu, dan tujuan pribadi, demi menolong sesamanya yang sedang membutuhkan. Menjadi sesama berarti mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri sendiri.
Saya setuju dengan penafsiran yang menyatakan bahwa kata “sama dengan” (homoia) dalam bunyi hukum kasih sebagaimana tercatat dalam Injil Matius dapat juga diterjemahkan sebagai sehakekat atau sekodrat. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang SAMA DENGAN itu, sehakekat dengan itu, sekodrat dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.”
Ini konsisten dengan bagian-bagian lain dalam Kitab Suci, semisal: dalam 1Yohanes 4:20-21, rasul Yohanes menulis: Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,” dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari dia: Barangsiapa mengasihi Allah, ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Atau bagian Alkitab yang lain, Matius 25: Khotbah Tentang Akhir Zaman, perikop Penghakiman Terakhir, ayat 31-46. Di sana dikisahkan bahwa apabila Anak Manusia datang dalam kemuliaan-Nya, Ia mengumpulkan semua bangsa di hadapan-Nya, lalu memisahkan mereka seorang demi seorang. Ia akan berkata kepada mereka yang di sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia, katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami dapat melihat Engkau sakit atau dalam penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk Aku.     
Cara kita memperlakukan sesama, sebenarnya sedikit banyak mencerminkan cara kita memperlakukan Tuhan. Dan sebenarnya ini bukan sesuatu yang aneh, karena manusia dicipta menurut citra Allah. Mengasihi Allah sama dengan, sehakekat, sekodrat dengan mengasihi sesama manusia. Menjadi sesama, bagi sesama.
            Kalau orang Samaria adalah sosok manusia ideal, manusia yang menjadi sesama bagi sesamanya, dalam perumpamaan, adakah sosok manusia ideal, sang sesama manusia, dalam kehidupan nyata? Dalam sejarah? Ada! Siapa lagi kalau bukan Yesus sendiri, sang pengisah perumpamaan orang Samaria tersebut. Syair yang tercatat dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi pasal 2 ayat 5-8 berbunyi: Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan, melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu salib. Pengorbanan terbesar, memberi hidup demi kehidupan sesama, bahkan semua orang. Sebab tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang rela mengorbankan nyawanya demi sesama/saudaranya. Di atas kayu saliblah puncak tindakan Kristus menjadi sesama, bagi sesama.
            Saudara-saudara, siapakah kita selama ini? Imam-kah? Orang Lewi? Atau orang Samaria yang murah hati?
            Kehidupan nyata menyediakan pentas nan luas bagi kita untuk memilih peran. Jakarta adalah kota besar yang sarat dan padat penduduk. Hitung saja berapa kira-kira frekuensi perjumpaan kita dengan sesama manusia setiap harinya. Apalagi kebanyakan kita di sini tinggal di kawasan padat penduduk, Mangga Besar. Silakan menggumulkan apa yang bisa kita lakukan untuk menjadi sesama, bagi sesama, dalam konteks kehidupan kita masing-masing.
            Saya akan menceritakan kisah seorang tokoh yang menggumulkan bagaimana menjadi sesama, bagi sesama, dalam konteks kehidupannya. Bartholome de Las Casas, adalah seorang imam dari ordo Dominikan, berkebangsaan Spanyol, yang hidup pada abad ke-16. Beliau adalah editor dari jurnal pribadi sang penemu benua Amerika, Christopher Colombus. Pada saat itu, bangsa Spanyol yang baru saja mendirikan koloni di benua baru yang mereka temukan, menerapkan suatu kebijakan yang disebut Enconmienda. Enconmienda ialah praktek inisiasi penduduk lokal menjadi Kristen, serta hukuman perbudakan bagi mereka yang menolak.
            Melihat banyaknya penolakan penduduk pribumi serta penderitaan yang mereka alami sebagai konsekuensinya, lahirlah refleksi Las Casas, bahwa sebenarnya tugasnya di benua baru bukanlah mengajar agama Kristen, melainkan belajar menjadi Kristen. Yaitu belajar bagaimana memperlakukan para penduduk pribumi sebagaimana semestinya ia memperlakukan sesamanya. Belajar menjadi sesama bagi para penduduk pribumi. Sang imam kemudian memutuskan untuk kembali ke negaranya demi memperjuangkan penghapusan kebijakan nan keji tersebut. Melalui perjuangan Las Casas, beberapa tahun kemudian, Enconmienda dihapuskan.  
            Bagaimana dengan kita? Menjadi sesama bagi sesama bagi kita mungkin berarti meluangkan waktu untuk mendengarkan keluh kesah teman kita di saat kepadatan jadwal begitu menghimpit. Mungkin berarti sedikit mengorbankan diri dan hati untuk meringankan beban anggota keluarga/teman serumah kita. Merelakan diri menolong teman kita yang kesulitan dalam pelajaran tertentu yang kita bisa. Mungkin juga berarti menolong mereka yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, mereka yang terpinggirkan, yang kurang mendapat kesempatan, yang butuh kesempatan. Mungkin juga lewat tindakan-tindakan kecil memperlakukan sesama dalam keseharian, seperti memberikan senyum, kehangatan, ataupun penerimaan. Dalam skala yang lebih besar, menjadi sesama bagi sesama mungkin berarti mengupayakan pengangkatan harkat manusia, perjuangan kemanusiaan, pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM), upaya peningkatan kualitas hidup manusia.
            Saudara-saudara, seusai kebaktian ini, pentas kehidupan kembali dibuka. Peran manakah yang akan kita ambil? Imam? Orang Lewi? Orang Samaria yang murah hati? Kita sendirilah penentunya.
            Menjadi sesama, bagi sesama, itulah judul khotbah saya pada pagi hari ini. Menjadi sesama, bagi sesama. Kiranya ini menjadi kerinduan kita semua. Amin.

No comments:

Post a Comment