Monday, October 22, 2012

Keluarga yang Berbuah



Ev. Charlote


Gal 5:22-23, Maz 128

Setiap orang yang sudah menikah ingin keluarganya hidup bahagia dan diberkati. Banyak yang berpikir, namanya berkat dan sukses ditandai dengan kekayaan, kepintaran dan keberhasilan. Padahal banyak rumah tangga yang kaya raya tapi tiap hari ribut atau banyak orang tua datang ke saya bukan karena anaknya bodoh , malah pintar tapi kurang ajar.  Pada Maz 128 kita melihat syarat keluarga berbahagia yakni laki-laki sebagai kepala keluarga yang takut akan Tuhan, hidup menurut jalan yang ditunjukkanNya, tidak menyimpang ke kanan ke kiri dan ia makan hasil jerih payahnya sendiri. Disebut berbahagia karena hasilnya, yakni istrinya seperti anggur yang subur. Anak-anaknya seperti tunas pohon zaitun di sekeliling mejanya. Kebahagiaan itu letaknya pada orang, bukan barang yakni pada relasi manusia dengan manusia. Walau punya banyak barang mewah tapi ribut, itu menyedihkan karena menjadi perusak rumah tangga.  Betapa pentingnya peran ayah dalam keluarga.

Pada Ul 6:6-7 , kata “engkau” di sini bersifat maskulin (laki). Bangsa Yahudi menganut garis ayah (patriakat). Semua pendidikan anak dipegang oleh bapak (ayah yang berperan). Namun tahun 1.800an di zaman industri, bapak keluar dari pagi sampai sore, maka pendidikan dialihkan ke ibu. Tahun 1.900an ditandai dengan emansipasi wanita. Sekarang bukan hanya bapak, tetapi ibu juga bekerja di luar. Pengasuhan diberikan kepada orang ketiga di rumah. Entah nenek atau pembantu (babysitter). Maka kita melihat anak-anak yang kurang ajar dengan orang tua.  Karena bukan orang tuanya yang mendidik. Tuhan memerintahkan bapak-bapak untuk mengajarkan anak agar takut dan mengasihi TUhan. Hai bapak-bapak jangan sakiti hati anakmu, tetapi didiklah mereka dalam nasehat Tuhan. Bapak sebagai imam dan guru. Tetapi ayah sekarang berkata urusan anak adalah urusan ibu. Padahal anak dan ibu sudah ada ikatan karena anak pernah tinggal di perut ibunya selama 9 bulan. Sehingga mama marah seperti apa pun, anak percaya mama tetap sayang. Walau mama suka marah, cerewet dan pelit tapi anak kalau ditanya tetap pilih mama dibanding papa.  Sedangkan antara ayah dan anak tidak ada ikatan, kecuali hubungan biologis misal : hidungnya atau mukanya mirip bapaknya. Sehingga hubungan harus dibangun. Pernah satu waktu anak saya konflik dengan bapaknya. Saat rekonsiliasi dan ditanya, ia mengingat kesalahan papanya yang lama (2 tahun lalu) saat ia dimarahin dan merasa tidak adil karena tidak salah. Ia bisa ungkapkan secara detil peristiwa yang sudah lama terjadi. Papanya sendiri sudah lupa. Sebaliknya waktu ditanya salah mamanya, anak saya bilang, “Kesalahan mami banyak sih, tetapi saya lupa!” Ia tidak mencatat satupun kesalahan saya.  Memang ia tahu saya banyak ngomel tapi tidak dicatat sehingga tidak merasa sakit hati. Oleh karena itu, mengapa hubungan ayah-anak seringkali tidak dekat? Karena tidak ada ikatan di antaranya. Ayah dan anak laki-laki seringkali terjadi konflik, karena ayah menuntut anak laki-laki seperti dia. Ia melihat anak laki-laki cerminan dia sedang dengan anak perempuan lebih toleran. Kalau anak laki-laki dapat nilai 5, dimarahi sedangkan anak perempuan tidak apa-apa  karena nanti masuk dapur juga. Ini yang membuat rusak hubungan ayah dengan anak laki-laki. Banyak kepahitan anak dengan orang tuanya terutama dengan papanya. Saya mewawancarai rekan guru, ada pertanyaan penting : bagaimana hubunganmu dengan papamu. Masalah masa kini adalah ketidakhadiran ayah dalam mendidik anak.  Orang tua terlalu sibuk. Walau waktu di rumah sedikit, tidak dimanfaatkan untuk berinteraksi dengan anak. Menurut survey rata-rata hanya 7 menit setiap hari terjadi interaksi ayah dengan anak. 

Ayah dan ibu punya hubungan biologis dengan anak. Tanggung jawab ayah mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Tanggung jawab mama, menyediakan makanan  dan mengatur rumah tangga. Tetapi yang lebih penting dalam hubungan rumah tangga adalah kualitas kepercayaan.  Jangan sampai anak bilang janji-janji tinggal janji karena ia tahu apa yang dikatakan papanya, tidak dilakukan. Bayangkan kalau bapak bilang jangan merokok padahal ia sendiri merokok, maka anak tidak akan percaya dengan bapaknya.

Yang lebih penting mana : kualitas atau kuantitas? Ada yang bilang buat apa kuantitas banyak tapi kualitas tidak ada. Senin-Jumat kerja, sabtu-minggu buat anak. Anak kita tidak bisa diatur misalnya : hanya bisa berinteraksi sabtu-minggu. Kalau ia sedih di hari selasa, masa di bilang nanti minggu ya.  Waktu itu bukan sasaran tetapi sarana untuk menciptakan hubungan. Yang jadi sasaran adalah relasi, bukan waktu itu sendiri. Buat apa bila sama-sama kumpul tapi tidak ada relasi. Misal : di restoran ada satu keluarga. Papanya buka ipad, mamanya sms, anaknya main game, satu meja tetapi semua masing-masing. Sama-sama makan, duduk, tetapi tidak ada relasi. Sekarang ini di sebut zaman menunduk. Semua orang menunduk karena main game, dengar musik , sms. Di subway Korea dan Singapore, semua orang menunduk. Orang tuanya menunduk tidur. Yang muda, semua hidup dalam dunianya sendiri. Tidak ada hubungan. Tidak peduli orang mau bagaimana. Bukan masalah kuantitas dan kualitas waktu. Tetapi apakah waktu yang diluarngkan bersama bisa mempererat hubungan orang tua-anak. Ada anak yang minta papanya main bola, papanya bilang : nanti ya nak, papa atur waktu. Anak  bilang kalau besar, saya mau seperti papa. Makin besar, ia bilang , “Pa saya mau ngobrol dengan papa.” Papanya bilang, “Nanti papa akan atur waktu.” Ketika anak ini tumbuh dewasa, dan orang tua ini menjadi tua. Sekarang yang terbalik , yang sibuk anaknya. Papanya bilang, “Temanin papa. Datang dong ke rumah.” Dijawab, “nanti pa, saya atur waktu.” Saat diminta temanin papa ke dokter dijawab, “Nanti saya kirim supir dan mobil.” Waktu kecil, kita kasih anak suster, mau ke mana-mana dengan suster. Mau main dengan suster. Mau belajar dengan suster. Kita nanti tua, mau ke dokter, jalan-jalan, anak kita hanya bilang,”Ma nanti saya kirim suster.”  Atau “Kalau mau ke Eropa , nanti saya belikan tiket. Tetapi maaf saya tidak bisa temanin. Nanti saya suruh sekretaris saya temanin.”. Apakah yang diinginkan barang? Bukan , tetapi relasi. Inilah yang sering terjadi saat kita hidup di dunia. Salah fokus. Salah prioritas. Karena keinginan yang salah kita tempatkan. Kalau dunia ini, memiliki keingininan daging, mata dan keangkuhan hidup dan dunia sedang lenyap dengan keinginannya. Kalau dibilang yang kita dambakan kasih akan dunia, maka kasih akan Bapak tidak akan ada. Maka janganlah kita kasihi dunia ini yang sedang lenyap. Orang berlomba-lomba agar usahanya tambah berkembang. Orang tua memaksa anaknya, tambah lama prestasi tambah meningkat. Kenapa 7 tidak 8 nilainya? Setelah 8 , kenapa tidak 9? Kenapa tidak 10? Kalau 10, kita bilang iya sudah mestinya begitu karena sudah tidak bisa 11. Kita ingin mencapai yang terbaik. Jangan cukup puas dengan yang ada.

Hati-hati terhadap keinginan yang terus diperbesar.  Makanya begitu ingin mendidik anak disiplin, anda harus menundukkan keinginannya. Dari kecil, anak punya keinginan. Teman saya pernah melatih anaknya. “Ini permen lolipop, masukkan ke mulut hanya 10 kali. Setelah itu permennya dibuang.” Anaknya bilang, “Mama please 1 more.” Jadi orang tua harus tahan, tega, kalau dikasih 1, maka dibilang “1 more please, ini yang terakhir.” Keinginan itu tidak perlu dipenuhi. Karena manusia naturnya dosa, ia akan serakah.  Sekarang dunia sedang menawarkan kepada kita keinginan daging. Saya tinggal di BSD. Tiap hari ada restoran baru. Kalau saya mau keliling restoran, tidak akan selesai terputar.  Ada restoran yang buka sampai tutup lagi, saya tidak sempat masuk. Saat ini perut jadi dewa kita. Makan enak, sampai berjuta-juta rupiah, kita rela keluarkan. Tetapi untuk kasih tip, kita bergumul. Ini perlu atau tidak. Layak atau tidak. Keinginan mata, keangkuhan hidup itu yang kita kejar. Keinginan daging berlawanan dengan keinginan roh. Ketika seorang berumah tangga bukankah diawali dengan kasih? Butuh 1 menit untuk jatuh cinta, tetapi setelah itu kita harus bangun cinta. Bangun cinta itu seumur hidup. Jatuh cinta saja tidak cukup. Biasanya kita jatuh cinta pada pandangan pertama. Banyak yang waktu pacaran bilang, dulu saya cinta kenapa sekarang tidak ada lagi cinta?  Pada waktu pacaran masih pakai topeng, tapi waktu berkeluarga, semua topeng dilepas. Sekalipun ia menyebalkan, disitulah cinta saudara diuji. Kalau ia baik, kita cinta , cengli namanya. Kalau orang mengasihi orang yang mencintai , orang tidak percaya Tuhan juga begitu. Tetapi ujiannya : mengasihi orang yang membenci. Bukankah kita tidak layak dikasihi? Kita memberontak kepada Yesus. Tetapi kasih dinyatakan ketika tidak ada kasih. Buah roh : kasih, sukacita….. ditutup dengan penguasaan diri. Kasih tanpa penguasaan diri, akan menjadi liar. Jika penguasaan diri, tanpa kasih akan menjadi kejam. Kasih dan disiplin harus menjadi satu kesatuan. Pada Ibrani 12 dikatakan kalau orang tua menghajar anak, di mana ada anak yang tidak dihajar? Kalau bebas tidak dihajar, maka kamu anak-anak gampang. Kamu bukan anak kalau kamu tidak dihajar. Tetapi disiplin seperti ini motifnya adalah kasih. Disiplin anak, tujuannya untuk kepentingan si anak. Ketika kita kasih pun untuk kepentingan orang itu. Bukan untuk kepentingan kita, bukan untuk supaya ia baik kepada kita. Kalau kita kasih uang supaya tidak tidak “ngoceh” atau supaya warisan dikasih saya, itu motifnya bukan kasih. Fil 2:3, dengan tidak mencari kepentingan sendiri ataupun puji-pujian yang sia-sia, sebaliknya dengan rendah hati , seorang mengangap yang lain lebih utama dari diri sendiri. Berarti kita menghargai kehadiran anggota keluarga, kita menganggap relasi lebih penting dari apapun. Kita menyediakan diri, menyediakan waktu kepada anggota keluarga. Fokus kita, bagaimana menjadi terbaik bagi anggota keluarga.

Film :  seorang bapa berada di taman dengan anaknya. Ketika sedang duduk ada seekor burung yang hinggap. Papanya bertanya, apa itu? Anaknya bilang burung. Tetapi bapanya tanya berkali-kali. Apa itu? Anaknya menjawabnya lagi : burung. Kemudian ayah itu bertanya lagi sehingga anak itu membentak ayahnya, “Sudah berkali-kali aku bilang burung-burung! Kenapa tanya lagi?”. Lalu ayah ini masuk ke dalam rumah. Ia ambil buku diarinya dan kasih ke anaknya. Anak ini membaca tulisan ayahnya : sore ini anakku yang berumur 2 tahun datang ke taman. Anak ini berlari-lari mengitari aku dan ada burung di sana. Ia tanya, “Pa ini apa?” Saya jawab,”Burung”. Anak ini bertanya lagi,”Ini apa?” Saya jawab,”Burung”. Anakku bertanya 21 kali, saya jawab 21 kali. Setiap kali ia bertanya aku memeluknya dan mengatakan itu burung. Sang anak kemudian menutup buku diari  lalu ia peluk papanya. Kita seringkali tidak sabar dengan anak atau kita tidak sabar dengan orang tua. Itu yang akhirnya menyebabkan tidak ada lagi kasih terhadap orang tua. Kita minta Roh Kudus yang ada dalam hidup kita, memimpin hidup kita sehingga kita memiliki buah Roh Kudus dan orang lain melihat kita memuliakan Dia.


No comments:

Post a Comment