Pdt Karyanto
Amsal 18:7-8 Orang bebal dibinasakan oleh mulutnya,
bibirnya adalah jerat bagi nyawanya. Perkataan pemfitnah seperti sedap-sedapan,
yang masuk ke lubuk hati.
Amsal 18:21 Hidup
dan mati dikuasai lidah, siapa suka menggemakannya, akan memakan buahnya.
Memasuki tahun baru,
banyak target yang ingin dicapai. Sebagai anak Tuhan dan murid Kristus, target
jangan hanya masalah materi seperti bagaimana dengan perusahaan dan pekerjaan,
tetapi juga menyangkut kerohanian dan karakter kita. Hari ini kita belajar satu
karakter yakni bagaimana berkata dengan
sesama. Yakobus berkata barang siapa yang tidak salah dalam
perkataannya ia orang yang sempurna.
Kalau kita membaca
Alkitab, baik di PL maupun di PB, ternyata banyak sekali nasehat firman Tuhan
tentang bagaimana sebagai orang percaya berkata-kata. Kalau saya punya beberapa
anak, kepada siapa yang sering kita nasehati kamu jangan boros? Nasehat orangtua
tentu diberikan ke anak yang sering boros. Kalau anak itu tidak boros tentu
tidak kita nasehati berulang-ulang agar jangan boros. Pada anak yang tidak suka belajar dan hanya
bermain saja tentu dinasehati, ‘Ayo nak rajin belajar itu masa depanmu.’ Tetapi
kalau anak yang tahu bertanggungjawab, tahu kapan main dan kapan belajar tentu tidak
banyak lagi sebagai orangtua kita menasehatinya. Demikian juga yang terjadi
mengapa Alkitab banyak memberitahu bagaimana sebagai orang percaya seharusnya
berkata-kata. Oleh karena dalam faktanya kita seringkali gagal dalam
berkata-kata. Berapa banyak luka hati,
rasa kecewa dan marah yang timbul karena kata-kata.
Di satu komisi
wanita, ada seorang ibu yang baru percaya. Ia begitu bersukacita atas anugerah
keselamatan yang diterimanya dan rajin datang ke komisi wanita. Saat mendekati hari ulang tahunnya, ia
berkata, “Sebagai ucapan syukur, saya yang akan membawa makanan kecil saat hari
ulang tahun saya.” Maka kemudian ia datang membawa bermacam-macam kue untuk
dinikmati bersama. Setelah selesai kebaktian, ada seorang ibu yang suka berkata
sembarang berkomentar, “Siapa yang beli kue ini? Lain kali tanya saya dulu!” Si
ibu yang membawa kue mendengarnya. Walau ibu yang berkomentar menyesal tetapi
kata-kata yang sudah keluar tidak dapat ditarik lagi. Berapa sering kata-kata
kita melukai orang lain. Menurut penelitian, seorang wanita dewasa rata-rata mengucapkan
20.000 kata setiap hari. Pria dewasa 15.000 kata setiap hari. Setiap hari ada
20.000 kata yang bila ditulis bisa jadi 20 halaman. Kalau dikumpulkan dalam sebulan ada 600
halaman dan bisa menjadi satu buku yang cukup tebal. Artinya kita semua bisa
jadi pengarang buku. Persoalannya, apa isi bukunya? Barangkali ada yang menulis
buku yang kata-katanya: “Bodoh kamu!”, “Hei..itu lho suami wanita itu… (gosip)”.
Lidah yang hanya beberapa cm, seperti api yang bisa membakar hutan yang luas.
Lidah seperti kemudi yang mengarahkan kapal yang besar di lautan yang luas. Bahkan
penulis Amsal berkata orang bebal
dibinasakan oleh perkataannya. Hidup dan mati kita, dikuasai oleh lidah.
Itu betul. Di Gading Serpong ada sebuah cluster,
buruh bangunan membunuh pemilik rumah karena sakit hati dimarahi. Banyak orang,
karyawan setelah dipecat, melakukan kekejaman bahkan membunuh bekas majikannya.
Saat berbicara dimana saja, kita harus memikirkan kata-kata kita. Ada seorang
jemaat berkata, suatu ketika ia pergi ke sebuah supermarket. Waktu membayar di
kasir ada teriakan besar dari deretan kasir yang lain. Waktu ia lihat ternyata
yang berteriak adalah pendetanya. Sejak itu ia tidak bisa lagi menghormati
pendetanya. Banyak atasan di perusahaan yang besar tidak dihormati bawahan
karena kata-katanya. Pepatah Tionghoa: kata-kata
lisan lebih kuat dari sebuah tamparan. Kata-kata lebih tajam dari sebuah
pedang.
3 poin yang harus
diperhatikan sebagai anak Tuhan dalam berkata-kata :
1.
Saya akan berkata-kata dengan motivasi yang benar dan tulus. Ketika berbicara tentang motivasi, kita membicarakan apa yang menjadi
alasan, penggerak, penyebab saya melakukan sesuatu. Dalam konteks berkata-kata,
berkatalah dalam konteks yang benar dan tulus artinya harus lahir dari
ketulusan dan kejujuran. Kalau memuji seseorang, haruslah keluar dari hati yang
tulus. Jangan berkata, kamu hebat ya, tetapi di hati bilang… ‘alahhh segitu aja
saya juga bisa’. Kita ingin membangun dan bukan menghancurkannya. Pada Mat. 22
orang farisi berunding untuk menjatuhkan/menjebak Tuhan Yesus. Mereka datang
kepada Tuhan Yesus dan berkata, ”Guru kami tahu Engkau orang yang jujur. Karena
itu pasti menjawab dengan jujur pertanyaan kami.” Tetapi Tuhan Yesus tahu
maksud pertanyaan bukan untuk mendapat jawaban dari Tuhan Yesus tetapi ingin
menjebak. Lidah dengan hati jaraknya mungkin sekitar 20 cm, tetapi seringkali
manis di lidah pahit di hati. Baik di mulut tetapi jahat di hati. Ada lagu Indonesia
dinyanyikan Bob Tutupoli, Memang lidah
tak bertulang. Lain di bibir lain di
hati. Orang Kristen haruslah menjadi orang yang apa adanya. Bukan ada apanya.
Waktu kuliah di SAAT, saya diceritakan dulu ada misionari Barat di SAAT. Waktu
siang dia bertamu ke suatu keluarga. Lalu oleh tuan rumahnya ditanya, “Sudah
makan belum?” Dijawab, “Belum.” Lalu tuan rumah berkata, “Makan di sini ya?”
Misionari berkata, “Baiklah. Terima kasih.” Lalu tuan rumah masuk ke belakang
dan ngomel serta ngedumel pakai bahasa Mandarin. Misionari ini ternyata mengerti
bahasa Mandarin!
2.
Saya akan berhati-hati dengan kata-kata saya. Sekalipun motivasi benar dan baik, kita tidak boleh
menggunakan kata-kata kasar karena akan melukai hati. Ada perkumpulan pasangan
muda yang baru menikah. Lalu terjadi diskusi. Lalu seorang suami bertanya, “Kenapa
kita bisa bicara kasar kepada istri dan anak kita, tetapi kepada bos kita tidak
bisa berkata kasar?” “Kepada orang di gereja , kita tidak pernah berkata kasar.
Tetapi biasa sekali kita bicara kasar kepada istri dan anak?” Lalu terjadi
diskusi, ada yang menjawab : “Karena istri dan anak orang yang paling dekat
dengan kita. Setiap hari ada bersama kita.” Saya kira itu jawaban yang salah.
Secara tidak sadar, kita bisa berkata kasar, karena tidak ada resiko kalau
berkata kasar ke istri, anak dan pembantu. Tetapi tidak mungkin berkata kasar
ke bos karena bisa dipecat. Kata-kata kita menunjukkan kita menghormati orang
lain. Kalau kita menghargai orang lain kita akan berkata dengan pantas. Kalau
meremehkan orang , maka kata kita juga akan sembarangan. Heraclitus berkata karakater adalah nasib. Bagaimana nasib kita ditentukan oleh
karakter. Menurut Osward Chamber, ujian
terbesar dari karakter adalah bagaimana ia menggunakan lidah. Kita tidak
bohong, mencuri, rajin, murah hati, suka memberi tetapi apakah kita sudah
menjadi anak Tuhan yang dikenal dengan berkata-kata dengan baik? Sebagai anak
Tuhan kita harus punya prinsip: kata yang dikeluarkan bisa menghibur orang,
memberikan semangat kepada orang yang sedang putus asa. Suatu hari sastrawan Rusia,
Leo Tolstoy, sedang berjalan lalu melihat seorang pengemis yang sedang minta-minta.
Sastrawan ini merogoh sakunya, ternyata hari itu ia tidak punya uang di sakunya
lalu ia berjalan dan berhenti di depan si pengemis dan berkata, “Saudaraku,
maafkan saya. Karena hari ini saya tidak bawa uang.” Kemudian pengemis itu
bersinar wajahnya. Setiap hari mungkin orang melempar uang receh kepadanya tetapi
tidak ada yang memperlakukannya sebagai manusia. Pengemis itu berkata, “Tidak
apa-apa tuan. Hari ini saya bahagia sekali karena hari ini ada yang menyapa
saya dengan kata ‘saudaraku’.” Kata-kata kita haruslah membangkitkan semangat
orang yang putus asa, membangkitkan gairah orang letih lesu. Bukan yang
sebaliknya menghancurkan. Suatu ketika ada gereja mengadakan ceramah tentang
komunikasi. Di dalam seri ceramah itu, salah satunya diajarkan bagaimana
mengucapkan terima kasih kepada orang lain. Apakah gampang ucapkan terima kasih?
Kalau bos yang memberi, kita ucapkan terima kasih. Apakah anak yang makan
dengan nikmat lalu berkata terima kasih kepada ibunya? Adakah ibu yang
mengucapkan terima kasih kepada pembantu yang menolong? Ternyata mengucapkan
terima kasih tidak gampang. Jadi ada seorang bos, yang ikut seminar itu dan bertekad
ingin mempraktekannya. Di rumahnya ada pembantu RT yang bekerja dengan giat
sejak ia kecil. Sekarang usianya sudah lanjut. Setiap hari tugas rutinnya,
membuka pintu garasi saat majikannya pergi ke kantor atau pulang dari kantor.
Majikannya bergumul untuk melakukannya. Akhirnya waktu ia keluar dan si mbok
ada di samping pagar. Lalu ia membuka kaca dan berkata, “Bi, terima kasih ya.”
Ia tidak pernah menduga, apa yang dikatakan bibi. Bibi itu berkata, “Tuan
hati-hati ya di jalan. Semoga selamat sampai di rumah.” Bertahun-tahun sang bos
tidak berbasa-basi. Hari itu ia mencoba mengucapan terima kasih kepada
pembantunya. Pembantu itu menjawab dengan kalimat yang membuatnya bahagia.
Pernahkah kita masuk ke penjara dan melihat wajah yang keras dibalik jeruji.
Coba sapa dan senyum mereka. Mereka akan balas senyum dan sapa kita.
3.
Saya akan menghindari fitnah atau gosip. Ada sebuah cerita kuno dari Eropa Timur. Ada seorang
murid yang memfitnah rabi, gurunya. Kemanapun ia pergi di desanya, ia selalu
menjelekkan rabi ini. Lalu ia menjadi sadar , menyesal dan datang kepada rabi.
Ia mengakui apa yang diperbuat dan mohon maaf dari rabi ini. Rabi berkata, “Tolong
ambilkan sebuah bantal. Guntinglah sarung bantal lalu engkau keluar menyusuri
desa ini dan taburkan bulu angsa yang ada di sarung bantal.” Murid ini mendengar
sang rabi dan merasa senang karena berpikir mudah melakukannya. Setelah selesai
melakukannya ia kembali ke rabi, dan melaporkan bahwa ia telah lakukan dengan
baik. “Ada satu hal lagi yang harus engkau lakukan”, kata si Rabi. “Coba kau
lewati lagi desa itu lalu pungut apa yang sudah kau sebarkan.” “Rabi! Itu
pekerjaan yang tidak mungkin” katanya (Karena bulu angsa itu pasti sudah ditiup
angin entah kemana). Si rabi mengajarkan masalah memaafkan sudah saya maafkan,
tetapi fitnah tidak mungkin ditarik lagi. Pepatah Indonesia, fitnah lebih kejam dari pembunuhan. Sebagai
anak Tuhan kita harus mengerti, Tuhan melarang kita bersaksi dusta. Kalau ada
di antara kita suka gosip dan fitnah orang, mari kita berdoa. Kita mohon
pengampunan dan mengubah sifat karakter. Karena fitnah seperti lalat dengan
borok di tubuh kita. Lalat itu bisa langsung hinggap di borok kita. Sifat
fitnah, selalu berbicara tentang yang buruk / borok.
Biarlah di tahun ini
kita belajar sebagai anak Tuhan membangun sesama kita, menghibur dan memuliakan
nama Tuhan. Biarlah kita semua lebih hari lebih baik dalam perkataan kita.
No comments:
Post a Comment