Ir.
Herlianto
Tahun baru Imlek (Sin Chia) bagi orang
Tionghoa adalah bagian dari budaya leluhur, dan bagi masyarakat Tionghoa budaya
bukan sekedar bagian dari produk interaksi sosial tradisi turun temurun tetapi
dalam masyarakat premordial Tionghoa yang sangat kental mempercayai animisme
dan pantheisme (penyembahan alam), maka tahun baru bukan sekedar ritual tahunan
bulan (lunar) dan secara budaya saja tetapi budaya yang sekaligus menyatu
dengan kepercayaan (agama) akan roh-roh nenek moyang, mahluk halus dan
kehidupan sesudah mati (reinkarnasi) dan disebut budaya religi.
Upacara Tahun Baru berkisar pada
penyembahan di depan meja sembahyang pada dewa Dapur atau Toa Pe Kong dapur
(Ciao Kun Kong) yang dianggap sebagai penunggu rumah dan pemelihara dapur.
Seminggu sebelum Imlek, sudah dilakukan upacara penyembahan dewa dapur karena
dipercaya bahwa dewa dapur akan menghadap Thian (Penguasa Langit) untuk
melaporkan keadaan keluarga yang dijaganya, karena itu dalam suasana ini biasa
mulut patung dewa dapur diolesi madu dan dibakar hio wangi agar yang dilaporkan
dewa dapur hanya yang manis-manis saja dan berbau harum. Bukan hanya itu,
disediakan juga manisan pelakat gigi yaitu moci dan kue keranjang dengan maksud
agar dimakan dewa dapur dan membuatnya sulit membuka mulut untuk melaporkan
yang jelek, bahkan juga dibakar petasan agar dewa dapur cepat kembali dan pada
saat melaporkan kepada Thian laporannya tidak terdengar karena ramainya
petasan.
Khusus pada malam sebelum Imlek, pada
tengah malam dibakar hio (dupa) berbau harum sebagai bagian upacara penyembahan
dewa dan agar menyenangkan roh-roh nenek-moyang. Ini disebut 'Sembayang Tahun
Baru' yang biasa dilakukan dengan sujud (kui) di depan meja sembayang tempat
menyimpan abu nenek moyang atau bagi yang tidak memelihara dapat membuat meja
sembayang sementara di depan pintu. Sembayang ini juga disebut sebagai
sembayang 'Sam Seng' atau sembayang pengorbanan 'tiga hewan' yaitu biasa ditiru
ritus pengorbanan darah tiga hewan yaitu babi, ayam dan ikan bandeng. Dalam
sembayang 'Ngo Seng' ditambahkan bebek dan kepiting.
Pada hari Imlek biasa dibagikan amplop
merah berisi uang 'Ang Pao' yang melambangkan rejeki, jadi orang tua memberikan
rejeki kepada yang muda. Warna merah dalam kepercaan Tionghoa melambangkan
rejeki, dan pada hari Imlek selama tiga hari tidak diperbolehkan untuk menyapu
rumah dan mengeluarkan kata-kata kotor (sesudahnya boleh?). Pada hari Imlek
seluruh keluarga mengucapkan 'Gong Xi Fa Cai' yang artinya mengucapkan selamat
dan bahagia.
Pada hari keempat setelah Imlek,
dipasang petasan dalam jumlah banyak untuk menyambut turunnya dewa dapur dari
langit dan selain disamput dengan petasan, orang-orang Tionghoa mengundang
'Barongsai' dan 'Bilek Hud' untuk maksud ke rumah mereka. Barongsai dipercaya
sebagai dapat mengusir kuasa kegelapan yang ada dalam rumah mereka, karena itu
biasanya barongsai diajak menari-nari memasuki setiap ruang yang ada di dalam
rumah. Jauh sebelum barongsai dimainkan, barongsai sudah diberi sajian dan
disembayangi dengan lilin dan pembakaran hio. Barongsai melambangkan binatang
pujaan orang Tionghoa, simbiosa singa dan naga yang dianggap sebagai pembawa
pertolongan, pengharapan serta keselamatan pada manusia dan rumah tangganya,
dan digunakan sebagai perisai untuk mengusir roh-roh kurang baik (sha-chi).
Menurut Xie Xuanjing dalam buku 'Filosofi Budaya' dikatakan bahwa
"Mitologi naga adalah suatu kesempatan bagi manusia untuk menjadikan
mahluk non-manusia sebagai obyek penyembahan."
Pada malam tanggal 14 dan 15 sesudah
Imlek, dirayakan pesta 'Goan Siao yang di Indonesia lebih dikenal sebagai pesta
'Cap Go Meh' (hari ke lima belas).
Bagaimana umat Kristen melihat Imlek
dalam terang firman Tuhan? Dalam hal Imlek, khususnya orang Tionghoa yang telah
menjadi Kristen perlu membedakan antara 'merayakan' Imlek dan 'menghadiri'
peringatan Imlek. Merayakan Imlek artinya kita terlibat langsung dalam upacara
Imlek seperti misalnya sujud dan sembahyang dengan dupa di depan meja
sembahyang pada Toa Pe Kong dapur dan tengah malam sebelum Imlek membakar hio
(dupa) sebagai ekspresi penyembahan dewa dan menyenangkan roh-roh nenek-moyang
dalam 'Sembayang Tahun Baru' yang dilakukan dengan sujud (kui) di depan meja
sembayang tempat menyimpan abu nenek moyang, apalagi kalau mengikuti sembayang
'Sam Seng' (sembayang pengorbanan 'tiga hewan') yang adalah ritus pengorbanan
kafir.
Tidak ada larangan bahwa seorang
Tionghoa yang menjadi Kristen tidak boleh 'Menghadiri peringatan Imlek' yang
tentu berbeda dengan ikut merayakan upacaranya. Seseorang yang telah menjadi
Kristen bisa saja hadir dalam pertemuan keluarga di hari Imlek karena disitu
berkumpul anggota keluarga yang belum Kristen dan masih merayakan upacara
Imlek, dan menjadi kesempatan reuni keluarga. Tentu seorang Kristen tidak perlu
mengikuti upacaranya yang bisa mendukakan Roh Kudus di dalam kita. Soja kui
didepan meja sembahyang jelas bukan kebiasaan Kristen demikian juga soja kui
didepan orang tua perlu disudahi karena kita hanya menyembah Tuhan saja.
Sebenarnya yang menjadi masalah adalah bahwa bagi seorang Kristen Tionghoa ia
sebenarnya dapat mengasihi orang tuanya sepanjang tahun, karena itu bila
dilihat kasihnya itu oleh orang tua, bila ia tidak soja kui pada hari Imlek
tentu tidak menjadi masalah. Kasih yang tulus dan menerus secara Kristiani
lebih berarti daripada tata-cara budaya sembah setahun sekali.
Menghadirkan barongsai atau mengundang
barongsai di lingkungan kita harus dibedakan dengan hanya melihat barongsai di
TV misalnya. Kita harus menyadari bahwa bagi yang merayakan termasuk yang
memainkan, Barongsai bukan sekedar tarian akrobatik tetapi merupakan tarian
religi yang berbobot mistik dan okultis. Sumber-sumber ahli masalah budaya cina
sendiri mengatakan bahwa:
"Dalam pemujaan dan dalam
upacara-upacara magis yang terdapat dalam kebudayaan-kebudayaan religi, banyak
bentuk simbol dianggap mempunyai daya misterius yang mempengaruhi orang. Daya
ini adalah daya magis … Simbol-simbol religi juga bisa ampuh karena simbol-simbol
ini dalam dirinya mempunyai kemampuan untuk mengundang roh dan memerintah roh
tersebut … Beberapa simbol memang benar mempunyai daya magis … Singa dipercaya
sebagai lambang dan berkah dan juga untuk mengusir pergi pengaruh jahat dengan
mendatangi rumah-rumah dan kantor-kantor. Tarian ini disertai dengan pukulan
tambur dan gembreng serta mercon untuk mengusir roh jahat (Ong Hean Tat,
Simbolisme Hewan Cina, hlm.5-7, 234). .
Jelas bahwa dalam iman Kristen tidak
dipercaya adanya dewa-dewi dan penyembahan kepada roh nenek moyang bukan
kehendak Tuhan, apalagi kalau manusia mengharapkan figur 'naga' sebagai simbol
juruselamat, karena hanya ada satu juruselamat yaitu Tuhan sendiri yang
menjelma menjadi manusia 'Yesus Kristus.' Karena itu, pertunjukan naga (liong)
atau ekspresinya dalam bentuk 'barongsai' tidak lain adalah ekspresi
'penyembahan roh-roh' yang perlu dihadapi dengan kritis oleh umat Kristen,
apalagi kalau menghadirkan Barongsai dalam lingkungan Kristen sebab kita tahu
bahwa fungsi barongsai adalah 'mengusir' roh-roh kegelapan sedangkan
kepercayaan itu sendiri bagi orang Kristen sebenarnya adalah 'kegelapan' juga.
Kita tahu bahwa pertunjukan barongsai bukan sekedar seni tari atau bagian
budaya saja sebab dalam tradisi Tionghoa, budaya dan agama menjadi satu karena
merupakan budaya. Itulah sebabnya mempertunjukkan barongsai dalam lingkungan
Kristen (di rumah, gereja atau kampus sekolah dan Universitas Kristen)
merupakan penyangkalan dari hakekat iman Kristen yang diemban keluarga, jemaat,
dan kampus Kristen dan dapat mendukakan 'Roh Kudus Tuhan.'
Bagaimana sebaiknya kita menghadapi
tradisi budaya setelah kita percaya? Tradisi budaya ada yang baik tetapi ada
yang berlawanan dengan iman Kristen. Rasul Paulus kepada umat yang telah menerima
Kristus menasehati agar : "Hati-hatilah, supaya jangan ada yang menawan
kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu menurut ajaran turun-temurun dan
roh-roh dunia, tetapi tidak menurut Kristus." (Kol.2:8).
Demikian juga Yesus mengkritik umat
Yahudi dan berfirman : "Bangsa ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal
hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah kepadaKu, sedangkan ajaran
yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk
berpegang pada adat istiadat manusia." (Mar.7:6-8).
Jadi, ada tradisi yang baik yang tetap
dapat kita ikuti tetapi ada tradisi yang tidak perlu kita ikuti bila ternyata
itu tidak sesuai dengan kehendak Allah
Dalam hubungan dengan dirayakannya
kembali Imlek, kembali bangun 'semangat primordial tradisi-budaya' yang
beranggapan bahwa 'Tiongkok adalah Negara Tengah' dan 'Orang Tionghoa adalah
bangsa pilihan dewa' sehingga negara-negara lain dan orang-orangnya dianggap
sebagai pinggiran. Sebagai konsekwensinya tradisi-budaya Tionghoa dianggap
sempurna dan terbaik. Faktanya banyak sekali tradisi-budaya yang justru
menghancurkan ke'tionghoa'an itu sendiri sehingga pemerintahan radikal
'Komunis' merasa perlu menggelar 'revolusi kebudayaan'. Mereka yang pernah
berkunjung ke Tiongkok akan sadar bahwa kemelaratan dan keterbelakangan
mayoritas rakyat banyak terjadi karena ikatan tradisi-budaya yang membelenggu.
Dalam masyarakat Tiongkok sampai saat
ini, banyak sekali bayi perempuan dibunuh karena kepercayaan bahwa perempuan
adalah Yin yang inferior dari Yang dan karena itu pula kaki para perempuan dulu
dipingit agar tidak kabur. Banyak pembangunan terhalang karena keyakinan
tradisi Fengshui dan banyak perkawinan hancur karena prasangka 'shio'. Tradisi
'angpao' kepada sesama dan juga kepada para dewa dan roh nenek-moyang untuk
menyenangkan agar tidak mengganggu kehidupan sendiri dan falsafah 'jalan
tengah' telah menyuburkan praktek 'sogok menyogok' yang benar-benar merusak
tatanan sosial-budaya dan HAM di Tiongkok (ini jelas membuat para pengusaha
Tionghoa lebih luwes dan sukses). Memang harus diakui ada beberapa etik
tradisi-budaya Tionghoa yang kelihatannya mendorong persatuan di kalangan
pengusaha tertentu, tetapi harus disadari bahwa banyak etik tradisi-budaya
Tionghoa yang menumbuhkan dominasi raja terhadap rakyatnya, suami terhadap
isterinya, nenek-moyang yang telah mati diberi sesajen dan kuburannya dibangun
mahal tetapi tetangga miskin diacuhkan, bahkan untuk mempertahankan suatu
dinasti raja ratusan ribu rakyat dikorbankan untuk membangun 'The Great Wall'.
Banyak pengusaha Tionghoa ditipu mitranya di Tiongkok ketika mereka mencoba
untuk berdagang dengan mereka.
Memang ada pendapat yang mengatakan
bahwa kebangunan 'empat-macan Asia' didorong tradisi-budaya Tionghoa karena
negara-negara itu umumnya menganutnya. Argumentasi ini lemah karena sudah
ribuan tahun etik tradisi-budaya ini digelar tetapi umumnya masyarakatnya
melarat, 'uang' dan 'hokkie' sangat dipuja sehingga menimbulkan jurang
kaya-miskin bahkan orang tua atau suhu bisa dihianati dan dibunuh anak atau
murid demi 'uang'. Tradisi budaya Tionghoa harus diakui banyak juga mengandung
intrik-intrik, sogok menyogok dan tahyul (ini terlihat jelas dalam cerita
silat). Baru setelah membuka diri datangnya 'etik Barat' maka empat-macan Asia
itu bangun.
Orang Tionghoa yang telah menjadi
Kristen diharapkan dapat menjadi 'garam' bagi sesamanya orang Tionghoa yang
masih terikat praktek-praktek tradisi-budaya yang tidak benar apalagi tidak
menurut Kristus. Misalnya dalam menghadapi tradisi 'angpao' yang dibungkus
'kertas merah' yang melambangkan rejeki (berkat) dimana orang tua memberikannya
kepada anak cucunya. Bagi anak-cucu yang beriman Kristen perlu budaya ini
diterangi dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa 'Terlebih berkat memberi
daripada menerima' dengan kata lain anak dibiasakan untuk memberi kepada orang
tuanya bukan hanya pada hari raya tetapi setiap saat diperlukan atau ada yang
bisa diberikan sebagai ungkapan kasih seorang anak, sehingga orang-orang tua
tradisional akan melihat 'kebajikan kita dan dipermuliakan Bapa di sorga.'
Hidup kita harus menjadi 'berkat' dan bukan minta diberkati dengan angpao.
Menghadiri orang tua di hari Imlek
dapat menjadi momentum untuk kesaksian Iman Kristen, bahwa seseorang yang telah
percaya Yesus tidak ikut-ikutan menyembah nenek-moyang. Yang perlu diperhatikan
dan dikasihi adalah orang tua selagi masih hidup bukan setelah mati
disembahyangi. Demikian juga perilaku anak Kristen yang teguh dapat menjadi kesaksian
yang baik bagi orang tua bila mereka dapat melihat bahwa 'sekalipun kita tidak
mengikuti upacara Imlek' kita 'mengasihi orang tua sepanjang waktu bahkan rela
memelihara mereka.'
"Kamu telah menerima Kristus
Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di dalam Dia. Hendaklah
kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia, hendaklah kamu bertambah
teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan hendaklah hatimu melimpah
dengan syukur … Sebab dalam Dialah berdiam secara jasmaniah seluruh kepenuhan
Allah, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia." (Kol.2:6-10).
HERLIANTO:
TAHUN BARU IMLEK (2)
Jelas
bahwa dalam iman Kristen tidak dipercaya adanya dewa-dewi dan penyembahan
kepada roh nenek moyang bukan kehendak Tuhan, apalagi kalau manusia
mengharapkan figur 'naga' sebagai simbol juruselamat, karena hanya ada satu
juruselamat yaitu Tuhan sendiri yang menjelma menjadi manusia 'Yesus Kristus.'
Karena itu, pertunjukan naga (liong) atau ekspresinya dalam bentuk 'barongsai'
tidak lain adalah ekspresi 'penyembahan roh-roh' yang perlu dihadapi dengan
kritis oleh umat Kristen, apalagi kalau menghadirkan Barongsai dalam lingkungan
Kristen sebab kita tahu bahwa fungsi barongsai adalah 'mengusir' roh-roh
kegelapan sedangkan kepercayaan itu sendiri bagi orang Kristen sebenarnya
adalah 'kegelapan' juga.
Kita
tahu bahwa pertunjukan barongsai bukan sekedar seni tari atau bagian budaya
saja sebab dalam tradisi Tionghoa, budaya dan agama menjadi satu karena
merupakan budaya. Itulah sebabnya mempertunjukkan barongsai dalam lingkungan
Kristen (di rumah, gereja atau kampus sekolah dan Universitas Kristen)
merupakan penyangkalan dari hakekat iman Kristen yang diemban keluarga, jemaat,
dan kampus Kristen dan dapat mendukakan 'Roh Kudus Tuhan.'
Bagaimana
sebaiknya kita menghadapi tradisi budaya setelah kita percaya? Tradisi budaya
ada yang baik tetapi ada yang berlawanan dengan iman Kristen. Rasul Paulus
kepada umat yang telah menerima Kristus menasehati agar : "Hati-hatilah,
supaya jangan ada yang menawan kamu dengan filsafatnya yang kosong dan palsu
menurut ajaran turun-temurun dan roh-roh dunia, tetapi tidak menurut
Kristus." (Kol.2:8).
Demikian
juga Yesus mengkritik umat Yahudi dan berfirman : "Bangsa ini memuliakan
Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari padaKu. Percuma mereka beribadah
kepadaKu, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah manusia. Perintah
Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia."
(Mar.7:6-8).
Jadi,
ada tradisi yang baik yang tetap dapat kita ikuti tetapi ada tradisi yang tidak
perlu kita ikuti bila ternyata itu tidak sesuai dengan kehendak Allah
Dalam
hubungan dengan dirayakannya kembali Imlek, kembali bangun 'semangat primordial
tradisi-budaya' yang beranggapan bahwa 'Tiongkok adalah Negara Tengah' dan
'Orang Tionghoa adalah bangsa pilihan dewa' sehingga negara-negara lain dan
orang-orangnya dianggap sebagai pinggiran. Sebagai konsekwensinya
tradisi-budaya Tionghoa dianggap sempurna dan terbaik. Faktanya banyak sekali tradisi-budaya
yang justru menghancurkan ke'tionghoa'an itu sendiri sehingga pemerintahan
radikal 'Komunis' merasa perlu menggelar 'revolusi kebudayaan'. Mereka yang
pernah berkunjung ke Tiongkok akan sadar bahwa kemelaratan dan keterbelakangan
mayoritas rakyat banyak terjadi karena ikatan tradisi-budaya yang membelenggu.
Dalam
masyarakat Tiongkok sampai saat ini, banyak sekali bayi perempuan dibunuh
karena kepercayaan bahwa perempuan adalah Yin yang inferior dari Yang dan
karena itu pula kaki para perempuan dulu dipingit agar tidak kabur. Banyak
pembangunan terhalang karena keyakinan tradisi Fengshui dan banyak perkawinan
hancur karena prasangka 'shio'. Tradisi 'angpao' kepada sesama dan juga kepada
para dewa dan roh nenek-moyang untuk menyenangkan agar tidak mengganggu
kehidupan sendiri dan falsafah 'jalan tengah' telah menyuburkan praktek 'sogok
menyogok' yang benar-benar merusak tatanan sosial-budaya dan HAM di Tiongkok
(ini jelas membuat para pengusaha Tionghoa lebih luwes dan sukses).
Memang
harus diakui ada beberapa etik tradisi-budaya Tionghoa yang kelihatannya
mendorong persatuan di kalangan pengusaha tertentu, tetapi harus disadari bahwa
banyak etik tradisi-budaya Tionghoa yang menumbuhkan dominasi raja terhadap
rakyatnya, suami terhadap isterinya, nenek-moyang yang telah mati diberi
sesajen dan kuburannya dibangun mahal tetapi tetangga miskin diacuhkan, bahkan
untuk mempertahankan suatu dinasti raja ratusan ribu rakyat dikorbankan untuk
membangun 'The Great Wall'. Banyak pengusaha Tionghoa ditipu mitranya di
Tiongkok ketika mereka mencoba untuk berdagang dengan mereka.
Memang
ada pendapat yang mengatakan bahwa kebangunan 'empat-macan Asia' didorong
tradisi-budaya Tionghoa karena negara-negara itu umumnya menganutnya.
Argumentasi ini lemah karena sudah ribuan tahun etik tradisi-budaya ini digelar
tetapi umumnya masyarakatnya melarat, 'uang' dan 'hokkie' sangat dipuja
sehingga menimbulkan jurang kaya-miskin bahkan orang tua atau suhu bisa
dihianati dan dibunuh anak atau murid demi 'uang'. Tradisi budaya Tionghoa
harus diakui banyak juga mengandung intrik-intrik, sogok menyogok dan tahyul
(ini terlihat jelas dalam cerita silat). Baru setelah membuka diri datangnya
'etik Barat' maka empat-macan Asia itu bangun.
Orang
Tionghoa yang telah menjadi Kristen diharapkan dapat menjadi 'garam' bagi
sesamanya orang Tionghoa yang masih terikat praktek-praktek tradisi-budaya yang
tidak benar apalagi tidak menurut Kristus. Misalnya dalam menghadapi tradisi
'angpao' yang dibungkus 'kertas merah' yang melambangkan rejeki (berkat) dimana
orang tua memberikannya kepada anak cucunya. Bagi anak-cucu yang beriman
Kristen perlu budaya ini diterangi dengan firman Tuhan yang mengatakan bahwa
'Terlebih berkat memberi daripada menerima' dengan kata lain anak dibiasakan
untuk memberi kepada orang tuanya bukan hanya pada hari raya tetapi setiap saat
diperlukan atau ada yang bisa diberikan sebagai ungkapan kasih seorang anak,
sehingga orang-orang tua tradisional akan melihat 'kebajikan kita dan
dipermuliakan Bapa di sorga.' Hidup kita harus menjadi 'berkat' dan bukan minta
diberkati dengan angpao.
Menghadiri
orang tua di hari Imlek dapat menjadi momentum untuk kesaksian Iman Kristen,
bahwa seseorang yang telah percaya Yesus tidak ikut-ikutan menyembah
nenek-moyang. Yang perlu diperhatikan dan dikasihi adalah orang tua selagi
masih hidup bukan setelah mati disembahyangi. Demikian juga perilaku anak
Kristen yang teguh dapat menjadi kesaksian yang baik bagi orang tua bila mereka
dapat melihat bahwa 'sekalipun kita tidak mengikuti upacara Imlek' kita
'mengasihi orang tua sepanjang waktu bahkan rela memelihara mereka.'
"Kamu
telah menerima Kristus Yesus, Tuhan kita. Karena itu hendaklah hidupmu tetap di
dalam Dia. Hendaklah kamu berakar di dalam Dia dan dibangun di atas Dia,
hendaklah kamu bertambah teguh dalam iman yang telah diajarkan kepadamu, dan
hendaklah hatimu melimpah dengan syukur … Sebab dalam Dialah berdiam secara
jasmaniah seluruh kepenuhan Allah, dan kamu telah dipenuhi di dalam Dia."
(Kol.2:6-10). (Salam kasih dari Herlianto)
BARONGSAY
Gong
Xi Fa Cai diucapkan kepada semua orang yang merayakannya. Perayaan tahun baru
Cina merupakan perayaan pembuka tahun baru menurut penanggalan lunar dan
tradisi agraris, dan dilakukan untuk mengucap syukur atas datangnya musim semi
dimana alam mulai kembali menghasilkan buah setelah tidur dimusim dingin.
Sebagai layaknya tradisi kuno, tradisi memang tidak lepas dari pengaruh
kepercayaan animistis, mistis dan magis (termasuk penyembahan nenek moyang yang
menjadi jantung kepercayaan Cina), karena itu umumnya tradisi disebut sebagai
‘tradisi religi.’
Di
kalangan orang Cina kristen ada berbagai tanggapan mengenai perayaan ini, di
satu kutub ada yang sama sekali tidak merayakannya dan dikutub lain ada yang
merayakannya sepenuhnya tidak beda dengan yang dilakukan oleh mereka yang
non-kristen. Memang kedua kutub itu tidak tepat sebab dalam perayaan Imlek, ada
hal-hal tradisional yang tidak berbau mistik & magis seperti perayaan
datangnya tahun baru dan pengucapan syukur atas datangnya musim tanam, dimana
keluarga berkumpul dan saling mengungkapkan rasa rindu mereka. Namun, bagaimana
dengan aspek mistis & magis yang banyak ada di dalamnya seperti praktek
Barongsay sekitar perayaan Imlek?
Barongsay
adalah figur singa yang bukan saja dijadikan lambang namun juga dianggap
memiliki kekuatan mistis dan magis dimana manusia memperoleh akses dalam
hubungan dengan dunia gaib. Ada buku menarik yang cukup berbobot membahas
masalah ini dengan referensi yang cukup luas karangan Ong Hean-Tatt berjudul
‘Simbolisme Hewan Cina’ (Magapoin, Jakarta, 1996).
Ong
menjelaskan bahwa banyak bentuk simbol memiliki daya magis:
“Dalam
pemujaan dan dalam upacara-upacara magis yang terdapat dalam
kebudayaan-kebudayaan religi, banyak bentuk simbol dianggap mempunyai daya
misterius yang mempengaruhi orang. Daya ini adalah daya magis ....
Simbol-simbol religi juga bisa ampuh karena simbol-simbol ini dalam dirinya
mempunyai kemampuan untuk mengundang roh dan memerintah roh tersebut.” (Ong,
5,6).
Simbol
hewan itu bukan hanya memiliki kekuatan tetapi menjadi perantara bagi dunia
roh:
“Bagi
orang-orang Cina kuna sejak zaman Dinasti Hsia desain-desain hewan itu tidaklah
tanpa makna karena bagi mereka desain-desain itu mempunyai arti penting magis,
.... yang berasal dari peran utama mereka sebagai pembawa berita dunia roh.”
(Ong, 10).
Simbolisasi
itu berasal dari kepercayaan Buddhisme dan Taoisme:
“hewan
diperkenalkan kepada kebudayaan Cina sehubungan dengan datangnya ajaran Sang
Buddha ke Cina karena dalam ajaran ini Singa digambarkan sebagai pembela
keyakinan dan Hukum Buddha. Singa Korea atau Anjing Fu bisa terlihat mengawal
bagian depan kuil-kuil Buddha. ... patung-patung Singa banyak terlihat
digunakan untuk menjaga suatu bangunan, baik diletakkan di atap maupun di
pintu. ... Seorang rahib Tao akan mengundang kekuatan-kekuatan Langit atau roh
lewat Hewan-hewan Perlambang .... Upacara-upacara magis Tao yang paling
penting, yang mengikuti urut-urutan Lo-Shu, terdiri dari kemampuan untuk
mengundang datang kekuatan-kekuatan yang dipunyai jenderal-jenderal Roh ini.”
(Ong, 39,39,23,28)
Versi
yang paling populer mengenai Singa sebagai lambang adalah Singa yang berdansa
sambil berakrobatik (barongsay):
“Dalam
hal ini Singa tersebut bisa mendatangi rumah-rumah atau kantor-kantor sebagai
lambang rezeki dan berkah dan juga untuk mengusir pergi pengaruh jahat. Tarian
ini disertai pukulan tambur dan gembreng serta mercon untuk mengusir roh
jahat.” (Ong, 234).
Tarian
singa dimainkan oleh kelompok-kelompok pesilat Cina yang menggunakan kekuatan batin
chi untuk menggerakkan simbol roh itu, demikian juga Singa itu bagian
penyembahan nenek moyang dan merupakan personifikasi dewa-dewa Cina pula:
“Jika
terdapat tiga singa maka mereka mewakili Kwan Kung yang bermuka merah dan
berjanggut hitam, Liu Pai yang berwarna kuning dan Chang Fei yang bermuka dan
berjenggot hitam yang hidup dalam zaman Tiga Kerajaan Han.” (Ong, 234).
Dalam
praktek permainan, Barongsay biasa disemayamkan di Klenteng/Vihara dan
disembahyangi dengan dupa, dan sebelum bermain para pemain berdoa dan menyembah
patung Buddha terlebih dahulu.
Barongsay
memang tidak khas bagian dari perayaan Imlek, sebab biasa dimainkan sepanjang
tahun, untuk memberkati & mengusir roh-roh jahat dalam pembukaan rumah dan
gedung kantor baru, atau untuk menyambut tamu agung, dan lainnya. Namun, karena
Imlek merupakan hari raya terbesar tentunya permainan Barongsay sebisanya
dilakukan bagi mereka yang memiliki uang karena biasanya permainan barongsay
berhenti kalau sudah diberi angpao. Dalam buku Ong ada juga keterangan gambar
Barongsay dengan Bilekhud-nya seperti berikut:
“Tari
Singa (Barongsay). Tari Singa diadakan untuk menyambut datangnya kekayaan tahun
yang baru di rumah.” (Ong, h.233).
Sebenarnya
ada juga kaitan Barongsay dengan Imlek, mengingat bahwa perayaan Imlek
berlangsung 22 hari dimulai seminggu sebelum Imlek dengan naiknya Toapekong
Dapur menghadap kaisar langit sampai Cap Go Meh 15 hari setelah hari Imlek,
karena pada tiga hari sebelum Imlek, dewa dapur (Ciau Kun Kong) setelah
melaporkan keadaan keluarga ke Kaisar Langit, ia kembali dan untuk itu biasa
dibunyikan mercon dan tambur keras-keras bersama Barongsay untuk mengantar
kembalinya itu agar tidak diganggu roh jahat. Markus T. Suyanto dalam bukunya
‘Tahun Baru Imlek dan Iman Kristen’ menulis:
“Pada
saat Dewa Dapur turun dari langit, selain disambut dengan petasan, maka
orang-orang Tionghoa mulai mengundang Barongsai dan Bilek Hud untuk masuk ke
rumah mereka. Barongsai dan rombongannya ini bukan sekedar pertunjukan biasa.
Ada kepercayaan bahwa Barongsai dan Bilek Hud ini dapat mengusir kuasa
kegelapan yang ada dalam rumah mereka.” (h.27).
Melihat
hasil kajian kedua budayawan Cina di atas, kita patut merenung: “Sampai
dimanakah umat Kristen dapat merayakan Imlek dan mengundang Barongsay mendatanginya?
Memang menghadapi tradisi tidaklah mudah karena tradisi memiliki ikatan
turun-temurun yang mustahil di hilangkan, namun di balik itu tidak semua aspek
tradisi baik bagi iman Kristiani, bahkan tradisi kepercayaan animistik, mistik
dan magis (termasuk penyembahan nenek-moyang) yang terkandung dalam lambang
Singa dan Barongsay itu merupakan penyembahan berhala dan roh-roh lain yang
jelas berantitesa dengan keyakinan Kristen akan kekudusan Allah dan Roh-Nya.
Pernah
ada gereja Cina mengundang Barongsay masuk ke ruang kebaktian ketika diadakan
perayaan Imlek di gereja itu. Ini perlu benar-benar direnungkan oleh gereja,
soalnya, Barongsay mewakili roh-roh nenek moyang yang datang untuk mengusir roh
jahat. Dalam konsep keyakinan Kristiani, gereja adalah tempat berkumpulnya
orang-orang kudus dimana hadir Roh Allah dalam diri masing-masing jemaat dan di
antara jemaat yaitu dalam gedung gereja itu.
Bila
gereja mengundang Barongsay dengan berdentangnya bunyi tambur pengusir roh dan
pengaruh jahat itu, dalam hal kunjungan barongsay ke umat Kristen yaitu bait
Roh Kudus (1 Kor.3:16;6:19-20), ‘Roh siapa mengusir roh siapa?’, dan ‘Roh siapa
diusir oleh roh siapa?’ Bukankah hal ini mendukakan Roh Kudus, sebab bukannya
Roh Kudus didatangkan untuk mengusir roh nenek moyang dalam tradisi, malah roh
nenek moyang tradisilah yang didatangkan untuk mengusir ‘Roh yang mendiami
gereja dan umat-Nya.’
Tidaklah
mudah bagi umat Kristen menghindarkan diri dari pengaruh sinkretisme tradisi,
gereja Roma Katolik sudah membuktikan tidak mudahnya melepas tradisi
penyembahan patung dari gereja, demikian juga kita melihat betapa sukarnya bagi
orang Cina, Batak, Ambon dan suku-suku lain yang berlatar belakang tradisi
animistik, mistik dan magis, misalnya untuk membebaskan iman kristennya dari
ikatan tradisi nenek-moyang yang sangat melekat itu.
Di
balik itu kita dapat melihat bahwa masa kini banyak tumbuh kesadaran di
kalangan Kristen akan kuasa Roh Kudus, kita melihat bahwa banyak anggota gereja
Roma Katolik dan gereja Cina, Batak, Ambon dan suku-suku lain, yang sudah bisa
membebaskan diri dari pengaruh tradisi yang sarat penyembahan nenek moyang itu,
dan mempraktekkan kekudusan Roh Allah dalam ibadat dan kehidupan tradisional
mereka.
Ada
baiknya kita merenungkan kembali firman Tuhan yang tertulis:
“Bangsa
ini memuliakan Aku dengan bibirnya, padahal hatinya jauh dari pada-Ku. Percuma
mereka beribadah kepada-Ku, sedangkan ajaran yang mereka ajarkan ialah perintah
manusia. Perintah Allah kamu abaikan untuk berpegang pada adat istiadat manusia.”
(Mrk.7:6-8).
Amin.
Salam
kasih dari Redaksi YABINA ministry www.yabina.org
No comments:
Post a Comment