Selasa sore,
tanggal 22 Mei 2007 yang lalu, hari keempat keberadaan saya di tempat ini, saya
berjalan-jalan di daerah sekitar gereja. Melewati pasar Pecah kulit, menyusuri
jalan berpasir di pinggir kali Ciliwung. Rasanya seperti berjalan di jalan
antara Yerusalem dan Yerikho. Perjumpaan dengan sesama melahirkan
ketegangan-ketegangan batin dalam membuat pilihan: siapakah saya dalam kisah
itu? Imam, orang Lewi, atau orang Samaria yang murah hati? Terngiang-ngiang
dalam benak saya kalimat pertanyaan sang ahli Taurat yang mencobai Yesus:
siapakah sesamaku manusia? Jujur saja, waktu mendapat berita bahwa saya akan
ditempatkan di Jakarta dalam praktek dua bulan ini, tadinya saya membayangkan
potret kehidupan di Jakarta paling ya begitu-begitu saja. Ternyata saya baru
sadar, justru di kota seperti Jakarta, nurani manusia lebih tertantang.
Saudara-saudara, kisah orang Samaria
yang murah hati lahir dari percakapan Yesus dengan seorang ahli Taurat. Lukas
mencatat, “Pada suatu kali berdirilah seorang ahli Taurat untuk mencobai Yesus,
katanya: “Guru, apa yang harus kuperbuat untuk memperoleh hidup yang kekal?”
Jawab Yesus kepadanya: “Apa yang tertulis dalam hukum Taurat? Apa yang kaubaca
di sana?” Jawab orang itu: “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap jiwamu dan
dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah
sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” Kata Yesus kepadanya: “Jawabmu itu
benar; perbuatlah demikian, maka engkau akan hidup.” Tetapi untuk membenarkan
dirinya orang itu berkata kepada Yesus: “Dan siapakah sesamaku manusia?”
Saudara-saudara, “Siapakah sesamaku
manusia?”. Pertanyaan yang dilontarkan untuk membenarkan diri, catat Lukas.
Rupanya sang ahli Taurat berusaha membatasi lingkup objek kasihnya.
Terhadap pertanyaan itu, Yesus
memberikan sebuah perumpamaan. “Adalah seorang yang turun dari Yerusalem ke
Yerikho.” Sekadar informasi, jalan antara Yerusalem dan Yerikho memang dikelilingi
oleh tebing-tebing yang terjal. Biasanya para perampok bersembunyi di sana
menunggu saat yang tepat untuk beraksi.
Malang,
pria tadi jatuh ke tangan penyamun-penyamun yang bukan saja merampoknya
habis-habisan, tetapi yang juga memukulnya dan yang sesudah itu pergi
meninggalkannya setengah mati.
Adegan
berikutnya menyajikan kontras dan ironi yang tajam. Dua sosok pertama yang
melewati jalan itu, yang satu imam dan yang satu seorang Lewi, melihat pria
malang itu, lalu melewatinya dari seberang jalan.
Saudara-saudara,
seorang imam, adalah seseorang yang dikhususkan untuk memimpin peribadatan
umat. Mempersembahkan korban, mengucapkan berkat, dan sebagainya. Secara
penampilan, seorang imam terlihat sekali perbedaannya dengan umat. Pakaiannya
istimewa. Kalau para pendeta sekarang mengenakan jas, dan itu sudah cukup
kelihatan beda, seorang imam lebih lagi. Keluaran pasal 28 mencatat: pakaiannya
terbuat dari bahan emas dan permata. Jadi, ironis sekali kalau seorang imam,
yang secara penampilan terlihat jelas perbedaannya dengan umat, yang menunjukkan
fungsi dan peranannya yang khusus, yaitu sebagai pemimpin agama, tidak
menunjukkan teladan hidup yang sesuai dengan inti ajaran agama yang dipimpinnya,
yaitu yang dari ayat sebelumnya kita dapati adalah: Kasihilah Tuhan, Allahmu,
dengan segenap hatimu, dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu
dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti engkau
mengasihi dirimu sendiri.
Kita,
orang Kristen, bukan hanya pendeta atau penginjilnya saja, tidak jarang
terlihat beda secara penampilan dengan orang yang belum percaya. Yang paling
mudah dilihat ya pada hari Minggu, lihat saja kalau hari Minggu pakaiannya
bagus-bagus, rapi-rapi, bawa Alkitab. Wuah.. orang pasti pikir, ini orang
Kristen. Ironis sekali kalau penampilan yang berbeda itu tidak dibarengi oleh kehidupan
yang berbeda. Secara benar tentunya. Apalagi saya, yang pake jas ini, haha..
Kalau di SAAT, kami para mahasiswa biasa ada jam-jam keluar kampus. Dan
biasanya kalau kami berjalan-jalan, tukang becak dan sopir angkot kerap kali
menawarkan, “SAAT a mas?/SAAT a mbak?” Seakan-akan sudah ada kesepakatan di
antara mereka: o, kalau modelnya kayak gini, pasti anak SAAT. Akan sangat ironis
sekali, kalau penampilan yang berbeda itu tidak dibarengi oleh kehidupan yang
berbeda.
Kembali
kepada cerita. Masih tentang imam tadi. Kalau kita perhatikan, imam ini
berjalan di jalan antara Yerusalem dan Yerikho. Bisa jadi ia berangkat dari
Yerusalem menuju Yerikho, bisa jadi juga ia berjalan ke arah sebaliknya. Kalau
seorang imam berjalan ke atau dari Yerusalem, maka boleh dikata, ia baru saja
atau akan memimpin ibadah. Memimpin upacara keagamaan. Lagi-lagi ironis, bahwa
seseorang yang sedang akan memimpin upacara keagamaan, atau baru saja memimpin
upacara keagamaan, justru melalaikan intisari ajaran agamanya dalam praktek
kehidupan nyata.
Seorang
Lewi, sama seperti seorang imam, juga adalah “orang agama”. Tugas seorang Lewi,
sebagaimana dicatat dalam Bilangan pasal 3 ialah: mengerjakan tugas-tugas bagi
imam dan bagi segenap umat Israel di depan Kemah Pertemuan dan dengan demikian
melakukan pekerjaan jabatannya pada Kemah Suci. Jadi, orang Lewi ini pekerjaan
sehari-harinya ialah membantu imam di Kemah Suci. Kalau setelah Bait Allah
dibangun oleh Salomo, ya di Bait Suci.
Lagi-lagi
ironis, orang yang sehari-harinya bekerja di Bait Suci, Kemah Suci, pusat
kegiatan keagamaan, melalaikan intisari ajaran agamanya, dalam praktek
kehidupan sehari-hari.
Di
gereja ini saya melihat beberapa orang yang sungguh-sungguh aktif di gereja.
Hampir tiap hari ketemu. Bukannya tidak boleh atau saya ngga suka, justru itu
bagus. Saya sendiri malah tiap hari tinggal di gerjea. Tapi mari kita terus
lengkapi itu semua dengan tindakan kasih yang konkret dalam praktek kehidupan
sehari-hari.
Tindakan
sosok ketiga yang lewat menunjukkan kontras yang tajam dengan dua sosok
sebelumnya. Seorang Samaria. Orang Samaria adalah orang-orang yang dianggap
remeh oleh orang-orang Yahudi. Latar belakang sejarahnya: pada waktu kejatuhan
kerajaan Israel Utara ke tangan bangsa Asyur, mereka menjadi objek kebijakan kawin campur yang diterapkan bangsa
Asyur kepada penduduk jajahannya. Orang-orang Samaria ialah produk dari
kebijakan tersebut. Tidak heran kalau orang Yahudi menganggap mereka berdarah
campuran, kafir. Orang-orang Samaria dianggap remeh. Kaum marjinal.
Perhatikan
konteks dekat di ayat 21, di sana Yesus berkata, “Aku bersyukur kepada-Mu,
Bapa, Tuhan langit dan bumi, karena semuanya itu Engkau sembunyikan bagi orang
bijak dan orang pandai, tetapi Engkau nyatakan kepada orang kecil. Ya Bapa,
itulah yang berkenan kepada-Mu.” Kerajaan Allah yang dinyatakan kepada dan ternyata
dalam diri orang kecil! Ini konsisten dengan konteks kitab Lukas secara
keseluruhan, sebagaimana ternyata pada diri, kalau kita lihat pasal-pasal
sebelumnya: gembala-gembala, Simeon,
Hana (di pasal 2), pasal 5: para nelayan Galilea, orang-orang yang lumpuh,
kusta, pemungut cukai, pasal 7: perwira di Kapernaum, perempuan berdosa yang
meminyaki kaki Yesus, pasal 8: para perempuan yang melayani Yesus, orang Gerasa,
pasal 9: anak kecil, dsb.
Kontras dengan imam dan orang Lewi,
agamawan yang melewati begitu saja orang yang setengah mati itu, orang Samaria
yang dianggap remeh ini justru tergerak hatinya oleh belas kasihan, ketika
melihat orang itu, sebagaimana dicatat dalam ayat 33. Dan belas kasihan itu
berlanjut pada tindakan konkret: ia pergi kepadanya, membalut luka-lukanya,
menyiraminya dengan minyak dan anggur, menaikkan orang itu ke atas keledai
tunggangannya sendiri lalu membawanya ke tempat penginapan dan merawatnya.
Keesokan harinya ia menyerahkan dua dinar kepada pemilik penginapan itu,
katanya: Rawatlah dia dan jika kaubelanjakan lebih dari ini, aku akan
menggantinya, waktu aku kembali. Luar biasa.
Yesus
menutup kisahnya, dengan mengajukan pertanyaan balik kepada sang ahli Taurat:
Siapakah di antara ketiga orang ini, menurut pendapatmu, adalah sesama manusia
dari orang yang jatuh ke tangan penyamun itu? Perhatikan perbedaan pertanyaan
ini dengan pertanyaan yang diajukan oleh sang ahli Taurat pada ayat 29. Di ayat
29 sang ahli Taurat bertanya: siapakah sesamaku manusia? Dalam pengertian: siapa
yang seharusnya menjadi objek kasihku? Tetapi Yesus membaliknya dengan
bertanya: siapakah yang menjadi sesama manusia dari orang yang membutuhkan
pertolongan itu? Dengan kata lain, pertanyaannya seharusnya bukanlah: siapakah
sesamaku manusia? Tetapi: sudahkah aku menjadi sesama, bagi sesamaku?
Sosok
orang Samaria yang murah hati adalah sosok manusia yang ideal. Manusia yang
menjadi sesama, bagi sesamanya. Menjadi sesama berarti berbelas kasihan melihat
sesamanya manusia yang sedang berada dalam kesulitan. Menjadi sesama berarti
siap mengorbankan diri, waktu, dan tujuan pribadi, demi menolong sesamanya yang
sedang membutuhkan. Menjadi sesama berarti mengasihi sesama manusia seperti
mengasihi diri sendiri.
Saya
setuju dengan penafsiran yang menyatakan bahwa kata “sama dengan” (homoia) dalam bunyi hukum kasih
sebagaimana tercatat dalam Injil Matius dapat juga diterjemahkan sebagai
sehakekat atau sekodrat. “Kasihilah Tuhan Allahmu, dengan segenap hatimu dan
dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang
terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang SAMA DENGAN itu,
sehakekat dengan itu, sekodrat dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti
dirimu sendiri.”
Ini
konsisten dengan bagian-bagian lain dalam Kitab Suci, semisal: dalam 1Yohanes
4:20-21, rasul Yohanes menulis: Jikalau seorang berkata: “Aku mengasihi Allah,”
dan ia membenci saudaranya, maka ia adalah pendusta, karena barangsiapa tidak
mengasihi saudaranya yang dilihatnya, tidak mungkin mengasihi Allah, yang tidak
dilihatnya. Dan perintah ini kita terima dari dia: Barangsiapa mengasihi Allah,
ia harus juga mengasihi saudaranya.”
Atau
bagian Alkitab yang lain, Matius 25: Khotbah Tentang Akhir Zaman, perikop
Penghakiman Terakhir, ayat 31-46. Di sana dikisahkan bahwa apabila Anak Manusia
datang dalam kemuliaan-Nya, Ia mengumpulkan semua bangsa di hadapan-Nya, lalu
memisahkan mereka seorang demi seorang. Ia akan berkata kepada mereka yang di
sebelah kanan-Nya: Mari, hai kamu yang diberkati oleh Bapa-Ku, terimalah
Kerajaan yang telah disediakan bagimu sejak dunia dijadikan. Sebab ketika Aku
lapar, kamu memberi Aku makan; ketika Aku haus, kamu memberi Aku minum; ketika
Aku seorang asing, kamu memberi Aku tumpangan; ketika Aku telanjang, kamu
memberi Aku pakaian; ketika Aku sakit, kamu melawat Aku; ketika Aku di dalam
penjara, kamu mengunjungi Aku. Maka orang-orang benar itu akan menjawab Dia,
katanya: Tuhan, bilamanakah kami melihat Engkau lapar dan kami memberi Engkau
makan, atau haus dan kami memberi Engkau minum? Bilamanakah kami melihat Engkau
sebagai orang asing, dan kami memberi Engkau tumpangan, atau telanjang dan kami
memberi Engkau pakaian? Bilamanakah kami dapat melihat Engkau sakit atau dalam
penjara dan kami mengunjungi Engkau? Dan Raja itu akan menjawab mereka: Aku
berkata kepadamu, sesungguhnya segala sesuatu yang kamu lakukan untuk salah
seorang dari saudara-Ku yang paling hina ini, kamu telah melakukannya untuk
Aku.
Cara
kita memperlakukan sesama, sebenarnya sedikit banyak mencerminkan cara kita
memperlakukan Tuhan. Dan sebenarnya ini bukan sesuatu yang aneh, karena manusia
dicipta menurut citra Allah. Mengasihi Allah sama dengan, sehakekat, sekodrat
dengan mengasihi sesama manusia. Menjadi sesama, bagi sesama.
Kalau orang Samaria adalah sosok
manusia ideal, manusia yang menjadi sesama bagi sesamanya, dalam perumpamaan, adakah
sosok manusia ideal, sang sesama manusia, dalam kehidupan nyata? Dalam sejarah?
Ada! Siapa lagi kalau bukan Yesus sendiri, sang pengisah perumpamaan orang
Samaria tersebut. Syair yang tercatat dalam surat Paulus kepada jemaat di Filipi
pasal 2 ayat 5-8 berbunyi: Kristus Yesus, yang walaupun dalam rupa Allah, tidak
menganggap kesetaraan dengan Allah itu sebagai milik yang harus dipertahankan,
melainkan telah mengosongkan diri-Nya sendiri, dan mengambil rupa seorang
hamba, dan menjadi sama dengan manusia. Dan dalam keadaan sebagai manusia, Ia
telah merendahkan diri-Nya dan taat sampai mati, bahkan sampai mati di kayu
salib. Pengorbanan terbesar, memberi hidup demi kehidupan sesama, bahkan semua
orang. Sebab tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seseorang yang
rela mengorbankan nyawanya demi sesama/saudaranya. Di atas kayu saliblah puncak
tindakan Kristus menjadi sesama, bagi sesama.
Saudara-saudara, siapakah kita
selama ini? Imam-kah? Orang Lewi? Atau orang Samaria yang murah hati?
Kehidupan nyata menyediakan pentas
nan luas bagi kita untuk memilih peran. Jakarta adalah kota besar yang sarat
dan padat penduduk. Hitung saja berapa kira-kira frekuensi perjumpaan kita
dengan sesama manusia setiap harinya. Apalagi kebanyakan kita di sini tinggal di
kawasan padat penduduk, Mangga Besar. Silakan menggumulkan apa yang bisa kita
lakukan untuk menjadi sesama, bagi sesama, dalam konteks kehidupan kita
masing-masing.
Saya akan menceritakan kisah seorang
tokoh yang menggumulkan bagaimana menjadi sesama, bagi sesama, dalam konteks
kehidupannya. Bartholome de Las Casas, adalah seorang imam dari ordo Dominikan,
berkebangsaan Spanyol, yang hidup pada abad ke-16. Beliau adalah editor dari
jurnal pribadi sang penemu benua Amerika, Christopher Colombus. Pada saat itu,
bangsa Spanyol yang baru saja mendirikan koloni di benua baru yang mereka
temukan, menerapkan suatu kebijakan yang disebut Enconmienda. Enconmienda ialah
praktek inisiasi penduduk lokal menjadi Kristen, serta hukuman perbudakan bagi
mereka yang menolak.
Melihat banyaknya penolakan penduduk
pribumi serta penderitaan yang mereka alami sebagai konsekuensinya, lahirlah
refleksi Las Casas, bahwa sebenarnya tugasnya di benua baru bukanlah mengajar
agama Kristen, melainkan belajar menjadi Kristen. Yaitu belajar bagaimana
memperlakukan para penduduk pribumi sebagaimana semestinya ia memperlakukan
sesamanya. Belajar menjadi sesama bagi para penduduk pribumi. Sang imam
kemudian memutuskan untuk kembali ke negaranya demi memperjuangkan penghapusan
kebijakan nan keji tersebut. Melalui perjuangan Las Casas, beberapa tahun
kemudian, Enconmienda dihapuskan.
Bagaimana dengan kita? Menjadi
sesama bagi sesama bagi kita mungkin berarti meluangkan waktu untuk
mendengarkan keluh kesah teman kita di saat kepadatan jadwal begitu menghimpit.
Mungkin berarti sedikit mengorbankan diri dan hati untuk meringankan beban anggota
keluarga/teman serumah kita. Merelakan diri menolong teman kita yang kesulitan
dalam pelajaran tertentu yang kita bisa. Mungkin juga berarti menolong mereka
yang sedang mengalami kesulitan ekonomi, mereka yang terpinggirkan, yang kurang
mendapat kesempatan, yang butuh kesempatan. Mungkin juga lewat
tindakan-tindakan kecil memperlakukan sesama dalam keseharian, seperti
memberikan senyum, kehangatan, ataupun penerimaan. Dalam skala yang lebih
besar, menjadi sesama bagi sesama mungkin berarti mengupayakan pengangkatan
harkat manusia, perjuangan kemanusiaan, pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM),
upaya peningkatan kualitas hidup manusia.
Saudara-saudara, seusai kebaktian
ini, pentas kehidupan kembali dibuka. Peran manakah yang akan kita ambil? Imam?
Orang Lewi? Orang Samaria yang murah hati? Kita sendirilah penentunya.
Menjadi sesama, bagi sesama, itulah
judul khotbah saya pada pagi hari ini. Menjadi sesama, bagi sesama. Kiranya ini
menjadi kerinduan kita semua. Amin.
No comments:
Post a Comment