Ev. Charlote
Gal 5:22-23, Maz 128
Setiap orang yang sudah menikah ingin keluarganya hidup
bahagia dan diberkati. Banyak yang berpikir, namanya berkat dan sukses ditandai
dengan kekayaan, kepintaran dan keberhasilan. Padahal banyak rumah tangga yang
kaya raya tapi tiap hari ribut atau banyak orang tua datang ke saya bukan
karena anaknya bodoh , malah pintar tapi kurang ajar. Pada Maz 128 kita melihat syarat keluarga berbahagia
yakni laki-laki sebagai kepala keluarga yang takut akan Tuhan, hidup menurut
jalan yang ditunjukkanNya, tidak menyimpang ke kanan ke kiri dan ia makan hasil
jerih payahnya sendiri. Disebut berbahagia karena hasilnya, yakni istrinya
seperti anggur yang subur. Anak-anaknya seperti tunas pohon zaitun di sekeliling
mejanya. Kebahagiaan itu letaknya pada orang, bukan barang yakni pada relasi
manusia dengan manusia. Walau punya banyak barang mewah tapi ribut, itu
menyedihkan karena menjadi perusak rumah tangga. Betapa pentingnya peran ayah dalam keluarga.
Pada Ul 6:6-7 , kata “engkau” di sini bersifat
maskulin (laki). Bangsa Yahudi menganut garis ayah (patriakat). Semua
pendidikan anak dipegang oleh bapak (ayah yang berperan). Namun tahun 1.800an
di zaman industri, bapak keluar dari pagi sampai sore, maka pendidikan
dialihkan ke ibu. Tahun 1.900an ditandai dengan emansipasi wanita. Sekarang bukan
hanya bapak, tetapi ibu juga bekerja di luar. Pengasuhan diberikan kepada orang
ketiga di rumah. Entah nenek atau pembantu (babysitter).
Maka kita melihat anak-anak yang kurang ajar dengan orang tua. Karena bukan orang tuanya yang mendidik.
Tuhan memerintahkan bapak-bapak untuk mengajarkan anak agar takut dan mengasihi
TUhan. Hai bapak-bapak jangan sakiti hati
anakmu, tetapi didiklah mereka dalam nasehat Tuhan. Bapak sebagai imam dan
guru. Tetapi ayah sekarang berkata urusan anak adalah urusan ibu. Padahal anak
dan ibu sudah ada ikatan karena anak pernah tinggal di perut ibunya selama 9
bulan. Sehingga mama marah seperti apa pun, anak percaya mama tetap sayang. Walau
mama suka marah, cerewet dan pelit tapi anak kalau ditanya tetap pilih mama
dibanding papa. Sedangkan antara ayah
dan anak tidak ada ikatan, kecuali hubungan biologis misal : hidungnya atau
mukanya mirip bapaknya. Sehingga hubungan harus dibangun. Pernah satu waktu
anak saya konflik dengan bapaknya. Saat rekonsiliasi dan ditanya, ia mengingat
kesalahan papanya yang lama (2 tahun lalu) saat ia dimarahin dan merasa tidak
adil karena tidak salah. Ia bisa ungkapkan secara detil peristiwa yang sudah
lama terjadi. Papanya sendiri sudah lupa. Sebaliknya waktu ditanya salah
mamanya, anak saya bilang, “Kesalahan mami banyak sih, tetapi saya lupa!” Ia
tidak mencatat satupun kesalahan saya.
Memang ia tahu saya banyak ngomel tapi tidak dicatat sehingga tidak
merasa sakit hati. Oleh karena itu, mengapa hubungan ayah-anak seringkali tidak
dekat? Karena tidak ada ikatan di antaranya. Ayah dan anak laki-laki seringkali
terjadi konflik, karena ayah menuntut anak laki-laki seperti dia. Ia melihat
anak laki-laki cerminan dia sedang dengan anak perempuan lebih toleran. Kalau
anak laki-laki dapat nilai 5, dimarahi sedangkan anak perempuan tidak apa-apa karena nanti masuk dapur juga. Ini yang
membuat rusak hubungan ayah dengan anak laki-laki. Banyak kepahitan anak dengan
orang tuanya terutama dengan papanya. Saya mewawancarai rekan guru, ada
pertanyaan penting : bagaimana hubunganmu dengan papamu. Masalah masa kini adalah
ketidakhadiran ayah dalam mendidik anak.
Orang tua terlalu sibuk. Walau waktu di rumah sedikit, tidak dimanfaatkan
untuk berinteraksi dengan anak. Menurut survey rata-rata hanya 7 menit setiap
hari terjadi interaksi ayah dengan anak.
Ayah dan ibu punya hubungan biologis dengan anak.
Tanggung jawab ayah mencari nafkah memenuhi kebutuhan keluarga. Tanggung jawab
mama, menyediakan makanan dan mengatur
rumah tangga. Tetapi yang lebih penting dalam hubungan rumah tangga adalah kualitas
kepercayaan. Jangan sampai anak bilang janji-janji
tinggal janji karena ia tahu apa yang dikatakan papanya, tidak dilakukan. Bayangkan
kalau bapak bilang jangan merokok padahal ia sendiri merokok, maka anak tidak
akan percaya dengan bapaknya.
Yang lebih penting mana : kualitas atau kuantitas? Ada
yang bilang buat apa kuantitas banyak tapi kualitas tidak ada. Senin-Jumat
kerja, sabtu-minggu buat anak. Anak kita tidak bisa diatur misalnya : hanya
bisa berinteraksi sabtu-minggu. Kalau ia sedih di hari selasa, masa di bilang
nanti minggu ya. Waktu itu bukan sasaran
tetapi sarana untuk menciptakan hubungan. Yang jadi sasaran adalah relasi, bukan
waktu itu sendiri. Buat apa bila sama-sama kumpul tapi tidak ada relasi. Misal
: di restoran ada satu keluarga. Papanya buka ipad, mamanya sms, anaknya main
game, satu meja tetapi semua masing-masing. Sama-sama makan, duduk, tetapi
tidak ada relasi. Sekarang ini di sebut zaman menunduk. Semua orang menunduk karena
main game, dengar musik , sms. Di subway
Korea dan Singapore, semua orang menunduk. Orang tuanya menunduk tidur. Yang
muda, semua hidup dalam dunianya sendiri. Tidak ada hubungan. Tidak peduli
orang mau bagaimana. Bukan masalah kuantitas dan kualitas waktu. Tetapi apakah
waktu yang diluarngkan bersama bisa mempererat hubungan orang tua-anak. Ada
anak yang minta papanya main bola, papanya bilang : nanti ya nak, papa atur
waktu. Anak bilang kalau besar, saya mau
seperti papa. Makin besar, ia bilang , “Pa saya mau ngobrol dengan papa.”
Papanya bilang, “Nanti papa akan atur waktu.” Ketika anak ini tumbuh dewasa,
dan orang tua ini menjadi tua. Sekarang yang terbalik , yang sibuk anaknya. Papanya
bilang, “Temanin papa. Datang dong ke rumah.” Dijawab, “nanti pa, saya atur
waktu.” Saat diminta temanin papa ke dokter dijawab, “Nanti saya kirim supir
dan mobil.” Waktu kecil, kita kasih anak suster, mau ke mana-mana dengan
suster. Mau main dengan suster. Mau belajar dengan suster. Kita nanti tua, mau
ke dokter, jalan-jalan, anak kita hanya bilang,”Ma nanti saya kirim suster.” Atau “Kalau mau ke Eropa , nanti saya belikan
tiket. Tetapi maaf saya tidak bisa temanin. Nanti saya suruh sekretaris saya
temanin.”. Apakah yang diinginkan barang? Bukan , tetapi relasi. Inilah yang
sering terjadi saat kita hidup di dunia. Salah fokus. Salah prioritas. Karena
keinginan yang salah kita tempatkan. Kalau
dunia ini, memiliki keingininan daging, mata dan keangkuhan hidup dan dunia
sedang lenyap dengan keinginannya. Kalau dibilang yang kita dambakan kasih
akan dunia, maka kasih akan Bapak tidak akan ada. Maka janganlah kita kasihi
dunia ini yang sedang lenyap. Orang berlomba-lomba agar usahanya tambah
berkembang. Orang tua memaksa anaknya, tambah lama prestasi tambah meningkat.
Kenapa 7 tidak 8 nilainya? Setelah 8 , kenapa tidak 9? Kenapa tidak 10? Kalau
10, kita bilang iya sudah mestinya begitu karena sudah tidak bisa 11. Kita
ingin mencapai yang terbaik. Jangan cukup puas dengan yang ada.
Hati-hati terhadap keinginan yang terus
diperbesar. Makanya begitu ingin
mendidik anak disiplin, anda harus menundukkan keinginannya. Dari kecil, anak
punya keinginan. Teman saya pernah melatih anaknya. “Ini permen lolipop, masukkan
ke mulut hanya 10 kali. Setelah itu permennya dibuang.” Anaknya bilang, “Mama
please 1 more.” Jadi orang tua harus tahan, tega, kalau dikasih 1, maka
dibilang “1 more please, ini yang terakhir.” Keinginan itu tidak perlu
dipenuhi. Karena manusia naturnya dosa, ia akan serakah. Sekarang dunia sedang menawarkan kepada kita
keinginan daging. Saya tinggal di BSD. Tiap hari ada restoran baru. Kalau saya
mau keliling restoran, tidak akan selesai terputar. Ada restoran yang buka sampai tutup lagi,
saya tidak sempat masuk. Saat ini perut jadi dewa kita. Makan enak, sampai
berjuta-juta rupiah, kita rela keluarkan. Tetapi untuk kasih tip, kita
bergumul. Ini perlu atau tidak. Layak atau tidak. Keinginan mata, keangkuhan
hidup itu yang kita kejar. Keinginan daging berlawanan dengan keinginan roh.
Ketika seorang berumah tangga bukankah diawali dengan kasih? Butuh 1 menit
untuk jatuh cinta, tetapi setelah itu kita harus bangun cinta. Bangun cinta itu
seumur hidup. Jatuh cinta saja tidak cukup. Biasanya kita jatuh cinta pada
pandangan pertama. Banyak yang waktu pacaran bilang, dulu saya cinta kenapa
sekarang tidak ada lagi cinta? Pada
waktu pacaran masih pakai topeng, tapi waktu berkeluarga, semua topeng dilepas.
Sekalipun ia menyebalkan, disitulah cinta saudara diuji. Kalau ia baik, kita
cinta , cengli namanya. Kalau orang
mengasihi orang yang mencintai , orang tidak percaya Tuhan juga begitu. Tetapi
ujiannya : mengasihi orang yang membenci. Bukankah kita tidak layak dikasihi?
Kita memberontak kepada Yesus. Tetapi kasih dinyatakan ketika tidak ada kasih.
Buah roh : kasih, sukacita….. ditutup dengan penguasaan diri. Kasih tanpa
penguasaan diri, akan menjadi liar. Jika penguasaan diri, tanpa kasih akan
menjadi kejam. Kasih dan disiplin harus menjadi satu kesatuan. Pada Ibrani 12
dikatakan kalau orang tua menghajar anak, di mana ada anak yang tidak dihajar? Kalau
bebas tidak dihajar, maka kamu anak-anak gampang. Kamu bukan anak kalau kamu
tidak dihajar. Tetapi disiplin seperti ini motifnya adalah kasih. Disiplin anak,
tujuannya untuk kepentingan si anak. Ketika kita kasih pun untuk kepentingan
orang itu. Bukan untuk kepentingan kita, bukan untuk supaya ia baik kepada
kita. Kalau kita kasih uang supaya tidak tidak “ngoceh” atau supaya warisan
dikasih saya, itu motifnya bukan kasih. Fil 2:3, dengan tidak mencari
kepentingan sendiri ataupun puji-pujian yang sia-sia, sebaliknya dengan rendah
hati , seorang mengangap yang lain lebih utama dari diri sendiri. Berarti kita
menghargai kehadiran anggota keluarga, kita menganggap relasi lebih penting
dari apapun. Kita menyediakan diri, menyediakan waktu kepada anggota keluarga.
Fokus kita, bagaimana menjadi terbaik bagi anggota keluarga.
Film : seorang bapa
berada di taman dengan anaknya. Ketika sedang duduk ada seekor burung yang
hinggap. Papanya bertanya, apa itu? Anaknya bilang burung. Tetapi bapanya tanya
berkali-kali. Apa itu? Anaknya menjawabnya lagi : burung. Kemudian ayah itu
bertanya lagi sehingga anak itu membentak ayahnya, “Sudah berkali-kali aku
bilang burung-burung! Kenapa tanya lagi?”. Lalu ayah ini masuk ke dalam rumah.
Ia ambil buku diarinya dan kasih ke anaknya. Anak ini membaca tulisan ayahnya :
sore ini anakku yang berumur 2 tahun datang ke taman. Anak ini berlari-lari
mengitari aku dan ada burung di sana. Ia tanya, “Pa ini apa?” Saya jawab,”Burung”.
Anak ini bertanya lagi,”Ini apa?” Saya jawab,”Burung”. Anakku bertanya 21 kali,
saya jawab 21 kali. Setiap kali ia bertanya aku memeluknya dan mengatakan itu
burung. Sang anak kemudian menutup buku diari lalu ia peluk papanya. Kita seringkali tidak
sabar dengan anak atau kita tidak sabar dengan orang tua. Itu yang akhirnya
menyebabkan tidak ada lagi kasih terhadap orang tua. Kita minta Roh Kudus yang
ada dalam hidup kita, memimpin hidup kita sehingga kita memiliki buah Roh Kudus
dan orang lain melihat kita memuliakan Dia.
No comments:
Post a Comment