Salah satu ciri masyarakat modern yang menonjol adalah individualis.
Benarkah begitu? Coba tanyakan kepada penghuni perumahan real estat terutama
yang berkelas “mewah”, seberapa banyak tetangga yang mereka kenal? Bahkan dapat
dihitung berapa jam yang telah dihabiskan bersama dengan para tetangga.
Sehingga acara siskamling bersama warga saat kerusuhan 1998 lalu menjadi blessing in disguise (berkah
tersembunyi) untuk kehidupan bertetangga. Saat itulah, para penghuni keluar
dari balik pintu rumah yang biasa tertutup dan mulai mengenal para tetangganya.
Gaya hidup individualis berkonotasi “yang penting aku” ini memang belum dapat
diterima oleh para penggenggam budaya ramah yang sudah ditanamkan sejak dahulu
dan menjadi daya pikat turis asing di negara kita “dahulu kala”. Hal ini saya
alami, saat saya menanyakan ke seorang penghuni yang rumahnya sedang ditawarkan
untuk dijual, “Ibu, kenapa rumahnya mau dijual?” Ia menjawab salah satu
penyebabnya adalah karena ia tidak betah dengan lingkungan sekarang. Karena
tetangga kiri kanannya sudah beralih ke orang-orang yang tidak suka bergaul,
lebih banyak menutup pintu dan kurang mengenal tetangga. Rumahnya sendiri
terbuka dan tidak dikunci, siapa pun boleh mampir. Satu per satu tetangga yang
hilang digantikan oleh penghuni seperti itu sehingga akhirnya hanya tersisa
beberapa penghuni asli yang masih bertahan.
Keramahan (friendliness, KBBI :
sikap baik hati dan menarik budi bahasanya; manis tutur kata dan sikapnya; suka
bergaul dan menyenangkan dl pergaulan), sudah menjadi barang mahal saat ini
terutama di kota metropolitan apalagi di kota megapolitan. Anak – anak sejak
kecil sudah ditanamkan untuk tidak bercakap-cakap dan bergaul dengan orang yang
tidak dikenal. Ini adalah langkah yang mau tak mau ditempuh agar terhindar dari
penyalahgunaan , penyesatan bahkan penculikan. Senyuman ramah bagi orang asing
sudah terhapus dan bila dilakukan malah akan dicurigai memiliki maksud
tersembunyi. Mungkin saat ini yang masih melakukannya adalah petugas asuransi-kartu
kredit- perbankan - investasi dan penjaja barang MLM! Selain sikap individualis,
upaya berramah-tamah mengalami hambatan karena adanya ancaman terhadap
keamanan.
Saya sendiri pernah merasakan keramahan dari orang yang tidak saya kenal
baik. Ialah, Long (artinya naga). Seorang pemuda Vietnam yang mendapat beasiswa
dan menjadi teman kuliah istri sewaktu belajar di Malaysia. Ia menganut paham
komunis walau menghargai kehidupan beragama. Saya hanya mengenalnya sebentar
sewaktu mengunjungi istri. Selanjutnya ia bisa menjadi orang yang bisa
diandalkan. Sewaktu saya kesulitan menghubungi istri di tengah malam, di tengah
keputusasaan saya teringat akan Long. Saya pun menulis email minta tolong ia
untuk memeriksa kondisi istri saya di apartemennya. Tidak lama kemudian, ia
menjawab email saya dan mengabarkan bahwa istri saya sedang ketiduran dan tidak
ada masalah apa-apa. Saya sedikit takjub karena responsnya yang sangat cepat.
Hal ini berarti sejak menerima email, ia langsung bergegas turun dari
apartemennya untuk mengunjungi apartemen istri saya dan kemudian balik lagi
untuk membalas email saya, sementara jarak dari apartemen dia ke apartemen
istri saya tidak dekat walau tidak jauh
dan suasana di sana sudah tengah malam dan sangat sepi (universitasnya terletak
di hutan yang dibuka). Perjumpaan saya dengannya di lain kesempatan saat
berkunjung ke Vietnam. Kita tidak memakai jasa perusahaan perjalanan. Saya
hanya mem-book pesawat ke Vietnam
pulang pergi. Kita sempat minta saran Long untuk rute perjalanan di sana
termasuk mengatur transportasi dan penukaran mata uang Vietnam. Hasilnya
menakjubkan! Saat di hotel, ia datang membawakan botol air mineral (yang memang
harganya lebih mahal dibanding di Indonesia) tanpa kami minta dan tiket-tiket
perjalanan kami. Ia pun bermaksud membayar semua biaya akomodasi di sana
(hotel, tiket pesawat dan tour lokal). Astaga, kami tidak berharap sama sekali
untuk dibayarkan, apalagi Long itu profesinya dosen di universitas pemerintah yang
gajinya juga tidak besar (sama dengan gaji dosen negeri di negeri kita). Setelah
membujuknya, akhirnya ia bersedia menerima sebagian pembayaran dari kami. Itu
pun nilainya masih besar. Terpaksalah kami mencari akal untuk membayar
kebaikannya. Jadi setelah keliling Vietnam dan kembali ke kotanya, kami pamitan
untuk kembali ke Indonesia. Dengan alasan kelebihan uang Vietnam yang masih
kami miliki dan untuk anaknya baru tidak lama lahir, kami menyelipkan amplop
untuknya. Ia pun bersikeras untuk mengembalikannya. Setelah dibujuk-bujuk,
akhirnya mau tidak mau ia menerimanya. Kalau menerima pemberian dari orang berada,
mungkin tidak begitu berarti, tapi bantuan Long sangat kita hargai. Hanya kami
tidak bermaksud mengambil milik orang lain saat kami sendiri cukup.
Bagaimana dengan keramahan di lingkungan gereja? Tidak sedikit kita
mendengar cerita mengenaskan seperti yang dialami oleh Mahatma Gandhi yang
ditolak masuk karena gereja yang dimasukinya “kelasnya lebih tinggi”
dibandingkan yang “seharusnya” dia masuki. Tidak jarang, pengunjung gereja yang
baru pertama kali datang menjadi alien
yang tersasar tanpa teman. Bahkan jemaat yang sudah lama pun tidak saling
mengenal walau sudah sering melihat satu dengan yang lain. Hal ini buah dari
paham individualisme dalam jamo (jaman modern) sekarang. Dari lingkungan keluarga
kita tidak lagi terbiasa mengucapkan kalimat sederhana seperti “selamat pagi”,
“selamat siang”, “selamat malam”, “terima kasih”, “tolong”, “apa kabar” ,
“selamat makan”, “halo”, “apa kabar?” dan lain-lain. Hal ini pun terbawa di
gereja. Antar jemaat gereja juga malas untuk bertegur sapa apalagi saling
memperhatikan. Kalau antar jemaat sudah terjadi suasana seperti itu, apakah
gereja bisa menjadi komunitas yang saling memperhatikan dan bertumbuh? Tentu tidak
mudah.
Untuk lebih memahami sikap ramah ini, tentunya kita dapat berpaling ke
sumber dari segala sumber hikmat dan pengetahuan yakni firman Tuhan yang
tertuang pada Alkitab. Bila kita menelusuri kata “ramah” di Alkitab, kata ini
muncul pada 12 nats Perjanjian Baru dan 10 nats Perjanjian Lama. Bila kita
perhatikan, ternyata terdapat banyak hal yang dapat kita pelajari dari ke 22
nats tersebut di antaranya :
1. Tuhan Yesus sendiri adalah
pribadi yang ramah (2 Kor 10:1c : “aku – Paulus- memperingatkan kamu demi
Kristus yang lemah lembut dan ramah”).
Tentunya sebagai anak Tuhan, kita perlu mencontohnya bukan?
2. Sebagai murid Tuhan Yesus,
kita juga tidak boleh sembarangan dalam merespon saat kita difitnah, melainkan
menjawabnya dengan ramah (1 Korintus 4:13a : “kalau
kami difitnah, kami tetap menjawab dengan ramah”)
3. Dalam hidup berjemaat kita
diminta untuk berlaku ramah seorang terhadap yang lain (Efesus 4:32a “Tetapi hendaklah kamu ramah seorang terhadap yang lain”,
Titus 3:2b : “hendaklah mereka selalu ramah
dan bersikap lemah lembut terhadap semua orang”) .
4. Menjadi salah satu syarat bagi
seorang penilik jemaat (1 Timotius 3:3 : “bukan peminum, bukan pemarah
melainkan peramah, pendamai, bukan
hamba uang”)
5. Menjadi salah satu syarat bagi
seorang hamba Tuhan (2 Timotius 2:24 : “sedangkan seorang hamba Tuhan tidak
boleh bertengkar, tetapi harus ramah
terhadap semua orang”)
6. Salah satu bentuk hikmat (Yakobus
3:17a : “Tetapi hikmat yang dari atas adalah pertama-tama murni, selanjutnya
pendamai, peramah,…”)
7. Peramah tidak menjadi kriteria
untuk tunduk kepada atasan, maksudnya baik atasan itu ramah atau tidak, tetap
hamba harus tunduk kepadanya. (1 Petrus 2:18 : “Hai kamu, hamba-hamba,
tunduklah dengan penuh ketakutan kepada tuanmu, bukan saja kepada yang baik dan
peramah, tetapi juga kepada yang
bengis”).
8. Perkataan yang ramah itu suci.
(Amsal 15:26 : “Rancangan orang jahat adalah kekejian bagi TUHAN, tetapi
perkataan yang ramah itu suci”).
9. Kita harus berhati-hati
terhadap orang yang berpura-pura ramah (Amsal 26:25 : “Kalau ia ramah, janganlah percaya padanya,
karena tujuh kekejian ada dalam hatinya”).
Salah satu tujuan dari komunitas sel adalah agar jemaat (anggota komsel)
saling memperhatikan dan menolong. Anggota yang lebih dewasa melatih yang lebih
baru. Anggota yang lebih mengerti firman Tuhan mengajari yang kurang mengerti.
Anggota yang menghadapi masalah didukung dan didoakan oleh anggota-anggota
lainnya. Anggota yang sedang lemah tubuh, dibesuk dan dihiburkan. Anggota yang
sedang bersuka, mengundang anggota lain untuk turut berbagi. Anggota yang
sedang berduka dan lemah dikuatkan. Anggota yang satu merasakan kebersamaan
dengan anggota lainnya. Setiap anggota merasakan keramahan dari anggota
lainnya. Anggota merasa diterima dalam keluarga rohani kecilnya. Kalau satu sel
sudah bisa menjadi sel yang anggota memiliki hidup yang saling memperhatikan,
maka selnya secara perlahan akan hidup ,
bertumbuh dan berkembang. Maukah kita merasakan keramahan di gereja kita?
Marilah kita belajar keramahan dan saling memperhatikan di kelompok kecil kita
dahulu. Komsel yang notabene wadah yang
kecil dari gereja memudahkan kita banyak belajar. Tentu semuanya berfokuskan
kepada Yesus Kristus dan pengajaran Alkitab yang benar. Tanpanya kita hanya
akan bertumbuh semu.
Yang pasti tidak mudah belajar menjadi ramah . Hal ini dapat dilihat
pada 1 Tesalonika 2:7 : “Tetapi kami
berlaku ramah di antara kamu, sama seperti seorang ibu mengasuh dan merawati
anaknya”. Membayangkan seorang ibu mengasuh dan merawati anaknya,
mengindikasikan bahwa ramah itu butuh perjuangan dan pengorbanan. Namun karena
ini juga merupakan hal yang perlu kita teladani dari Tuhan Yesus, maukah kita
belajar menjadi ramah? Tentu kita juga perlu mewaspai orang yang berpura-pura
bersikap ramah.
Ong Po Han
No comments:
Post a Comment