Sunday, May 29, 2016

Kuatkan Lutut yang Goyah



Ev Johan Djuandy

Ibrani 12:3-13
3  Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa.
4   Dalam pergumulan kamu melawan dosa kamu belum sampai mencucurkan darah.
5  Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya;
6  karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak."
7  Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?
8  Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.
9  Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup?
10  Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.
11  Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.
12  Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah;
13  dan luruskanlah jalan bagi kakimu, sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh.
               
Pendahuluan

                Minggu lalu , saya diundang berkhotbah di sebuah gereja dan secara kebetulan bertemu dengan seorang bapak yang sudah lama tidak berjumpa. Melihat wajahnya terbayang ia sedang memiliki beban berat dan dilanda kesedihan. Saya tahu sudah lebih dari 1 tahun, istrinya menderita penyakit kelainan syaraf yang mengakibatkan kemunduran kesehatannya. Penyakitnya sudah berat dan tidak juga kunjung sembuh, sehingga istrinya tidak mau lagi dikunjungi oleh orang lain dan bapak ini sangat berduka. Akhirnya dalam akhir percakapan kami, ia berpesan ke saya, “Tolong doakan istri saya.” Ia tidak minta didoakan agar istrinya sembuh tapi supaya istrinya tidak tawar hati dan meninggalkan Tuhan. Saya sangat mengerti permintaan bapak ini, dan sejak itu saya mendoakan istrinya tiap hari dalam doa saya.
                Dalam menghadapi penderitaan dalam hidup, orang Kristen punya kekuatan yang mungkin runtuh dan menjadi tawar nati. Penulis kitab Ibrani sangat mengerti kenyataan ini sehingga ia mengatakan,”  Ingatlah selalu akan Dia, yang tekun menanggung bantahan yang sehebat itu terhadap diri-Nya dari pihak orang-orang berdosa, supaya jangan kamu menjadi lemah dan putus asa. (Ibrani 12:3). Ada penderitaan yang besar yang berpotensi menjadi ancaman bagi jemaat untuk menjadi lemah dan putus asa. Maka hal ini normal bagi orang Kristen.  Bahkan orang Kristen yang punya kerohanian yang baik sekalipun punya dalam menghadapi tekanan dan penderitaan yang lama (panjang), saat itu ia menjadi lemah hati dan putus asa.  Apa yang dulu menjadi kekuatan mereka kemudian bisa menjadi kelemahan mereka. Ada yang sudah berdoa lama dan merasa Tuhan tidak menjawabnya, mereka lalu meragukan dan mempertanyakan Tuhan. Maka penulis ibani mengatakan lemah iman dan putus asa berbahaya bagian kerohanian jemaat.

Tekanan , Penganiayaan dan Penderitaan untuk Melatih dan Mendisiplinkan UmatNya.

                Saat pemerintahan Romawi dahulu, jemaat Tuhan mengalami penganiayaan dari orang-orang  Romawi. Di samping itu orang-orang  Yahudi lainnya juga membenci orang Kristen. Saat itu orang-orang Kristen dibenci, dikucilkan  dan dianiaya karena iman kepada Kristus. Begitu beratnya penderitaan mereka sehingga ada potensi bagi untuk menyerahkan iman mereka dan  tidak mau lagi mengikuti Tuhan. Mengapa mengikut Tuhan malah menghadapi penganiayaan? Penulis Ibrani sangat mengerti hal ini dan menasehati jemaat untuk bertekun dan jangan menyerah. Ini bukan nasehat pertama. Pasal 10:32-35 penulis menguatkan jemaat di tengah penderitaan agar terus bertekun.  Ingatlah akan masa yang lalu. Sesudah kamu menerima terang, kamu banyak menderita oleh karena kamu bertahan dalam perjuangan yang berat,baik waktu kamu dijadikan tontonan oleh cercaan dan penderitaan, maupun waktu kamu mengambil bagian dalam penderitaan mereka yang diperlakukan sedemikian.   Memang kamu telah turut mengambil bagian dalam penderitaan orang-orang hukuman dan ketika harta kamu dirampas, kamu menerima hal itu dengan sukacita, sebab kamu tahu, bahwa kamu memiliki harta yang lebih baik dan yang lebih menetap sifatnya.  Sebab itu janganlah kamu melepaskan kepercayaanmu, karena besar upah yang menantinya.Di pasal 12 ini kembali ia mengulangi nasehat dan memberi semangat

Kondisi jemaat tidak mudah, mereka menghadapi penganiayaan dan penderitaan yang berat dan panjang. Harta mereka dirampas dan mereka tidak bisa melawan dan berbuat apa-apa. Dari surat Ibrani kita belajar, bahwa hidup mengikuti Kristus tidak pernah menjadi hidup yang mudah. Jikalau ada orang Kristen yang berpikir menjalani hidup kekristenan akan lancar, makmur dan tidak ada masalah, itu adalah pikiran keliru. Namun kenyataannya banyak orang yang memilih agama yang bermanfaat bagi dirinya. It works for me. Kalau kita tanyakan agama apa yang paling baik dan paling dimintai? Jawabannya : agama yang tuntutannya paling sedikit dan manfaatnya paling banyak. Itu yang paling banyak dicari. Bahkan di dalam kekristenan banyak pengkhotbah yang mengemas ulang kekristenan dengan menutupi pesan radikal dari Yesus Kristus untuk mengikuti Dia bahkan sampai mati dan menggantikannya dengan pesan tentang kesuksesan dan kemakmuran. Alkitab menjanjikan penderitaan bagi yang mau mengikuti Yesus. Alkitab tidak pernah meutupi penderitanan. Tantangan, penganiayaan, penderitaan bukan seharusnya mengejutkan orang percaya yang mengikuti Yesus Kristus. Menjadi orang Kristen ‘relatif mudah’ tetapi mengakhiri hidup Kristen dengan tetap setia pada Kristus adalah tantangan yang besar. Kesulitan yang melanda iman percaya bukan dari penganiayaan tetapi dari penderitaan seperti penyakit, relasi yang rusak dengan orang lain, dosa atau doa yang tidak dijawab. Itu bisa membuat kita mundur. Ibrani 12 ini menjadi perhatian. Secara khusus , Ibrani 12 melihat ujian yang melanda orang percaya adalah cara Allah mendisiplinkan, melatih dan menggembleng anak-anakNya. Penderitaan bisa menjadi cara Tuhan melatih dan mendisiplinkan orang-orang percaya untuk punya kerohanian yang sejati.  

Ada 1 kata yang menonjol dari bahasa Yunani untuk kata ‘disiplin’ yakni  paideia, yang terus diulang dari ayat 5 dan seterusnya. Sayangnya dalam Alkitab bahasa Indonesia diterjemahkan, didikan , hajaran dan ganjaran. Contoh : "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan” (maksudnya disiplin). Kata displin ini sangat penting dalam perikop yang kita baca hari ini. Disiplin digambarkan seperti seorang ayah yang mendisiplinkan anaknya agar hebat, sukses dan punya kedewasaan kerohanian dan moral, tangguh menghadapi tantangan kehidupan. Ayat 7 Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya
                Saya cukup senang membaca cerita bagaimana pengusaha sukses mendidik anak-anaknya agar kelak menjadi  orang sukses juga. Bagaimana Sofjan Wanandi (1941), pendiri group Gemala (sekarang Santini Group), melatih anaknya dari muda untuk menjadi anak tangguh. Anaknya tidak diberikan kemudahan dalam bentuk uang yang banyak. Banyak pengusaha sukses yang melatih anak-anaknya untuk bekerja keras dan menghadapi kesulitan. Misalnya anaknya Luki Wanandi yang sekarang menjadi presdir Santini group dilatih dari bawah. Dari karyawan sederhana di pabrik perusahaan papanya sendiri. Kalau salah membuat laporan, ia ditegur atasan. Ia melakukan pemeriksaan fisik (stock taking) melihat berbagai kegiatan sebagai orang yang rendahan. Bahkan dia dikirim ke Singapore untuk berlatih dengan gaji 1.000 S$ (lebih rendah dari gaji supir). Hal yang sama juga terjadi dan berlaku dalam kerohanian.
                Pembaca kitab Ibrani perlu didisplin dalam kerohaniaan. Ayat  5-6  Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya;  karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak."  Jelas cara pandang pasal 12 ini , kita adalah anak. Jemaat adalah anak dan pertanyaannya, “Di mana ada anak yang tidak didisiplin oleh bapak yang bijak?” Di tengah penderitaan yang berat yang dihadapi jemaat saat itu, mereka harus menghadapi kenyataan penderitaan yang mereka alami bukan karena Allah meninggalkan atau tidak sanggup menolong mereka atau Allah tidak peduli pada mereka. Sebaliknya penderitaan yang mereka alami justru bukti kasih Allah kepada anak-anakNya. Mereka didisiplin untuk bertumbuh dalam kedewasan rohani. Jemaat ini melihat penderitaan ini tanda Allah memperlakukan mereka seperti bapak memperlakukan anak-anaknya yaitu mendisiplinkan anaknya. Ayat 8  Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang. Kalau kita tidak mau disiplin maka kita menjadi anak-anak gampangan. Maka jemaat harus mengubah cara pandang dan prespektif. Di balik penderitaan , Allah sedang bekerja memproses jemaat untuk menjadi murid Kristus yang tangguh. Penulis Ibrani juga mengingatkan agar jemaat berjuang terus dan melihat Yesus Kristus. Ini yang paling besar dalam hidup : melihat penderitaan dengan memandang Yesus Kristus. Karena Yesus Kristus sebagai Anak  mengalami proses yang sama. Ia alami proses disiplin Anak oleh Bapak. Yesus adalah Anak Allah tetapi dalam statusnya yang istimewa sebagai anak , Yesus Kristus tidak melewati penderitaan itu. Yesus Kristus menjalani penderitaan agar Dia disempurnakan. Kalau kita tidak mengerti ayat-ayat ini mungkin kita akan salah paham.
                Ibrani 5:8-9  Dan sekalipun Ia adalah Anak, Ia telah belajar menjadi taat dari apa yang telah diderita-Nya,
dan sesudah Ia mencapai kesempurnaan-Nya, Ia menjadi pokok keselamatan yang abadi bagi semua orang yang taat kepada-Nya. Ini menimbulkan pertanyaan, “Apa Yesus belum sempurna sehingga harus menjalani proses untuk disempurnakan?” Yesus adalah Allah yang sempurna dan tidak ada kekurangan apapun sebagai manusia. Apa maksud mencapai kesempurnaan? Sebagai penebus manusia yang berdosa, Yesus perlu membuktikan ketaatan dan kerelaanNya yang sempura dalam penderitaan yang berat sampai mati di kayu salib. Kesempurnaan dan kerelaan membuktikan bahwa Dia adalah kurban yang sempurna untuk menebus kita yang mau taat kepadaNya. Yesus menjalani proses penyempurnaanNya. Ini yang Allah lakukan kepada Yesus Kristus. Pada Ibrani 12, kita menemukan fakta yang indah. Allah memperlakukan kita, sebagaimana Dia memperlakukan Yesus sebagai anak tunggalNya sendiri. Allah memperlakukan kita tidak kurang seperti kepada Yesus : Dia mengijinkan Anak untuk melewati penggembelangan sampai mati di kayu salib. Jadi apa yang dilakukan kepada kita sebagai anak juga seperti ia menggembleng Yesus sebagai anak. Kita bersyukur dan bersuka cita. Apa yang kita alami mungkin membuat kita hampir menyerah. Itu yang pernah Allah lakukan kepada Yesus Kristus. Sehingga kita disempurnakan dan dibuat jadi dewasa. Mari kita punya paradigma (cara pandang) yang diubahkan oleh firman Tuhan dalam melewati jalan panjang dan berat. Bukannya mencurigai kasih Allah tetapi sebaiknya kita bersyukur karena ini memperlihatkan kita anak-anakNya dan mengerjakan disiplin pada kita seperti pada Yesus Kristus. Yesus Kristus tidak bebas dari disiplin, mengapa kita harus minta dibebaskan dari proses ini. Kalau Yesus yang sempurna mengalami proses disiplin, jangan pernah berharap, hidup sebagai orang Kristen yang trouble-free (bebas dari masalah).
                Hal yang lebih indah dari disiplin adalah tujuan mengapa Allah mendisiplinkan kita sebagai anak-anakNya bukan tujuan untuk yang singkat (jangka pendek) tetapi tujuan yang sampai ke kekalan. Ayat 10 mengontraskan disiplin yang dikerjakan bapak di dunia dengan disiplin Bapa di surga. Bapak di dunia mendisiplinkan jangka pendek, tetapi Dia mendidik agar kita beroleh bagian di dalam kekudusanNya. Ini adalah tujuan yang indah dan kekal. Kalau bapak di dunia ini yang pengetahuan dan bijaksananya yang sangat terbatas mencoba mendidik anaknya dalam jangka pendek, maka Allah yang bijaksana sempurna, mempersiapkan untuk sesuatu yang kekal, untuk mendapat bagian dalam kekudusan yang kekal. Artinya Allah mengajar kita untuk makin bersandar padaNya dan bukan bersandar pada harta, uang kita dan manusia lain. Kita lebih bersandar kepadaNya untuk mencari kehendak Tuhan lebih dari memaksakan agenda dan keinginan kita. Ketika Yesus menghadapi konsekuensi yang sangat berat, salib di depan mata, Dia berdoa 3 kali, “Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." Di tengah penderitaan yang berat, ada peperangan kehendak dan Dia menundukkan kehendakNya pada Bapa. Penderitaan adalah kesempatan yang baik untuk kita belajar taat, baik untuk menggambil bagian dalam kekudusan Allah. Sensitifitas kita jauh lebih terbentuk di masa yang sulit dibanding masa yang lancar. Kita lebih mengetahui anugerah Tuhan di tengah kehidupan yang sulit dibanding yang mudah. Saat kita ingin menyerah Rasul Paulus mengatakan dalam 2 Korintus 12:9  Tetapi jawab Tuhan kepadaku: "Cukuplah kasih karunia-Ku bagimu, sebab justru dalam kelemahanlah kuasa-Ku menjadi sempurna." Sebab itu terlebih suka aku bermegah atas kelemahanku, supaya kuasa Kristus turun menaungi aku.       
Seorang jemaat remaja kami yang berusia sekitar 17 tahun menderita kanker ganas yang menyerang pencernaannya sehingga perutnya membusuk dan membengkak penuh cairan. Itu masa yang sulit baginya. Ia baru saja mulai bekerja, setelah lulus SMA dan tidak kuliah karena tidak punya dana. Suatu kali saat kebaktian Jumat Agung di gereja diadakan doa seharian. Ia naik ke mimbar dan berkata ,”Saya seringkali merasa sakit sekali karena penyakit ini.” Memang tubuhnya sudah kurus kering karena terapi dan ia sangag menderita. Di malam hari penyakit itu begitu hebat menderanya.  Dia berseru kepada Tuhan minta tolong tapi rasa sakit itu tidak berkurang. Yang indah ia mengatakan, “Saya tidak kecewa pada Tuhan.” Ia mengutip Ratapan 3:22-23 yang disampaikan dalam nyanyian yang dikenal. Kasih Tuhan tak berkesudahan, Tak habis-habisnya rahmatNya, Slalu baru stiap pagi, Baru stiap pagi, Besar kasih setiaMu Tuhan. Besar kasih setiaMu.  Saya baru hari itu melihat orang yang diserang penderitaan yang hebat tapi bisa mengagungkan Tuhan dan merasa kasih Tuhan baru setiap pagi. Beberapa minggu kemudian keadaannya sangat lemah sehingga dimasukkan ke rumah sakit. Waktu saya besuk, dia sedang menderita yang hebat. Dia mencoba mengubah posisinya berkali-kali. Saat melihat saya datang, ia meminta saya bernyanyi lagu Kasih Tuhan Tak Berkesudahan. Saya menyanyi bersamanya dengan terbata-bata karena emosi yang berkecamuk... Kasih Tuhan.. tak berkesudahan. Malam itu juga Tuhan memanggilnya dan mengumpulkan dia kembali ke rumah Bapak di  surga.
                CS Lewis (1898-1963, sastrawan Inggris, pemikir yang dalam, penulis The Chronicles of Narnia) mengatakan , “God allows us to experience the low points of life in order to teach us lessons that we could learn in no other way” (Allah mengijinkan kita mengalami titik terendah dalam hidup  untuk mengajarkan kita suatu pelajaran yang tidak bisa diajar dengan cara lain). Itu pelajaran yang diambil dari titik terendah dalam hidup kita. Mungkin dalam penderitaan kita belajar anugerah Allah. Kalau kita mengharapkan hidup yang mudah untuk mencapai titik puncak dalam hidup kita, mungkin kita tidak belajar tentang taat  dan berserah kepadaNya,  anugerah Allah di tengah ketidakberdayaan kita dan kehendak Allah. Allah mengijinkan titik terendah dalam hidup kita karena ia ingin kita belajar dengan suatu cara yang tidak mungkin diajarkan melalui cara lain. Ibarat emas murni  24 karat yang dihasilkan dari proses pemurnian. Dalam proses tersebut, logam emas kotor  harus melewati perapian. Emas kotor dipisahkan dari  logam lain dan kotorannya. Emas yang melewati api baru menjadi emas murni yang bernilai. Hidup kita tidak mungkin bernilai kalau tidak pernah dimurnikanan dalam api. Rasul Petrus mengatakan pada dalam 1 Petrus 1:6-7  Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan. Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan kemurnian imanmu  —  yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana, yang diuji kemurniannya dengan api  —  sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.  Kalau emas saja dimurnikan api, bagaimana kita yang diciptakan dengan tujuan yang kekal tidak dimurnikan oleh api? Saat disiplin  datang tidak mendatangkan sukacita melainkan dukaciata tetapi memnghasilkan buah darinya. Itu sebabnya, saat Rasul Paulus mengatakan, Sebab itu kuatkanlah tangan yang lemah dan lutut yang goyah; supaya imanmu jangan menjadi lemah dan putus asa.

Penutup

                Saya tidak tahu pergumulan setiap jemaat yang hadir saat ini. Mungkin ada yang kecewa  karena doa tidak dijawab sehingga meragukan kasih dan kesetiaan Allah. Kalau memang penderitaan ini bukan karena dosa , mungkin Dia sedang mendisiplinkan anak-anakNya. Maka sebagai anak, kita seharusnya bersyukur karena kita diingatkan untuk memandang kepada Tuhan Yesus. Kita diingatkan pada Yesus yang menanggung bantahan yang sangat hebat agar kita tidak menjadi lemah dan putus asa. Kalau kita sampai ke titik di mana kita  menjadi lemah  dan putus asa, maka lihatlah penderitaan Yesus sehingga kita terus dikuatkan untuk berjalan bersamaNya. Luruskanlah kakimu sehingga yang pincang jangan terpelecok, tetapi menjadi sembuh      


No comments:

Post a Comment