Tuesday, May 10, 2016

Gampang Diucapkan dan Sulit Dilakukan


Ev. Lie Wei Tjen

Yoh 13:12-17
12  Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengertikah kamu apa yang telah Kuperbuat kepadamu?
13  Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang Akulah Guru dan Tuhan.
14  Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka kamupun wajib saling membasuh kakimu;
15  sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.
16  Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya.
17  Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu melakukannya.

Markus 4:14-20
14  Penabur itu menaburkan firman.
15  Orang-orang yang di pinggir jalan, tempat firman itu ditaburkan, ialah mereka yang mendengar firman, lalu datanglah Iblis dan mengambil firman yang baru ditaburkan di dalam mereka.
16  Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira,
17  tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad.
18  Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang mendengar firman itu,
19  lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.
20  Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat."

Pendahuluan

                Firman Tuhan tidak sesuai dengan natur manusia yang berdosa. Seringkali firman Tuhan berbanding terbalik dengan apa yang diajarkan dunia ini kepada kita. Ada 2 aspek firman Tuhan yang besar yakni dilihat dari :

1.       Pemberita (orang yang memberitakan, menulis, mengucapkan)
2.       Pendengar (orang yang mendengar, membaca dan menerima firman Tuhan)

Pemberita (orang yang menulis dan memberitakan firman Tuhan)

Yoh 13:12-17. Dalam beberapa ayat ini Tuhan Yesus sedang menunjukkan sesuatu kepada murid-muridNya. Sebenarnya Tuhan Yesus sedang memberikan tantangan kepada dunia. Ia sedang memberitakan firman dan kehendak Tuhan kepada dunia ini. Di dalam pelayananNya selama 3,5 tahun, Ia secara intensif mengajarkan kehendak Tuhan kepada manusia. Manusia dalam hal ini diwakili oleh 12 orang yang menjadi murid-muridNya. Waktu Tuhan Yesus memberitakan kebenaran Injil , Ia ingin murid-muridNya mengikuti apa yang Dia ucapkan. Namun firman Tuhan bukan sekedar omongan biasa, melainkan kata-kata yang bila diikuti sulit sekali karena manusia adalah berdosa. Kita lebih mudah melakukan dosa daripada melakukan yang tidak berdosa. Jemaat sekarang banyak yang sudah punya anak dan bahkan cucu. Seringkali kita mengatakan kepada diri kita dan orang lain, “Betapa susahnya mendidik anak.” Pernahkah berpikir, “Heran ya anak-anak tidak pernah diajari yang jahat. Tidak pernah diajari mencuri, berdusta, menjadi licik, memukul adik dan berbuat jahat pada adiknya. Tetapi itu semua dilakukan oleh anak meskipun kita tidak mengajarinya. Kita mengajari dia untuk berbicara jujur, menjadi anak yang sopan, anak yang taat pada orang tua, menghormati papa-mamanya, mengasihi Tuhan dan rajin ke gereja, bersekolah baik-baik dan belajar rajin-rajin, tetapi untuk semua hal yang baik, kita harus bekerja keras dan melawannya.” Teman saya mengatakan, “Setiap hari saya marah dan ribut dengan anak saya. Makan saja susah. Suruh mandi saja bilangnya nanti. Apalagi disuruh saat teduh. Ia akan mengatakan, ‘Sudah.. Sudah.. 5 menit lagi.’” Bagaimana mungkin mengajarkan firman Allah dan melakukannya sendiri? Karena di dalam diri manusia sudah ada dosa yang sifatnya memberontak kepada Tuhan.  Kita pilih yang baik tapi yang kita lakukan yang tidak baik. Kita mau sekali ikut kehendak Tuhan, tetapi kelakuan kita ujung-ujungnya tidak cocok denganNya.

Bagaimana Tuhan Yesus mengatakan kehendakNya kepada murid-muridNya? Yesus melakukan terlebih dahulu. Dia memberikan pendidikan kepada murid-muridNya lewat hidupNya. Waktu Ia ingin murid-muridNya merendahkan diri satu dengan lain, ia membasuh kaki murid-muridNya. Ketika ia ingin murid-muridNya mengasihi orang lain, maka Ia mati di atas kayu salib bagi manusia. Ia melakukan lebih dahulu, melakukan teladan di hadapan manusia seperti yang Allah mau. Tetapi Ia memang Allah dan kita manusia, bagaimana mungkin kita melakukannya? Meskipun begitu dalam seluruh sejarah gereja, ada orang-orang yang sungguh-sungguh melakukanNya. Di dalam Kisah Para Rasul, murid-murid Kristus melakukan apa yang diminta Kristus. Ketika Tuhan mengubah hati mereka, mereka hidup dan melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh. Mereka berani menerima resiko untuk disiksa hanya untuk mengatakan bahwa Yesus sungguh-sungguh hidup. Itu sebabnya murid-murid Tuhan hari ini harus melakukan hal yang sama. Kita manusia berdosa tidak mungkin melakukan yang sempurna. Dalam hidup, kita terus bergumul untuk melakukan kehendak Tuhan. Bukan semata-mata untuk diri kita, tetapi menjadi satu teladan di mana kita menunjukkan kepada orang lain bahwa kita melakukan kehendak Tuhan. Sehingga melalui jalan itu ketika memberitakan Injil dan yang mendengarnya akan melakukannya juga. Maka harus hati-hati waktu memberitakan dan membagikan firman Tuhan. Saat menghibur orang lain, apakah mereka tahu kita melakukannya? Ketika kita mengatakan Tuhan baik saat menghibur teman kita, apakah teman kita yang menerima berita itu mengatakan amin? Misalnya karena ia tahu, kita pernah bangkrut dan tetap melakukan kehendak Tuhan. Atau ia mengatakan, “Enak saja. Omong saja gampang! Coba kamu yang alami kebangkrutan dan di-PHK.” Dalam masa sulit, apakah kita akan mengatakan, “Sungguh kita akan menyimpan firman Tuhan dalam hati kita?”

Raja Daud dalam sepanjang hidupnya, bergumul keras dalam menerapkan firman Tuhan. Saat membaca Mazmur kita menemukan bahwa Daud seringkali berkata, “Tenanglah jiwaku! Diamlah!” Apakah karena jiwanya tenang saat mengatakan itu? Apakah karena ada damai dalam dirinya sehingga ia mengatakan hal itu? Tidak! Dia mengatakan hal itu sewaktu hatinya goyang dan gelisah luar biasa. Dalam keadaan sangat takut, ia mengatakan, “Tenanglah jiwaku! Diamlah!” Saat seperti ini, ia mengatakan, “Aku akan memegang kepercayaanku padaMu.” Daud mengalaminya. Daud dikejar-kejar oleh Raja Saul, mau dibunuh. Dia pernah menitipkan jiwanya dan para pengikutnya pada raja-raja lain, bangsa kafir. Dan dia harus berpikir keras supaya nyawanya dan pengikutnya selamat. Apakah Daud tidak ingat bahwa Nabi Samuel pernah mengurapi dia dan mengatakan,”Engkau akan menjadi raja menggantikan Saul.” Dia tidak lupa. Tetapi hari itu ia berada dalam kondisi paling gelap. Jiwanya menjadi taruhannya. Jiwa pengikutnya menjadi taruhannya. Tiap hari ia merasa khawatir. Oleh sebab itu ia mengatakan, “Hai jiwaku tenanglah! Diam! Percayalah kepada Tuhan!” Kita sama manusianya seperti Daud. Ada masa dalam hidup, kita goyang luar biasa. Kadang-kadang melihat kenyataan pada hari ini tidak ada masa depan. Tetapi ingatlah Tuhan Yesus telah memberikan teladanNya terlebih dahulu kepada kita. Itu sebabnya kita jangan menaruh kepercayaan kita pada orang-orang yang mungkin bisa menolong kita, tetapi taruhlah kepercayaan kita kepada Tuhan. Ingatlah bahwa Ia telah melakukan terlebih dahulu firman Tuhan sehingga kita dalam pergumulan kita bisa melakukannya. Dan ketika kita bisa melakukannya , orang-orang lain melihat itu menjadi teladan dalam kehidupan mereka. Sehingga ketika kita mengeluarkan nasihat dalam hidup kita, mereka akan mengatakan amin.

Pendengar Berita

Markus 4:14-20 perumpamaan tentang penabur. Ini adalah perumpamaan biasa dan seringkali kita dengar. Ketika seorang mendengar dan ingin melaksanakan firman Tuhan ternyata lebih banyak gagalnya daripada berhasilnya. Karena memang itulah manusia berdosa dan kelemahan kita. Tetapi ada hal khusus yang ditunjukkan Yesus dalam perumpamaan ini. Ketika orang mendengar firman Tuhan seringkali tidak bisa menangkap apa yang menjadi intisari firman. Ada orang yang pergi ke gereja seminggu sekali. Ada juga orang yang pergi ke gereja beberapa kali dalam seminggu. Ada orang yang membaca firman Tuhan setiap hari dengan setia. Ada juga orang yang kalau ingat baru membacanya (kalau ada waktu baru membaca firman Tuhan). Tetapi apapun manusia itu, ia tidak bisa menangkap apa yang firman Tuhan inginkan. Contoh yang paling mudah, saat pergi ke gereja ketika pembawa firman Tuhan tidak menyenangkan kita menjadi  ngantuk. Namun kadangkala firman Tuhan yang dikatakan enak di telinga, enak juga untuk tidur. Kadangkala kita mendengar dan mengatakan “Bosan sudah tahu! Lebih baik memikirkan habis ini mau makan di mana, bakmi mana yang enak.” Waktu kita sedang memikirkan hal tersebut, firman Tuhan sudah lewat dan kita tidak tahu lagi apa yang sudah disampaikan pembicara. Ada juga yang menerima firman Tuhan dan mengatakan “Wah firman Tuhan itu bagus sekali.” Waktu ditanyakan isinya, ia bisa bercerita dari A-Z artinya ia bisa mengerti dan menangkap semua firman Tuhan yang disampaikan. Tetapi belum tentu firman Tuhan yang didengarnya tersebut membawa dampak dalam hidupnya. Kenapa? Karena mungkin ia terancam “sesuatu” dan hidupnya tertindas kalau ia melakukan firman Tuhan. Barangkali kita mendengar saat melakukan bisnis kita harus melakukannya dengan jujur karena kita adalah orang-orang Kristen. Tetapi berapa banyak teman kita berkata, “Pengusaha kalau mau jujur maka akan jadi miskin.“ Kita terdesak oleh konsep yang berbeda dengan konsep yang Alkitab katakan kepada kita. Memang dosa itu mengatakan yang tidak sesuai dengan firman Tuhan. Kalau firman Tuhan mengatakan untuk sabar, tetapi dunia mengajarkan ‘kamu sabar maka kamu akan ditinggalkan’. Alkitab mengatakan kamu harus rendah hati kalau ingin menjadi besar, tetapi dunia mengatakan ‘kamu merendahkan diri maka kamu akan dihina orang’ dan kalau mau ‘hebat’ harus meninggikan diri. Itu menjadi ancaman sendiri dalam hidup kita saat melakukan firman Tuhan dan itu memupuskan apa yang tadi dikatakan bagus.

Yang lain kesenangan dunia ini. Dunia mengajarkan sejak kita kecil bahwa kekayaan membawa kebahagiaan. Dunia juga mengatakan kita harus mengontrol masa depan kita : “Kamu harus terus mengumpulkan harta agar kamu terus hidup.” Alkitab mengajarkan hal yang terbalik. Manusia tidak hanya hidup dari roti tetapi dari firman Tuhan. Alkitab mengajarkan jangan kuatir. Pandanglah burung-burung di langit, yang tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung, namun diberi makan g  oleh Bapamu yang di sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? (Mat 6:26). Tetapi dalam kenyataannya, kita menjadi khawatir. Kalau kita hanya cukup hari ini, nanti saat tidak bisa bekerja, apakah kita akan menjadi cukup? Karena itu saya harus bekerja dan mengorbankan hubungan dengan anak dan istri, sehingga saya bisa mengontrol masa depan saya. Kita merasa kalau kita kaya, banyak orang yang akan menghormati kita. Kita lupa, Tuhan sudah mengatakan bahwa setiap kita sudah memiliki bagiannya sendiri. Kalau Tuhan mau mengatakan kita dapat ‘segelas’ maka walaupun kita kerja mati-matian tidak akan mendapat satu ember. Karena Tuhan lebih tahu bahwa satu gelas cukup untuk kita. Tetapi kalau kita bekerja mati-matian untuk satu ember maka mungkin kita akan kehilangan orang yang didekat kita. Mungkin kalau dapat seember maka akan tumpah sehingga akhirnya hanya mendapat segelas. Maka seringkali karena kekhawatiran, kita kehilangan firman Tuhan. Jemaat sebagai pendengar mungkin berkata tentang pembicara (pengkhotbah) di mimbar, “Kamu hanya berbicara saja tetapi tidak mendengarkan. Apakah kamu memberikan teladan kepada orang-orang lain?” Untuk itu saya akan berbagi cerita tentang apa yang saya alami bersama suami saya (Ev. Yulimin). Namun cerita ini bukan untuk membesarkan nama kami berdua, melainkan agar jemaat dapat mendengarkan dan percaya kepada firman dan kehendakNya.


                Bulan Juli 2015, suami saya divonis oleh dokter mengalami gagal ginjal. Dokter mengatakan bahwa hanya ada 1 jalan keluar untuk menangani penyakit tersebut yaitu melalui cuci darah. Kami mencoba untuk tidak melakukannya dan kami bertanya kepada dokter-dokter lain di Jakarta tetapi semua dokter mengatakan hal yang sama yaitu harus cuci darah. Kami berdoa dan agak kebingungan karena cuci darah tidak murah dan tidak mudah (walau memang tidak seperti zaman dulu yang menyakitkan dan membuat sengsara). Meskipun begitu pilihan ini mau tidak mau kami ambil. Setelah beberapa kali cuci darah dan dokter di sini mengatakan harus cuci sampai mati, kemudian salah satu teman kami mengusulkan untuk mencoba mencari opini kedua di Singapura. Kami tidak terlalu mau, karena waktu dihitung-hitung kami tidak punya dana yang cukup karena pengobatan di Singapura mahal sekali, sedangkan cuci darah di sini pun sudah menggunakan fasilitas yang disediakan oleh BPJS. Tetapi teman saya mendesak untuk pergi ke Singapura dan periksa sekali saja. Ternyata Tuhan menyediakan dananya sehingga saya berkata ke Yulimin, “Saya sudah menghitung dan dananya cukup. Tidak baik kalau tidak pergi karena dananya sudah disediakan Tuhan dengan cukup.” Akhirnya kami pergi ke Singapura.  Di sana kami bertemu dengan 2 dokter. Dokter pertama mengatakan,”Betul harus cuci darah. Selama ini kamu berapa kali cuci darahnya?” yang dijawab,”1 minggu dua kali.” Ia pun memberikan advis,”Kalau bisa 1 minggu 3 kali.” Sekarang cuci darah dilakukan setiap Senin dan Jumat. Setiap kali cuci darah, waktunya panjang (berjam-jam). Kami berunding dan berkata,”Ya sudah. Berarti sama dengan dokter di Indonesia.” Lalu kami pergi ke dokter lain. Waktu dokter itu melihat Yulimin ia mengatakan,”Kenapa kamu sudah cuci darah baru kemari?” Dalam hati saya berkata, “Kan kami baru kenal kamu sekarang.” Lalu dia mengatakan tidak perlu cuci darah. Saya dan suami saling pandang. Semua dokter mengatakan harus cuci darah kecuali dokter yang satu ini. Dokter itu berkata lebih lanjut,”Saya jamin kamu tidak apa-apa kalau tidak cuci darah. Tetapi kamu harus berani untuk tidak cuci darah. Minggu depan datang lagi.” Pulang dari dokter itu saya berkata ke Yulimin, “Pilihan di tangan kamu. Kalau kamu mau cuci darah, saya akan antarkan. Tetapi kalau kamu tidak mau saya juga akan mendukung kamu untuk itu. Resiko ada di tangan kita berdua. Tetapi yang penting, diri kamu lebih pilih yang mana? Pilih cuci darah atau tidak?” Dia menjawab, “Buat saya, saya lebih senang untuk tidak cuci darah.” Saya berkata,”Oke. Kalau begitu mulai hari ini kita tidak cuci darah dan lihat perkembangannya.” Kami kemudian mendoakannya terus menerus. Minggu depannya waktu cek kembali, sang dokter berkata, “Kamu lihat hasil labnya kan? Dicuci darah atau tidak hasil labnya sama saja. Kenapa kamu harus cuci darah? Tidak usah. Nanti 2 minggu lagi datang.” Artinya kami tidak bisa tidak ke Singapura karena hanya dia yang bilang tidak usah cuci darah. Sampai hari ini kondisi suami saya tetap stabil. Waktu kami menaruh kepercayaan kami kepada Tuhan, Ia memberikan wewenangNya kepada kami. Saya tidak mengatakan “Kalau kita menaruh kepercayaan pada Tuhan, pasti Ia akan sembuhkan.” Saya hanya tahu Ia punya kuasa dan otoritas. Kami berdua hanya bisa berdoa dan meletakkan kepercayaan pada Tuhan. Kami juga sangat bergumul untuk menerapkan firman Tuhan dan mengatakan Tuhan adalah dokter kami. Kami juga harus seperti Daud yang mengatakan, “Diam. Tenanglah jiwaku. Serahkan hidupmu pada Tuhan” dan dari saat itu Tuhan membimbing kami. Sampai hari ini suami saya keadaannya tetap begitu. Tidak menjadi lebih baik, tetapi tidak menjadi lebih buruk. Yang kami senang, suami saya tidak perlu cuci darah dan masih hidup seperti biasa dia hidup. Bagi saya itu anugerah Tuhan yang besar. Percayalah waktu saya mengucapkan ini, saya masih melakukan pergumulan firman Tuhan dalam hidup saya. Tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk mengingat Tuhan Yesus sudah melakukan teladan terlebih dahulu. 

No comments:

Post a Comment