Friday, June 2, 2017

Jadikan Indah "Bermusik dalam ibadah bukan “asal jadi”" Kelas Tiranus X


Tiranus X – 28 Mei 2017

Nathanael Ahimsa

Biografi Ringkas

Pria kelahiran Jakarta ini memulai pengalamannya di bidang Paduan Suara dan Vokal ketika bergabung dengan Paduan Suara Universitas Kristen Maranatha  dan Studio  Cantorum  Choir di Bandung di bawah direktur Bapak Tommyanto Kandisaputra. Pada tahun 2003 Ia terpilih  menjadi anggota World Youth Choirsampai tahun 2006 dan bekerja dengan konduktor  dunia  Johanes  Prinz  (Austria) , Maria Guinand (Venezuela), Georg Grun (Jerman), AnthonyResapan (USA), Fred Sjoberg (Swedia),  Aharonharlap (Israel), Philipo Bressan (Italy), Frieder Bernius (Jerman) dengan Tour Concert di Swiss, Slovenia, Austria, Belgia, Jerman, Korea Selatan dan Jepang. Dia juga dipilih untuk menjadi bagian dari Chamber World Choir  pada tahun 2004 merayakan 60 tahun Perang Dunia ke-I  “D’Day” di Normandia (Perancis) dengan konduktor Volker Hempfling (Jerman) dan 2009 di Swedia. Pada tahun 2004 sampai tahun 2005 terpilih sebagai salah satu penyanyi di internasional  Kwartet, disebut “Singers of United Land” dalam memperkenalkan musik Internasional untuk sekolah dan masyarakat dan Tour Concert di Amerika Serikat dan Bandung ,Indonesia sebagai Guest Star dari Simposium pada musik Gereja Paduan Suara. Melakukan penelitian dengan  Mr. Andre de Quadroz  dari Boston University  dan dia menjadi konduktor dari Studio Cantorum Choir dari tahun 2005 sampai tahun 2006 dan memenangkan 1st Youth Choir Competition di Hong-Kong dan Medali Perak di World Choir Games di Cina. Sebagai penyanyi solo Ia sering diundang sebagai Guest Star untuk konser dan Member of Opera Company Svswara di Jakarta, dalam produksi Puccini La Boheme di Jakarta 2007 sebagai Coline dan konser Highlight Opera. Sampai sekarang dia adalah direktur program musik di Sinfonia Studio musik di bandung dan juga rekan Konduktor dari Paduan Suara Universitas Kristen Maranatha  di Bandung.  Dia juga  pendiri musik gerakan pendidikan “Music Without Borders” yang memiliki misi untuk menghubungkan musisi Internasional dengan musisi Indonesia sejak 2010 dan secara aktif  memberikan  Workshop musik  untuk mendorong dan mengilhami musisi muda dalam belajar musik. Mengenal dan melatih Paduan Suara Mahasiswa Universitas Lampung dimulai pada tahun 2012. Lalu pada tahun 2014 membawa Paduan Suara Mahasiswa Universitas Lampung berkompetisi di ajang Nasional yaitu Pesparawi Mahasiswa XIII di Jakarta dan juga ajang Internasional di Festival Canta Al Mar, Calella Barcelona.

Achievement

-     Pernah bernyanyi dibawah pengarahan conductor terbaik skala Internasional WYC, yaitu Prof. Johannes Prinz (Austria), Volker Hempfling (German), Frieder Bernius (German), Fillipo Bressan (Italy), Fred Sjoberg (Swedia), ketika terpilih untuk mengikuti WYC 2003-2006 dan AYC 2006-2007.
-     Terpilih sebagai wakil Indonesia pertama dalam World Chamber Choir di Perancis, dalam event peringatan 60 tahun pendaratan Sekutu di Normandy. 
-     Terpilih sebagai wakil Indonesia dalam Kwartet Vocal International Singers of United Lands (SOUL), yang mengadakan konser tour Amerika dan Bandung tahun 2004-2005, 
-     Terpilih dalam World Chamber Choir dalam perayaan 20 tahun World Youth Choir di Swedia (2009).
-     Sebagai solis dalam banyak konser yang diadakan oleh PSM UK Marantha dan PaDus Cantorum.
-     Mengukir banyak prestasi baik didalam dan diluar negeri bersama PSM UK Maranatha.

Experience
-     Memulai belajar vokal sejak 1998, dibawah bimbingan Bpk. Tomyanto (Paduan Suara Cantorum).
-     Mengikuti banyak vocal masterclass dari pelatih vokal dalam dan luar negeri, seperti : ibu Catharina, Ibu Maritke Tenkate, Prof. William Lock (USA), Prof David Hughes (USA), Prof. Andre de Quadros, dekan musik boston Univ. (USA), Prof. Goritzky (Germany), dll.
-     Mengikuti pementasan opera La Boheme, sebagai Colline bersama Suswara Opera Company.
-     Menjadi pelatih beberapa Paduan Suara, salah satunya : PaDus Citra Cemara.
-     Memberikan banyak workshop musik dan motivasi belajar music bersama Sinfonia Music Studio Bandung.
-     Masih aktif sebagai pengajar vokal (klasik dan semi klasik) di Sinfonia Music Studio.
-     Menjabat sebagai Direksi Ekstern bidang program di Sinfonia Music Studio.

Sesi I

Pengantar

Sekitar sebulan lalu, saya ditelpon dan diminta untuk memberikan materi tentang musik dan bagaimana memuji dalam gereja (bagaimana bermusik dalam gereja). Saya berasal Jakarta dan dahulu tinggal di kawasan Puri Indah serta bersekolah di IPEKA. Waktu kuliah, saya  pindah di Bandung. Saya lahir dari keluarga hamba Tuhan. Papa almarhum (dipanggil 5 tahun lalu) adalah seorang gembala sidang di Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan sekarang diteruskan oleh mama. Lokasinya di Puri Indah. Saya cukup familiar dengan pelayanan di gereja khususnya musik gereja. Seorang anak pendeta di gereja berdenominasi pantekosta harus bisa melakukan banyak kegiatan di gereja. Koko saya cukup berbakat dalam musik. Dari kecil dia dikursuskan piano. Waktu kecil saya  agak iri dengan koko saya, karena setiap kursus musik (piano) , ia diantar ke tempat kursus oleh mama saya. Jadi saya ingin kursus musik agar mama mengantar saya ke tempat kursus. Tapi saya tidak mau les piano melainkan biola. Sehingga saya dibelikan biola oleh papa dan ternyata kursus hanya berjalan 1 bulan saja, karena motivasi saya kursus waktu itu hanya ingin diantar mama saja.
Tuhan punya rencana (jalan) untuk setiap kita. Waktu masih SMA saya berpikir nanti mau bekerja apa. Saya tidak mau bekerja kantoran melainkan masuk ke pekerjaan yang bisa bertemu dengan orang-orang  dan melakukan sesuatu untuk orang lain. Saya tidak mau bekerja di belakang meja di kantor yang bagi saya membosankan. Saya ingin kerja ke luar melihat suasana baru dan bertemu orang-orang. Pilihannya bagi saya ada 2 yaitu menjadi dokter untuk menolong orang atau menjadi pilot yang bisa pergi ke mana-mana. Setelah lulus SMA dan mau daftar kuliah, saya memilih untuk kuliah di Bandung. Saya tidak mau kuliah di Jakarta karena tidak mau tinggal dengan orang tua lagi. Dalam pengertian saya ingin hidup mandiri dan ingin merasakan hidup sendiri itu seperti apa. Saya termasuk anak yang walau nakal tapi banyak berada di rumah. Jadi saya ingin ke luar kota. Pilihannya kuliah di Surabaya (Ubaya) karena ada teman yang kuliah di sana (Christian dari IPEKA) atau tempat lain. Akhirnya saya memilih Bandung. Pertimbangannya : karena pacar saya tinggal di Bogor karena jarak antara Bogor dan Bandung relatif tidak jauh (kalau Surabaya kejauhan). Saya mengambil kuliah dengan teman saya juga. Waktu itu bingung hendak mengambil fakultas apa. Awalnya psikologi karena berhubungan dengan orang lain (konseling). Kalau kuliah kedokteran perlu biaya yang besar (kemahalan). Saya pun mendaftar kuliah di psikologi dengan harapan bisa menjadi (berperan sebagai) konselor di gereja. Tapi Tuhan punya rencana luar biasa untuk saya.
Waktu itu saya kuliah di Universitas Maranata dan ingin punya banyak teman sehingga mengikuti banyak kegiatan, salah satunya ikut padus. Di situlah saya diajar untuk mempersiapkan pelayanan yang saya cintai yaitu musik. Di hari pertama latihan, gurunya bernama Tommyanto Kandisaputra, seorang pelatih paduan suara. Dia berkata, “Tidak ada orang yang bersuara jelek. Masalahnya hanya orang itu mau belajar atau tidak.” Entah mengapa, dia memanggil saya ke turun dan maju depan. Jadi saya maju lalu saya diminta untuk berbunyi (bukan bernyanyi). Ia berkomentar bahwa suara saya bagus hanya perlu latihan. Saya jadi penasaran terhadap paduan suara (padus) dan musik. Saat itu padus Universitas Maranata maju bertanding pada lomba padus nasional antar universitas gerejawi (Pesparani) di Yogya. Saya dipanggil untuk bergabung, tapi tidak mau karena saya memilih liburan. Jadi saya tidak ikut latihan. Waktu mereka mau berangkat, saya jadi iri. Tetapi apa boleh buat karena saya sudah menolak bergabung. Namun setelah mereka balik dari kompetisi , saya jadi tertarik. Rasanya seru juga bernyanyi dalam 4 suara. Lagunya unik. Akhirnya guru saya mengajak bergabung di padus independen pimpinannya (Studio  Cantorum  Choir).
Awalnya anggota padusnya terdiri dari lulusan BPK Penabur Bandung dengan kegiatan pelayanan di gereja-gereja setiap bulan. Akhirnya group padus-nya mengundang anggota gereja yang mau terlibat. Tetapi standar padus ini cukup tinggi karena pelatih saya, Pak Tomy  cukup keras dalam melatih. Dari dia saya banyak belajar. Visi dasar  group padusnya adalah melayani . Pertama kali bergabung dia memberi ajaran yang diambil dari kitab 1 Tawarikh 23:4-5 ("Dari orang-orang ini dua puluh empat ribu orang harus mengawasi pekerjaan di rumah TUHAN; enam ribu orang harus menjadi pengatur dan hakim; empat ribu orang menjadi penunggu pintu gerbang; dan empat ribu orang menjadi pemuji TUHAN dengan alat-alat musik yang telah kubuat untuk melagukan puji-pujian," kata Daud).  bagaimana bangsa Israel dipilah-pilah untuk mengerjakan tugas masing-masing dan satu suku dipilih untuk melayani pujian di bait Allah dan mereka adalah ahli seni. Jadi kalau kamu melayani Tuhan dan musik di gereja, maka kamu harus menjadi ahli musik. Itulah awal saya belajar musik. Itulah awal bagi saya untuk mencari tahu mengapa musik itu harus dipelajari dan didalami.

Mengapa musik harus didalami?

Sekarang ini perkembangan musik di padus dan umumnya tidak terjadi di gereja melainkan  terjadi di luar. Musik paduan suara berkembang di tingkat universitas atau padus-padus independen. Kalau melihat di Metro TV, ada padus suara anak-anak yang menang di Itali, itu adalah padus independen. Setiap tahun padus dari Indonesia bertanding di luar negeri (di tingkat internasional) dan kembali dengan prestasi luar biasa. Batavia Madrigal Singers, sudah memenangkan 2 tiket European Grandprix untuk padus (European Grand Prix for Choral Singing) yaitu pertandingan padus yang pesertanya diambil dari setiap pemenang di perlombaan padus yang punya licence di tahun berikutnya.
Musik padus adalah kekayaan gereja. Komposer-komposer besar menulis lagu-lagu gereja. Seperti Johann Sebastian Bach (1685-1750, komposer dan musisi Jerman dari masa Baroque). Kalau kita mau menyanyikan semua karyanya yang pernah dibuat dalam hidupnya, umur kita tidak cukup. Johann Sebastian Bach setiap minggu menghasilkan karya-karya untuk dinyanyikan di gereja (saat itu untuk misa di gereja Katolik). Setiap minggu dia membuat lagu (karya musik). Hari Senin dia kembali dari gereja dan menulis lagu baru. Hari Rabu ia memberi lagu tersebut ke petugas yang harus menyalin partiturnya karena saat itu belum ada mesin fotocopi. Hari Kamis salinan lagu tersebut dibagikan ke penyanyi-penyanyi dan pemain musik. Hari Jumat dipakai untuk berlatih dan hari Minggunya ditampilkan. Hari Senin kembali lagi seperti itu. Serial lagu Bach, cukup untuk melayani puji-pujian gereja selama 3 tahun bila ditampilkan setiap minggu. Itulah komposer-komposer gereja. Tidak banyak orang yang tahu tentang itu.
Sebagai pemilik harta (pewaris) itu kita seringkali tidak sadar (tahu). Sekarang ini banyak lagu-lagu padus diangkat dan digusung oleh non Kristen. Setiap bulan dua kali saya pergi ke Lampung untuk melatih Paduan Suara Mahasiswa Universitas Lampung. 90% dari penyanyinya adalah Muslim. Setiap 2 tahun sekali padus itu berkompetisi pada Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi). Mereka pun menyanyikan lagu-lagu gereja. 3 tahun lalu saya ajak mereka ikut kompetesi di Spanyol di musik gereja yang sakral (Festival Canta Al Mar, Calella Barcelona). Buat mereka hal itu merupakan sesuatu yang menarik. Buat kita seakan tidak ada artinya. Itu kembali apakah kita mengerti musik itu? Mengapa kita tertarik? Di SMA saya bermain drum di GSJA dan saya berpikir menjadi pemain drum nantinya. Tetapi waktu kuliah bertemu pelatih yang mengatakan ayat itu dan ditanya, “Apakah kamu melayani musik? Kalau mau, kamu harus berlajar.” Saya pun berubah. Denominasi gereja ada beragam seperti Katholik, Reform, Protestan, Karismatik dan gereja saya (GSJA) berdenominasi Pantekosta. Teman-teman papi saya bertanya,”Mengapa kamu jadi Protestan?” Saya berubah dari musik jedak-jeduk di gereja Pantekosta jadi anak padus. Padahal musiknya waktu SMA saya tidak mau, karena membuat ngantuk dan tidak populer. Tapi guru saya bisa mengajari mengapa harus belajar musik. Lagu-lagu yang indah yang bila tidak dinyanyikan dengan benar (disampaikan) akan sama dengan sampah.

Tanggung Jawab Pelayanan

Kalau punya pelayanan di gereja pada hari Minggu maka kita harus bertanggung jawab. Anggota padus saya diisi oleh orang-orang tua (bapak-ibu) yang telah berusia 50 tahun lebih. Sebagai pelatih, untuk pertama kali saya dipecat waktu melatih padus gereja. Karena mereka berkata,”Kita tidak mau maju dan menjadi bagus.” Kalau melatih , saya berkata, “Kita harus latihan seminggu 2 jam. Saya datang dan memberikan lagu. Kita akan bernyanyi, namun kamu belum bisa not dan kata-katanya bagaimana bisa menyanyi? Berarti kita butuh latihan tambahan karena belu menguasai lagunya.” Akhirnya mereka pun bisa. Pelayanan padus kita pada pk 9 (kebaktian II) atau terkadang pk 7 (KU 1). Kalau mau pelayanan sebagai anggota padus maka saya meminta anggota padus harus datang 2 jam sebelumnya. Untuk KU1 anggota padus saya kasih dispensasi untuk datang pada pk 5.30! Dengan berat hati mereka pun datang. Waktu itu pk 5.30 kita mulai berlatih dan ternyata masih ada yang belum bisa. Saya berkata, “Mengapa tidak dipelajari? Mengapa tidak bertanggung jawab terhadap lagu anda? Ini kan mau pelayanan. Kalau mau jelek, anda hanya akan menambah kebaktian 15 menit lebih panjang. Kalau menyanyi dengan jelek, anda membuat jemaat mendengar sampah. Kalau kita mengikuti liturgi, bukan sesuatu yang harus dijalani tetapi ada urutannya dari 1,2,3,4,5 yang menuntun kita dalam penyembahan. Kalau kita menyanyi ala kadarnya maka jemaat mau mendengar apa? Kalau kita menyanyi dengan baik maka akan memberi berkat buat jemaat.” Suara saya cukup keras waktu itu. Akhirnya beberapa orang sepakat untuk mendepak saya dan saya pun akhirnya dipecat. Waktu itu padus belum ada visi dan misi. Akhirnya setelah memecat saya dibuat visi padus yaitu persekutuan orang kudus, jadi “kita tidak mau bagus”. Saya dipecat karena menuntut hendak jadi bagus. Akhirnya sebagian yang ingin maju tidak rela sehingga mereka membuat padus baru bernama “Joyful”. Akhirnya kemarin kita mengadakan konser untuk pertama kali. Kita ikut konser karena kalau tidak ada target bagaimana para anggota padus bersemangat mengejarnya? Puji Tuhan, kita mengadakan konser untuk charity , untuk pertunjukan di yayasan sekolah. Semua merasa senang. Gereja melihat pertumbuhan yang baik, ada musik yang baik. Kalau kita tidak belajar apa yang mau kita kasih? Kita mau musik atau bunyi? Piano, gitar bisa dibunyikan. Suara bisa dinyanyikan. Kalau kita berbunyi dan bermusik berbeda. Ada konsepnya.

Konsep Bermusik Gereja

Aransemen “Nyanyi bagi Dia Lagu Baru” dibuat dengan latar musik padang pasir. Kenapa musiknya menjadi seperti itu? Idenya apa? Kata-katanya diambil dari Mazmur 49:1. Karena gayanya mau diambil musik Timur Tengah (Israel) yang didasari pada alat pukul (rebana) sehingga lagu menjadi ritmis. Kalau mau mengubahnya maka harus berbicara dulu dengan (minta izin dari) komposernya.  Karena waktu seorang komposer mengarang sebuah lagu, ia berpikir tentang lagu yang akan dikarangnya. Pada lagu–lagu lama (himne), seorang komposer menulis dengan pilihan melodi dan kata-kata tertentu yang luar biasa (punya arti yang luar biasa). Waktu kita menerima  dan mengimprovisasinya itu ibarat kita tidak pernah tahu asal makanan pizza dari mana sehingga jadilah Pizza Hut. Karena tidak tahu pizza, lalu saat memakannya  pakai nasi. Walaupun hal ini bisa dilakukan, bisa membuat kenyang dan kita bisa menikmatinya, tetapi tidak proporsional (tidak pada tempatnya) dan nilai estetika-nya tidak tercapai. Musik juga seperti itu. Makanya kita harus cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Kenapa Tuhan tidak mengatakan ‘tulus’ saja karena Tuhan kan hukumnya kan kasih, tapi juga ‘cerdik’ karena ada nilainya dan efek yang ingin dicapai.
Musik di gereja punya peran yang luar biasa, karena musik gereja mau berbicara tentang firman Tuhan. Ia mau menyampaikan dan bercerita tentang kisah-kisah firman Tuhan. Artinya kita harus punya tanggung jawab. Pendeta yang berkhotbah di depan, menyampaikan firman dengan cara yang paling sederhana. Bagaimana bila ada pendeta yang berkhotbah “Tuhan mengasihi anda semua seberapa besar pun dosa anda, Tuhan mengasihi dan  mengampuni anda. Jangan takut kepada Tuhan karena Ia akan menerima kita” yang disampaikan dengan nada datar? Menurut saya ada sesuatu yang perlu ditekankan. Harusnya ia menekankan. Kalau berbicara kasih maka fakta bahwa Yesus dipaku, kepalanya dipaku dan disalib harus diutarakan. Manusia adalah mahluk seni. Kita mengapresiasi itu. Film The Passion of The Christ (2004) booming karena sutradaranya ,Mel Gibson, berani memberi gambaran dengan jelas tentang penderitaan Yesus Kristus. Film-film sebelumnya tidak. Di gereja-gereja semua adegan film ditayangkan. Sepertinya gereja membutuhkan film itu ditayangkan hanya untuk menjelaskan tentang Yesus mati di kayu salib . Padahal ada begitu banyak karya yang menggambarkan Yesus mati di kayu salib. Karya Bach untuk menyambut Paskah diambil dari kitab Matius , ia membuat musik dan oratio (karya musik yang diambil dari Alkitab untuk menggantikan pembacaan Alkitab oleh Pastor di gereja). Zaman dulu saat misa jemaat datang dan pendeta akan membaca Alkitab. Maka kata musisi supaya tidak dibacakan, teks-nya sama tapi dilagukan. Jadi datang  ke gereja, mendengarkan teks dalam bahasa Latin padahal tidak bicara Latin. Itu ibarat cikal bakal ISIS yang tidak mengerti pesannya. Maka gereja bisa menjual surat untuk masuk sorga karena tidak mengerti. Alkitab tidak boleh diterjemahkan. Martin Luther (1483-1546, profesor teologi, pendeta, pencetus gerakan Reformasi) menentang dan menterjemahkan dalam bahasa Jerman sehingga ditentang. Dalam keseluruhan oratio , ada satu bagian yang memainkan 1 alat musik hanya satu kali dalam waktu 2 jam. Alat musik itu dimainkan pada saat Yesus mati. Menurut dia bunyi alat musik itu begitu sedih. Ia ingin memberi gambaran seperti itu. Pernah tidak saat menyanyi dan sedang melayani orang , kita menjelaskan kepada orang tersebut apa yang mau disampaikan? Salah kalau menyanyikan lagu Maju Laskar Kristus (Onward Christian Soldiers oleh Sir Arthur Seymour Sullivan) dan musiknya diimprovisasi sehingga tidak menjadi mars. Padahal lagu itu beraliran mars (baris-berbaris) untuk membakar semangat tentara. Musik punya peranan yang luar biasa kepada umat manusia.
Kalau pergi ke restoran fast-food (seperti Mc Donald, Kentucky Fried Chicken), kita akan mendengar musik yang beat-nya lebih cepat. Waktu mendengar musik tersebut, maka detak biologis kita terpengaruh. Maksudnya musik seperti itu diperdengarkan agar pengunjung restoran setelah selesai makan langsung pergi (jangan lama-lama). Anak gaul sekarang tidak mempan yang bisa nongkrong seharian. Secara psikologis kita dipengaruhi oleh musik yang kita dengar. Sedangkan di restoran yang mahal lagunya lebih kalem, supaya yang makan bisa lebih lama dan memesan banyak makanan. Beberapa tahun lalu, dibantal tentara NATO diberi alat untuk mendengar musik agar bisa lebih efektif tidurnya. Tembok Yeriko dihancurkan oleh musik (tidak pakai palu) setelah diputar 7 kali. Tuhan katakan, “Nyanyi!” Ada beberapa kisah peperangan di Alkitab dan yang disuruh maju awalnya adalah pemain musik dan saya yakin bahwa mereka tidak menyanyi asal-asalan. Kenapa di lomba perahu dayung ada gendangnya? Pemukulnya tidak asal main gendang, tetapi ia harus mengatur kecepatannya. Itulah musik. Tuhan memberi musik untuk kita sebagai sesuatu (seni) yang luar biasa. Ada banyak orang yang bertobat, dikuatkan dan dipulihkan oleh musik. Waktu melayani orang tua yang hampir meninggal, kita tidak berbicara saja tetapi menyanyi. Sewaktu menyanyi orang yang tadinya takut, menjadi tidak takut lagi. Saul saat diganggu roh jahat , Daud dipanggil ke istana untuk memetik kecapi di istana Saul (1 Sam 18:10). Waktu Daud main kecapi, Roh Tuhan turun dan roh iblis pergi. Musik merupakan sesuatu yang sangat sederhana tapi punya kekuatan yang luar biasa. Cukup banyak anak muda yang ‘menembak’ pacar dengan memakai musik. Anak saya baru berumur 5 tahun. Karena sering nonton, dia pun tahu lagu seperti itu. Contoh : Oh Tuhan....kucinta dia, kusayang dia, rindu dia, inginkan dia (Lagu Dia oleh Anji Manji). Ia hanya melihat iklan. Karena lupa liriknya, ia ganti lagunya dengan Oh Tuhan... mmmmm dia... Dia sengaja. Musik punya kuasa luar biasa. Untuk memakainya kita harus belajar dan itu perlu proses yang panjang untuk belajar, untuk bisa mengerti dan untuk melatihnya.
Hari ini saya ingin menaruh suatu benih ide untuk kita semua. Benih yang harus ditumbuhkan hari demi hari. Waktu bergabung di padus tahun 1998, saya senang. Karena itu padus bernuansa gerejawi walau tidak di bawah suatu gereja, tapi padus kami memberikan pelayanan ke gereja-gereja. Waktu bergabung di sana, ada teman yang baru pulang dari Slovenia. Dia ikut audisi paduan suara dunia. Tiap tahun ada audisinya dan dia ikut. Saya merasa keren juga kalau bisa seperti dia. Saya anak seorang pendeta dengan kondisi keuangan yang tidak menentu. Saya juga ingin ke luar negeri. Jadi caranya dengan bernyanyi. Saya katakan, “Saya ingin seperti dia.” Saya ingin menyanyi dan ke luar negeri. Guru saya berkata, “Boleh, Tetapi kamu harus belajar.” Tetapi saya tidak punya uang untuk les jadi caranya dibarter. “Kamu aktif di padus saya. Kamu membantu saya,”kata guru saya. Itu semacam kerja sosial. Kalau ia pergi, saya juga pergi dan mengingap di hotel atau restoran yang sama. Seminggu saya latihan 3-4 kali. Sekali latihan menghabiskan 2 jam sekali latihan. Saya bersyukur bisa melewati hari-hari itu. Selama 2 jam tidak ada lagu yang saya nyanyikan. Saya hanya bunyikan satu nada. Misal “a” selama 2 jam dan hal itu terus berulang. Dia berkata salah lalu ulangi. Dia sangat keras dan disiplin. Pada waktu latihan, aturannya : bila tidak bisa datang alasannya hanya dua yaitu kalau berbaring di rumah sakit atau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Berat tapi ia ingin mengajar bahwa mau belajar musik untuk Tuhan , masa mau menyanyi begitu saja? Tahun 1998 saya mulai berlatih.
Saya tidak punya uang untuk pergi ke luar negeri. Untuk ke luar negeri caranya dengan “teriak” yang merdu. Setiap tahun saya ikut audisi dan tiap tahun ditolak hingga 2003 akhirnya saya diterima di padus itu setelah 5 tahun. Tahun 2003, saya mendapat telpon dari guru yang meminta saya untuk datang ke tempatnya. Saat saya datang, ia menyodorkan kertas. Di atas kertas surat itu  ada nama saya. Setelah saya baca isinya ternyata di bulan Juni 2003 saya diminta ke Swiss. Saya pun merasa sukacita luar biasa. Saya memberi tahu papi yang kemudian memberi tahu ke jemaatnya. Kabar pun menyebar,”Anak saya pergi ke Swiss!”. Puji Tuhan! Akhirnya saya pergi ke Swiss! Di sana ada 80 orang penyanyi pemuda, mereka semua belajar musik. Saya datang dari Indonesia dan  saya tidak bisa membaca not balok! Saya tidak punya waktu untuk belajar. Saya kurang lebih tahu bunyinya. Saya duduk di sana di antara orang yang belajar musik. Kita pun membuka patitur. Pelatih musik melatih dari depan ke belakang. Kalau di Indonesia sudah seperti untuk konser. Karena saya tidak bisa membaca not balok maka pada hari pertama saya duduk lalu melakukan lipsinc. Telinga saya buka lebar-lebar untuk mendengar dari tetangga bagaimana bunyinya. Setelah merasa yakin baru saya nyanyi. Sejak 2003 Tuhan memberi saya berkat sampai 2007. Setiap tahun saya pergi ke luar negeri bahkan setahun bisa 3 kali. Modalnya dengan berteriak-teriak tapi harus merdu. Saya sampai geleng-geleng kepala. Demikian juga teman-teman saya. Setelah tahun 2003 pergi ke sana, saya berpikir apa yang saya mau dalam hidup? Saya sedang kuliah psikologi waktu itu, tetapi saya lebih senang mendengar musik karena musik bisa punya cara untuk menyentuh orang, bekerja dengan orang dan untuk memberitakan sesuatu. Akhirnya saya berhenti kuliah dan fulltime terjun di musik. Setelah saya buktikan saya bisa musik, papa saya berkata, “Kamu tetap perlu pekerjaan” tapi saya tetap berhenti dan mau musik saja.
Waktu kecil saya berpikir mau menjadi seorang gembala sidang. Karena itu pelayanan yang saya tahu. Tapi dalam hidup saya Tuhan memberi bidang yang tidak biasa, yaitu melayani musik. Musik penting karena musik mengiringi suatu ibadah. Padus yang tampil. Itu adalah hal yang penting. Karena dari situ kata , firman Tuhan dan penghiburan akan diberi. Tetapi harus dilakukan dengan benar. Bila tidak maka tidak ada manfaatnya. Saat ini industri musik dan TV tidak memberi contoh yang baik . Banyak musik sampah yang dihasilkan dan didengar. Gereja yang juga dipengaruhi oleh musik luar yang tidak mau mempelajari akhirnya hanya menjiplak. Saya berkata ke papi untuk belajar bagaimana musik dibangun karena bila musik bagus pasti punya pengaruh. Hanya bisa dua yaitu musik bagus secara performance atau musik harus bisa bercerita. Harusnya musik bisa bercerita. Kalau kita sedang pesta merayakan sesuatu, musik mengisi acara. Tapi waktu kita mau menceritakan sesuatu , musik ikut bercerita. Itu konsep dasar yang ada di benak waktu kita bernyanyi dan membuat musik dan berbunyi, ada tidak ide itu? Kalau kita pelayanan di pagi hari dengan menjadi song leaderm , jam berapa kita bangun? Apakah kita melatih suara kita karena paling susah menyanyi pada pagi hari karena pita suara kita masih kaku? Yang lebih mudah adalah menyanyi di sore dan malam hari karena pita suara kita umumnya sudah dipakai seharian. Waktu bergabung di padus, kita datang pagi-pagi pk 5. Saat itu masih tidak ada siapa-siapa dan kita sudah memanaskan pita suara dan berlatih untuk menyampaikan sesuatu. Kalau anda musisi dan memilih melayani di musik, maka untuk melayani di musik harus punya rasa tanggung jawab apapun pelayanan yang dipilih. Untuk melayani di Sekolah Minggu, maka minimal harus suka dengan anak kecil di mana minimal harus bisa berkomunikasi dengan anak kecil. Sebagai pemberita Injil (hmaba Tuhan), maka kita harus mengerti dan membangun intonasi menuju ke puncak apa yang akan disampaikan. Kita gagal karena tidak mengerti apa yang akan dilakukan.

Bernyanyi dan bermusik bukan sekedar profesi atau status

Saya sedih melihat ada pendeta yang hanya memegang status dan profesi. Ada di gereja yang mapan jabatan pendetanya hanya sekedar profesi. Sedang di daerah, banyak pendeta membutuhkan jalan panjang untuk membangun gereja. Bahkan terkadang harus memberi uang ke jemaat-jemaatnya. Di Bandung dibuat concert charity. Ada anggota padus dari Inggirs untuk membantu pelayanan bagi orang buta. Ada satu orang buta yang miskin dan terpanggil untuk melayani orang buta yang miskin pula. Jadi sama-sama buta. Ia mencari dana untuk rumah dan melatih orang buta agar orang buta bisa mandiri (mapan). Maka kita pun membuat konser itu. Pemusik harus punya peranan. Konsep bermusik bahwa  sebenarnya “musik itu mudah (tidak sulit) dan menyenangkan ” . Bagaimana kita mau melakukannya , berpikir dan mempersiapkan mentalitas kita untuk memulainya? Kalau tidak , maka kita tidak senang melakukannya. Saya tidak bergabung dengan padus SMA , karena saya tidak tahu dan mengerti musik. Karya Mozat harus dijelaskan kenapa nada dan katanya seperti ini dan akhirnya seperti apa. Lagu itu kenapa nada (melodi)  dan iramanya seprti itu? Bagaimana menampilkan iramanya seperti itu? Beda lagi dengan musik untuk Paskah dan Natal, musik Gospel. Apa itu musik Gospel (African American)? Lagu berlirik seperti Swing low, sweet chariot. Coming for to carry me home (Swing Low, Sweet Chariot ciptaan Wallis Willis). Saat menyanyi lagu gospel harus mengerti bagaimana cara menyanyikan lagu dengan latar belakang tersebut? Kalau tidak mempelajarinya maka maknanya akan terlewati. Saya berkata ke padus saya, “Kalau kita tidak mau belajar menampilkan yang terbaik tentang musik, kalau kamu tidak mau memuji Tuhan, Aku akan menjadikan batu-batu untuk memujinya.” Maka lihat siapa yang menyanyikan lagu-lagu kita. Maka “tetangga” yang menyanyikannya seperti saat kita menyanyi di Spanyol. Omaniu O Misteri. Kelahiran dari anak dara Maria. Itu sebuah misteri besar karena Maria yang masih anak dara melahirkan dan yang menyanyi bukan orang gereja! Dalam hati saya menangis. Mereka hanya senang karena bagus tapi tidak mengerti. Di mana orang-orang gereja? Saya berpikir sebagai musisi kita harus mempunyai peranan kepada bangsa dan negara. Padus itu mempersembahkan medali emas, perak dll. Membesarkan nama Indonesia. Lalu gereja di mana? Saya bukan untuk mengkritik, tapi ini waktunya kita untuk bangkit.

Pakai dan Latihlah Pita Suara

Kita harus mulai dengan benih itu bagaimana kita bermusik. Kita punya suara yang baik. Tuhan kasih pita suara ke kita, di leher bagian bawah seperti membran yang bergetar. Karena itu otot. Cara kerjanya, nadi itu bergetar. Semakin cepat getarannya semakin tinggi nada yang dihasilkan dan sebaliknya, dan itu diukur dalam satuan Hertz. Organ pita suara sangat rapuh karena berbentuk selaput dan otot (membran) dan bisa luka kalau berteriak. Di gereja saya setelah KKR, biasanya majelis dan song leader hilang suaranya. Karena dipakai untuk teriak-teriak. Kalau diperlakukan seperti itu pita suara akan rusak. Dan bila pita suara rusak akan susah (tidak bisa) dikembalikan. Anak-anak yang nyanyi dengan suara yang serak karena waktu kecil diminta,”Ayo nyanyi yang keras.” Ternyata salah. Tidak boleh bernyanyi dengan keras tapi harusnya bernyanyi dengan indah. Tidak boleh nyanyi lebih keras dari indah. Keras belum tentu indah. Semua orang bisa menyanyi dengan keras tetapi tidak semua orang bisa bernyanyi dengan indah. Jangan menyanyi keras tapi menyanyilah dengan indah. Kalau volumenya segitu ya nyanyi segitu. Pelan-pelan saja untuk melatihnya agar bisa menyanyi lebih keras. Tuhan memberi pita suara di tempatnya dan harganya bisa sampai triliunan. Luciano Pavarotti sekali diundang nyanyi harganya berapa? Andrea Bocelli waktu menyanyi di Jakarta paling murah tiketnya Rp 2 juta. Berapa harga tiket yang eksklusif? Tapi kalau pita suara diambil dan di jual seperti ati ampla maka tidak ada nilainya. Lebih besar ati ampla karena lebih besar. Tetapi saat diletakkan di tempatnya, kekuatannya menjadi luar biasa. Mau tidak kita sayang dan latih organ ini? Tuhan kasih pita suara, pikiran , badan sehingga waktu bernyanyi kita pakai semuanya. Jangan pernah hanya asal-asalan bernyanyi. Apalagi waktu berdiri di depan dan melayani jadi song leader, jadi anggota padus, janganlah kita  menyanyi asal-asalan. Pilihannya hanya dua : kita mau kasih berkat atau sampah? Di antaranya tidak ada. Tidak perlu kita punya suara seperti malaikat (merdu sekali seperti penyanyi hebat), tetapi kita hanya perlu tahu bagaimana menggunakannya dengan baik dan bagaimana bermusik. Anggota padus saya isinya orang-orang tua yang suaranya pas-pasan. Tapi saya katakan, tidak perlu bernyanyi seperti malaikat. Kalau seperti malaikat saya bisa ketakutan kalau tiba-tiba nenek-nenek menyanyi seperti malaikat. Apa yang terjadi? Yang saya minta ialah kita persiapkan dengan apa yang kita punya walau tidak berarti kita tidak mau melatihnya, membuat planning dan mempelajarinya. Berapa banyak padus di gereja mau melayani di minggu sore hari latihannya baru siangnya. Itu bisa terjadi tetapi terlalu sedikit waktunya. Kita bukan penyanyi profesional. Kecuali kita orang profesional yang sekali latih bisa sempurna, kita bukan profesional dan kita perlu waktu untuk mempersiapkannya. Kalau tidak kegiatannya akan begitu saja.
Konsep itulah yang ingin dibagikan. Menyanyi itu mudah. Tinggal buka mulut, omong yang baik dan bercerita tentang apa yang mau diceritakan. Kalau mau menyanyi lagu gospel tentang Musa yang dikirim Tuhan ke Firaun, untuk berkata ke Firaun “Bebaskan bangsaku.” Gospel berbicara, “When israel was in egypt land, let my people go” Lagu ini dinyanyikan dengan suara berat menakutkan karena Tuhan yang berkata untuk membebaskan bangsa Israel. Tidak mungkin dinyanyikan dengan nada ringan. Itu menyalahi aturan. Tetapi waktu bicara tentang lagu –lagu lama “Lebih aku pilih Yesus daripada segala harta kekayaan dunia” kita menyanyi “I'd rather have Jesus than silver or gold, I'd rather be His than have riches untold “ (I'd Rather Have Jesus oleh George Beverly Shea). Saya bernyanyi untuk anda dan melihat ke anda. Kalau tidak melihat kepada orang yang mendengar maka mereka merasa akan merasa dicuekin. Sehingga jemaatnya WA – an dan buka Facebook karena merasa begitu. Kalau lihat khotbah Pdt. Stephen Tong seakan dia bicara di depan kita. Jadi kita dengarkan. Jangan sampai kita di depan tetapi tidak melihat jemaat, bagaimana jemaatnya? Sebagai song leader, kita punya peranan untuk memimpin jemaatnya. Kalau jemaat bandel dan nyanyi kepanjangan kasih tahu. Itulah peran song leader. Jangan semua lagu dinyanyikan seperti Paskah tentang kematian Tuhan Yesus. Seharusnya kalau merayakan Natal, harus dinyanyikan dengan senang. Untuk Paskah , kita menyanyikannya dengan sedih jangan dengan senang , karena itu bicara tentang kematian Tuhan “Were you there when they crucified my Lord? Oh were you there when they crucified my Lord? “ dengan nada gembira dan tepuk tangan maka ibarat makan Pizza pakai nasi. Sebaliknya lagu Natal “Joy to the world, the Lord is come! Let earth receive her King” harus dinyanyikan dengan nada gembira karena Tuhan Yesus lahir. Kalau kita jadi song leader dan jemaat tidak menyanyi dengan gembira, maka harus diperbaiki. Pdt. Stephen Tong juga membenarkan jemaatnya kalau bernyanyi dengan salah. Jangan sampai kita belajar musik tetapi tidak kasih tahu jemaat bila salah menyanyi sehingga jemaat tidak tahu apa-apa. Karena kalau tidak, mau jadi apa lagu hari ini? Misalnya lagu tentang tarian. Jemaat yang datang pagi dengan pergumulan. Di awal ibadah langsung disuruh nyanyi dengan menari. Kalau tidak menari dikatakan dosa karena ada sukacita dalam Yesus. Memulai program berupa rangkaian lagu dalam ibadah seperti buat program dalam konser. Waktu kita datang kita tidak tahu apakah jemaat “baru dapat THR / undian atau baru ada pertengkaran”. Song leader tidak tahu. Tidak diminta ke usher untuk mendata bagaimana keadaan jemaat. Tapi kita bisa buka dengan lagu netral, lagu yang nyaman untuk semua, lalu pelan-pelan kita bangun dan undang mereak untuk menyanyi. Kalau kita mau menyanyikan dengan tarian harus dibangun dulu suasananya. Tidak mungkin baru datang lalu disuruh menari. Tidak semua bisa seperti itu. Banyak kesalahan seperti itu. Saya tidak keberatan dengan tipe gereja yang selalu melakukan praise dan worship dengan heboh. Saya hanya bertanya, “Apakah benar kita melakukan itu atau emosi kita yang dipacu?” Waktu kebaktian, bagaimana kita membangun hubungan dengan Tuhan lewat pujian yang dibangun?” Kalau puji-pujian hanya untuk tari-tarian Itu sama saja dengan pergi dugem. Lebih baik pergi dugem. Konsepnya jelas. Saya pernah pergi di kebaktian orang negro AS. Saya mengerti mereka menyanyi sepreti itu lewat musik dan menyebar ke seluruh dunia. Musik Indonesia dipengaruhi Amerika dan Australia (sekarang) dengan gayanya. Di gereja orang negro , lagi khotbah dan khusuk tiba-tiba bisa ada yang melompat dan berteriak, “Haleluyah”. Bisa terbayang, saat penyembahan terjadi seperti itu, dia bisa lompat-lompat,  menangis, dan tertawa dan apapun juga. Bila kita tidak mengerti konsepnya dan diambil, kalau tidak mengerti lalu dibawa ke sini hasilnya bisa amburadul. Karena kita tidak mengerti konsepnya. Orang negro dalam lagunya berbicara tentang sesuatu yang membebaskan. Lagu Gospel tidak ada yang bercerita tentang Paulus. Tidak ada yang bercerita tentang nama-nama  di Alkitab yang matinya tertindas. Lalu Gospel berbicara tentang Gideon, Daniel , Musa, Elia dan tokoh-tokoh besar yang membebaskan dan kuat. Karena orang Afrika-Amerika dulunya adalah budak (dulunya). Jadi mereka bicara tentang pengharapan. Waktu mereka baca tentang Kristus ada kesamaan, kita tidak bersalah tapi dihukum. Orang Negro diculik dari Afrika dan dibawa ke Eropa dan AS. Salah mereka adalah kulit mereka lebih gelap dari yang lain. Waktu mereka baca Alkitab, mereka baca tentang hal itu. Lagu-lagu mereka berbicara tentang pembebasan. Sekarang saat bebas, mereka mengungkapkan dan mengekspresikannya. Dulu selesai kerja di ladang seharian, mereka masuk ke ruangan yang kapasitas 100 orang tapi diisi 300 orang, mereka tidak bisa apa-apa selain bernyanyi. Budak bukan orang sekolah dan buat lagu seadanya.
Lagu gospel tidak pernah sulit, karena tidak dibuat oleh orang yang belajar. Menjadi satu budaya yang kita lihat seperti itu tampilannya. Kita harus mengerti mengapa menjadi seperti itu. Kalau tidak, kita akan salah arah. Orang Negro menyanyi sebagai kode. Ada saatnya di mana orang yang bernama Musa dipanggil Musa. Di AS pertengahan, ada seorang wanita , Musa, ia pergi ke Selatan lalu menjemput orang-orang itu. Kalau mereka tidak ada di tempat saat dijemput, mereka ketinggalan. Saat Musa datang, orang-orang Negro harus menyanyi sebagai kode. Mereka harus berjalan saat malam. Mereka punya lambang ikan, itu adalah lambang di mana mereka boleh numpang untuk pergi ke Utara. Karena di Utara mereka bebas. Sekarang mereka bebas, dan meluap sedemikian rupa. Kalau lihat kebaktian kita akan terkejut. Ini kebaktian atau tidak? Lagu gospel bagus untuk dinyanyikan karena punya kesaksian luar biasa. Kita kasih waktu menyanyi dijelaskan latar belakangnya.
Menyanyi itu mudah, tetapi kita harus belajar. Kita harus punya pengetahuan dan punya skill. Ada beberapa kasus di gereja membuka lowongan untuk pelayanan song leader dan anggota padus. Siapa saja boleh mendaftar. Lalu ada yang datang mendaftar tapi belum bisa tahu nada atau pegang nadanya tidak bagus. Itu harus dilatih dahulu, Saya sering berdebat ke papi untuk memberi kesempatan bagi jemaat untuk menjadi song leader dan musik itu bagus. Tetapi harus dilakukan audisi. Kalau tidak ada audisi, maka jemaat tidak belajar. Kita kadang merasa, kita bisa memilih pelayanan apa saja. Pelayanan musik masa tidak bisa menyanyi? Jangan kita katakan Tuhan kita luar biasa, nanti waktu naik di atas panggung kita pasti bisa menyanyi. Kalau kita hidup di zaman Musa mungkin bisa terjadi seperti itu. Sekarang Tuhan berkata, itu ada studio tempat les musik. Belajar dahulu di sana. Masa untuk menjadi song leader dan nyanyi di depan, kita harus berdoa puasa kepada Tuhan agar Tuhan kirim malaikat dan bala tentara surga untuk menjamah pita suara kita agar kita bisa bersuara hanya untuk menjadi song leader. Masa sampai segitunya? Masa kita tidak mau ambil tanggung jawab untuk belajar? Tuhan kasih kita kesempatan itu buat kita? Mau tidak kita belajar dan membuat musik yang lebih berkualitas? Kalau tidak peduli, bagaimana kita bisa membangun jemaat? Ada song leader yang menyanyi lagu bahagia, tetapi mukanya sedih. Artinya dia tidak siap dengan lagunya. Itu yang harus ada sebagai dasar dan pengayaan dan pengembangan ada banyak cara yang kita bisa belajar. Padus adalah organisasi sangat berguna untuk melatih semuanya. Padus itu seperti komunitas di mana kita belajar untuk mendengar, bernyanyi bersama dan kita belajar sebagai sebuah tim dan saling bahu-membahu. Itu sangat baik. Musik diajarkan di situ. Dari situ kita akan belajar dengan baik. Waktu belajar padus saya pikir musik saya membosankan karena hanya menyanyi begitu saja. Akhirnya saya belajar bahwa musik bergenre apapun, kalau kita memiliki pemahaman yang benar maka kita bisa melakukannya. Karena tekniknya tetap sama, cara menyanyi tetap sama dan suaranya tetap sama yaitu suara kita juga. Jadi perlu kita persiapkan dengan bersama dengan baik.



No comments:

Post a Comment