Friday, January 17, 2014

Melayani dengan Rendah Hati


Sesi 3 Retreat Aktifis GKKK Mabes 14 Januari 2014
Pdt. Ridwan Hutabarat

Definisi Rendah Hati

Melayani dengan rendah hati berarti memiliki pikiran dan bertindak seperti Kristus. Seluruh agama di luar Kristen selalu memfasilitasi kepentingan untuk membela diri . Contoh : lirik lagu si Doel Anak Bertawi, kerjaannya sembahyang dan mengaji. Lirik di sini hanya sampai ke dimensi aksi, namun reaksinya nihil. Karena kalimat berikutnya  Tapi jangan bikin dia, sakit hati. Orang bisa mati. Kalau elo baik, gua baik, kalau elo jahat gua jahat dasarnya penjahat. Tapi kalao elo jahat gua baik itu rendah hati. Khotbah yang bagus itu adalah dimensi aksi bukan dimensi reaksi. Kerohanian orang bukan dilihat dari khotbahnya. Pada Mat 5:39b dikatakan “siapapun yang menampar pipi kananmu” reaksinya “berilah juga kepadanya pipi kirimu.” atau pada Rm 12:17  dikatakan “Janganlah membalas kejahatan dengan kejahatan” reaksinya “lakukanlah apa yang baik bagi semua orang!” itu reaksinya. Itu tidak terjadi kalau tidak rendah hati. Ini penting sekali. Makanya pelayanan itu lihat dari kehidupan sehari-hari.

Melayani dengan Iman

Orang yang melayani dengan rendah hati akan berbicara tentang melayani dengan iman. Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus (Rm 10:17). Sekarang banyak orang yang memanipulasi kata “iman”. Suatu kali saya didatangani seseorang yang berkata, “Saya mengenal anak gadis ini. Saya mau menerima dia jadi istri saya” Itu bukan iman tapi keinginan.  Ada juga seorang Bapak berkata, “Pak Pendeta, pada tahun 1998 situasi ekonomi Indonesia sedang sulit. Rumah saya di Pondok Indah  6 buah dan saya beriman rumah saja akan menjadi 7 buah”. Itu bukan iman, tapi keinginan. Kalau tahun ini ingin mendapat pekerjaan, itu bukan iman tapi keinginan.

Iman itu berarti  apa yag dikatakan Tuhan, itu yang dilakukan. Biarpun istri saya cerewet , ia tetap istri saya. Itu iman. Makin cerewet, makin sayang. Orang yang rendah hati itu orang yang beriman, karena melakukan apa kata Tuhan, walaupun bertentangan dengan keinginan kita. Tanpa menyangkal diri dan memikul salib, bagaimana melakukan iman? Dalam setiap diri kita ada mental melawan firman Tuhan. Maka kita harus terlatih untuk menyangkal diri dengan mengasihi Tuhan. Mengasihi Tuhan berarti menomorsatukan Tuhan. Dia yang terindah, teragung, termulia di dalam hati kita. Hal lain tidak menggoyahkan kita. Kita mengasihi istri, karena tertarik dengan kata Tuhan. Bagaimana pun dan apa pun yang terjadi dengan sang istri, saya mengasihi dia. Karena saya yakin , apa yang dikatakan Tuhan itu terbaik. Saya mengasihi istri bukan karena kelakuan, tapi karena tingkat pengenalan saya kepada Tuhan. Mungkin istri saya lebih cerewet, tapi cerewetnya dia tidak punya kemampuan mengurangi kasih saya ke dia. Dia lebih banyak berbuat kasih daripada cerewet. Sehingga terlalu bodoh, kalau berkata, “Gua nyesel kawin dengan loe” atau yang lebih bodoh berkata, “Elo beruntung kawin dengan gua” seharusnya “Gua beruntung kawin dengan elo”. Itu harus menundukkan diri. Jangan katakan “Kau yang terindah” tapi tidak dengan sebenarnya. Bila Alkitab tertinggal di gereja akan kembali ke pemiliknya, tapi kalau ponsel tertinggal?

Hidupku Bukannya Aku Lagi

Dalam diri kita ada perlawanan kepada nilai Kristus. Makanya harus terjadi aku makin berkurang Yesus makin bertambah. Ia harus makin besar, tetapi aku harus makin kecil (Yoh 3:30). Namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku (Gal 2:20). Itu keren. Makanya orang benar itu paling cocok mendapat kejadian yang tidak cocok daripada cocok. Karena itu memfasilitasi untuk penyangkalan diri. Maka mulailah dari perkawinan. Tidak ada yang menikah, langsung cocok dengan pasangannya kecuali menikah dengan tiang listrik. Tuhan “menginginkan” pasangan kita punya sikap yang menjengkelkan. Saat istri tidur doakan, “Tuhan cocok benar istriku dengan saya. Sungguh saya tidak saya pilih. Jangan dia lebih dahulu mati”. Makin lama pernikahan, maka semakin kukagum dan hormat pada pasanganku. Sangkallah diri, pikullah salib! Agar kita setia kepada Tuhan, perlu melalui proses yang panjang. Belajarlah melihat yang Tuhan lihat. Setelah kami pulang berbelanja, pembantu kami menaruh barang belanjaan di meja, tIba-tiba minyak goreng terjatuh. Penyebabnya bukan karena anak kecil yang aktif sekali, tetapi karena barang tersebut ditaruhnya miring. Istri saya yang sedang merapikan barang di dapur, mengetahuinya. Karena mengira anak laki-laki yang lakukan , maka dia tangkap anak tersebut lalu dipukul. Saya yang mengetahui hal tersebut tidak bisa membentak istri di depan anak. Anak saya berkata, “Pak kenapa aku dipukul?” Saya sakit di hati melihat dan mendengarnya. Lalu saya tuntun dia sikat gigi, cuci kaki dan berkata,”Saya tahu kamu tidak senggol”. Setelah istri selesai bersih-bersih, lalu kami tidur. Sewaktu berbaring, saya berkata,” Bukan dia yang jatuhkan”. Istri saya langsung membalas, “Papa mau bela?”. Saat dibilang tidak, dia menambahkan,”Kalau mau bela, bilang aja”. 5 menit kemudian dia tidur. Rasanya geregetan , saya tidak bisa tidur. Pagi-pagi saya bangun dan memijat dia. Dia lalu bertanya, “Maksud papa tadi malam apa? Mama dengar, minyak goreng jatuh bukan disenggolnya”.Saya berkata,”Saya lihat sendiri, mama waktu itu kan sedang beresin barang”. Istri saya menyahut,”Kenapa tadi malam tidak kasih tahu?” Memang tidak mudah. Itulah hamba Tuhan. Sekolah “teologia di bawah kaki Tuhan” dalam kehidupan sehari-hari memerlukan waktu panjang. Bagaimana kita bisa lemah lembut dengan istri orang tapi dengan istri sendiri kasar? Maka perlu rendah hati sehingga waktu melayani pun indah sekali.

Iman Perwira Romawi

Matius 8:5-10
5  Ketika Yesus masuk ke Kapernaum, datanglah seorang perwira mendapatkan Dia dan memohon kepada-Nya:
6  "Tuan, hambaku terbaring di rumah karena sakit lumpuh dan ia sangat menderita."
7  Yesus berkata kepadanya: "Aku akan datang menyembuhkannya."
8  Tetapi jawab perwira itu kepada-Nya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh.
9  Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang, ataupun kepada hambaku: Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya."
10  Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia dan berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel.

Kalau Tuhan Yesus  yang berkata, pasti benar dan tidak perlu ditinjau lagi. Pada ayat 10 dikatakan Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia dan berkata kepada mereka yang mengikuti-Nya: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel. Setelah Yesus mendengar perkataan perwira Romawi tersebut, heranlah Ia. Itu hal yang positif. Lalu Dia berkata kepada mereka yang mengikutiNya yaitu Petrus cs, “Aku berkata kepadamu”. Tanpa mengucapkan kalimat tersebut, memang kenyataannya Tuhan Yesus sedang berkata. Jadi kalau sampai mengucapkan kalimat tersebut maksudnya adalah agar hal tersebut dicamkan dan jangan dilupakan seumur hidupmu. Sesungguhnya berarti tidak relatif. Yang sejatinya , iman sebesar ini (kata “sebesar” bukan menunjukkan kuantitas, melainkan nilai) tidak pernah AKu jumpai pada seorang pun di antara orang Israel termasuk Petrus, Yakobus dan Yohanes dan murid-muridNya yang lain. Pada situasi bagaimana hal ini dikatakan? Yesus menampakkan diri sebagai manusia biasa dan sederhana. Dia layaknya jemaat biasa, bukan imam. Sedangkan yang menjumpai Dia adalah seorang perwira berarti  setingkat danrem (sekarang setara dengan pangkat letkol atau colonel) dengan umur lebih tua dari Yesus (mungkin sekitar 50). Jadi secara jabatan lebih tinggi dan secara ekonomi lebih kuat dibanding Yesus. Namun di hadapan Yesus ia memohon. Kata  “memohon”  digunakan oleh bawahan kepada atasannya (kalau sebagai atasan, ia akan digunakan kata “memerintah” dan bila “sejajar” digunakan kata “meminta”). Pada ayat 6 dia menggunakan kata panggilan  “Tuan”. Ini luar biasa, karena perwira ini seorang Romawi. Ibarat saat penjajahan lalu, orang Belanda sulit memanggil orang bumi dengan sebutan “meneer” (tuan).  Sedangkan perwira Romawi (Romawi menguasasi Israel saat itu) memanggil Yesus dengan sebuat “tuan”. Ia menempatkan dirinya sebagai bawahan Yesus. Ini luar biasa dan konsisten. Dia berkata, Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku. Si “mewah” berbicara pada orang “sederhana” seperti itu, ini luar biasa. Dilanjutkan dengan kalimat “katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh”. Penekanannya pada penundukannya bukan sembuhnya. Ayat 9 Sebab aku sendiri seorang bawahan, dan di bawahku ada pula prajurit. Jadi dia hayati sebagai bawahan dan Yesus sebagai atasan. Jika aku berkata kepada salah seorang prajurit itu: Pergi!, maka ia pergi, dan kepada seorang lagi: Datang!, maka ia datang,.". Hal ini menunjukkan bahwa dia bawahan Yesus, entah akan sembuh atau tidak katakan saja. Bahkan puncaknya dikatakan, ataupun kepada hambaku, artinya aku budakmu. Lalu “Kerjakanlah ini!, maka ia mengerjakannya”. Yesus tidak bisa dibohongi. Setelah Yesus mendengar hal itu, heranlah Ia.  Kristen yang setia itu keren. Ini penting sekali. Maka kita harus berani memberi nilai yang dianggap Yesus terbaik, maka kita dengan senang melakukan perintahNya bagaimanapun lingkungan yang di hadapi. Orang yang berbahagia bukanlah orang yang sakitnya sembuh, bukan setelah sekian tahun tidak punya anak akhirnya mendapat anak, mendapat pacara setelah lama tidak punya pacar atau menjadi presiden. Orang berbahagia adalah orang yang mendengar firman Tuhan  dan memeliharanya. Banyak kali kita sombong. Sehingga kita menganggap pelaku firman bukan sesuatu yang bahagia. 

Ada 3 jenis bahagia di dalam dunia ini :

1.     Kebahagian yang bobrok, hina dan bodoh. Kebahagiaan yang didapat akibat perbuatan dosa yang dilakukan  tidak ketahuan. Hal ini menyeramkan. Bisa juga kebahagiaan ini diperoleh saat melihat orang lain menderita. Contoh : saat mengantri panjang di lift, tiba-tiba ada orang yang memotong (menyelak), lalu orang tersebut tiba-tiba kepalanya terpentok. Ketika melihatnya ada yang bilang “syukurin”. Itu bobrok. Contoh lain : karena sering konflik dengan pasangan hidup, maka  begitu mengetahui pasangannya  terkena kanker, merasa senang karena bisa menikah lagi . itu bobrok. Terlalu rendah derajat kebahagian seperti itu. Kalau hal itu terjadi pada kita, kita tidak bisa melayani Tuhan sehingga tidak bisa memperoleh kebahagiaan sejati. Sayangnya masih banyak orang Kristen yang menjadi pengikut model mencari kebahagiaan seperti ini. 

2.     Kebahagian yang umum. Contoh : saat mendapat mobil baru atau sembuh dari sakit-penyakit, kita merasa bahagia. Itu umum. Tidak ada hebatnya! Tapi orang Kristen sering meletakkan kebahagian di situ. Kalau hilang yang umum itu, hilanglah kebahagiaan kita. Seharusnya kebahagiaan kita terjadi saat kita menjadi pelaku firman.  Itu tidak ada tandingannya. Ini yang harus terjadi pada kita.

3.     Kebahagiaan yang mulia yakni sebagai pelaku firman. Saya pengamat dan dosen bidang musik. Saya amati lagu yang terbaik adalah lagu gereja Joy to the World. Syair dan nadanya harmonis sekali. Kebahagian dari surga. Hal ini tercermin dari do tinggi lalu diikuti dengan do rendah. Ketika dunia mengalami “joy”, nadanya diangkat  nadanya sol la dan seterusnya.  Sayang lagu itu hanya dinyanyikan pada saat natal.  Belum habis lagunya dilanjutkan dengan lagu yang dinyanyikan Hetty Koes Endang, “Aku masih seperti yang dulu”. Jadi kalau pada tahun 2012 malas baca Alkitab, diteruskan pada tahun 2013 tetap malas juga untuk baca Alkitab. Sekarang tanggal 14 Januari 2014, ada yang sudah 5 hari (bahkan sama sekali) tidak membaca Alkitab. Kebangetan, horror, ndableg dan bebal kalau tidak membaca Alkitab. Ini menunjukkan tidak ada terima kasih dan tidak sopan. Selama 14 hari masih memaki pasangan dan melawan ortu, itu kebangetan! Apa terima kasih kita? Bahkan masih ada yang menipu. Tahu perbuatannya merupakan dosa tetapi masih dilakukan juga, kebangetan! Tahun ini berjumlah 365 hari. Kalau 14 hari tidak bisa diperaya, masa diberi waktu 351 hari lagi? Mungkin sebelah kiri anda besok meninggal.  Tuhan bukan pembantu, tapi sesembahan. Jangan bilang “dikasih karunia” tapi tidak ada penghargaan. Itu namanya lip service. Hargailah hari-hariNya! Mana bisa melayani kalau tidak menganggap Tuhan nomor satu? Kita tidak bisa melayani kalau Dia bukan yang terbaik bagi kita. Akhirnya tergantung situasi dan kondisi. Adakah aktifis yang mengundurkan diri? Menjadi aktifis merupakan sarana yang indah untuk menyatakan terima kasih. Namun seringkali paradigma ini tidak ada dalam diri para aktifis. Kita harus berani mengatakan, “Melakukan firman Tuhan itu merupakan sukacita yang indah” walau tIdak otomatis setelah ikut seminar bertema sukacita langsung berubah menjadi sukacita. Kita harus konsisten melakukannya sehingga menjadi bagian kehidupan. Ini yang harus dikerjakan dan kalau dikerjakan itu berarti kita sedang melakukan apa yang dikatakan Tuhan. Aktifis Tuhan yang mengajar sekolah minggu tetapi tidak membaca Alkitab, itu tidak melayani Tuhan! Karena tidak mau mengikuti perkataan Tuhan. Majelis yang masih memaki istrinya berarti  tidak melayani Tuhan. Karena apa yang dikatakan seseorang itu menunjukkan bobotnya. Jadilah pelaku firman, dan  untuk itu kita harus rendah hati. Kalau tidak begitu, tidak bisa melayani Tuhan. Sehingga harus tegas memegang prinsip ini. Orang yang berbahagia adalah orang yang memelihara (artinya merenungkan dan melakukan) firman Tuhan.

Memelihara Firman Tuhan

Yosua 1:8 Janganlah engkau lupa memperkatakan kitab Taurat ini, tetapi renungkanlah itu siang dan malam, supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya, sebab dengan demikian perjalananmu akan berhasil dan engkau akan beruntung. Itu kalimat dampak (imperative). Juga pada Mat 6:33  Tetapi carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenarannya, maka semuanya itu akan ditambahkan kepadamu. Tapi karena kita masih ego-centre, jadi tidak tertarik untuk mencari kerajaan Allah. Harusnya yang bernilai itu adalah “carilah dulu kerjaan Allah dan kebenaranNya”. Kita adalah duolos (hamba) dan Dia adalah Kurios (tuan). Yos 1:8 mengatakan,” janganlah engkau lupa” (atau “tidaklah engkau lupa” yang merupakan harga mati karena kalau ditulis “jangan” maknanya jadi “lembek”), memperkatakan kitab Taurat ini (digunakan kata memperkatakan karena dulu tidak ada catatan yang tertulis, sekarang konteksnya adalah jangan lupa baca Alkitab, atau tidak boleh lupa membaca firman Tuhan). Tetapi  renungkanlah itu siang dan  berlawanan sehingga mengakibatkan makna pada kalimat pertama bisa menjadi tidak berbobot. Contoh : bapak itu ganteng lho tetapi jorok. Sehingga berkurang nilainya. Atau “Ibu itu cantik lho tetapi maling”,  itu merusak. Kenapa yang positif pakai kata tetapi? Karena kebodohan dan kesombongan kita! Kita membaca firman Tuhan tapi mengira kita sudah men jadi pelaku firman, padahal itu belum! Apa pun yang kita dapat di seminar, masih merupakan wacana. Misalnya : kita mengikuti seminar “Bagaimana menjadi pegawai bahagia”, setelah pulang seminar, kita belum bahagia karena harus dilakukan dahulu. Maka baca firman Tuhan (Alkitab) namun tidak merenungkan dan melakukannya,  bisa lebih jahat. Maka firman Tuhan harus direnungkan dan khotbahkan untuk diri kita sehingga firman itu bisa “menembak”. Bapak rohani saya berkata, “Jangan khotbahi apa pun yang belum kau lakukan”. Karena khotbah bukan membagi firman tapi menghidupinya. Banyak pembicara yang khotbahnya biasa saja dan dingin karena tidak dilakukan. Pelaku firman punya sesuatu untuk diceritakan. Orang yang mengalami kapal pecah dapat menceritakan kejadiannya dengan lebih hidup dibandingkan dengan orang yang tidak pernah mengalami yang hanya bercerita berdasarkan teori saja. Maka semua aktifis tidak boleh lupa membaca firman Tuhan dan mem-follow-up nya siang dan malam. Dari aspek waktu “merenungkan” lebih banyak mengkonsumsi waktu daripada “membaca”. Kemudian supaya engkau bertindak hati-hati sesuai dengan segala yang tertulis di dalamnya. Berarti setelah merenungkan firman siang dan baru baru keluar sinerginya diawali dengan kata “supaya”. Tanpa sinergi itu kita tidak jadi orang yang rendah hati dan berbahagia (yang disimpulkan dalam pelaku firman). Tanpa melakukannya kita ibarat menjual obat. Kalau tidak ada gairah dalam membaca Alkitab berarti kita jadi pembohong.

Untuk membaca Alkitab tiap hari perlu proses. Baik lelah atau tidak, tetap baca Alkitab dan  itu perlu proses. Karena saat lelah, rasanya lebih tertarik dengan bantal guling daripada baca Alkitab. Itu perlu sangkal diri. Tapi kalau sudah melakukannya misalnya selama 8-10 tahun dampaknya lain. Ketika mengendarai mobil dan merenungkan dan mengiyakan firman Tuhan sambil berkata “ampuni aku Tuhan”. Orang yang hanya membaca harian “Pos Kota” dan merenungkannya ,maka mukanya menjadi seram akibat dari apa yang direnungkannya. Seperti kalau nonton film horror, muka kita jadi horror. Melayani Tuhan tapi tidak rendah hati, ujung-ujungnya kecewa dan suka konflik karena terbiasa melayani diri sendiri dan bila tidak dilayani akan marah. Jadi harus ada penundukan diri. Maka mulailah melayani setiap hari. Pelaku firman akan melayani. Tidak pernah kita bisa melayani dengan senang bila tidak menjadi yang terbaik bagi Tuhan. Kalau begitu kita melawan Tuhan terus. Jangan kita menjadi lembut seperti ular karena ular bila diinjak akan mematuk melainkan seperti ulat karena kalau diinjak mati. Kalau diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, aktifis gereja akan menikmati melayani. Bukan masalah berubah, itu bukan tujuan pertama. Yang pertama adalah taat atau tidak karena masalah berubah Roh Kudus yang akan lakukan. Bahagia bukan saat melayani orang itu berubah. Yang bahagia, melayani persis seperti yang diperintahkan Tuhan. Maka layanilah sebaik-baiknya. Menempatkan Tuhan diatas segala-galanya baru bisa melayani dan memberikan yang terbaik. Kalau itu dilakukan, persembahan kita akan wangi di hadapan Tuhan. Sepertinya alegoris (bertentangan). Dalam Perjanjian Lama persembahan domba di hadapan Tuhan agar berbau wangi maka pertama-tama ambil domba yang tak ternoda dan bercacat (dalam kandungan dia tidak ada yang rusak, untuk itu imam akan memeriksanya dan di luar kandungan tidak boleh rusak, seperti terpelecok kakinya atau tercakar binatang buas). Belum wangi bila sampai di situ, maka dombanya harus ditusuk, dibunuh. Belum wangi bila hanya sampai di sini. Maka harus dikuliti. Belum wangi juga bila sampai disini. Jadi dipotong-potong. Belum wangi juga. Lalu dibakar. Begitu habis, maka wangi di hadapan Tuhan. Ketika domba ditusuk, wujud domba masih kelihatan. Waktu dikuliti masih tahu baunya  domba, juga waktu dipotong. Waktu dibakar, kalau tidak lihat prosesnya tidak tahu kalau itu domba. Setelah itu baru wangi. Hidupku bukan aku lagi. Aku berkurang dan aku habis. Rendah hati, ini yang harus kita kejar. Maka biarkpun kita bukan aktifis, kita tetap harus punya mental melayani. Jadi bukan karena jabatan , kita melayani. Tanpa jabatan sinergi melakukannya membuat gereja tumbuh. Sehingga harga mati untuk menjadi pelaku firman! Dalam seluruh aspek kehidupan kita, jadi surat terbuka saat bisa dibaca orang. Mengikut Tuhan bukan bisa atau tidak tapi mau atau tidak. Tidak mungkin tidak melakukan apa yang disuruhNya. Kita lakukan, maka berubahlah pembaruan budimu, apa yang baik , apa yang berkenan dan apa yang sempurna, maka Tuhan mencari bukan hamba Tuhan yang banyak khotbah, kaya, banyak mujijat, tetapi “marilah hambaKu yang setia”. Pasti perjalanan mu diberkati, berhasil dan beruntung. Rumah tangga berhasil. Beruntung dengan anak-anak takut akan Tuhan. Akhirnya jemaat semakin senang menjadi anak Tuhan. Kesembuhan dan keturunan bukan hal yang utama. Karena baik kaya miskin semuanya tetap akan mati. Karena Dia yang menilai, maka arahkan kepada nilai kekekalan. Kumpulkan harta yang tidak habis dimakan nengat. Pasti tidak habis dan kecewa hidupmu. Hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.

No comments:

Post a Comment