Friday, August 2, 2019

Ibadah yang inspiratif : Berpusat pada Karya Keselamatan Kristus (Sesi 2)





(Pembinaan Sesi 2, Sidang Tahunan Sinode GKKK 24-26 Juli 2019)

Pdt. Budianto Lim

…….sambungan dari sesi 1

Esensi #2 Penyembahan Kristen : Berpusat pada Karya Kesalamatan Kristus

Zakaria 2:13 13  Berdiam dirilah, hai segala makhluk, di hadapan TUHAN, sebab Ia telah bangkit dari tempat kediaman-Nya yang kudus.
              Ibadah yang rasional dan relasional bukan focus pada tindakan kita. Kita tidak boleh menjadi yang pertama dan terutama. Sehingga segala macam nyanyian, tarian, doa, komitmen, janji dan lain-lainnya pasti tidak sempurna. Kita harus membiarkan perkataan Tuhan menduduki posisi teratas di awal ibadah. Bagaimana caranya? Ini yang paling sederhana : struktur (pola) Panggilan Utama vs Repons Umat mengikuti Roma, Yohanes 4 tadi dan di Perjanjian Lama juga cukup banyak. Pola ini bisa diterapkan di Sekolah Minggu, sekolah Kristen dan bisa diterapkan di kebaktian gereja. Yang menjadi pergumulan kita adalah apa yang harus ada di antara Panggilan TUHAN dan respons umat. Polanya sederhana sekali dan semuanya ada di Alkitab. Contohnya : Panggilan Tuhan bisa dilihat pada Maz 96:1-3; 1 Taw 16:29-30; Wahyu 14:7.
Maz 96:1-3
1  Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi!
2  Menyanyilah bagi TUHAN, pujilah nama-Nya, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari hari ke hari.
3  Ceritakanlah kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di antara segala suku bangsa.
1 Taw 16:29-30
29  Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, bawalah persembahan dan masuklah menghadap Dia! Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan.
30  Gemetarlah di hadapan-Nya hai segenap bumi; sungguh tegak dunia, tidak bergoyang.
Wahyu 14:7  dan ia berseru dengan suara nyaring: "Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air."
Respons umat. : doa-nyanyian-tarian- introspeksi diri – pengakuan dlsb
Bagaimana ada yang dikeduanya? Semuanya ada di Alkitab.

Skema Penyembahan yang Rasional : Who God is & What God has done (Roma 1-11), What we are and do? (Roma 12-16).

Lagu yang baru terus. Nyanyian baru  adalah nyanyian berdasarkan karya Tuhan di masa lalu, yang diperbaharuai karena kita sekarang punya Roh Kudus. Jadi nyanyiannya lama bisa jadi baru. Mazmur 66:1-3 ada tiga ayat : nyanyikanlah, ceritakanlah, kabarkanlah. Di tengah-tengah itu kita bisa masukan unsur-unsur kreatifitas. Nyanyikanlah nyanyian baru dan kita bisa mengajak jemaat merespons dengan nyanyian yang girang, memuji Tuhan karena Tuhan mengajak kita. Kemudian ketika kita masuk “kabarkanlah keselamatan dlbsnya, ceritakanlah kemuliaan Allah, kita bisa mengajak jemaat melakukan kesaksian”. Aspek kesaksian ini jarang terjadi di gereja-gereja  Injili apalagi gereja-gereja Tionghoa mungkin semua pada ja-im. Tetapi pada gereja karismatike (kontemporer) semua mau memberi kesaksian mengenai disembuhkan, dapat berkat ini-itu dlbsnya. Jadi sebenarnya aspek panggilan Tuhan itu sederhananya, kita mulai dengan perkataan Kitab Suci. Tetapi kalau perkataan Kitab Suci terlalu pendek, kita perlu mencari cara bagaimana itu ditenun dengan aspek musik, aspek pembacaan kreatif, aspek visual yang menolong jemaat yang mungkin secara visual bisa menghayati hadirat Tuhan dsbnya. Jadi aspek kreatifitas perlu terjadi dalam aspek penyajian.

Yang kedua : 1 Tawarikh 16:29 Berilah kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, bawalah persembahan dan masuklah menghadap Dia! Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan. Menurut ibu-ibu,”Berikanlah kemuliaan Tuhan” kira-kira respons apa yang cocok dengan seruan Tuhan tersebut? Persembahan. Persembahan boleh tidak dilakukan di depan? Boleh. Boleh tidak persembahan tidak pakai kantong? Boleh. Boleh tidak kalau tidak pakai persembahan? Boleh. Apa arti ‘berilah kemuliaan kepada Tuhan?’ Hormat. Bagaimana cara kita mengajak jemaat untukmenghormati Tuhan? Kita harus pikirkan respon apa yang paling tepat? Ada kata ‘gemetarlah di hadapanNya”. Apa respon yang paling tepat? Bersyukur. Bersyukur = persembahan. Berarti kalau persembahan tidak ada, lalu jemaat diberitahu ‘berilah kemuliaan kepada Tuhan. Gemetarlah kepadaNya’, lalu jemaat diminta kesaksian kepada teman kanan-kirinya , apa yang kamu syukuri minggu ini, boleh tidak? Pernah kejadian tidak? Tidak! Karena bisa ribut / berisik apalagi jemaatnya suka ngomong. Apalagi jemaatnya semuanya keluarga. Mungkin terbalik juga, karena keluarganya suka berantem, maka saling tidak bicara. Ada gereja yang semuanya keluarga (keluarga karena pernikahan). Tetapi mungkin terbalik juga. Karena keluarganya saling berantakan, tapi Kristen. Di gereja diam, di rumah juga saling mendiamkan. Ini mengerikan. Berarti bisa. Reaksi awal : Kita selalu gereja itu, waktu ribut, kita takut kebaksian jadi messy. Padahal di dalam realita kehidupan kita sebagai hamba Tuhan sekalipun, hidup kita banyak messiness.
Kita hamba Tuhan sibuk kan? Istri saya pernah berkata,”Hamba Tuhan di gereja seperti semut”. Semut saat bertemu dengan semut, akan saling memberi salam lalu jalan. Semua semua seperti itu. Panggilan Tuhan nomor satu, kemudian respons umat kita cocokkan dengan panggilan tersebut.. Tentu kita harus berpikir, “beri kemuliaan itu apa?’. Dalam bahasa Ibrani, kahot (mulai, glory) berarti kita memberikan bobot kepada Tuhan yang semestinya. Pertanyaan : Bagaimana kita mengajak jemaat menyatakan bahwa TUhan itu punya bobot yang berbeda dengan kita dan bobot Tuhan itu patut kita puji dan sembah. Sebagai hamba Tuhan harus kita pikirkan, dan bila memikirkan hal ini setengah mati. Kita punya bias/filter. Mari kita jujur setiap kita punya selera nyanyian yang seperti apa ? Ada yang sukanya lagu-lagunya begitu romantis, asyik dengan Tuhan (nyanyi bisa sampai menangis) tetapi ada orang juga suka puji-pujian yang girang (bersorak-sorai). Kita punya selera. Oleh karena itu, waktu kita merancang hal-hal seperti ini, jangan hanya sendiri. Perlu tim minimal 3 orang, kalau 2 berantem masih ada yang ketiga (penengah).

Yang ketiga : Wahyu 14:7  dan ia berseru dengan suara nyaring: "Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air." Respon apa yang paling tepat, ketika kita sudah mendengar seruan Tuhan seperti itu? Tadi muliakan Dia, mirip dengan 1 Tawarikh. Takutlah mirip dengan 1 Tawarikh (ada gemetarlah). Lalu ‘sembahlah Dia yang menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air’. Bagaimana respon yang paling tepat? Pujian! Bisa juga kita mengajak jemaat mendoakan Jakarta yagn katanya mau tenggelam. Berita ini sudah saya dengar dari 25 tahun lalu tetapi PEMDA diam saja. Kita orang Kristen tidak pedulikan urusan eko. (ecology, eco teology, ecosystem) padahal firman Tuhan, mengajak kita untuk menjadi pengelola (steward) atas seluruh ciptaan. Ketika kita memayungi seluruh pemahaman teologi kita di bawah teologi ibadah, aspek ecosystem, ecology masuk di bawah teologi ibadah. Gereja Protestan, kaum injili sedikit sekali membicarakan tentang ecology. Ini adalah aspek yang bisa dipertimbangkan. Sampai seberapa jauh jemaat kita benar-benar menyadari bahwa urusan kita memelihara bumi adalah aspek kita menyembah Allah yang menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air. Setiap kali saya punya kesempatan pelayaan di kantong Kristen, saya ajak jemaat jalan-jalan ke pantai. Contoh : di Nias dan kota kantong Kristen lainnya. Yang menyedihkan di pantai sampah semua. Gereja tidak ada yang memusingkannya, karena gereja hanya mengurusi yang di dalam (urusi doktrin pengajaran dlsb). Tidak ada movement mobilisasi jemaat untuk membersihkannya. Karena Tuhan kita adalah Tuhan yang menjadikan langit dan  bumi, dan semua mata air. Kita jarang memikirkannya. Pola ini adalah pola yang cukup sederhana. Jadi urusan respon bisa macam-macam. Jadi jangan terlalu ketakutan untuk bisa mengajak jemaat meresponi. Tetapi tentu kita perlu bijaksana, karena setiap jemaat local itu beda dan ada kultur dalam jemaat. Kita perlu mempertimbangkannya dengan seksama. Respon itu bisa beragam, respon itu tidak selalu harus  dengan menyanyi . Ttapi bisa kombinasi doa, tarian, nyanyian , skip intropeksi diri , pengakuan dosa dll. Dan bisa ditenun , nyanyian jadi doa atau doa pakai nyanyian. Atau nyanyi, doa ,kemudian nyanyi lagi. Semua variasi perlu kita pertimbangkan karena aspek kreativitas adalah urusan variasi.

Pengagungan Pengakuan

Yesaya 6:1-13 Pengagungan Pengakuan “TUHAN kasihanilah kami, orang berdosa ini!”. Kalau kita mau serius mengikuti petunjuk Tuhan maka ini dua respon yang paling utama. Yesaya 6:1 kasih tahu latar belakang Raja Uzia meninggal dunia, lalu Yesaya melihat Tuhan duduk di atas tahta. Lalu ayat 2, Serafim (malaikat) berseru ,”Kudus , kudus, kuduslah Tuhan Semesta Allah, seluruh bumi penuh kemuliaanNya”. Pernyataan ‘kudus, kudus, kuduslah Tuhan’ ini adalah  pengakuan jati diri Tuhan. Itu bisa disebut sebagai pengakuan sekaligus pujian kepada Tuhan. Kemudian ayat 5 ‘celakalah aku’. Yang  paling umum yang menjadi garis besar adalah pengagungan bisa memakai pujian atau doa memuji 2. Yang kedua ungkapan kejujuran , ajak jemaat mengungkapkan apa saja yang sudah terjadi dalam minggu ini secara jujur. Yesaya 6 ini, Nabi Yesaya bukan saja hanya bicara, celakalah aku karena aku adalah seorang najis bibir (ini personal). Kalimat berikutnya,’Aku tinggal di tengah bangsa yang najis bibir’. Ada kejujuran personal (pribadi), tetapi ia menyadari bahwa bangsanya juga najis bibir. Jadi aspek personal dan komunal dalam kebaktian tiap minggu, atau di dalam kapel atau di manapun konteksnya tidak bisa dipilih (harus dua-duanya ada). Kedua respon utama ini sangat tepat membawa kita ingat akan Tuhan kita (yang menyelamatkan kita melalui karya kayu salib). Pengangungan wajar sekali (sudah seharusnya). Rasional kalau kita memuji-muji Kristus yang sudah mati bagi kita. Yang kedua kita masuk ke dalam ungkapan kejujuran di hadapan Tuhan. Karena Yesus sudah mati untuk kita, kita percaya kepadanya dan kita diberikan Roh Kudus di dalam kita, tetapi kita masih mengalami pengudusan. Orang yang sudah percaya Kristus, masih butuh Injil atau tidak? Masih butuh! Karena kitab  Roma mengatakan bahwa kita berpijak dari iman , memimpin kita kepada iman, tengah-tengahnya apa? Proses hidup di dalam iman (orang benar akan hidup oleh iman). Ini adalah satu hal yang patut kita pertimbangkan.

Saya akan focus pada 2 aspek ini, di dalam perenungan kita untuk sesi ini. Doa pengakuan dosa atau doa kejujuran di hadapan Allah. Banyak gereja yang sudah tidak ada pengakuan dosa. Dalam liturginya dicetak doa pembukaan, tetapi tidak ada doa pengakuan dosa. Dalam pembinaan seperti ini seperti diingatkan dan kemudian esoknya kebaktian di mana dalam doa pembukaannya ada doa pengakuan dosa. Doa pengakuan dosa mungkin terminology yang terlaku kaku, berbau liturgi high churh seperti Anglican, HKBP, Lutheran dsbnya, kita bisa berikan ungkapan terminology yang berbeda :  doa kejujuran di hadapan Tuhan, ungkapan kejujuran di hadapan Tuhan. Saya kira, kita tinggal di negeri ini, kalau orang Kristen tidak didorong untuk jujur berarti ada yang salah. Apalagi kita hidup di tengah-tengah dunia yang berita dari KPK banyak sekali (berapa persen dari orang yang ditangkap KPK itu adalah orang Kristen?”)

Proskuneo ,”Tuhan kasihanillah kami, orang berdosa ini”

Proskuneo adalah kata di Perjanjian Baru yaitu kata mengenai penyembahan yang paling banyak muncul. Tetapi berapa banyak gereja yang mengajak jemaatnya melakukan postur menyembah dengan tubuhnya bertelut? Ada tidak GKKK yang tiap Minggu bersujud?  Iman Kristen Protestan masih mengabaikan postur penundukan diri seperti ini, karena kita diajari bahwa yang penting adalah hati. Kita diajari (khususnya gereja injili) yang menganggap postur (gesture) itu miliknya gereja katolik, karismatik atau ortodoks. Padahal kita berkata, gereja injili based on the Bible. Ini ada yang kontradiktif dalam pengakuan iman kita. Memang betul bukan masalah fisiknya saja. Kalau fisiknya saja tapi hatinya tidak sambung dengan Tuhan dengan penundukkan diri, maka fisiknya tidak ada nilainya di hadapan Tuhan. Tetapi bukan berarti kita mengatakan yang penting hatinya,  fisiknya tidak penting sehingga kita tidak melakukan. Jangan lupa, kita ini manusia yang diciptakan Tuhan, tubuhnya ada panca indra. Jadi kita perlu Roma 12 ‘persembahkanlah tubuhmu’. Mempersembahkan tubuh karena hati kita sudah in tune dengan Tuhan. Jadi bukan hanya hati tetapi juga fisik (holistic atau seluruhnya). Banyak gereja yang ribut tentang tepuk tangan, karena kita tidak pernah diajari Alkitab mengatakan dengan jelas,”persembahkanlah tubuh”, tapi ada gereja yang berantem boleh tidak tepuk tangan. Tangan itu tubuh atau bukan? Ada yang berkata tidak boleh tepuk tangan. Ada yang bicara mari kita tepuk tangan memuliakan Tuhan. Apakah kita sedang merohanikannya atau tidak? Jadi boleh tidak tepuk tangan?  Mengapa ada tepuk tangan dalam kebaktian? Kalau mau memuji Tuhan, “Tuhan luar biasa” dan spontan tepuk tangan, masa kita memarihinya? Tetapi tipe di gereja seperti kita,tepuk tangan banyak kalau orang tampil di depan. Apalagi kalau paduan suara anak-anak. Itu anak gua lucu bangat, lalu divideokan. Semua tepukin. Kalau kita ada paduan suara anak, lalu kita tepoki,  kita-kira kita kirim pesan apa kepada anak-anak kita? Bahwa ibadah (tampil) itu butuh dihargai. Itu tidak jelek. Itu kan common sense. Tetapi kita perlu ajarkan anak kita di dalam peribadahan, bukan saya yang ditepoki. Dalam hal ini, saya dan Lidya lebih memilih, kalau ada paduan suara di depan tidak usah ditepoki, tapi saat kita memuji-muji Tuhan silahkan tepuk tangan. Bahkan ada orang-orang yang mengatakan paduan suara jangan di depan. Karena orang-orang yang ikut paduan suara kerohaniannya belum tentu benar. Ada yang tidur dan di depan hanya melihati gadget (saat khotbah melihat gadget saja). diusulkan paduan suara ditaruh di pojok atau di balkon (suaranya dari atas ke bawah seperti gereja-gereja di Inggris). Maka Banyak yang eperti itu. Mending taruh di pojok seperti gereja-gereja di Inggris. Di sana Inggris paduan suara tidak menghadap ke jemaat tetapi saling berhadapan. Bangkunya berhadapan. Jadi bukan mau ajak mereka tampil. Tetapi ketika kita pakai model entertainment (hiburan) kita  mau semuanya tampil. Saya ketemu banyak gereja Tionghoa yang bertengkar gara-gara yang satu ditepoki dan yang lainnya tidak. Ini karena tidak ada pemahaman teologi ibadahnya. Ini doa yang pendek sekali. Kita ajak jemaat berdoa, “Tuhan kasihanilah kami orang berdosa ini”. Kita coba dan siapkan hati kita. Hapalkan kalimat “Tuhan kasihanilah kami orang berdosa ini”  
Mari kita tundukan kepala, kita cari posisi duduk yang cukup baik. Nanti saya berikan aba-aba untuk menaikkan doa ini bersama-sama. Mari tenangkan diri dan berdoa “Tuhan kasihanilah kami orang berdosa ini”. Lalu coba dengan posisi berlutut (posisi proskuneo) dan sama-sama sekali datang ke hadapan Tuhan. Sekarang sebelum menaikkan doa bersama-sama, mari saya undang bapak/ibu merenungkan pelayanan yang kita kerjakan selama ini. Adakah motivasi , tindakan dimana kita butuh belas kasihan? Silahkan berdoa sekarang. Apakah ada bedanya?
Apakah ada efeknya? Bedakan berdoa dengan posisi duduk, berdiri dan berlutut. Dengan berlutut merendahkan diri di hadapan Tuhan, menyerahkan semuanya dan merasa kita manusia berdosa. Dengan berlutut, adakah yang pernah berkhotbah atau mendengarkan khotbah ,”Rendah hatilah! Rendah hatilah! Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan”. Karakter pelayan Kristen rendah hati, memperhatikan kepentingan orang lain. Kita bicara tetapi tidak pernah ajak jemaat untuk benar-benar merendahkan diri. Aneh bukan? Di dalam konteks yang lain, misalkan kita mengajak jemaat memuji Tuhan, mengangkat tangan tapi kita semua tidak mengangkat tangan. Aneh bukan? Padahal lagunya mengajak mengangkat tangan. Ada teorinya. Mengapa mengangkat setengah saja? Ini orang malas. Mengapa angkat tangannya tidak tinggi? Lihat apakah keringatan tidak? Ini adalah teorinya dalam gesture. Ada meaningnya. Gereja mula-mula banyak menggunakan simbolisem. Aspek-aspek yang perlu kita perhatikan. Postur atau gestur tubuh kita mengenai Dia yang menolong kita jujur mengakui keberdosaan kita dan sebagainya. Kita tidak bisa mengabaikan aspek tersebut.

Ini ada lagu “Di muka Tuhan Yesus betapa hina diriku, kubawa dosa-dosaku di muka Tuhan Yesus”. Coba nyanyikan lagu ini. Posisinya boleh duduk, berdiri atau berlutut. Kita coba nyanyikan lagu ini sebagai sebuah pengakuan di hadapan Tuhan. Mari kita tenangkan diri kita sekali lagi dan coba menaikan lagu pujian ini. Saat mengajak jemaat menyanyi lagu ini, kita rendahkan diri. “Di muka Tuhan Yesus betapa hina diriku, kubawa dosa-dosaku di muka Tuhan Yesus” Kita mengajak jemaat menyanyikan lagu ini. Setelah menyanyikan lagu ini, music tetap jalan, jemaat dipersilahkan jujur di hadapan Tuhan. Setelah momen jemaat berdoa, lalu music diam. Kemudian doa dilanjutkan , lalu untuk menutup kita kembali menyanyikan lagu ini. Artinya bagian kejujuran dan bagian pengakuan dosa , tidak hanya satu cara melakukannya. Aspek-aspek seperti ini pun kita bisa memvariasikannya. Intinya kita bisa cocokan dengan konteks jemaat kita. Postur, gestur adalah media untuk mendaratkan kebenaran iman yang kita semua sudah tahu, tapi sayangnya aspek ini tidak dilakukan.
Ada seorang filsuf yang sudah almarhum, Marshall Mcluhan yang mengatakan,The Medium is the massage. “Tidak ada media yang murni netral sebab apapun media yang dipilih untuk mengkomunikasikan sesuatu akan memberi dampak pada isi pesan”. Meida yang digunakan untuk menyampaikan injil, media itu akan mempengaruhi isi injil. Ketika kita melakukan seluruh penyembahan dengan media , postur tubuh kita karena firman Tuhan mengatakan persembahkanlah tubuhmu, maka postur tubuh kita mengkomunikasikan isi kerendahan diri, kerendahan hati dan sebagainya. Di situlah jemaat akan dibawa makin dalam lagi mengalami Tuhan dan kalau orang mengalami Tuhan, ia bukan saja diinspirasi tetapi ia juga ditransformasi.
Kebaktian tidak bisa disebut Kristen kalau tidak ada pengakuan dosa (kejujuran). Mengapa tidak bisa? Kalau kebaktian tidak ada pengakuan dosa, berarti injil dihapus. Mengapa orang butuh Injil? Karena doa! Injil perlu karena dosa. Kalau doa pengakuan dosa tidak ada, di mana Injilnya kalau begitu? Kalau kita berkoar percaya pada Yesus, tetapi kita tidak kasih tahu mengapa harus percaya. Tanpa kejujuran (pengakuan dosa), kita terjebak dalam ajaran dunia untuk percaya diri berlebihan dan mampu memecahkan semua persoalan hidup dengan kemajuan teknologi, kebaktian menjadi momen memperbesar mentalitas narsistik yang sangat kental di zaman ini. Kita perlu pikirkan cara bagaimana memandu jemaat dan diri kita sendiri untuk jujur di hadapan Tuhan setiap minggu. Mengapa setiap minggu? Mengapa tidak setiap hari? Perjamuan kudus di GKKK sebulan sekali. Bersyukur bisa sebulan sekali, masih banyak gereja yang melakukan 3 bulan sekali. Saat ditanya,”Mengapa frekuensi-nya tidak lebih banyak?” Dijawab,”Tidak enak kalau lebih banyak. Nanti kurang menghayati”. Padahal kita makan tiap hari,mengapa kita tidak makan 3 bulan sekali agar kita lebih menghayati makan. Aneh bukan? Padahal perjamuan kudus adalah perjamuan dan perjamuan kudus itu  bukan hanya di Perjanjian Baru. Perjamuan dengan Allah sudah ada di Kitab Keluaran 24 waktu umat Israel sudah menerima firman Tuhan, mereka makan-minum di hadapan Allah. Perjamuan dengan Allah berarti Allah sudah menerima kita (yuk kita makan semeja). Jadi yang namanya perjamuan tidak bisa jarang, harusnya seminggu sekali. Hanya kita gereja Protestan karena kita mengikuti sejarah dari tradisi reformasi dan di dalam tradisi reformasi itu beraneka-ragam reformatornya. Ada reformator seperti John Calvin yang mau setiap Minggu tetapi majelis-nya tidak mengijinkan sehingga akhirnya hanya dilakukan sebulan sekali. Ada Zwingli di kota Zurich yang dia mau menjauh dari Katolik sehingga perjamuan kudus hanya simbol dan akhirnya dilakukan 3 bulan sekali. Bahkan ada gereja yang melakukannya setahun dua kali. Ada  gereja Protestan yang mau menjauh banget dari Katolik sebagai counter dari Katolik, sehingga perjamuan kudusnya dikorbankan dan khotbahnya dibanyakan. Padahal perjamuan kudus adalah firman di dalam bentuk visual. Kan Tuhan sendiri yang berbicara (Sesering kamu memakannya ingatlah akan Aku). Berarti gereja semakin jarang ada perjamuan kudus semakin tidak ingat kalau Tuhan Yesus sudah mati.

Tanpa pengakuan dosa :
-        Esensi Injil ikut dihapus
-        Komunitas Kristen diajak ikuti arus kultur bahwa kita bisa lakukan segala sesuatu & tidak butuh anugerah
-        Kita terjebak dalam ajaran dunia untuk “percaya diri” berlebihan dan mampu memecahkan segala persoalan hidup dengan kemajuan teknologi
-        Kebaktian hanya menjadi momen membesarkan mentalitas narsistik – Tuhan Yesus disuruh nolonginn saya, jawab doa saya, perhatikan saya, beri saya rejeki dll

Cara lain mewujudkan pengagungkan adalah dengan menyanyi
menyanyi : respons merayakan Allah Penyelamat.

Dasarnya ada di Keluaran 15. Miryam dan Musa mengajak seluruh jemaat untuk memuji Tuhan karena Tuhan sudah omong dan sudah lakukan keselamatan baru mereka merespons dengan nyanyian. Nyanyian mereka secara eksplisit ditujukan kepada Tuhan Allah Yahweh. Jadi aplikasi yang paling praktis, kita harus memperhatikan nyanyian yang dipakai apakah lagu tersebut spesifik ditujukan pada Yesus Kristus. Eksplisit tidak liriknya ditujukan kepada Allah? Banyak lagu-lagu Kristen yang pakai istilah Tuhan secara generic. Kita harus berhati-hati sekali karena kita tinggal di negeri Indonesia yang adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Semua orang katanya percaya kepada Tuhan. Tetapi apakah Tuhan yang dipercaya Kristen, sama atau tidak dengan agama lain? Tidak! Ini bisa diperdebatkan. Ada yang menjawab, ya dan tidak. Kita tidak akan berdebat ke arah sana.

Contoh :
Sari Simorangkir                                                                                         Edward Chen
Tuhanlah kekuatan dan mazmurku                                                           saat ku tak melihat jalan-mu
Dia gunung batu dan es’lamatanku                                                           saat ku tak mengerti rencana-mu
Hanya padaMu hatiku percaya                                                                 namun tetap ku pegang janji-mu
Kaulah Menara dan kota perlindungan                                                    pengharapanku hanya pada-mu
Reff :                                                                                                           Reff :
Ku mau sla’lu bersyukur                                                                            hatiku percaya 3x
S’bab cintaMu padauk                                                                               s’lalu ku percaya
Tak kan pernah berubah
Hatiku percaya

Walau bumi berguncang
Gunung-gunung beranjak
Namun kasih setiaMu
Tak pergi dariku

Mana yang bagus di antara kedua lagi di atas? Yang di kiri lagu Sari Simorangkir. Intinya : hanya kepadaMu aku percaya. Lagunya Edward Chen juga sama “hatiku percaya”. Lagu Sari Simorangkir berkata Tuhanlah kekuatanku. Di dalam konteks orang-orang dalam pergumulan, Roh Kudus bisa memakai kedua lagu. Tapi dalam kebaktian komunal (bukan individualistik, dalam personal worship keduanya boleh dipakai), prinsip kita : berpusat pada karya keselamatan Kristus.Kalau memang berpusat pada karya keselamatan Kristus, maka saya ingin membuatnya spesifik dan eksplisit. Karena kita percaya Tuhan yang menyelematkan, bukan yang mana-mana tetapi Tuhan Yesus. Dari kedua contoh lagu ini, ada yang mengatakan yang satu baik, keduanya baik, ada juga yang mengatakan lagu yang satu lagi sangat menolong (hatiku percaya yang diulang-ulang). Saya tidak setuju lagu Edward Chen dipakai karena tidak jelas siapa ‘mu’ di sini? Kita percaya dengan siapa? Lagu Sari Simorangkir lebih mending karena ada kata Tuhan satu. Dan ada metafora (kiasan) tentang Allah kita adalah gunung batu, keselamatan, Menara , kota perlindungan dan seterusnya. Ini kalimat dari Mazmur. Tapi saya tidak akan pakai lagu ini dalam konteks kebaktian komunal. Kecuali saya ubahnya kata-katanya. Di Indonesia kita tidak pakai copyright. Saya akan mencari lagu yang eksplisit karena saya mau sadar-sesadarnya bahwa yang ikut kebaktian belum tentu semuanya sudah lahir baru. Dari mana kita tahu? Apakah kita mengajak jemaat berasumsi bahwa yang dipercaya adalah pasti Yesus, satu-satunya Juruselamat? Apakah kita berasumsi? Kalau kita pakai lagu Edward Chen kita berasumsi. Padahal kita percaya nama Yesus punya kuasa.
              Dalam lagu Edward Chen tidak ada kata Tuhan sama sekali, saya tidak setuju. Saya suka lagu ini karena melodinya menolong saya untuk dekat dengan Tuhan. Tapi saya tidak akan pakai lagu ini di ibadah komunal, kecuali saya medley lagu ini dengan lagu yang ada kata Kristusnya. Kita harus berhati-hati dengan mengatakan motivasi kita jelas kepada Yesus. Prinsip saya : berpusat pada keselamatan Kristus. Kalau nama Yesus saja tidak mau kita sebutkan di dalam lagu , bagaimana? Di dalam konteks kebaktian komunal ada orang yang belum peraya. Kita tidak bisa berasumsi, orang yang tidak percaya itu melihat orang Kristen menyanyikan kepada Yesus. Kalau dalam nyanyian, ada kata “Bapa Sorgawi” itu ok. Tetapi ketika sama sekali tidak ada maka saya kesulitan. Tetapi kalau bapak/ibu mengatakan sebodo amat, terserah bapak/ibu juga. Saya menegaskan, lagu yang hanya menggunakan kata ‘kau’,’mu’,’engkau’ tidak akan saya gunakan. Karena saya kembali ke prinsip “Berpusat pada karya keselamatan Kristus”.  Kalau istilah GBU masih bisa saya terima, karena masih menempatkan Allah yang subjek. Namun di group WA teman-teman SMA, saya gunakan Jesus loves you. Kalau group WA semua sudah lahir baru, bisa pakai GBU. Saya berharap bapak/ibu bukan hanya sekedar menggumuli hal ini secara intelektual, tapi  mari kita menggumulinya dilihat dari aspek secara keseluruhan ketika semua jemaat berkumpul. Karena kita bisa berasumsi, semua orang percaya kepada Yesus. Tentu, ini satu aspek banyak orang menganggap saya kaku. Tetapi tidak apa-apa, karena saya memegang prinsip apa yang saksikan di dalam Alkitab dan saya melihat banyak lagu yang tidak berpusat pada Allah Tritunggal. Hanya kepada Allah Bapa atau Yesus saja, sedangkan lagu yang ditujukan kepada Allah Roh Kudus sedikit sekali. Ini sebuah kekurangan di dalam iman Kristen Protestan khususnya kaum injili. Padahal kita katanya percaya kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus, tetapi lagu-lagu kita bukan trinitarian, paling binitarian atau hanya satu.

Lagu Jonathan Prawira
Bukan dengan barang fana Kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal tiada noda dan cela
Bukan dengan emas perak Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih dan pengorbananMu
Reff :
Kutelah mati dan tinggalkan jalan hidupku yang lama
Semuanya sia-sia dan tak berarti lagi
Hidup ini kuletakkan pada mezbahMu yang Tuhan
Jadilah padauk seperti yang Kau ingini
Bukan dengan emas perak Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih dan pengorbananMu

Lagu ini dari 1 Petrus 1:18-20. Tetapi coba perhatikan kalimat dalam ayat firman Tuhan tersebut. Di dalam ayat tersebut, darah yang mahal, darah Kristus. Firman Tuhan eksplisit mengutarakan hal tersebut. Saya jadi bertanya-tanya pada saat Jonathan Prawira menciptakan lagu ini, apakah ia membuat lirik lagunya karena lebih enak Kristusnya tidak ada, atau saat membuat lagu ini ia melihat ayat tersebut tetapi mengapa kata Kristus-nya dikeluarkan? Apakah lagu ini ingin dibuat se-generic mungkin sehingga orang yang non-kristen itu bisa menyanyikannya juga. Seperti lagu “Tiada yang Mustahil bagi Tuhan” yang dinyanyikan oleh Pak Wiranto yang beredar di WA group. Ini jadi pertanyaan saya. Padahal firman Tuhan jelas sekali (darah yang mahal, Darah Kristus), mengapa kata ‘Kristus’ tidak dikeluarkan? Hal ini bisa diperdebatkan dengan banyak intepretasi. Lagu ini saya suka sekali. Lagu ini menolong saya untuk ingat bahwa kasih Tuhan luar biasa sekali. Tetapi saya bergumul, darah yang mahal , darah apa? Lagu ini ada dasar Alkitab (1 Petrus 1) tetapi dalam ayat itu ada darah Kristus secara eksplisit tetapi maka tidak dikeluarkan pada saat menyanyi? KPPK 12 dan 23 tidak ada kata Tuhan , yang ada hanya kata “Mu” dan “Nya”.  KPPK terjemahannya ada yang jelek. Kalau kita memeriksa bahasa aslinya (semua lagu himne terjemahan), lagu amazing graze tidak ada kata Tuhannya, tapi pada bait ke 4 atau 5 muncul bahwa Dia adalah Juruselamat kita. Tetapi Bait 1-2 tidak ada. Itu masalah terjemahan. Jadi saya setuju KPPK, tidak semua lagu di KPPK bagus, tidak semuanya himne, ada lagu kontemporer dimasukkan ke sana. Dulu PPK sekarang jadi KPPK dengan terjemahannya ada yang jelek. Saya mengajarkan lagu paduan suara, KPPK (lagu himne) tetapi waktu baca kalimat di KPPK tidak nyambung dengan anak-anak sekarang. Itu high language, bahasa yang bukan day-to-day. Kalau menggunakan enak bahasanya, maka akan gampang nempel di jemaat.
                                                                                                                                        
Nyanyian adalah instrumen pengajaran.

Mari kita perhatikan firman Tuhan. Saya tidak intepretasi macam-macam. Mari kita lihat Mazmur 119:12 Terpujilah Engkau, ya TUHAN; ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku, 54  Ketetapan-ketetapan-Mu adalah nyanyian mazmur bagiku di rumah yang kudiami sebagai orang asing, 108 Kiranya persembahan sukarela yang berupa puji-pujian berkenan kepada-Mu, ya TUHAN, dan ajarkanlah hukum-hukum-Mu kepadaku., 164   Tujuh kali dalam sehari aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil., 171 Biarlah bibirku mengucapkan puji-pujian, sebab Engkau mengajarkan ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku., 172 Biarlah lidahku menyanyikan janji-Mu, sebab segala perintah-Mu benar., 175 Biarlah jiwaku hidup, supaya memuji-muji Engkau, dan biarlah hukum-hukum-Mu menolong aku.
Ada beberapa hal yang menegaskan bahwa nyanyian adalah instrumen pengajaran.
12 : dikaitkan pujian dengan pengajaran.
54 : pengajaran Tuhan adalah nyanyian (pengajaran yang dinyanyikan).
108 : pujian disetarakan dengan ajaran (hukum) Tuhan
164 : memuji Tuhan karena pengajaran hukum (ketetapan) Tuhan , baik dan adil tidak pernah salah.

Menyanyi adalah respon atas keselamatan Allah dan berikutnya nyanyian adalah instrument pengajaran. Semua ayat 7 ini mengaitkan nyanyian (puji-pujian) dengan aspek ketetapan , hukum , pengajaran Tuhan. Jadi yang namanya nyanyian tidak bisa hanya dipertimbangkan atau dihayati sebagai fungsi merayakan keselamatan Allah sebagai respon kepada Allah. Nyanyian bisa menjadi bentuk untuk menyajian pengajaran Allah. Pola panggilan Tuhan – respons umat. Saat panggilan Tuhan (Wahyu 14:7) boleh dipakaiin lagu tetapi isinya berupa kalimat dari Wahyu 14:7. Dalam hal ini nyanyian menjadi instrumen pengajaran. Adalah salah buat gereja yang tidak mau lagi lagu himne. Banyak gereja yang ketika berkata, “Saya tidak mau pakai lagu himne. Lagu-lagu pendek semua atau lagu-lagu kontemporer seperti Hatiku Percaya, Sari Simorangkir, Jeffry S Tjandra, JPPC, NDC, Symphony. Menurut saya salah.” Bukan berarti lagu zaman sekarang tidak ada yang punya bobot pengajaran. Memang betul, harus pilih lagu baik-baik. Kita tidak bisa sembarangan pakai lagu yang disukai oleh si worship leader. Karena nyanyian di dalamnya bisa jadi pengajaran. Ini jelas sekali dalam firman Tuhan, tidak dibuat-buat.

Bersambung ke sesi 3….


No comments:

Post a Comment