Monday, March 7, 2016

Salib : Muara Kutuk – Kasih Allah

Pdt. Hery Kwok

Matius 26:36-46
36 Maka sampailah Yesus bersama-sama murid-murid-Nya ke suatu tempat yang bernama Getsemani. Lalu Ia berkata kepada murid-murid-Nya: "Duduklah di sini, sementara Aku pergi ke sana untuk berdoa."
37  Dan Ia membawa Petrus dan kedua anak Zebedeus serta-Nya. Maka mulailah Ia merasa sedih dan gentar,
38  lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku."
39  Maka Ia maju sedikit, lalu sujud dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki."
40  Setelah itu Ia kembali kepada murid-murid-Nya itu dan mendapati mereka sedang tidur. Dan Ia berkata kepada Petrus: "Tidakkah kamu sanggup berjaga-jaga satu jam dengan Aku?
41  Berjaga-jagalah dan berdoalah, supaya kamu jangan jatuh ke dalam pencobaan: roh memang penurut, tetapi daging lemah."
42  Lalu Ia pergi untuk kedua kalinya dan berdoa, kata-Nya: "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!"
43  Dan ketika Ia kembali pula, Ia mendapati mereka sedang tidur, sebab mata mereka sudah berat.
44  Ia membiarkan mereka di situ lalu pergi dan berdoa untuk ketiga kalinya dan mengucapkan doa yang itu juga.
45  Sesudah itu Ia datang kepada murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: "Tidurlah sekarang dan istirahatlah. Lihat, saatnya sudah tiba, bahwa Anak Manusia diserahkan ke tangan orang-orang berdosa.
46  Bangunlah, marilah kita pergi. Dia yang menyerahkan Aku sudah dekat."

Pendahuluan

                Muara adalah tempat berakhirnya aliran sungai yang dikenal dengan nama laut (pertemuan antara air tawar dan air asin). Dalam tema Salib : Muara Kutuk – Kasih Allah, salib merupakan  tempat pertemuan antara kasih Allah dan kutuk Allah.  John Robert Walmsley Stott (1921-2011, pengkhotbah, penginjil, dan penulis asal Inggris) dalam bukunya The Cross of Christ (2006 Salib Kristus) memberikan 2 pertanyaan :

1.       Mengapa Allah tidak langsung saja mengampuni kita, mengapa harus melalui Salib?
Pertanyaan ini menyinggung satu kebenaran dan membawa kita kepada pemikiran khususnya sewaktu Tuhan mengajarkan doa Bapa Kami, “ampunilah kami akan kesalahan kami, seperti kami juga mengampuni orang yang bersalah kepada kami” (Matius 6:9). Juga pada Mat 18:23-35 perumpamaan tentang hamba yang jahat yang diampuni raja dengan membebaskan utangnya sebesar 10.000 talenta (jumlah ini sangat besar dan tidak bisa dilunasi sampai mati).  Hamba yang jahat ini kemudian bertemu dengan orang yang berhutang kepadanya 100 dinar dan ia tidak bersedia membebaskannya saat orang itu tidak bisa membayarnya. Jumlah utang ini  tidak ada artinya bila dibandingkan dengan utangnya kepada raja. Setelah mengetahuinya, Raja berkata, “Hamba ini jahat dan patut dihukum.” Allah memberikan sebuah petunjuk bahwa kita saling mengampuni dan tidak ada keharusan ada yang mati. Tetapi kenapa Tuhan harus repot –repot dengan mati di kayu Salib? Mat 6:15 Tetapi jikalau kamu tidak mengampuni orang, Bapamu juga tidak akan mengampuni kesalahanmu.", Jadi pertanyaan ini bagus untuk dipikirkan karena makna pengajarannya dalam. Ia mengkhotbahkan tentang pengampunan tetapi Dia sendiri ‘tidak bisa’ melakukanNya.

2.       Mengapa pengampunan kita harus bergantung pada Salib Kristus?
Kalau berdasarkan akal sehat, pengampunan itu sebenarnya tidak harus melalui salib. Orang Islam mengajarkan tentang bagaimana beramal dan menimbun amal. Kebaikan akan ditimbang, dan bila pada neracanya kebaikan lebih berat dibanding kesalahannya maka akan seseorang akan diampuni . Jadi tidak tergantung pada Yesus. Maka berbuat baik dan beramal kepada manusia (seperti menolong janda, yatim piatu , menyumbang rumah ibadah) lebih masuk akal sehingga diampuni. Atau seperti pengikut Budha yang vegetarian, menyangkal diri dan berusaha tidak menyakiti orang lain bahkan binatang. Sehingga ajaran manusia seakan-akan lebih masuk akal dibanding ajaran Kitab Suci.

Kedua pertanyaan ini akan mengarahkan kita melihat tema di atas.  Menjawab apa yang John R.W. Stott tanyakan, kita akan masuk ke pemahaman tentang dosa.

Dosa adalah hal yang PALING MENGERIKAN

Apa pemahaman kita tentang dosa?
-          Suatu tindakan kejahatan? Tindakan kriminal seperti membunuh, memperkosa, merampok orang sehingga pelakunya disebut pendosa?
-          Satu perbuatan yang merugikan orang lain? Contoh : bolehkah menipu dan berbohong kepada orang? Sehingga ada yang mengatakan bahwa boleh sedikit berbohong (white lie) dengan alasan kalau orang lain rugi sedikit tidak apa daripada merugikan orang banyak atau kalau tidak sedikit berbohong maka bisa pecah rumah tangga.
-          Suatu sifat yang jahat dalam diri seseorang?  Misalnya : pendendam (kalau disakiti, tidak bisa pernah mengampuni sampai beberapa keturunan)  atau iri hati melihat orang bisa sukses sehingga cemburu dan tidak suka. Maz 73 pemazmur bilang aku melihat orang jahat semakin gemuk, sukses dan enak (tidak mengalami kerugian dan sakit). Istilahnya : berbuat jahat justru jadi enak. Padahal saya yang rajin ke gereja , beribadah dengan serius dan memberi persembahan dengan baik, tetapi tidak pernah mengalami kelimpahan materi seperti orang jahat itu.

Kalau tidak memahami dosa dengan benar, maka kita akan mempunyai anggapan seperti di zaman modern di mana secara sederhana dosa dianggap sebagai kelemahan manusia (khilaf atau alpa yang merugikan). Sehingga manusia tidak merasa ngeri saat berbuat dosa dan dosa bukan hal yang mengerikan.
Di TV, kita bisa menyaksikan saat KPK memanggil orang yang diduga korupsi miliaran bahkan  triliunan, orang tersebut tersenyum. Ia ingin orang memaklumi kelemahannya. Ia sempat makan dengan lahap. Berbeda dengan catatan Kitab Suci di mana orang yang mengalami pergumulan dosa, memukul diri dan memakai kain kabung. Dosa itu sangat berbahaya!
Uskup Agung Canterbury Anselmus (1033 – 1109, asal Inggris)  dalam bukunya Cur Deus Homo (Bahasa Latin, artinya "Mengapa Allah Menjadi Manusia”) mengatakan, “orang yang tidak memandang dosa sebagai hal yang serius / orang yang tidak melihat betapa beratnya bobot dosa”  maka  orang tersebut belum dapat mengerti kenapa Allah HARUS mengampuni dosa kita MELALUI SALIB.

Matius 26 :38 dikatakan (juga pada kitab Markus dan Lukas) lalu kata-Nya kepada mereka: "Hati-Ku sangat sedih, seperti mau mati rasanya. Tinggallah di sini dan berjaga-jagalah dengan Aku."
Penulis Injil memunculkan ekspresi emosional dari Kristus, perasaan hatiNya sangat sedih seperti mau mati rasanya. Dalam Injil Lukas digambarkan kondisi Yesus seperti tidak mendapat kekuatan lagi dalam menghadapi tantangan. Mengapa Tuhan menyongsong dengan pergumulan sedemikian? Apa Dia tidak rela? Mengapa ia harus sedih dan seperti orang mau mati? Untuk dapat memahaminya , kalau kita juga pernah menghadapi peristiwa hampir mati. Saat banjir luar biasa tahun 2007 , saya dan beberapa pemuda dengan peralatan minim berusaha menolong orang yang kebanjiran dan saat itu saya hampir mati tenggelam. Takutnya banyak. Kalau hamba Tuhan mati tenggelam , bisa ada yang beranggapan “Ini hamba Tuhan yang jahat”. Kalau hamba Tuhan meninggal di mimbar gereja atau ladang misi, namanya harum luar biasa. Mengapa hati orang yang mau mati begitu mengerikan? Karena itu perasaan yang paling menyiksa.

Mengapa hati Tuhan sedih sedemikian? Apakah karena Dia takut akan penderitaan di kayu salib? Mel Gibson , sutradara film The Passion of The Christ, menggambarkan dengan jelas saat Yesus mau disalibkan (bagaimana dia disiksa dan dicambuk) sampai Dia tidak bisa mengangkat salibNya menuju Golgota. Kalau Yesus takut seperti itu berarti Yesus menyangkal pernyataanNya di Matius 16 “Kalau ada orang yang menyiksa, menyesah dan mengambil nyawamu, jangan takut.” Tidak mungkin Tuhan sakit secara fisik. Seluruh orang yang mengikuti Yesus Kristus seperti para rasul dan lainnya rela mati karena Kristus. Mati untuk Kristus merupakan kehormatan yang besar. Ia tahu akan dicambuk, tetapi ketakutanNya itu bukan ketakutan fisik. Dia tidak takut karena ditinggalkan murid-muridNya. Ia tahu itu semua. Ia tahu akan dicambuk. Atau bukan karena ia takut secara moral karena murid-muridNya akan meninggalkannya. Ia tahu itu semua. Ia sedih sampai penulis Injil mengangkat perasaan emosi ini, karena Tuhan Yesus tahu betapa menakutkannya penderitaan rohani di mana Dia memikul seluruh dosa manusia. Hal ini digambarkan sebagai cawan dimana Yesus Kristus berkata, "Ya Bapa-Ku, jikalau sekiranya mungkin, biarlah cawan ini lalu dari pada-Ku, tetapi janganlah seperti yang Kukehendaki, melainkan seperti yang Engkau kehendaki." (Mat 26:39). Allah memandang dosa secara serius. Yesus memberi pelajaran penting dengan memandang dosa bukan sebagai hal yang main-main karena dengan disalib maka “Aku akan dikutuk Allah sebagai orang berdosa”. Sehingga penulis Alkitab menggambarkan ekspresi Yesus di Taman Getsemani sedemikian lengkap, jelas dan berarti. Kitab Suci menolong kita memandang dosa.

Alkitab menggunakan 5 kata dosa dalam  Bahasa Yunani 3 di antaranya :
1.       Hamartia = gagal mencapai target (seperti anak panah, yang bila meleset akan mati), tidak sampai sasaran. Allah suruh agar Adam dan Hawa tidak memakan buah dari pohon pengetahuan baik dan jahat tapi ternyata mereka makan, hal ini berarti gagal.
2.       Parabasis = pelanggaran atau melanggar batas yang diketahui.
Saat membangun rumah kalau mengambil batas rumah orang lain, maka bersalah karena berarti mengambil hak orang lain. Juga jangan mengambil hak janda yang seharusnya mendapat pertolongan. Tuhan marah dengan orang yang mengambil batas orang lain. Hal ini seperti koruptor dan penipu yang mengambil hak-hak orang.
3.       Anomia = pelanggaran hukum, atau perlawanan terhadap hukum yang diketahui.
Saya sendiri harus berjuang untuk tidak melewati jalur bus (busway) Trans Jakarta saat sedang terburu-buru. Apalagi sewaktu mau berkhotbah.
Dari ketiga kata tersebut, dosa adalah hal pelanggaran terhadap hukum terutama dan pertama (Mat 22:37-38   Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.  Itulah hukum yang terutama dan yang pertama) dan tidak mau bergantung kepada Allah. Manusia mengatur dirinya sendiri tanpa mau mengikuti aturan Allah. Manusia menjadi Raja/Tuhan atas dirinya sendiri.

Saat Adam memakan buah dari pohon pengetahuan tentang yang baik dan yang jahat, ia sadar untuk tidak mau bergantung kepada Allah. Itu dosa! Tidak mau bergantung pada Allah merupakan intisari dari ketiga kata itu. Di mana kita tidak mau diatur Allah , hanya mau mengatur diri sendiri. Saat diberi aturan, Allah memberikan diri dan karakterNya. Saat Allah  meminta,”janganlah kau makan buahnya” (Kej 2:27) di sini mengandung makna “siapa Allah”. Allah itu kudus , sungguh mengerti itu berbahaya dan berdaulat. Manusia sekarang tidak mau mengikuti aturan Allah (Manusia jadi Tuhan. Saya punya wibawa dan kuasa dan melakukannya sendiri). Waktu menggumuli tempat sekolah anak apakah kita menggantungkan diri pada Allah? Biasanya kita punya uang dan tidak mau bertanya kepada Allah.

Inti dosa: permusuhan terhadap Allah (Rom.8:7 Sebab keinginan daging adalah perseteruan terhadap Allah, karena ia tidak takluk kepada hukum Allah; hal ini memang tidak mungkin baginya) sehingga salib harus terjadi. Seharusnya kita di sana (karena kita terkutuk), tapi ditimpakan kepada Kristus sehingga kutuk tidak dipikul oleh kita.

Allah adalah ALLAH YG MAHA KASIH & KUDUS

Ketika persepsi (cara pandang) kita tidak beres/benar mengenai Allah (KASIH DAN KUDUS, dua sifat Allah yang sepertinya bertabrakan tetapi tidak bertabrakan. Dia kudus tetapi mau menerima orang berdosa) dan memahami manusia (BERDOSA DAN JAHAT). Waktu pemahaman kita tepat dan benar, maka kita dapat melihat KEMULIAAN  ALLAH (ALLAH YANG KASIH DAN KUDUS) sehingga kita mengerti kenapa pengampunan HARUS MELALUI  SALIB. Waktu Musa ingin melihat Allah, Tuhan berkata, “Orang yang melihat Saya akan mati”. Melihat kemuliaan Tuhan, berarti melihat Dia hadar. Yesaya takut sekali melihat Allah karena Allah Maha Kudus (Yesaya 6). Kalau kita memahami Allah, kita tidak pernah salah mengapa pengampunan harus melalui Salib. Mat 26:39,42 dan 44  memberikan penekanan. KataNya : "Ya Bapa-Ku jikalau cawan ini tidak mungkin lalu, kecuali apabila Aku meminumnya, jadilah kehendak-Mu!" Ini memberikan pengajaran tentang cara pandang Allah yang tidak meleset. Yesus meletakkan seluruh rencana Allah agar dapat dijalaniNya. Jadi Dia benar-benar melihat Allah di dalam kedaulatanNya sehingga Dia berkata, “Bapa jadilah yang Engkau mau”. Itulah Allah yang Kitab Suci ajarkan. Tetapi Allah yang dikenal oleh orang-orang modern berbahaya sekali

3 Jenis ‘Allah’ yang menarik bagi orang modern :
1.       Allah yang toleransi terhadap kejahatan (kelemahan) saya. “Allah toleransi dong karena saya manusia yang lemah dan tidak berdaya”. Tetapi begitu dihukum, “Kenapa begitu saja langsung dihukum?” Manusia tidak suka akan hal itu. Allah yang menghukum dan memberi penalty tidak diterima.
2.       Allah yang lemah lembut dan baik hati.
3.       Allah yang menyesuaikan diri terhadap kondisi. Allah mengapa tidak melihat zaman yang sudah berbeda?
4.       Allah yang tidak akan memiliki reaksi-reaksi yang keras

Padahal Allah dalam Perjanjian Baru tidak berbeda dengan Allah dalam Perjalanan Lama , sama-sama Allah yang tegas yang menghukum dosa namun Allah yang menunjukkan kasihNya. Jangan sampai terjebak dalam pandangan tentang Allah di zaman modern ini. Zaman sekarang zaman LGBT (zaman di mana laki senang laki yang dikatakan,’Itu tidak salah, yang penting aman. Itu hanya kelainan seksual’). Allah mengapa tidak melihat zaman sudah berbeda? Dulu pada zaman Musa, Hakim-Hakim, Yesaya, Yeremia, tidak masalah bila Allah tidak setuju, tetapi apakah sekarang di abad 21, Allah tidak bisa mengerti? Kita senang Allah seperti itu. Sehingga gereja tidak lagi melihat Allah yang benar. Mengapa gereja membuka diri terhadap orientasi seks yang tidak benar? Apakah gereja berani berkata bahwa LGBT itu dosa? Allah memandang dan menghukumnya dengan serius. Apakah gereja berkata itu dosa? Allah memandang hal itu dengan serius dan menghukumnya dengan serius.

Allah yang Alkitab ajarkan adalah
-          Allah yang membenci kejahatan (muak/jijik, marah terhadap kejahatan).
-          Allah yg berbelas kasihan (Pengasih dan Penyayang) = Allah yang mencari jalan tertentu untuk mengampuni, membasuh dan menerima para pembuat kejahatan

SALIB yang dapat melakukan PENGHUKUMAN ALLAH terhadap dosa manusia dan sekaligus menerima orang berdosa untuk didamaikan dengan DIRI ALLAH.

Penutup : Respon yang Harus Terjadi dalam Diri Kita

Allah yang kita kenal dengan baik adalah Allah yang memberikan salib itu. Salib yang memampukan penghukuman Allah dilaksanakan. Melalui salib itulah, keadilan dijalankan terhadap dosa manusia. Salib juga sekaligus suatu pertanda dan tindakan di mana Allah menerima orang berdosa. Perbuatannya dihukum tetapi orang yang menyesali didamaikan dengan Allah.

Sebelum masuk ke perjamuan kudus, saya menantang saudara dengan 2 pertanyaan :
1.       Kalau kita belum menerima Tuhan Yesus dalam hidup kita dan menjadikan Tuhan yang memerintah  bukan lagi pikiran dan duit saya (tidak sadar bahwa kita orang berdosa) maka saatnya untuk minta ampun dan memohon belas kasihan Allah. Kalau ada yang belum dibaptis katakan, “ Tuhan saya mau menerima Engkau, saya mau dibaptis.” Hanya melalui saliblah kutukan Allah dilakukan dengan adil (menghukum saya yang berdosa sekaligus menerima saya orang yang diampuni).

2.       Kalau mengaku sudah percaya kepada Tuhan Yesus, tetapi masih hidup dengan bermain-main dalam dosa, kita perlu pikirkan mengapa Dia melakukan jalan salib untuk kita? Janganlah bermain-main dengan dosa. Rasul Paulus berkata, “Kalau kamu sudah menerima Tuhan, maka kamu wajib hidup seperti Tuhan hidup.” Itulah salib yang kita bicarakan. 

No comments:

Post a Comment