Monday, February 6, 2017

Rumah yang Kokoh = Generasi Muda yang Kokoh vs Kropos (Lois, Eunike, Timotius)


Pdt. Hery Kwok

Maz 92:13-16
13 Orang benar akan bertunas seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon;
14 mereka yang ditanam di bait TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita.
15 Pada masa tua pun mereka masih berbuah, menjadi gemuk dan segar,
16 untuk memberitakan, bahwa TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya.

2 Timotius 1:3-5
3  Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang murni seperti yang dilakukan nenek moyangku. Dan selalu aku mengingat engkau dalam permohonanku, baik siang maupun malam.
4  Dan apabila aku terkenang akan air matamu yang kaucurahkan, aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku.
5 Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.

Pendahuluan

                “Rumah yang kokoh” adalah gambaran yang diharapkan terjadi pada generasi muda saat ini yakni generasi muda yang kokoh dalam melawan arus zaman atau ilah zaman ini yang ingin memporak-porandakan generasi muda. Penulis kitab Mazmur pasal  92 ingin menuliskan pengalaman hidupnya. Menurutnya orang benar yakni orang yang percaya kepada Yahweh ( Allah / Kristus) akan bertunas seperti pohon Korma. Buah dari pohon Korma banyak disediakan oleh kaum Muslim saat berbuka puasa sehingga saat itu didatangkan (diimpor) buah korma yang terbaik dari Timur Tengah.  Orang benar akan tumbuh seperti pohon Aras di Libanon. Pohon Aras Libanon adalah pohon yang kayunya digunakan untuk membangun Bait Suci karena memiliki kualitas yang sangat baik. Orang benar (termasuk keturunannya) yang ditanam di Bait Tuhan (konsep Bait Tuhan adalah mendengar firman Tuhan) akan bertunas di pelataran bait Allah dan di masa tuanya tetap berguna. Hal ini berbeda dengan banyak orang tua yang merasa tidak berguna, kesepian atau ditinggalkan karena tidak berbuah. Orang benar akan senantiasa memberitakan Tuhan dalam hidupnya. Lalu pada 2 Tim 1:5 , Rasul Paulus mengatakan kepada salah satu anak rohaninya (Timotius), “Aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.”

Rumah yang Kokoh dan Rumah yang Kropos
               
Dalam Matius 7:24-25 Tuhan Yesus mengatakan "Setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu.  Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di atas batu.” Perumpamaan tentang rumah yang didirikan di atas batu karang yang kokoh atau di atas pasir merupakan catatan terakhir sewaktu Tuhan Yesus mau mengakhiri seluruh rangkaian khotbahNya di bukit (Matius 5-7). Tuhan Yesus menceritakan perumpamaan tentang rumah. Dalam hal ini, Alkitab dengan sederhana menceritakan keseharian dalam hidup kepada pembaca. Jadi ada bagian Alkitab yang sulit dan ada juga yang mudah, namun membaca Alkitab merupakan sesuatu yang berguna. Di perumpamaan ini diungkapkan ada 2 rumah yang sama tipe, ukuran, bentuk dan warnanya. Sepintas lalu secara kasat mata kedua rumah ini seperti tidak ada bedanya. Bisa jadi seluruh tampak luar rumah itu mirip sekali satu dengan yang lainnya sehingga sulit dibedakan. Yang membedakan ternyata bukan terletak pada fisik atau disain bangunannya tetapi pada kemampuan saat menghadapi badai. Itu adalah  inti dari perumpamaan ini. Tetapi setiap orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah kerusakannya." Kalau kamu mendengar firman Tuhan (pengajaranKu), tetapi kamu tidak melakukanNya kamu seperti rumah yang didirikan di atas pasir. Saat ada “badai” berupa kesulitan, pergumulan dan tantangan hidup baru ketahuan mana rumah yang kokoh dan mana yang kropos. Rumah yang dibangun di atas pasir merupakan gambaran orang yang mendengar firman Tuhan tetapi tidak melakukannya. Rumah ini akan hancur saat ada badai yang datang tiba-tiba. Badai seperti ini pasti datang dan tidak mungkin menghidarinya. Rumah yang kokoh menggambarkan orang yang mendengar firman Tuhan dan melakukannya walau terkadang sulit dan seringkali mengalami benturan. Orang seperti itu akan terbukti saat dilanda badai, goncangan dan tantangan hidup, ia tidak akan kalah. Membicarakan hal ini, mengingatkan saya pada sebuah fakta kehidupan sehari-hari.
                Beberapa waktu lalu seorang sahabat berkata kepada saya,“Her, kamu kan sekarang seorang pendeta. Bisa kamu bicara dengan anak saya? Kamu ajarkan dia firman Tuhan agar dia bisa menjadi anak baik. Sekarang ini dia tidak mau ke gereja di tempat saya bergereja. Selama ini saya kasih dia uang dan apa yang dia mau, namun hidupnya tidak karu-karuan. Ia tinggal dengan neneknya, tidak mau tinggal dengan saya. Saya berkata kepadanya tapi tidak mau turut.” Saya menyambutnya,”Coba saja bawa ke gereja saya. Tapi saya tidak menjamin karena saya bukan tukang sulap atau ahli nujum. Saya akan mengajari dia firman Tuhan” Dia pun menyanggupi. Tetapi ternyata anaknya tidak bersedia datang. Hidupnya terus ugal-ugalan. Tiap hari minggu dia gunakan untuk kegiatan yang tidak karu-karuan. Sahabat saya akhirnya berkata,”Tidak usah repot-repot. Saya sudah mencoba , tapi dia tidak mau.” Mendengarnya, saya prihatin. Anaknya memang bermasalah. Anaknya sekarang menjadi duri dalam daging dan membuat sahabat saya pusing. Ia telah memberikan uang kepada anaknya. Ia telah memasukkan ke sekolah yang baik namun anaknya tidak mau bersekolah dengan tekun. Akhirnya hidup sang anak kacau balau. Mendengar kisahnya, saya jadi teringat firman Tuhan Ini. Rumah kokoh yang ibarat generasi muda kokoh adalah generasi yang tidak berdiri dengan sendirinya. Tetapi generasi muda harus dipersiapkan dan diperhatikan dengan baik. Ini perkara yang serius karena zaman ini adalah zaman yang benar-benar membuat orang  muda jauh dari Tuhan. Seluruh daya tarik dunia menjauhkan orang muda dalam mencari Tuhan, karena jauh lebih menarik untuk mencari daya tarik dunia.
                Orang Tionghoa punya pepatah yang terkenal : “Banyak anak banyak rejeki”. Sehingga orang-orang dulu punya banyak anak. Paman saya punya 12 orang anak (jumlahnya seperti sepasukan pemain sepak bola). Papa saya punya 5 orang anak. Ada lagi orang tua yang punya lebih banyak anak. Itu karena menganut filosofi orang Tionghoa. Kalau anak-anaknya ‘jadi’ dan tidak menimbulkan masalah maka orang tuanya enak hidupnya, tetapi kalau berantakan maka hal ini akan menjadi masalah. Dalam mendidik anak yang diprioritaskan (yang menjadi utama) selalu memenuhi kebutuhan sekolah, ini tidak salah. Juga kebutuhan uang. Betul. Tapi jarang orang tua memperhatikan iman dari anaknya. Ini masalah yang mengerikan. Ada banyak keluarga yang memprioritaskan anaknya pada hal-hal  yang mereka anggap penting di masa depan, misal untuk menjadi pintar dan mapan. Sahabat saya telah memberikan semua hal ke anaknya tapi tidak iman, itu yang menjadi masalah. Ini membuat generasi menjadi sulit dan kacau. Seringkali kita berpikir iman jadi terpisah dari fakta hidup. Seharusnya iman tidak terpisah dari kehidupan kita. Contoh nyata pada Markus 4:35-41 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: "Marilah kita bertolak ke seberang." Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia.  Lalu mengamuklah taufan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: "Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Iapun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!" Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali.  Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?" Kemelut yang terjadi dalam angin ribut itu sebenarnya kemelut yang bisa dihadapi dengan iman. Berarti iman tidak terpisah dari fakta (kenyataan) hidup. Seringkali kita memisahkan iman sehingga tidak menginvestasikan pada generasi di bawah kita. Setelah anak bermasalah baru mengetahui bahwa iman itu bagian yang penting dan dibutuhkan. Iman adalah bagian yang berjalan bersama-sama dengan kita. Ingat pada kisah Rasul Petrus dengan peminta-minta.
                Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang, naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah. Di situ ada seorang laki-laki, yang lumpuh sejak lahirnya sehingga ia harus diusung. Tiap-tiap hari orang itu diletakkan dekat pintu gerbang Bait Allah, yang bernama Gerbang Indah, untuk meminta sedekah kepada orang yang masuk ke dalam Bait Allah. Di sana di pintu gerbang yang disebut "Pintu Indah," ada seorang laki-laki yang lumpuh sejak lahir. Setiap hari orang itu dibawa ke sana untuk mengemis kepada orang-orang yang masuk ke Rumah Tuhan.  Ketika orang itu melihat, bahwa Petrus dan Yohanes hendak masuk ke Bait Allah, ia meminta sedekah.  Mereka menatap dia dan Petrus berkata: "Lihatlah kepada kami." Lalu orang itu menatap mereka dengan harapan akan mendapat sesuatu dari mereka. Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!".  Lalu ia memegang tangan kanan orang itu dan membantu dia berdiri. Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu. (Kis 3:1-7). Uang yang dibutuhkan pengemis dijawab dengan iman oleh Rasul Petrus. Iman tidak merupakan bagian yang terpisah waktu menghadapi pergumulan dan masalah. Justru dalam  menghadapi pergumulan itulah, iman menjadi dasar dan penopang. Maka dalam ayat Roma 10:17 dikatakan , Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran oleh firman Kristus. Waktu iman itu timbul , ia akan memimpin orang percaya dalam menghadapi seluruh tantangan hidupnya. Di situ ia bisa bertahan dan keluar menjadi pemenang. Kalau duit bisa jadi pemenang maka kita akan mencarinya mati-matian. Kalau duit bisa memberi jaminan, maka orang kaya tidak akan minum obat tidur. Ada orang yang duitnya banyak tapi tidak bisa tidur. Apa yang tidak bisa dibeli orang kaya? Kalau duit bisa memberi jawaban terhadap pergumulan hidup maka carilah duit mati-matian, karena ia yang bisa menolong. Tetapi ternyata tidak dan hanya iman yang terbukti bisa menolong.
                Generasi yang baik adalah generasi yang diwariskan imannya. Surat Rasul Paulus ke Timotius adalah surat pastoral yang sangat menyentuh hati. Seorang bapa rohani menulis surat ke anak rohani yang sedang menghadapi kesulitan dalam pelayanan di daerah Asia yang banyak berhala. Timotius mengalami kegentaran dan ketakutan. Di tengah ketakutan itulah Paulus menulis surat berbau iman untuk menguatkan Timotius. Dan apabila aku terkenang akan air matamu yang kaucurahkan, aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku. Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu. (2 Tim 1:4). 3 generasi bisa mewariskan iman itu bukan main-main. Itu merupakan usaha keras dari keluarga untuk meneruskan iman.
                Saya suka membaca riwayat orang-orang sukses. Saya membaca bahwa generasi pertama sukses. Misal Gudang Garam atau Djarum dan lain-lain. Kejatuhan pada perusahaan besar terjadi bukan pada generasi pertama tetapi di generasi berikutnya. Seringkali hancurnya di generasi kedua atau berikutnya.  Contoh restoran Angke. Generasi pendahulu membuat restoran menjadi terkenal tapi hancur oleh anaknya. Juga pada usaha Roti Kartika di Bandung generasi berikutnya membuat susah. Generasi penerus belum tentu bisa bertahan. Saat membayangkan Lois, Eunike dan Timotius, iman mereka hebat. Saya terpesona bagaimana mereka (3 generasi) bertahan, imannya sungguh nyata dalam pelayanan. Ketiga generasi berkiprah dalam pelayanan Rasul Paulus. Maka Rasul Paulus menyatakan iman Timotius pernah dilihat di neneknya. Ia pernah bersama dengan nenek Timotius. Rasul Paulus pernah pelayanan bersamanya, bagaimana Lois membuktikan imannya dalam pelayanan , pergumulan dan mengatasi kesulitan. Rasul Paulus juga mengenal bagaimana mama Timotius yang luar biasa menurunkan (mewariskan) imannya kepada Timotius. Generasi ini luar biasa karena mewariskan iman sulit sekali. Mewariskan uang (deposito) dan harta benda seperti rumah lebih mudah. Menurunkan iman tidak mudah. Menurunkan iman berarti menurunkan keteladanan hidup kita kepada anak. Kalau tidak konsisten dan tidak menjaga diri kita maka sulit menurunkannya pada anak kita. Kalau anak tidak mau melayani itu mungkin karena anak melihat contoh dari orang tuanya. Itulah yang tidak diwarisi oleh generasi tua kepada generasi muda.
               
Penutup

                Dr. Andar Ismail (Siem Hong An) menulis cerita yang bagus sekali tentang kesaksian hidupnya. Ia adalah seorang penulis 27 buku Seri Selamat yang terkenal dan selalu menjadi best-seller. Setiap buku seri-nya selalu mempunyai 33 cerita. Angka “33” sendiri diambilnya dari usia Tuhan Yesus selama di dunia yakni 33 tahun. Dia seorang dosen di STT Jakarta yang hebat sehingga bila seorang mahasiswa teologi dibimbingnya saat menyusun skripsi, maka mahasiswa tersebut seperti mendapat rejeki. Ia juga seorang pendeta di GKI. Di salah satu bukunya, ia mengisahkan tentang warisan iman yang diterimanya dari orang tuanya. Berikut sebagian kisahnya.
Ibu menanam saya di gereja (istilah menanam ini seperti yang tertera di Maz 92:14 bahwa seorang yang ditanam di Bait Tuhan akan hidup seperti tunas yang kokoh). Pagi-pagi buta saya telah dibangunkan oleh mama padahal saya masih merasa ngantuk dan ingin terus tidur. Mama berkata, “Nak hari ini adalah hari bergereja.” Pagi-pagi dalam cuaca masih dingin , Ibu menyuruh saya mengenakan pakaian yang bagus karena kami akan ke gereja. Itu terjadi saat saya berusia 4 tahun. Itu kenangan saya pertama tentang gereja. Di luar saat pergi gereja, udara dingin Bandung langsung menusuk tulang-tulangku. Sering udara masih berkabut. Bersama 3 kakak perempuan saya berjalan. Gereja kami terletak di Jalan Kebon Jati. Sekolah Minggu diadakan di dalam ruangan-ruangan di bagian belakang gereja. Kami duduk tenggelam di kursi besar mengitari meja panjang yang bertaplak hijau. Di ujung depan meja terdapat beberapa buku. Entah itu buku apa saya juga tidak tahu karena saya belum bisa membaca. Ada juga palu kayu yang berukir. Suasana ruangan di sana kaku dan tegang. Yang menarik ada satu pigura gambar besar Tuhan Yesus yang memegang tongkat besar dengan ujung yang melengkung  (gambar Yesus sebagai gembala). Murid-murid di kelas saya hanya 5 anak , jadi masih banyak kursi yang kosong. Kemudian hari saya baru tahu ruangan di mana saya sekolah minggu adalah ruang konsistori tempat rapat majelis setiap bulannya. Di ruangan itulah saya mendengar cerita tentang Abraham, Daniel, Paulus, Debora dan Tuhan Yesus. Di situlah saya mendengar cerita tentang hal itu dari Sekolah Minggu. Guru Sekolah Minggu saya orangnya gemuk, senyumnya lebar dan sikapnya ramah. Saya memanggilnya Om Siu Peng. Ia mengajar dengan penuh semangat. Pernah ia memperagakan sesuatu lalu lengannya terayun ke kepala saya hingga kepala saya kena. Kemudian guru sekolah minggu itu berkata,”Maaf tidak sengaja memukul kepala kamu Hong An”. Dan minggu-minggu depan saya datang seperti biasa. Itulah pengalaman saya bergereja. Setelah saya sekolah di Penabur, sekolah saya tidak jauh dari gereja. DI sana saya juga selalu dibawa untuk bergereja dengan sekolah pada waktu-waktu tertentu.
                Sore hari saya menemani Ibu pergi ke gereja lagi karena Ibu belajar katekisasi. (Jadi Ibunya meneladani imannya melalui Ibunya datang ke gereja belajar Alkitab.  Anak yang usianya 4 tahun tidak tahu apa-apa hanya menemani ibu). Di situ saya belajar mengenal yang namanya gereja. Sore hari Rabu ada ibadah wanita, mama mengajak saya untuk menemaninya. Saya tidak mengerti tapi Ibu mengatakan “Coba” jadi saya hanya duduk (Saya coba membayangkan ibu yang telaten. Seorang ibu yang benar-benar tahu anak yang membutuhkan pertumbuhan iman,  bukan hanya untuk dirinya saja tapi juga anaknya). Saat ayah sakit dan tidak bekerja, maka Ibu benar-benar bekerja banting tulang. Makanan di rumah semakin terbatasi. Bahkan saya menjadi anak yang dimasukkan ke program diakonia. Program dimana gereja membantu jemaat. Hidup itu susah. Hidup itu tidak mudah. Apalagi saat itu zaman Jepang, zaman yang tidak enak. Tetapi Ibu tidak pernah meninggalkan saya untuk pergi ke gereja. Dalam catatan terakhir ia berkata, “Begitulah saya betul-betul tiap hari berada di gereja dari usia 4 tahun hingga 12 tahun.” Gereja menjadi rumah kedua saya. Gereja bukan menjadi tempat asing. Saya besar di gereja. Sepertinya Ibu sedang menerapkan Mazmur 92. Saya seolah-olah ditanam di pelataran  gereja sehingga menjadi tunas yang kokoh. Entah dengan sengaja atau tidak Ibu telah menanam saya di pelataran gereja. Kalau orang bertanya di manakah awal karir saya, saya menjawabnya dipelataran gereja di Kebun Jati, Bandung. Di situ saya merupakan benih kecil waktu ditanam. Di situ saya bertumbuh menjadi anak yang diasuh gereja dalam program diakonia. Dari murid Sekolah Minggu hingga saya menjadi dosen teologia. Dari anak bocah yang tidak bisa baca saya sekarang menjadi penulis buku yang cukup digemari. Generasi seperti itulah yang harus dihasilkan oleh gereja. Generasi itulah yang kita perlu berikan dukungan agar kelak gereja memiliki generasi yang baik.

                Andar Ismail memberi penekanan bahwa generasi muda tidak rugi saat berada di gereja, saat belajar firman dan saat beribadah kepada Tuhan. Karena ia telah memberikan bukti kebenaran iman. Waktu imannya bertumbuh ia menjadi orang yang berguna. Kiranya gereja kita boleh menjadi gereja yang melahirkan generasi yang memiliki iman dalam perjalanannya. Dengan iman itulah ia akan menghadapi badai yang paling sulit , tetapi tetap berdiri dan menjadi saksi hidup. Amin.

No comments:

Post a Comment