Monday, August 24, 2015

Sempurna di Dalam Kristus (Goal Orang Tua Kristen)


Ev. Charlotte

Maz 127:1-5
1  Nyanyian ziarah Salomo. Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya; jikalau bukan TUHAN yang mengawal kota, sia-sialah pengawal berjaga-jaga.
2  Sia-sialah kamu bangun pagi-pagi dan duduk-duduk sampai jauh malam, dan makan roti yang diperoleh dengan susah payah — sebab Ia memberikannya kepada yang dicintai-Nya pada waktu tidur.
3  Sesungguhnya, anak-anak lelaki adalah milik pusaka dari pada TUHAN, dan buah kandungan adalah suatu upah.
4  Seperti anak-anak panah di tangan pahlawan, demikianlah anak-anak pada masa muda.
5  Berbahagialah orang yang telah membuat penuh tabung panahnya dengan semuanya itu. Ia tidak akan mendapat malu, apabila ia berbicara dengan musuh-musuh di pintu gerbang.

Ibrani 12:5-11
5  Dan sudah lupakah kamu akan nasihat yang berbicara kepada kamu seperti kepada anak-anak: "Hai anakku, janganlah anggap enteng didikan Tuhan, dan janganlah putus asa apabila engkau diperingatkan-Nya;
6  karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak."
7  Jika kamu harus menanggung ganjaran; Allah memperlakukan kamu seperti anak. Di manakah terdapat anak yang tidak dihajar oleh ayahnya?
8  Tetapi, jikalau kamu bebas dari ganjaran, yang harus diderita setiap orang, maka kamu bukanlah anak, tetapi anak-anak gampang.
9  Selanjutnya: dari ayah kita yang sebenarnya kita beroleh ganjaran, dan mereka kita hormati; kalau demikian bukankah kita harus lebih taat kepada Bapa segala roh, supaya kita boleh hidup?
10  Sebab mereka mendidik kita dalam waktu yang pendek sesuai dengan apa yang mereka anggap baik, tetapi Dia menghajar kita untuk kebaikan kita, supaya kita beroleh bagian dalam kekudusan-Nya.
11  Memang tiap-tiap ganjaran pada waktu ia diberikan tidak mendatangkan sukacita, tetapi dukacita. Tetapi kemudian ia menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya.

Pendahuluan

                Apa yang menjadi tujuan kita ketika menjadi orang tua atau saat diberi kepercayaan berupa anak-anak  yang merupakan kepunyaan Tuhan untuk menjadi anak didik kita?

                Orang Singapore mengajarkan kepada anaknya untuk menjadi sukses. Hal yang paling penting adalah  harus memiliki sertifikat (lulus pendidikan tinggi). Setelah itu sang anak akan mendapat ,
-        5 ‘C’ lainnya yakni : Career (karir), Cash (uang), Car (kendaraan), Condominium (tempat tinggal) , Credit card (kartu kredit). Seolah-olah dengan memiliki kartu kredit bisa memiliki apa saja yang diinginkan. Padahal kartu kredit itu adalah hutang. Makin banyak memiliki kartu kredit, berarti semakin banyak memiliki utang.
-        5 ‘C’ apa yang mempengaruhi  gaya hidupnya yakni Connectivity (koneksi, dengan pejabat) untuk menaikkan gengsi, Choices (kemungkinan/ pilihan yg banyak), Cheek (kemerdekaan / berbuat seenaknya), Causes (kebiasaan memberi alasan) dan Consumer (konsumen yang berbelanja dulu baru membayar)
Dalam kehidupan sehari-hari, ada orang Kristen yang mengutamakan materi di atas segalanya. Sehingga siswa SMA harus punya motor gede, siswa SMP memiliki iphone-6 dll.

                Ternyata bukan hanya orang Singapore,  orang Jawa juga punya 5 ‘O’ sebagai tanda kesuksesan yakni : garwO (istri), pusokO (kedudukan /gelar /kebangsawanan/ kesarjanaan), wismO (makin besar rumah/tanah makin sukses) , turonggO (tunggangan/kendaraan - makin mahal makin hebat) , kukilO (artinya burung perkutut, dihubungkan dengan hobby yang mahal seperti golf, koleksi batu permata, berburu lukisan/patung)

                Kalau bisa, kita ingin memiliki semuanya (kalau punya semua berarti sukses). Padahal kita diciptakan Tuhan bukan untuk having (memiliki) tapi being (berhasil sesuai definisi firman Tuhan). Seperti Yusuf yang dijual sebagai budak ke tanah Mesir lalu dibeli oleh Firaun, kepala pengawal raja. Ketika di rumah Potifar, Yusuf berhasil karena disertai Tuhan. Ada pepatah yang berkata “kecil dimanja, muda foya-foya, tua kaya raya, mati masuk surga”. Kalau bisa hidup seperti pepatah itu, kita semua tentu menginginkannya, tetapi kenyataannya tidak begitu. Hidup tidak mungkin tanpa kesulitan. Tanpa kesulitan seorang anak akan menjadi “anak gampang”  (Ibrani 12:8) yang tidak tahan banting sehingga begitu ada ‘angin’ pencobaan, ia akan jatuh.

Apa yang Anda harapkan kelak dari anak-anak Anda ?

Ken Hemphill & Richard Ross menulis buku Parenting with Kingdom Purpose (diterbitkan tahun 2005) membagi orang tua Kristen menjadi  2 jenis :

1.     Spiritually Shallow Parents (Orang tua yang mempunyai kerohanian yang dangkal).

          Bagi mereka , anak saya menjadi orang Kristen cukup tiap minggu ke gereja, lalu pulang, hidupnya baik-baik secara moral (dikenal orang bukan sebagai orang jahat). Cukup begitu, tidak usah lebih.

2.     Godly Parents(orang tua ilahi).

          Mereka memiliki prioritas tertinggi untuk membawa  kemuliaan  bagi Tuhan.  Anak-anakNya akan memuliakan Tuhan. Anak-anak ini milik Tuhan (kalau bukan Tuhan yang kasih, tidak mungkin kita punya).  Jika Tuhan menciptakan anak-anak kita, Dia pasti punya tujuan (tdak mungkin didiamkan saja). Kalau sang anak mau jadi dokter, Tuhan akan melengkapinya sehingga bisa menjadi dokter. Kecil kemungkinan kalau belajar biologi, matematika dan fisika saja sulit lalu sang anak menjadi dokter. Tapi mungkin juga bisa, kalau ia belajar dengan sungguh-sungguh. Ada kesaksian seorang siswa belajar berkali-kali untuk lulus ujian tapi akhirnya ia lulus juga. Jadi ia diperlengkapi dengan daya juang. Berarti bukan sekedar kepintaran tapi mau tidak berjuang untuk kemuliaan Tuhan? 

          Anak saya sewaktu SMA masuk peringkat 3 besar. Setelah lulus, ia ingin masuk fakultas kedokteran dan kami menghendaki agar ia kuliah di Unika Atma Jaya tempat kuliah papanya. Namun ia tidak mau masuk, karena ada temannya yang peringkatnya di bawah bisa masuk ke sana. Ia ingin masuk ke universitas yang tidak mudah dimasuki . Karena kesombongannya, saya berkata, “Mami berdoa kamu tidak masuk ke mana-mana!” Ternyata benar dia tidak masuk ke mana pun! Saya berkata,”Tuhan lebih pentingkan hati bukan kepintaranmu. Tuhan kasih kamu kepintaran, kekuatan, kesehatan tapi Dia mau kamu persembahkan hati yang mengasihiNya dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan. Tetapi kalau kamu mengandalkan dirimu, celakalah kamu!’ Akhirnya ia diterima masuk di UI jurusan arsitek. Saya bertanya, “Kapan kamu bisa suka gambar?” Ia berkata,”Yang penting UI!” Pada akhir July, saya bertanya lagi kepada anak saya,”Betul kamu mau menjadi arsitek? Atau kamu mau jadi dokter? Apa itu panggilanmu? Sesuatu yang akan kamu lakukan bukan karena panggilanmu?” Anak saya menjawab,”Jadi dokter!” Saya berkata lagi, “Tinggalin jurusan arsitek. Tujuan kita untuk kemuliaan Allah. Menjadi apa itu yang penting! Bukan tempat kuliah!” Akhirnya anak saya setuju masuk fakultas kedokteran. Kita pun mencari universitasnya. Unika Atma Jaya, Trisakti dan Untar sudah menutup pendaftaran, yang buka tinggal Ukrida. Anak saya berkilah, “Iya kali dari kecil saya masuk ke Penabur (di bawah yayasan yang sama dengan Ukrida).” Saya berkata, “Tidak apa-apa yang penting jadi apa yang Tuhan mau!” Akhirnya ia kuliah di sana. Ternyata di sana, nilainya juga pas-pasan. Jadi bukan pintar tapi perlu ketekunan. Malah ujian akhirnya ia tidak lulus sehingga membuatnya sangat terpukul. Ia berkata, “Mami  mungkin Tuhan tidak mau saya jadi dokter!” Saya menjawab, “Kamu tidak lulus kan bisa mengulang!” Ia menjawab,”Tapi saya merasa malas belajar lagi.” Saya membalas,”No! Kamu harus bangkit. Selesaikan dan ujian lagi. Kalau mau bisa jadi dokter bukan karena kamu pintar. Seharusnya kamu berprinsip jikalau bukan Tuhan yang menjadikan saya dokter, tidak mungkin saya jadi dokter. Tuhan mau kamu katakan seperti itu. Jadi ujian lagi.” Anak saya membalas, “Tapi kalau tidak lulus lagi, Tuhan tidak mau saya jadi Dokter!” Saya menjawab, “Tetapi kalau tidak jadi dokter, kamu masuk SAAT!”  Karena saya, suami dan 2 anak saya lainnya kuliah di SAAT, jadi tinggal seorang lagi.

Tujuan  Orang Tua Kristen (Parents Goal)

                Tujuan orang tua Kristen sebagai  anak Tuhan adalah untuk memuliakan Tuhan. Bila kita dipanggil untuk berjualan, maka berjualanlah untuk kemuliaan Tuhan. Anak saya mencontreng semua pilihan sewaktu pendaftaran UMPTN. Saya berkata, “Kalau kamu pilih yang kamu bisa, mengapa tidak mau jadi tukang cukur? Seharusnya bukan seperti itu, melainkan apa yang Tuhan mau kamu jadi apa? Jadi bukan apa yang saya mau!”
Apa yang terjadi dengan anak saya juga dialami oleh banyak orang Singapore. Yang penting punya sertitikat (lulus) setelah itu punya 5 C. Hanya itu yang dituju. Sedangkan anak yang punya prioritas untuk membawa kemuliaan bagi Tuhan akan berkomitmen terhadap diri, keluarga, harta benda untuk Kerajaan Tuhan. Semuanya kita kembalikan kepada Tuhan.  Ia akan memilih pekerjaan/profesi, aktivitas dan relasi untuk Allah dan membawa setiap orang agar percaya dan mengenal Tuhan.  Kalau tujuannya (goal) untuk having (memiliki keinginan daging) maka ‘singa’ di sekeliling kita akan memasuki ke celah tersebut  dan memporak-porandakan keluarga kita. Dalam peperangan dengan iblis, bukan kepintaran yang menjadi hal utama. Di zaman post-modern sekarang banyak terjadi kehancuran keluarga dan anak. Papa-mama (suami-istri) hancur lalu diikuti dengan anak-anaknya. Anak-anak jadi tidak punya ayah (fatherless). Banyak anak yang tidak jelas identitasnya. Ada anak laki-laki ikut gymn di tempat fitness dan memakai pakaian ketat. Badannya bagus tapi jalannya gemulai seperti perempuan. Sekarang ini peperangannya melawan LGBT (Lesbian, Gay, Bisexsual dan Transgender). Begitu UU pernikahan pasangan sejenis disahkan di Amerika Serikat, lalu diikuti oleh negara lain. Setelah hubungan sesama jenis diterima dan perkawinannya dilegalkan, maka kaum pedofil menuntut hal yang sama (minta dilegalkan) karena “Kalau kaum gay yang punya kelainan orientasi seksual diterima, mengapa kami tidak?” Kaum pedofil ini kesukaannya anak kecil sehingga bila diterima maka dunia tambah rusak. Sekarang ini anak-anak kita berada dalam lingkungan seperti ini.

                Seminggu lalu teman saya menelpon malam-malam karena sudah malam akhirnya ia menelpon kembali keesokan harinya. Pagi-pagi dia sudah menelpon. Teman saya ini memiliki anak laki-laki yang pintar dan menjadi juara berbagai macam kejuaraan. Rupanya teman saya ini ditelepon anaknya yang berkata, “Mama, aku gay! Please tolong terima aku apa adanya.” Teman saya merasa ngeri sekali. Dia berkata, “Sejak itu, saya tahu hidup saya berubah. Hampir setiap hari saya menangis. Saya tidak bisa membayangkan seperti apa nantinya dia.” Anaknya berkata, “Jangan harap saya bisa berubah. Dari dulu sebenarnya saya ingin sampaikan ke mama bahwa saya tidak tertarik dengan perempuan!” Jadi jangan hanya berperang melawan kebodohan dengan mengambil kursus ini-itu. Ada kuasa yang mau menerkam anak-anak kita dan anak kita tidak berdaya karena tidak punya kekuatan dari Tuhan.  Bagaimana untuk memiliki kekuatan dari Tuhan? Mazmur 119:9 Dengan apakah seorang muda mempertahankan kelakuannya bersih? Dengan menjaganya sesuai dengan firman-Mu.

Anak sebagai Investasi ??

                Kalau anak dipandang sebagai investasi, maka anak akan jadi komoditi. Ia merupakan asset masa depan yang akhirnya menjadi unit-unit ekonomi. Karena orang tua menanam modal, sehingga harus balik modal dan menguntungkan. Karena biaya sekolah mahal, maka ditanya, “Mana hasilnya?” Akhirnya anak itu dilihat dari sisi menguntungkan atau tidak. Kalau anaknya bodoh, masuk disuruh masuk sekolah teologi saja karena gampang masuknya. Harusnya bukan seperti itu yang dipersembahkan kepada Tuhan. Janganlah anak diangap sebagai invetasi.

                Suami saya baru saja lulus S1 fakultas kedokteran (menjadi dokter). Namun ia terkena penyakit dan dokter mengira hidupnya tinggal 5 bulan lagi. Mamanya berkata, “Ia belum jadi apa-apa.” Kita menangkap perkataannya sebagai “belum balik modal”. Kuliah kedokteran mahal dan tidak bisa dilakukan dengan bekerja sekaligus (nyambi). Kalau mau lulus dan mengambil double degrees di UI biayanya Rp 1 miliar sedangkan di UPH separuhnya. Sekarang setelah lulus, lalu mau dipanggil Tuhan. Apakah mamanya bisa berkata ,”Kalau tahu begini jadinya, lebih baik kamu kursus komputer saja. Ini modal belum balik.” Padahal jangan lupa, uang kuliah Rp 1 miliar juga dari Tuhan! Kita tidak tahu hidup sampai kapan. Yang penting saat Tuhan memanggil, kita berada di tempat yang Tuhan mau kita ada. Saat detik-detik  terakhir hidup saya, kalau Tuhan memanggil , kita mau berada di tempat yang Tuhan mau kita berada. Itu yang Tuhan mau ketika kita berada di dunia ini.

Anak Investasi Siapa ?

                Anak itu adalah investasi dari Pencipta, jadi Tuhan sebagai investor. Selaku pemilik Dia punya otoritas dan tujuan pada si anak. Orang tua dipercaya hanya sebagai ‘pengelola’. Anak (milik Tuhan) dititipkan oleh Tuhan  untuk dididik dan dibimbing menjadi seperti yang Tuhan inginkan. Jadi anak tidak pernah ganti pemilik. Ibarat saya meminjamkan buku kepada saudara, maka  saya boleh mengambilnya sewaktu-waktu. Tidak bisa orang yang dipinjamkan berkata, “Titipannya diperpanjang dong!”.  Jadi seharusnya anak kita dipanggil Tuhan kapan saja boleh. Kita tidak bisa berkata,”Mengapa Tuhan tidak mengambil anak yang bodoh ini saja?” karena anak itu punya Tuhan dan Tuhan punya otoritas. Ketika kita dititipkan anak, maka kita tidak bisa memperlakukannya dengan seenaknya. Jadi kalau anak  mau dibanting, tanya Tuhan apakah anak itu boleh tidak dibanting? Anak-anak yang dipercayakam Tuhan, tidak boleh diperlakukan semena-mena. Perlakukanlah mereka sebagai titipan Tuhan. Tanya apa yang harus dilakukan pada anak ini.

                Saya juga melakukan konseling terhadap anak-anak sekolah dan saya menemukan bahwa mendidik anak tidak mudah dan penuh air mata. Saya mengetahui hal ini, bukan dengan memakai pengalaman orang lain. Pada zaman dulu pemerintah berlaku otoriter terhadap rakyat. Demikian juga guru ke anak dan suami ke istri. Sekarang pemerintah demokrasi, sehingga banyak demo. Saat ini banyak suami takut kepada istri dan guru takut kepada muridnya. Hari ini orang tua taat pada anak sehingga saat anak minta dibelikan motor maka langsung dibelikan. Demikian juga dengan iphone-6 yang diinginkan anak langsung dibelikan.  Tidak bisa kita mengandalkan pengalaman,  tetapi kita harus punya panduan berupa firman Tuhan. Jadikan anak kita takut akan Tuhan dan mengasihiNya. Tujuan orang tua,”Bagaimana mendidik anak agar takut akan Tuhan? Ada yang bertanya,”Jadi bagaimana dengan sekolahnya? Boleh jadi bodoh?” Kalau anak takut akan Tuhan maka tidak mungkin ia tidak belajar sehingga tidak mungkin ia tidak naik kelas. Kalau anak hanya sekedar pintar  maka ia bisa menjadi  sombong dan nantinya seolah-olah ingin menjadi Tuhan. Jadi tuju ke hati dahulu. Suatu kali saat ibadah, murid saya ada yang bernyanyi solo. Mamanya datang melihat anaknya bernyanyi. Suara anak ini bagus, namun “yang kuinginkan dari anak ini adalah hatinya bukan suaranya.” Saya berdoa, “Ampuni saya Tuhan karena kurang memberitahu orang tuanya. Mereka harus berdoa agar hati anak-anaknya dimenangkan bagi Kristus!”

Langkah-langkah mempersiapkan anak menurut  :

1.     Mazmur 127
a.     Jikalau bukan TUHAN yang membangun rumah, sia-sialah usaha orang yang membangunnya. Otoritas ada dalam tangan Tuhan. Tuhanlah yang berinisiatif dan memegang kendali. Ia memberikan dan mampu menjaga anak-anak sampai tujuan. Jadi walaupun ada anak Amerika yang bersekolah di SD 1 Menteng, ia tetap menjadi presiden.
b.     Usaha manusia sia-sia tanpa Tuhan. Di mata Tuhan, kalau juara tapi sia-sia buat apa?
c.      Anak adalah milik Tuhan yang dipercayakan dan dititipkan kepada orang tua. Itu milik pusaka Tuhan , suatu kali kita harus pertanggungjawabkan.
d.     Anak-anak harus “diasah” dan dilatih agar menjadi tajam. Itu tugas orang tua.
e.     Anak-anak siap “dipakai” Tuhan untuk menjadi alat bagi kemuliaanNya

2.     Ibrani 12 : 5 – 11
Karena Tuhan menghajar orang yang dikasihi-Nya, dan Ia menyesah orang yang diakui-Nya sebagai anak.
Jadi caranya dengan dihajar, dibentuk ,dikikis sehingga pasti sakit. Disiplin Tuhan berbeda dengan dunia yang ingin menghukum. Tuhan menghajar orang yang dikasihinya. MotivasiNya adalah kasih untuk mendisiplin. Kalau ayah yang anaknya minta dibelikan motor atau iphone-6 langsung dikasih, itu mengasihi atau mengasihani? Ia merasa kasihan karena dulu ia sendiri tidak punya motor. Namun begitu sang anak naik motor dan tabrakan, motor itu dari siapa? Orang tua! Anak-anak dikasih gadget canggih. Anak umur 2 tahun dibelikan i-pad sehingga menjadi obesitas karena tidak bergerak. Ia hanya diam di depan ipad atau iphone saja. Mengerikan! Tidak heran kalau anak itu egois. Ada juga anak-anak melihat apa yang sebelumnya mereka belum boleh melihat. Semuanya itu dari handphone yang dibelikan orang tua! Seharusnya orang tua yang mencegah dan menolong sang anak, tapi kenyataannya anak nya malah dididik oleh handphone dan gadget yang dibelikan orangtuanya sendiri! Berapa banyak anak yang hancur gara-gara pornografi? Pornografi menjadi pintu masuk bagi hubungan seks sebelum menikah. Sekarang makin banyak yang melakukan hubungan seks pra-nikah. Ini tantangan. Ganjaran Alkitabiah mendatangkan dukacita tetapi menghasilkan buah kebenaran yang memberikan damai kepada mereka yang dilatih olehnya. Seharusnya kitalah yang binasa, tetapi malah Kristus mati di kayu salib supaya bisa hidup kekal. Kita seperti domba sesat yang memilih jalan sendiri sehingga Sang Gembala mengorbankan nyawa. Tuhan membayar harga untuk aku , domba yang sesat. Di Israel, bila ada domba yang sesat maka kakinya dipatahkan, lalu dibebat dan dipanggul oleh gembara. Saat mengalami brokenness, kita berada di pangkuan Tuhan untuk menghasilkan buah kebenaran, demi kebenaran dan damai sejahtera yang Tuhan berikan. Disiplin tidak akan mendatangkan kepahitan. Sehingga kita tidak perlu takut menghukum anak bila dilakukan dengan kebenaran dan kasih. Kalau menghukum anak karena akar pahit, sang papa berkata, “Dulu papa juga diperlakukan begini oleh engkong!” Disiplin adalah sarana meraih goal yang lebih besar yaitu pembentukan karakter seperti Kristus (Christlike) pada diri anak. Ketika membentuk anak, bentuklah karakternya. Tidak mudah tapi yang dihasilkan buah kebenaran.

Ray Charles Robinson waktu beranjak remaja menjadi buta. Namun ia bisa memainkan piano dan menciptakan lagu blues di gereja. Sayangnya menjelang akhir hidup ia terkena narkoba dan melakukan hubungan seks sebelum pernikahan , walaupun ia sempat bertobat sebelum meninggal. Saat kecil, adik Ray meninggal dan  ibunya menangis di atas peti mati adiknya.  9 bulan kemudian matanya menjadi kabur. Ray tidak bisa melihat dengan jelas. Inilah awal kebutaan Ray Charles. Cara mamanya memperlakukan dia berbeda dengan mama yang mengajar anaknya untuk sukses di negara Singapore. Mamanya berkata, “Kamu buta tapi tidak bodoh!” Ketika Ray jatuh dan minta tolong, sang ibu hanya memperhatikan. Mamanya itu harus membiarkan Ray berdiri sendiri karena harus hidup mandiri tanpa pertolongan orang lain. Ia tidak harus hidup dari belas kasihan orang lain dan itu harus dilatih! Ia buta tapi tidak bodoh. Mamanya melatih semua panca inderanya sebagai mata. Ia memang tidak bodoh. Waktu sukses sebagai pianis, ia bisa gunakan indranya sebagai pengganti matanya.  Ia bisa mendengar suara jangkrik dan menghampiri jangkrik dengan mendengar suaranya.  Dengan sensenya ia mencoba menangkap sang jangkrik. Kemudian dia juga bisa mendengar tangisan mamanya dan, ia tahu mamanya “di sana” memperhatikannya. Ia bertanya, “Mengapa engkau menangis mama?” Sang mama menjawab, “Karena bahagia! Karena engkau bisa mandiri!” Demikian juga dengan kita, saat terjatuh kita memberitahu Tuhan dan  Tuhan akan menolong kita bangkit. Tuhan disini dan melihat, karena Dia ingin agar kita lebih indah dibentuk menjadi sempurna seperti Kristus.


Godly Parents raise a godly generation to the glory of god and not to the glory of man

No comments:

Post a Comment