Sunday, November 9, 2014

Bayi-Bayi Rohani


Ev. Susan Kwok

1 Kor 3:1-4
1 Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus.
2  Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya.
3  Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi?
4  Karena jika yang seorang berkata: "Aku dari golongan Paulus," dan yang lain berkata: "Aku dari golongan Apolos," bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?
               
Pendahuluan
               
                Pada umumnya pasangan yang baru menikah sangat berbahagia saat menerima kehadiran bayi , buah hati mereka.  Selama beberapa waktu, bayi tersebut belum bisa mengatur waktu tidurnya (tidak beraturan) dan tidak bisa melakukan segala kebutuhannya (makan, minum, mandi, buang air) sendiri sehingga harus dibantu dan diawasi terus-menerus. Meskipun orang tuanya mengalami perubahan siklus tidur dan harus mencurahkan banyak waktu untuk merawat sang bayi, namun segala kesusahan orang tua akan terobati saat melihat sang bayi yang lucu,  bertumbuh besar dan sehat. Kondisi ini berbeda bila setelah berusia 7 tahun, anak tersebut masih seperti bayi, karena hal itu menunjukkan pertumbuhannya tidak normal dan akan menyulitkan orang tuanya. Hal ini dialami oleh Rasul Paulus saat menghadapi jemaat Korintus. Secara manusiawi, Rasul Paulus mungkin tidak tertekan (stress) tapi ia mengalami kekecewaan karena ada harapannya yang tidak terpenuhi saat melayani jemaat di Korintus.
                Tuhan Yesus pernah berkata kepada murid-muridNya, "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jika kamu tidak bertobat dan menjadi seperti anak kecil ini, kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Sorga.” (Mat 18:3).  Berarti Tuhan Yesus mengharapkan agar manusia seperti anak kecil hal dalam hal tertentu yaitu iman kepercayaan, ketergantungan dan ketaatan kepada Allah. Menjadi anak berbeda dengan kekanak-kekanakan. Rasul Paulus mencela jemaat Korintus seperti kanak-kanak (serupa manusia duniawi). Kekanak-kanakan berarti suatu pertumbuhan yang tidak normal dalam hal sifat, karakter, mental yang seharusnya sudah berubah seiring dengan perjumpaan dengan Kristus. Contoh : ada seorang yang sangat pemarah. Apapun bisa membuatnya  marah , termasuk hal yang baik seperti diberi senyuman. Suatu kali ia berjumpa dengan Kristus. Saat itu ia ingin mengenal, taat ,  menjadi murid Tuhan Yesus dan bertumbuh secara rohani. Tetapi 25 tahun kemudian, ternyata ia tetap tidak berubah. Bertemu orang lain tetap cuek. Setiap orang yang menyapa tidak disambut malah dibalas dengan kasar. Kira-kira seperti inilah yang terjadi dalam jemaat Korintus seperti yang tertuang dalam 1 Kor 3:1-2 Dan aku, saudara-saudara, pada waktu itu tidak dapat berbicara dengan kamu seperti dengan manusia rohani, tetapi hanya dengan manusia duniawi, yang belum dewasa dalam Kristus.  Susulah yang kuberikan kepadamu, bukanlah makanan keras, sebab kamu belum dapat menerimanya. Dan sekarangpun kamu belum dapat menerimanya. Rasul Paulus mengatakan dulu jemaat Korintus ibarat bayi yang diberi minum air susu yang manis dan segar dimana Rasul Paulus memberi teguran halus dan bimbingan yang lunak. Tetapi setelah sekian tahun berlalu, Rasul Paulus tetap tidak bisa menegur jemaat Korintus dengan keras dan mengajar dengan firman Tuhan saat jemaat Korintus melakukan kesalahan. Hal ini disebabkan kalau Rasul Paulus menegur dan mengajar dengan ketat, jemaat Korintus tidak bisa menerima.

Bayi Rohani
               
                Seorang bayi memiliki bahasa komunikasi berupa tangisan dan rengekan, makanannya yang lembut, halus dan lembek. Bayi itu tidak bisa berpikir dan mengambil keputusan seperti orang dewasa. Kalau ia lapar pk 2 pagi, maka ia akan merengek tidak peduli waktunya. Dia tidak bisa berbuat apa-apa, hanya tergeletak dan menerima saja, tidak bisa menggali potensi karena masih bayi. Tetapi seorang percaya seharusnya bertumbuh dari hari ke hari. Kalau sudah 10 tahun menjadi orang percaya tetapi tetap bayi rohani maka ia sama dengan bayi umumnya. Kalau bayi merengek, maka bayi rohani juga merengek , lembek, tidak tahan banting dan mengeluh karena hanya berfokus pada diri sendiri. Bayi selalu melakukan sesuatu sesuai kebiasaannya (dari dulu juga begitu) dan selalu mengikuti kemauan sendiri. Pengarang buku Andar Ismail menulis dalam bukunya tentang kebiasaan seorang bayi yang bukan saja mematikan dirinya sendiri tapi juga tidak membawa pertumbuhan orang di sekitarnya bahkan menyebabkan kematian. Dalam ilustrasi yang diberikan, ada seekor kalajengking memohon sungguh-sungguh kepada seekor katak. “Katak tolonglah aku. Aku ada keperluan keluarga tapi tidak bisa berenang. Tolong seberangkan aku.” Katak menolak, “Tidak bisa. Nanti engkau akan menyengat aku.” Kalajengking berkata,”Tentu saja tidak. Kalau aku menyengatmu aku akan tenggelam.” Melihat kesungguhan kalajengking, katak akhirnya menolong. Tapi di tengah jalan, kalajengking menyengatnya juga, karena “aku lah kalajengking, menyengat adalah tabiatku”. Katak menggelepar dan mati lemas. Kalajengking pun tenggelam bersama katak. Katak mati tenggelam karena bisa (racun) dari kalajengking, tapi kalajengking mati tenggelam karena ia tidak bisa berenang. Saat kalajengking diingatkan untuk tidak menggigit katak, ia menjawab bahwa menyengat adalah kebiasaannya yang tidak bisa berubah. Cerita ini mirip dengan orang yang kukuh tidak mau berubah karena kebiasaannya (saya tidak bisa berubah karena inilah saya). Sesungguhnya kita tetap bisa belajar untuk hal-hal yang positif seperti sopan, sabar, lembut dll.
                Dulu saya pernah diragukan oleh banyak orang. Keraguan itu membuat saya waspada. Mulai dari mama yang melahirkan , dosen dan teman kuliah teologi. Mereka menilai saya, “Kamu orang nya keras tidak bisa diatur, judes dll”. Sehingga waktu akan berangkat untuk kuliah teologi , di terminal bus papa saya menangis. Tetapi mama saya tidak menangis. Dia malah berkata, “Sebelum tamat jangan pulang!” Saya merasa sedih sekali mendengarnya. Mama saya bahkan telah mengingatkan saya selama sebulan lebih. Tapi saya maklum bahwa dia tidak ingin saya gagal, karena di asrama penuh peraturan. Lonceng berbunyi pk 4.45 WIB menandakan waktu untuk bangun sikat gigi, cuci muka dan menyalakan lampu. Pk 5 lonceng berbunyi tanda untuk memulai renungan pagi. Pk 5.30 lonceng berbunyi agar para siswa kumpul untuk berdoa. Pk 6 siswa harus mandi. Pk 6.30 para siswa sudah harus siap-siap untuk pergi ke ruang makan dstnya. Mama saya berkata, “orang seperti kamu tidak mungkin bisa bertahan hidup di asarama. Paling tidak sampai sebulan, kamu melakukan  banyak pelanggaran dan dikeluarkan karena bertengkar dengan siswa lainnya.” Orang tua saya saja tidak mempercayai saya, bagaimana dengan orang lain? Tetapi hal ini menjadi cambuk dan saya bertekad tidak pulang sebelum selesai karena saya menyadari segala kekurangan saya seperti yang disebutkan mama saya. Akhirnya setelah selesai skripsi saya baru pulang ke rumah. Pada waktu pulang mama berkata, “Mengapa kamu  baru pulang sekarang?” Tetapi saya sudah tidak mau menjawab, karena saya berusaha memahami orang tua. Kalau sampai hari ini saya bisa bergaul dengan banyak orang, itu hasil dari suatu proses yang panjang. Walau proses ini  belum mengubah saya 100% tapi saya berusaha memahami mengapa. Kadangkala saya gagal, tetapi saya belajar karena tidak ingin tinggal dalam kondisi seperti itu. Kalau tidak ingin berubah maka orang akan berkata “urus saja urus dirimu sendiri”,  tapi hal itu tidak benar. Itu yang Rasul Paulus katakan pada jemaat Korintus yang harus selalu dielus (ditegur dengan pelan dan lembut). Kadangkala kita harus to the point, kadangkala harus memutar sedikit. Saya yang awalnya hanya bisa to the point harus belajar “mutar-mutar” karena sebagian orang tidak bisa dihadapi secara to the point.
                Pada ayat kedua, Rasul Paulus berkata  kamu (jemaat Korintus) tidak bersedia mencerna makanan keras, tidak bersedia membayar harga. Seharusnya kamu berani punya komitmen, berjanji mau maju, giat, siap susah, setia dalam banyak hal. Pada 1 Kor 3:3, Rasul Paulus menjelaskan alasannya. Karena kamu masih manusia duniawi. Sebab, jika di antara kamu ada iri hati dan perselisihan bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi dan bahwa kamu hidup secara manusiawi? Penyebab semua itu adalah cara hidup yang iri hati dan perselisihan. Orang yang iri hati adalah orang yang tidak bersukacita atas hal-hal baik yang diterima oleh orang lain. Misalnya : mengapa istrinya cantik sedang istri saya jelek?  Mengapa rejekinya lebih lancar? Kenapa suaranya lebih bagus? Kenapa feeling musiknya baik sedangkan saya tidak . Mengapa anaknya juara, sedang anak saya tidak? Kenapa anaknya mudah bersosialisasi, sedangkan anak saya tidak? Karena iri hati , akhirnya kita mencari kesalahan-kesalahan orang lain dan bertengkar. Orang yang menganggap diri benar membuatnya bertengkar. Jemaat Korintus punya banyak kelebihan. Orang yang punya banyak kelebihan seringkali gagal memberi hormat kepada orang lain. Jemaat Korintus karunianya luar biasa. Tetapi pertengkaran terjadi di antara mereka. Demikianlah “bayi” yang ingin menang sendiri. Seorang yang bertumbuh dari bayi ke dewasa, seharusnya lebih bisa memberi hormat pada orang lain.
                Pada 1 Kor 3: 4, Rasul Paulus menulis  Karena jika yang seorang berkata: "Aku dari golongan Paulus," dan yang lain berkata: "Aku dari golongan Apolos," bukankah hal itu menunjukkan, bahwa kamu manusia duniawi yang bukan rohani?  Yang menandakan mereka bayi rohani adalah mereka mengidolakan manusia (pemimpin). Mereka menghormati manusia jauh lebih tinggi dari Allah sehingga terpecah-belah. Mereka terpecah karena mereka tidak menempatkan Yesus sebagai kepala gereja, tetapi menempatkan hamba Tuhan sesuai dengan yang mereka bayangkan (menempatkan hamba Tuhan tersebut menjadi nomor satu). Mereka melihat Paulus sebagai hamba Tuhan yang pintar. Kalau beradu argument dengannya,  tidak ada yang bisa menang. Bukankah bangga dengan pemimpin seperti itu? Tapi ada juga Petrus yang diidolakan karena telah menjadi saksi sejarah akan kematian dan kebangkitan Yesus Kristus sehingga kata-katanya bisa dipercaya. Dulu tidak bisa dipengang kata-katanya tetapi sejak bertobat, berubah dan memimpin, maka Petrus menjadi hamba Tuhan yang dihormati. Hal ini bila terjadi sekarang, maka kalau Paulus berkhotbah sekarang maka yang duduk di depan adalah jemaat yang senang dengan Paulus. Kalau yang berkhotbah Petrus maka yang duduk di depan adalah jemaat yang senang dengan Petrus. Juga ada jemaat yang menyukai Apolos, seorang hamba Tuhan yang usinya lebih muda daripada Petrus dan Paulus tetapi fasih dalam berkata-kata  (seorang ahli komunikasi yang baik). Kalau ia menjelaskan sesuatu orang menjadi tertarik sehingga orang mengidolakannya. Ada juga kelompok yang tidak mau mengidolakan manusia dan hanya mau mengidolakan Yesus Kristus. Awalnya kelompok ini bersifat non-blok tapi kemudian menjadi blok sendiri karena menganggap dirinya lebih rohani dari yang lain.
                Suatu gereja terpecah karena jemaatnya  mengidolakan pemimpinya. Hal ini banyak terjadi di gereja-gereja. Jemaat seperti itu adalah bayi rohani dan akhirnya menyeret hamba Tuhan menjadi bayi rohani karena terhasut untuk membuat blok. Hamba Tuhan ini hanya memperhatikan orang-orang yang mendukungnya. Kalau kelompok lain memberi usul, maka akan dibungkam. Ada juga jemaat yang senang menonton perpecahan dan membicarakan hamba Tuhan. Ia senang ke gereja karena ada tontonan menarik (ada pertikaian) kemudian ia menjadi bayi rohani dan semuanya jatuh seperti pada ilustrasi katak dan kalajengking di atas. Akhirnya keduanya mati!

Penutup
               
                Bayi rohani itu identik dengan manusia duniawi yang tidak bertumbuh. Ia tidak menghargai firman dan kehendak Tuhan atau dengan perkataan lain, ia menolak anugerah Tuhan.  Mari kita tidak menjadi bayi rohani tetapi bersedia dan mulai mencerna hal-hal yang keras dalam hidup kita dengan sikap yang dewasa. Mungkin Allah memberi makanan keras lewat firman Tuhan atau  cobaan hidup. Janganlah kita menyalahkan atau “menghakimi” Tuhan. Tuhan ingin membentuk karakter kita. Beranilah mengkonsumsi makanan keras, serta berani melakukan komitmen dalam keluarga, pekerjaan dan pelayanan. Tuhan memanggil kita dalam 3 area ini. Dalam pelayanan, kalau Tuhan yang mengutus aku, maka aku akan mengerjakan dan tidak akan meninggalkannya. Yoh 5:30 Tuhan Yesus berkata, Aku tidak dapat berbuat apa-apa dari diri-Ku sendiri; Aku menghakimi sesuai dengan apa yang Aku dengar, dan penghakiman-Ku adil, sebab Aku tidak menuruti kehendak-Ku sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus Aku.dan Yoh 20:21 Maka kata Yesus sekali lagi: "Damai sejahtera bagi kamu! Sama seperti Bapa mengutus Aku, demikian juga sekarang Aku mengutus kamu."
Kita harus melihat dalam konteks Allah yang mempercayakannya. Mari kita belajar berani dan berkata tidak pada karakter negative, gaya hidup dan kebiasaan yang tidak benar serta mulailah hidup dengan kebiasaan yang lebih positif.


No comments:

Post a Comment