Sunday, September 8, 2013

Bahasa Kasih dalam Keluarga

Ev. Susan Kwok

Kol 3:17-21
17 Dan segala sesuatu yang kamu lakukan dengan perkataan atau perbuatan, lakukanlah semuanya itu dalam nama Tuhan Yesus, sambil mengucap syukur oleh Dia kepada Allah, Bapa kita.
18   Hai isteri-isteri, tunduklah kepada suamimu, sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan.

Tema “Bahasa Kasih dalam Keluarga” mengajarkan agar setiap orang dalam keluarga memahami kebutuhan anggota keluarga lainnya. Suami mengerti kebutuhan istri dan sebaliknya. Demikian juga orang tua memperhatikan kebutuhan anak dan sebaliknya. Terdapat 2 hal penting dalam surat Rasul Paulus kepada jemaat di Kolose yakni :
1.     Pada Kol 1:15 Rasul Paulus mengingatkan / mengajarkan bahwa Kristus itu adalah segala-galanya. Sehingga Kristus harus menjadi yang utama dalam hidup kita.
2.     Pada Kol 2:6 : Jemaat harus hidup sesuai dengan kehendak Tuhan.
Oleh karena itu pada Kol 3:17-21 Rasul Paulus mengingatkan setiap orang percaya harus menunjukkan siapa Kristus dalam keluarganya.
Pada Kol 3:17, Rasul Paulus mengingatkan jemaat bahwa seluruh jemaat harus melakukan segala sesuatu dengan perkataan dan perbuatan di dalam nama Tuhan Yesus. Apa yang disampaikan pada ayat 17 bersifat umum, sedangkan pada ayat 18-21 Rasul Paulus menjelaskan secara spesifik, tentang siapa yang dimaksud dengan “kamu” dan apa yang harus dilakukan.
1.     Ayat 18 : istri terhadap suaminya. Hai istri tunduklah kepada suamimu sebagaimana seharusnya di dalam Tuhan. Kata “tunduk” mempunyai 2 pengertian : istri harus menyerahkan diri dengan sukarela (tidak dengan terpaksa)  dan istri harus belajar menundukkan dirinya pada peraturan yang Tuhan sudah tetapkan. Peraturannya ialah  di dalam keluarga, suami menjadi pemimpin (kepala). Sebelum seorang wanita Kristen memutuskan menikah dia harus tahu peraturan ini dan belajar melakukannya baru rumah tangganya harmonis. Allah tidak memberi hak yang semena-mena kepada suami. Karena pada ayat ini, seorang istri meletakkan suaminya sebagai pemimpin yang harus dihargai. Allah tidak menginginkan bahwa seorang istri walau lebih banyak penghasilannya atau lebih tinggi pendidikannya melecehkan suaminya. Banyak istri yang tidak memahami dan seringkali mempermalukan suaminya di hadapan orang lain. Jangan sampai ketika seorang suami menasehati anaknya, tiba-tiba istrinya mengatakan, “Jangan dengarkan papamu, karena ia tidak tahu apa-apa.” Atau dengan kata kasar istri berkata, “Papamu itu bodoh, saya lebih tahu dari papamu.” Suatu kali saya bertanya kepada salah seorang saudari yang dekat dengan saya,” Mengapa kamu tidak mau tidur dengan suamimu dalam satu kamar selama bertahun-tahun?” Sewaktu ia mau menjawab, tiba-tiba suaminya muncul. Lalu dia mengatakan, “Lihat bajunya, rambutnya dan mukanya. Bau! Bagaimana saya mau tidur dengan dia?” Dalam hati saya kaget, sedih dan berkata dalam hati,”Kalau cici saya pembersih, pasti suaminya juga bersih. Dia tidak mungkin tak mau dengan orang jorok sebelum menikah, tetapi kenapa sekarang suaminya berubah jadi jorok pasti ada sesuatu.” Karena setiap masalah pasutri dalam rumah tangga pasti melibatkan 2 belah pihak. Ada istri yang kemudian mengatakan pada pihak keluarganya bahwa “Suaminya itu betul-betul sial dan tidak berguna. Karena penghasilannya sedikit dan tidak bisa buat apa-apa.” Sehingga sang suami dilecehkan di mata keluarga besar istrinya. Allah mengingatkan kepada sebagai istri untuk tidak memperlakukan suami demikian. Kita justru harus memberikan solusi (masukan) untuk mendukung suami agar percaya diri. Kalau suami setiap hari dikatakan bodoh maka kemudian dia benar-benar jadi bodoh. Tapi bila dihargai sebagai kepala keluarga, maka suami akan produktif. Sewaktu SD kelas 4, papa berkata kepada saya, “Susan kemari! Lihatlah mamamu! Mamamu menjahit dari pagi, siang ke pasar, masak, menjahit, makan, lalu menjahit lagi sampai malam. Sepanjang hari ia bekerja namun tidak mengeluh, dan ia terus menerus bekerja. Tetapi yang kamu harus tiru adalah , kamu harus seperti mamamu yang tidak pernah menuntut.” Mama menerima apa adanya, walau papa sudah berusaha sekuat tenaga tetapi penghasilannya hanya terbatas. Mama tidak merendahkan papa di depan keluarganya. Jadi papa merasa bahagia hidup bersama mama. Ketika seorang suami diterima apa adanya lalu didukung sekuat tenaga, maka suami merasakan bahwa istrinya tunduk kepadanya.
2.     Ayat 19 : suami terhadap istri. Hai suami-suami, kasihilah isterimu dan janganlah berlaku kasar terhadap dia. Banyak pembicara seminar berkata “Suami-suami jangan pelit mengatakan I love you kepada istri. Itu seperti obat yang akan membuat istrinya bisa menikmati hidup sepanjang hari walau menghadapi kesulitan tapi hatinya lega.” Tetapi banyak suami “hemat” dalam berkata-kata.  Jangankan kata-kata pujian, kata-kata terima kasih saja jarang. Padahal wanita unik. Wanita itu lebih banyak berkata-kata dibanding laki-laki dan juga lebih banyak butuh dukungan kata-kata dari laki dibanding laki-laki sendiri. Banyak suami kurang mengasihi istrinya dan tidak menghargai pekerjaan istri sepanjang hari. Ada seorang konselor bertanya kepada seorang bapak,”Apakah bapak bekerja?” Dijawab, “Saya bekerja di kantor “X”, dari hari apa dan dari jam berapa.” Ditanya lagi, “Apakah istrimu juga bekerja?” Si Bapak menjawab,”Istrinya tidak bekerja tapi pengangguran.” Ditanya lagi,”Oh kalau begitu yang antar anak ke sekolah dan menyiapkan sarapan siapa?” “Ya istri sayalah, kan dia pengangguran jadi dia yang siapkan.” “Yang menyetrika baju, membereskan tas kantor bapak siapa?” “Ya istri sayalah kan dia tidak ada pekerjaan.” Di mata suaminya,  istrinya adalah pengangguran, padahal istrinya bekerja dari buka mata sampai tutup mata. Ia bekerja tanpa batas waktu tapi penghasilan belum tentu. Bagaimana mungkin suami yang punya konsep seperti ini mau berterima kasih pada apa yang dilakukan istrinya. Tuhan tidak mau suami Kristen seperti demikian. Kasih itu memang perlu diucapkan dan dinyatakan dalam tindakan. Ada ilustrasi lain dari sepasang opa (kakek) dan oma (nenek). Pada waktu masih muda , opa melamar oma berkata, “Percayalah kepadaku.” Si oma percaya dan menerimanya sebagai suaminya. Ternyata suaminya bertanggung jawab luar biasa. Pada waktu si istri hamil dan melahirkan anak pertama (perempuan), sang suami berkata, “Maafkan saya sudah merepotkan kamu.”  Sungguh suami yang baik. Waktu sang anak perempuannya menikah dan dibawa pergi si oma sedih. Tetapi opa sambil menepuk istrinya berkata, “Tenang masih ada saya.” Istri (oma) di tengah kesedihan menemukan suatu kekuatan. Bagaimana dengan suami hari ini? Apabila ada kesalahan (masalah), akankah ia berkata, “Tenang masih ada saya.” atau sebaliknya, “Memang dasar! Sudah diomongin... makanya....” Ketika mereka berdua sudah tua, si oma sakit keras dan hanya terbaring. Si opa duduk di samping istrinya sebelum menutup mata, “Tunggu saya ya.” Luar biasa sekali bukan?.
3.     Ayat 20 : anak terhadap orang tua. Hai anak-anak, taatilah orang tuamu dalam segala hal, karena itulah yang indah di dalam Tuhan Kata “taat” yang dipakai, seringkali dipakai untuk orang Israel agar taat kepada Allah. Berarti Allah memandang tinggi kedudukan orang tua di bumi. Oleh sebab itu, Allah tidak suka seorang anak (walau ketika dewasa menjadi sukses) tidak taat. Allah saja mengatakan, “Aku akan menggendong kamu walaupun putih rambutmu” kepada orang Israel. Allah mengasihi walau kita sudah tua. Kita adalah tetap anak di mata Allah. Walaupun kita sekolah lebih tinggi dan bekerja lebih dari orang tua, kita tetap anak. Kita harus menyediakan dana dan perhatian untuknya. Ada pepatah, “Satu janda dapat memelihara 8 anak tetapi 8 orang anak belum tentu dapat merawat seorang ibu janda.” Ilustrasi tentang seorang ibu janda yang memiliki 3 orang anak , dan merawat ketiganya saat suaminya meninggal ketika ketiganya masih kecil. Saat anaknya sudah besar, mereka hidup berkecukupan walau tidak kaya. Awalnya si ibu tinggal dengan anak pertama (tertua) keberatan kalau hanya ia yang mengurus ibunya. Ia mengajak adik-adiknya rapat dan akhirnya membuat ketentuan kalau makan pagi di rumah anak pertama, makan siang di rumah anak kedua, makan malam di rumah anak ketiga, setelah 1 bulan akan diputar gilirannya. Berbulan-bulan terjadi dan tidak ada masalah, dan anak-anak merasa beres. Suatu kali setelah makan pagi di rumah anak terbesar, menjelang makan siang  si mama sakit. Ia tidak sanggup berjalan ke rumah anak kedua, sehingga ia mau makan siang di rumah anak pertama saja. Tapi anak yang pertama keberatan dan berkata, “Ma kan saya jatahnya makan pagi dan tidak ada jatah siang ini”. Sorenya menjelang makan sore badannya sudah enak, tapi hujan turun dengan derasnya. Jadi dia tidak bisa ke rumah anak ketiga, maka ia maunya makan malam di rumah anak pertama. Tapi anak pertama berkata, “Mama bagaimana sih, kan jatahnya makan malam di rumah anak ketiga, tadi siang juga begitu.” Akhirnya mamanya sedih dan masuk kamar. Badannya yang tua sakit-sakitan. Hari itu dia hanya makan pagi saja. Besok paginya dia tidak keluar, sehingga anak pertamanya datang dan memintanya keluar untuk makan. Tetapi mamanya berkata, “Jangan lagi siapkan makan buat saya. Saya tidak bisa makan lagi dan saya sudah tidak kuat makan lagi.” Tak lama kemudian ia meninggal. Kalau sudah begitu, walau mau dikasih makan, dia sudah tidak bisa makan.
4.     Ayat 21 : orang tua terhadap anak. Hai bapa-bapa, janganlah sakiti hati anakmu, supaya jangan tawar hatinya. Ini bukan hanya untuk bapak tetapi juga untuk ibu. Anak itu bisa merasa sakit hati terhadap orang tuanya karena beberapa hal :
-        yang pertama, ketika anak diacuhkan, tidak diperhatikan. Mungkin ada orang tua yang akan protes, “Saya sudah memperhatikan makan, minum, sekolah dan kebutuhan lainnya sudah dipenuhi. Bagaimana tidak dicukupi?” Tetapi mungkin anak merasa tidak diperhatikan ketika ia membutuhkan pujian, pendampingan , waktu ngobrol dari orang tuanya namun tidak didapatnya. Juga termasuk saat mendapat nilai bagus, anak orang lain dipuji, tetapi anak sendiri tidak. Bahkan dikatakan, “Kenapa hanya dapat nilai 8, yang lain bisa dapat nilai 10.” Itu salah satu bentuk tidak memperhatikan anak. Anak juga bisa tawar hati dari orang tua ketika dibedakan  juga ada anak yang bagus dan yang tidak bagus (pembawa sial). Kalau anak sejak kecil dianggap pembawa sial sehingga benar-benar menjadi pembawa sial. Atau ketika anak diperlakukan kasar oleh orang tuanya. Contoh : Adolf Hitler, yang membasmi orang Yahudi terutama yang Kristen. Waktu kecil ia bercita-cita menjadi rabi (rohaniawan Yahudi). Tapi ia benci papanya yang Kristen karena kasar kepadanya sehingga ia berbalik arah dan benci kekristenan. Begitu mengenal ajaran komunis, ia menjadi pengikut ajaran komunis yang setia.
-        Anak juga bisa tawar hati terhadap orang tua, karena sewaktu kecil diberikan kebebasan tanpa pengawasan. Seorang anak tidak merasakan perhatian orang tuanya karena tidak pernah didisiplinkan. Ketika Allah selesai menciptakan Adam, malaikat bertanya, “Kenapa Adam diciptakan dengan kaki yang besar?” Tuhan berkata, “Kaki Adam besar karena nanti kalau punya anak, anaknya bisa memakai sepatu dia dan memasukkan kaki ke dalam sepatunya.” Maksudnya kalau nanti dia punya anak, maka anaknya akan belajar mengikuti langkah ayahnya.

No comments:

Post a Comment