Monday, June 3, 2019

Fokus pada Kekekalan

Pdt. Hery Kwok

Pengkhotbah 3:11
1   Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada waktunya.
2  Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
3  ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk merombak, ada waktu untuk membangun;
4  ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk meratap; ada waktu untuk menari;
5  ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
6  ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
7  ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
8  ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk perang, ada waktu untuk damai.
9  Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
10  Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak manusia untuk melelahkan dirinya.
11 Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.

Tidak Ada yang Kekal di Dunia Ini (Semuanya Terbatas)
                  
              Pada waktu kita membaca kitab Matius pasal 17, di sana Matius mencatat satu peristiwa di mana Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung yang dikenal dengan istilah transfigurasi. Pada waktu itu, murid-murid  Tuhan Yesus yang diajak hanya 3 orang yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus. Saat Tuhan Yesus dimuliakan dalam peristiwa transfigurasi itu, Ia berbicara dalam kemuliaanNya dengan Nabi Elia dan Nabi Musa. Keduanya adalah tokoh (nabi) besar. Orang Israel sangat mengenal kedua nabi tersebut. Karena Musa membawa bangsa Israel ke luar dari perbudakan menuju ke Tanah Perjanjian. Di sana mereka sungguh-sungguh dibawa ke dalam satu kemerdekaan sebagai satu bangsa. Bukan itu saja Musa melepaskan mereka dari perjanjian dengan ilah bangsa Mesir yang sangat kuat dan mengikat sehingga akhirnya membuat iman mereka kepada Allah bercampur dengan kepercayaan bangsa Mesir. Lalu bangsa Israel dibawa oleh Musa ke tanah yang dijanjikan Allah. Dan itu menjadi sebuah peristiwa besar sehingga orang-orang Israel tidak pernah melupakan siapa Nabi Musa. Sedangkan Nabi Elia adalah nabi yang membawa kerohanian bangsa Israel yang sudah melempem untuk kembali kepada Allah. Elia saat itu membunuh 400 nabi Baal yang menyesatkan orang-orang Israel. Sehingga Nabi Elia dikenal sebagai nabi pembaharuan dan sungguh-sungguh  dikenal oleh bangsa Israel. Ia tidak mengalami kematian karena diangkat oleh Tuhan.
              Petrus menyaksikan peristiwa transfigurasi ini, dan melihat apa yang dialami Tuhan Yesus,  lalu ia berkata kepada Tuhan Yesus,” Tuhan betapa senangnya kami berada di sini. Apakah Engkau mau kami membuat 3 tenda : satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia?” Ungkapan Petrus ini menjelaskan bahwa manusia pada umumnya senang dengan hal-hal yang menyenangkan. Perasaan bahagia (senang) yang dialami kalau bisa berlangsung terus (jangan hilang). Rasa bahagia tersebut kalau bisa jangan berakhir. Itulah manusia. Maka kalau kita melihat catatan dalam kitab Pengkhotbah bahwa di dalam dunia ini segala sesuatu ada batas-nya (tidak ada yang bersifat kekal di dunia ini, karena memang dunia ini fana dan terbatas). Itu sebabnya suka cita yang dialami seseorang pun terbatas.
              Menghadapi liburan lebaran tahun ini, saya sudah mendengar beberapa jemaat sesudah ibadah akan langsung berangkat masuk tol agar tidak terkena macet di Cikampek. Mereka ingin bergegas karena waktu liburan yang juga terbatas. Kalau tidak pergi sekarang, nanti tidak bisa liburan bersama keluarga lagi. Ini hal yang bagus, tetapi kita menghadapi keterbatasan, karena setelah liburan selesai maka pekerjaan atau sekolah memanggil kita kembali. Itu adalah waktu yang terbatas. Kondisi susah sekalipun juga terbatas. Tidak ada yang tidak terbatas. Artinya penulis kitab Pengkhotbah memberikan suatu kebenaran, bahwa di bawah kolong langit tidak ada yang tidak terbatas.


Allah yang Kekal Memberikan Kepuasan dalam Hati Manusia

              Pada waktu membaca Pengkhotbah 3:11, “Ia membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir, ada 2 hal yang ingin disampaikan dalam tulisan Pengkhotbah tersebut :

1.     Kepuasan tidak akan pernah didapati di dalam dunia yang fana. Hati manusia hanya bisa dipuaskan oleh Allah yang kekal.

Pengkhotbah membawa kepada satu  kebenaran bahwa  manusia bersifat terbatas di dunia yang fana ini, tetapi manusia adalah ciptaan Tuhan berdasarkan peta dan teladan Tuhan yang diciptakan Tuhan dalam sifat kekekalan. Kekekalan artinya tidak musnah (hilang) dan bersifat kekal seperti Penciptanya. Oleh karena manusia adalah ciptaan yang bersifat kekal, maka kepuasan yang ada di dalam diri manusia  tidak mungkin dicapai melalui hal-hal yang terbatas. Hanya Allah yang kekallah yanag sanggup memuaskan hati manusia. Ini adalah hal yang sangat penting yang disampaikan oleh Pengkhotbah. Karena dalam keterbatasan waktu, tidak ada yang di dalam keterbatasan ini bisa memuaskan hati manusia yang sifatnya kekal.
Kalau bicara tentang uang, maka sebanyak apapun uang yang dimiliki tidak pernah bisa memberikan kepuasan secara tak terbatas. Kalau berbicara tentang kekuasaan, maka kekuasaan tidak pernah membuat orang untuk bisa menikmatinya sepuas-puasnya. Mungkin sebentar kita bisa merasa puas karena punya kekuasaan. Kita bisa menyuruh dan mengatur orang. Bila punya uang , kita bisa beli sesuatu , pergi atau melakukan banyak hal (meskipun tidak semua hal) tapi sifatnya terbatas. Sehingga segala yang terbatas di dunia ini, tidak pernah memberikan kepada kita kepuasaan jikalau bukan Yang Kekal yang memberikan kepuasan itu.  Bukankah sejarah sudah mencatat ada banyak orang dengan kekayaan yang berlimpah  , tetapi mereka mati secara mengenaskan. Kita menemukan banyak artis yang hidupnya bergelimangan harta dan pujian. Contoh : Michael Jackon atau, penyanyi-penyanyi besar lainnya baik di luar negeri maupun di Indonesia ditemukan mati secara tragis di dalam ketenaran dan kemewahan mereka karena apa yang dimiliki tidak bisa memuaskan mereka. Kitab Suci memberikan penjelasan yang baik sekali. Itu sebabnya di dalam Pengkhotbah 3:11 dikatakan bahwa Ia memberi kekekalan dalam hati manusia. Karena manusia sifatnya kekal waktu dilahirkan oleh orang tua, kemudian berada dalam keberadaannya maka manusia sifatnya kekal. Meskipun kita akan mati secara fisik, tapi kita tidak musnah (punah). Kita terus berada dalam keberadaan kita karena kita kekal adanya. Dan yang kekal itu tidak mungkin bisa dipuaskan oleh yang tidak kekal.
Saya pernah bertemu dengan seorang penderita kanker stadium 4 yang hatinya bisa tetap tenang. Artinya apa? Ia tidak melihat bahwa yang bersifat kekayaan, keuangan dan segala macam itu menjadikan manusia mampu untuk menikmati kepuasan itu. Tetapi justru orang-orang  tertentu yang dalam kesulitan dan kesakitan tetapi bisa berkata, “Aku bisa tenang. Aku bisa melihat perkara ini”. Hal ini terjadi pada waktu hidup manusia berelasi dengan Allah, waktu ia memiliki iman percaya kepada Allahnya, sehingga ia bisa melihat kepuasaan dari Allah. Ini perkara yang penting sekali. Mengapa?
Kepuasaan yang sejati sungguh-sungguh hanya berasal dari Allah yang kekal. Penulis kitab Pengkhotbah ingin mengingatkan bahwa kita hidup di dunia fana. Kita boleh bekerja dan mencari uang, menempuh studi (kuliah) atau mencari kepintaran tetapi semua yang cari dan kejar itu sifatnya terbatas dan kita tidak bisa mendapat kepuasan di sana. Di sanalah kita harus belajar bagaimana kita sungguh-sungguh mencari kepuasan sejati dari Allah. Kitab Pengkhotbah menghantar kita pada satu kebenaran bahwa Manusia yang diciptakan Allah seturut gambar dan rupa Allah. Gambar dan rupa Allah mempunyai sifat kekekalan seperti penciptaNya yang membawa manusia sungguh-sungguh harus menyadari bahwa manusia benar-benar tidak terlepas dari penciptaNya.
Orang seringkali melupakan Tuhan oleh karena menganggap apa yang mereka kejar dan cari sudah mereka dapatkan, padahal tidak. Justru dalam kekekalan itulah, Allah menaruh dalam diri manusia hati yang mencariNya. Manusia itu unik karena seringkali manusia itu baru bisa menghargai hidup kalau ada kematian. Kalau tidak ada kematian, kita tidak menghargai hidup. Waktu ada kematian, di situ kita tahu bahwa kematian ini membuat kita memahami apa yang harus kita perbuat di dunia ini. Kematian yang sementara membawa kita tercelik bahwa kita bukan hidup di dunia ini selamanya.
Jumat lalu kita mengadakan ibadah tutup peti untuk Sdr. Asen. Dia dioperasi jantungnya untuk dipasang ring. Dari saat dioperasi sampai kemudian meninggal, ia tidak bisa apa-apa lagi. Saya jarang menemukan orang kalau dibalon (di-ring) mati. Ini kasusnya 1 di antara 1000. Kalau ada orang yang dioperasi pasang ring, di jantungnya, maka ia menjadi satu-satunya yang terkena dampaknya. Ia tidak pernah bisa mengalami dan merasakan apa-apa lagi. Setelah masuk rumah sakit , menjalani operasi sampai meninggal ia tidak merasaakan apa-apa. Kalau tidak melihat kematian, kita tidak pernah menghargai hidup. Kita hidup dalam kefanaan dan untuk masuk dalam kekekalan, bagaimana kita mengisi hidup ini? Itu adalah perkara penting yang perlu kita pelajari.
Saat Pengkhotbah berbicara tentang keterbatasan hidupnya di mana kita sungguh-sungguh tidak bisa dipuaskan oleh yang tidak terbatas, kira-kira bagaimana kita mengisi dan menjalani hidup? Apakah kita sungguh-sungguh menjalani dalam takut akan Tuhan atau sungguh-sungguh menjalani hidup untuk diri sendiri? Kalau untuk diri sendiri maka kita hanya akan berakhir dengan ketidak-puasaan hidup ini. Unik sekali manusia ini karena di dalam limitasi hidup baru manusia mengerti hidup.  Waktu di dalam kekekalan yang Allah berikan, Allah  memberikan kesementaraan di dunia. Waktu kesementaraan itu ada, baru kita bisa mengerti ada kekekalan. Karena ada kekekalan itulah, maka ada hidup yang harus dipertanggungjawabkan.

2.     Dalam kekekalan yang akan dimasuki baru kita bisa pahami dalam keterbatasan ini, di situlah baru kita bisa belajar bagaimana mengisi hidup ini.

Apakah hidup yang kita isi adalah hidup yang sia-sia saja, hidup yang hanya berorientasi pada diri sendiri atau hidup untuk kehidupan kita saja atau tidak? Pada waktu Tuhan Yesus ditanya oleh orang Farisi, “Guru apa sebenarnya intisari dari hukum Taurat?” Yesus menjawab, “Kasihilah Tuhan Allahmu dengan totalitas hidupmu, dengan segenap hati, segenap pikiran, segenap perbuatan. Yang kedua, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum itulah, seluruh hukum Taurat tergantung” Artinya dalam 2 intisari ini, kalau engkau lakukan, maka engkau akan hidup. Waktu Tuhan berbicara, Dia bicara tentang Firman yang kekal. Waktu kita sungguh-sungguh melakukan firman yang kekal, maka kita akan masuk di dalam kekekalan dengan berani untuk kita bertanggung jawab atas apa yang kita kerjakan.
Pada waktu penghakiman dan bertemu Pencipta kita, Rasul Paulus berkata bahwa setiap orang akan diadili menurut segala perbuatan yang dilakukan dalam dunia ini. Kalau di dunia ini kita hanya mengisi hidup untuk diri sendiri (memuaskan diri sendiri , hanya untuk ego sendiri), maka kita akan berhadapan dengan Pencipta kita yang akan mengadili di dalam kebenaran dan keadilan dan Dia tidak akan tawar-menawar dengan kita. Itu sebabnya saya senang dengan filsafat Tionghoa yang dipopulerkan oleh Pdt. Stephen Tong tentang waktu.
Waktu itu adalah seperti hakim (penuntut) yang kejam tetapi sekaligus ia adalah kawan yang setia. Saat kita tidak menggunakan kesempatan di dalam waktu yang terbatas itu, maka ia akan membuat dan menyatakan kita sebagai orang yang teledor dalam hidup kita (sebagai orang yang sungguh-sungguh menyia-nyiakan hidup yang diberikan dalam kesempatan). Karena itu Ia akan menjadi hakim yang menuntut dan menelanjangi kita terhadap hidup yang disia-siakan. Tetapi bila waktu digunakan dengan baik, maka Dia akan bersaksi bahwa orang ini benar, setia, dan menggunakan waktu (kesempatan) ini dengan baik.
Itu sebabnya dalam Efesus 5:16 dengan berani Rasul Paulus berkata bahwa hari-hari itu jahat. Kalau hari-hari yang terbatas itu jahat dan kita berada dalam keterbatasan  waktu untuk masuk dalam kekekalan. Kira-kira bagaimana kita mengisinya? Bagaimana kita menghidupinya? Ini sesuatu yang sangat penting sekali. Kepada orang-orang  di Korintus, waktu menulis surat, Rasul Paulus menegur mereka. Mereka berada dalam filsafat yang salah. Mereka katakan hidup itu tidak ada kekekalan dan berhenti dalam kematian. Maka silahkan makan dan minum saja, berpuas-puas diri saja. Kalau masih muda, maka gunakanlah masa mudamu dengan sebebas-bebasnya. Bila engkau ingin menggunakan tubuhmu untuk seks , narkoba silahkan saja karena  akan mati dan berakhir di kuburan. Rasul Paulus berkata, “Tidak! Karena ada kebangkitan dan Kristuslah yang sulung yang bangkit”. Itulah yang menandakan adanya kekekalan. Waktu kekekalan itu kita masuki setelah kita meninggalkan dunia yang terbatas, apakah kita siap berjumpa dengan Hakim yang agung itu?
Saat saya masih menjadi pengacara, setiap kali masuk ke ruang pengadilan, hati saya merasa gentar. Apa yang membuat saya gentar? Saya hanya berpikir, “Apakah hakim yang akan mengadili perkara ini jujur dan baik atau tidak? Kalau tidak baik, maka ia akan memihak yang jahat. Padahal saya mencoba tidak mau menyuap. Saya tidak mau berlaku   curang, tapi kalau hakim ini main mata dengan lawannya, lalu kemudian ia memenangkannya , maka Tuhan sepertinya usaha saya sia-sia saja”. Saya suka gentar masuk ke ruang pengadilan karena berjumpa hakim karena mereka bisa menyalahgunakannya. Tetapi waktu Alkitab bicara tentang Hakim yang agung itu, hal ini jauh lebih menggentarkan, karena Dia menghakimi dengan keadilanNya dan kebenaranNya dan itu tidak akan pernah bisa terlepas. Kalau hidup seorang pendeta tidak benar dalam menggembalakan dan menggunakan uang jemaat secara tidak benar, jemaat memang tidak tahu tetapi ada Tuhan yang tahu.
Kalau kita menjadi seorang suami atau istri, apakah kita sungguh-sungguh mengisi hidup kita sebagai suami/istri yang takut Tuhan? Sebagai pemuda, apakah engkau mengisi masa mudamu sungguh-sungguh dengan melakukan kehendak Tuhan? Sebagai siswa yang masih studi, apakah engkau sungguh-sungguh melakukan studimu dengan baik dan bertanggung jawab kepada Allah?
Istri saya berkata,”Saya terkadang malu melihat orang Indonesia belajar dibanding orang Tiongkok. Orang Tiongkok dalam belajar tidak main-main. Perpustakaan dipenuhi oleh para siswa. Mereka senang dengan textbook. Mereka tidak mencari bahan di handphone melainkan di perpustakaan. Jadi kalau terlambat, kita sulit mendapat tempat untuk belajar di perpustakaan. Sedangkan bagi banyak orang Indonesia, yang ramai adalah mal (bukannya perpustakaan), apalagi menjelang lebaran semua harga barang dibanting. Semua stock di gudang diobral. Bahkan ada mal yang menyelenggarakan midnight sale. Seorang anak muda berkata kepada saya,”Mu-shi nanti belajar di mal saja karena ada midnight sale”. Herannya kalau ada midnight sale mata tidak mengantuk sehingga mal pun ramai. Orang Tiongkok yang disampaikan oleh shimu hebat sekali. Mereka bertanggung-jawab dalam mencari pengetahuan. Orang Indonesia belajarnya sore-sore, karena tidak terlalu serius dalam belajar. Saya belajar secara serius sewaktu di sekolah Alkitab, sebelumnya tidak. Untung saja, saya tidak jadi pengacara gadungan. Karena kita pernah menyaksikan di video, seorang yang menjadi dokter walaupun belajarnya tidak benar (menyuap). Waktu ada pasien di meja operasi dia kebingungan. Yang dia operasi adalah istri dari dosennya yang disuap. Cerita ini bagus. Tidak perlu banyak ribut. Dosen itu juga menyesal karena ia sudah menghasilkan dokter gadungan. Murid-muridnya (mahasiswa dokter gadungan) memang senang cara belajar seperti itu. Kita akan menghadap Hakim yang agung. Maka Kitab Suci memberikan kepada kita kebenaran yagn luar biasa, firman Tuhan yang kekal yang bisa membawa kita untuk memahami kekekalan itu dan mengisi hidup di dalam keterbatasan supaya kita hidup di dalam kekekalan.
                                                                                                                                       
Penutup

Waktu cepat sekali berlalu. Sekarang kita sudah memasuki bulan Juni. Sebentar lagi kita akan masuk Natal, setelah itu masuk Paskah, lalu Lebaran dan Natal lagi. Waktu yang sangat cepat bergulir membawa orang melihat waktu cepat berlalu. Cepat tetapi isinya tidak ada. Kalau tidak pernah diisi, apanya yang cepat? Tetap saja belajarnya malas. Hidupnya sebagai orang muda disia-siakan, sebagai keluarga hidupnya tidak dibawa kepada Tuhan. Katanya cepat tapi tidak pernah di-isi. Ini adalah sesuatu yang perlu dipikirkan. Kitab Pengkhotbah mengingatkan kita dua hal dalam ayat 11 : Allah menaruh kekekalan dalam hati mansuai, agar kita tahu bahwa dunia  yang fana tidak bisa memuaskan kita. Carilah Tuhan selama Dia bisa ditemui karena Dialah yang memberi kepuasan itu. Yang kedua, Dia yang kekal akan menghakimi kita yang kekal selama dalam keterbatasan, kita mengisi keterbatasan dengan melakukan apa yang Tuhan kehendaki atau tidak? Dia memberikan perintah, “Kasihilah Tuhan Allahmu. Kasihilah sesamamu.” Penajabarannya luas dalam kehidupan praktis kita. Kita mengasihi sesama , orang-orang di sekitar kita. Apakah dalam bentuk bantuan secara material atau moral atau yang terpenting secara rohani mengabarkan Injil pada orang-orang ini. Apakah kita sungguh-sungguh melakukannya dalam keterbatasan waktu,  karena dikatakan di bawah kolong langit, itu sangat terbatas. Apa keterbatasan kita? Hari ini kita pergi liburan, tidak tahunya bisa saja tidak kembali lagi. Artinya di dalam keterbatasan itulah, mari kita pikirkan hidup kita ini. Kiranya Tuhan menolong kita memasuki bulan Juni dan kita sungguh-sungguh mengisi hidup ini seperti yang Tuhan mau.  

No comments:

Post a Comment