Monday, July 17, 2017

Disiplin Rohani dan Pertumbuhan Iman


Pdt. Jimmy Lucas

2 Petrus 1:3-9
3 Karena kuasa ilahi-Nya telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang mulia dan ajaib.
4 Dengan jalan itu Ia telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.
5  Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan,
6 dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan,
7 dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang.
8 Sebab apabila semuanya itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.
9 Tetapi barangsiapa tidak memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan.

Pendahuluan

                Memiliki ketrampilan dan kompetensi tidak berarti sukses. Banyak orang yang punya ketrampilan dan kompetensi namun tidak berakhir di mana-mana. Anak pertama saya (Joan) adalah anak yang serba bisa. Usianya baru 8 tahun namun ia pandai bernyanyi, menari, melukis dan public speaking. Masalahnya Joan merasa ia bisa ini-itu sehingga kehilangan fokus. Ia tidak tahu mana yang harus didahulukan. Ia tidak tahu apa yang harus dikejar. Akibatnya ia kehilangan semangat. Ketika seseorang kehilangan tujuan hidup, maka ia akan menghabiskan sumber dayanya tidak untuk apa-apa. Ia tidak mampu mendisiplinkan dirinya sehingga ia tidak bisa menjadi apa pun. Hal yang sama terjadi dalam kehidupan kerohanian.

Pertumbuhan Rohani

Berada dalam gereja yang baik bukan berarti kita mengalami pertumbuhan rohani. Mendengar khotbah yang baik bukan berarti kita mengalami pertumbuhan rohani. Bukan itu saja yang dibutuhkan untuk mengalami pertumbuhan rohani. Untuk mengalami pertumbuhan rohani kita membutuhkan disiplin rohani yang tinggi.
                Hal pertama yang perlu dipahami kalau kita tidak bertumbuh maka kita menjadi orang yang buta dan picik walau bukan berarti kita tidak diselamatkan. Mungkin kita diselamatkan tetapi kita menjadi buta dan picik. Tanpa bermaksud merendahkan orang buta,  orang buta adalah orang yang tidak bisa melihat apa-apa dan untuk melakukan sesuatu membutuhkan bantuan orang lain. Ia menjadi beban bagi orang sehat. Ketika orang tidak bertumbuh secara rohani maka ia menjadi buta rohani dan menjadi beban bagi orang sehat. Ia tidak mampu melihat visi dari Allah sehingga dalam kebutaan , ia meraba-raba dan membebankan orang lain. Orang yang tidak bertumbuh juga bisa menjadi orang yang picik. Picik bukan berarti bodoh. Orang yang picik bisa merupakan orang yang cerdas dan berpendidikan tinggi. Orang yang picik adalah orang yang berpikir secara sempit. Hatinya ‘kecil’ tidak mampu menampung orang lain, tidak bisa melihat perbedaan (tidak bisa melihat sudut pandang yang berbeda). Ia merasa diri benar dan merasa diri baik sendiri, tidak memiliki rasa aman, marah ketika berhadapan dengan perbedaan. Sehingga orang picik bukan hanya menjadi beban bagi orang lain juga menjadi penghambat pertumbuhan orang lain. Gereja tidak rusak karena orang-orang di dalamnya tidak berpendidikan, tetapi gereja menjadi rusak karena orang-orang di dalamnya picik. Di dalam kepicikan ia menolak perubahan. Di dalam kepicikan ia menganggap diri benar dan menghambat pertumbuhan orang lain. Orang seperti ini lebih baik dijadikan ‘pondasi jembatan’ karena  tidak berguna dalam gereja. Tidak berguna adalah satu hal, tetapi menghalangi orang lain bertumbuh adalah hal yang lain. Kita tidak boleh menjadi orang yang buta dan picik. Itu sebabnya kita harus bertumbuh . Untuk bertumbuh kita membutuhkan disiplin rohani.

Defisini Disiplin Rohani


1.    Disiplin rohani adalah upaya yang bertujuan.

Tidak ada disiplin tanpa tujuan. Disiplin hanya tumbuh ketika ada tujuan. Maka berbicara tentang disiplin rohani berarti kita berbicara tentang tujuan kerohanian yaitu agar setiap orang percaya mengalami pertumbuhan rohani dalam dirinya. Kita menanggalkaan manusia lama dan mengenakan manusia baru hingga menyerupai Yesus Kristus. Kata ‘kenal’ berasal dari kata epiginosko (2 Petrus 1:8). Epiginosko (bahasa Yunani) artinya mengenal dengan penuh, jelas atau lengkap atau pengenalan secara wahyu. Epiginosko terdiri dari dua kata, yaitu epi yang berarti di atas, melampaui dan ginosko yang berarti mengetahui, mengerti. Dua kata ini digabungkan menjadi di atas dari ginosko, melampaui mengetahui atau mengatasi pengertian alamiah, melampaui pengetahuan atau pengalaman jasmani. Inilah pengenalan pewahyuan ilahi. Mirip seperti suami mengenal istrinya secara intim  dan sebaliknya itulah epiginosko. Dalam pengenalan ini kita berinteraksi secara intim hingga mengubah pribadi kita.
Sewaktu pelayanan di Surabaya, saya tinggal di rumah Om Han (majelis) dan Ai Mei Fang (staf tata usaha gereja). Mereka sepasang suami sitri yang sangat mesra dan romantis. Mereka telah berumah tangga selama bertahun-tahun. Mereka sangat mesra sehingga bila Om Han melirik maka Ai Mei Fang tahu suaminya mau apa, bahkan walau Om Han tidak bicara pun Ai Mei Fang sudah tahu maunya. Saya mau memiliki kehidupan rumah tangga seperti itu. Suatu kali saya melihat Ai Mei Fang cemberut sehingga saya bertanya, “Mengapa?” yang dijawabnya,”Tidak apa-apa.” Akhirnya saya langsung bertanya,”Ribut ya sama Om?” Ia pun membenarkan. Kemudian ia menambahkan,”Heran setelah bertahun-tahun menikah masih ada saja yang harus dipelajari.” Tetapi saya pikir itulah hakekat dari epiginosko. Itulah hakekat mengenal Allah. Di satu sisi kita seharusnya mengetahui apa yang Allah kehendaki dalam hidup kita. Tetapi di sisi lain kita terus harus belajar mengenal Allah. Berada dalam hubungan ini terus menerus akan membuat kita dari hari ke hari semakin mengenal Allah sehingga karakter kita berubah dan mencerminkan Kristus. Inilah tujuan rohani.
          Banyak orang yang keliru berpikir bahwa  orang yang dewasa rohani adalah orang yang menduduki posisi di organisasi gereja. Jadi bila menjabat sebagai majelis, dianggap orang sudah dewasa rohani. Jadi pelayan (aktifis) berarti sudah dewasa rohani. Jadi pendeta berarti sudah dewasa rohani. Padahal kenyataannya tidak begitu! Kenyataannya majelis bisa jatuh dalam dosa. Hamba Tuhan bisa jatuh dalam dosa dan hidup dalam kedagingan. Majelis bisa jadi jelmaan iblis. Hamba Tuhan bisa jadi hamba uang. Jadi posisi rohani tidak identik dengan kedewasaan rohani. Kedewasaan rohani tidak identik dengan aktivitas rohani. Orang yang sering terlibat dalam pelayanan tidak berarti dia dewasa rohani. Orang dewasa rohani pasti terlibat dalam pelayanan.
Di Malang ada seorang pendeta yang terpaksa ‘mengusir’ seorang ibu-ibu jemaat. Ibu ini setiap hari datang ke gereja. Persekutuan wanita ikut. Komsel ikut. Kebaktian Umum ikut. Pasutri ikut, walau suami tidak datang ia tetap ikut. Jadi semua ibadah ia ikut. Suatu kali Bapak Gembala ‘marah’ karena  ia ikut ibadah lagi. Dengan heran, saya bertanya,”Mengapa mushi melarang ia ikut ibadah?” karena berpikir seharusnya hamba Tuhan senang kalau melihat jemaatnya datang beribadah  dari Senin sampai Minggu. Seharusnya pendeta senang tetapi ternyata ia tidak bisa senang. Saya bertanya,”Mengapa mushi tidak senang?” Rupanya suami dari ibu tersebut datang kepada pendeta marah-marah dan bertanya di gereja ada apa. Suaminya berkata,”Saya tidak melarang istri saya ke gereja. Tetapi mengapa istri saya tidak memasak, mencuci piring dan mengurus anak dulu sebelum ke gereja?” Ternyata itu bukan pertumbuhan rohani atau disiplin rohani, tetapi itu namanya melarikan diri. Sang istri tidak mau melakukan pekerjaan rumah tangga sehingga ia kabur ke gereja.
Orang yang melakukan kegiatan rohani tidak berarti dewasa rohani. Untuk mengetahui orang sudah dewasa rohaninya  dilihat dari karakternya. Seberapa jauh karakter nya berubah menjadi serupa dengan Yesus. Setelah datang ke gereja selama lebih dari 20 tahun tapi karatkernya  tidak berubah serupa dengan Yesus atau datang ke gereja setiap Minggu hanya untuk ‘menghangatkan’ kursi gereja maka berarti ia belum dewasa rohani. Saat ke gereja seharusnya punya tujuan yaitu agar “Saya ingin berubah”. Ketika bicara tentang disiplin rohani, kita tidak bicara tentang kegiatan dan tujuan. Ketika bicara tentang disiplin rohani , kita berbicara tentang bagaimana menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus.


               
2.    Disiplin rohani adalah upaya yang tersistematis.

Kita bukanlah petinju yang dengan sembarangan memukul. Kita bukan pelari yang berlari tanpa tujuan. Kita ibarat atlit yang punya tujuan dan mengikuti aturan main dalam pertandingan. Ini yang ditekankan oleh Petrus. Justru karena itu kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan semua orang. (2 Petrus 1:5-7). Jadi ada fase atau tahapannya. Bukan karena kita mau bertumbuh maka kita pasti bertumbuh. Bukan berarti tujuan rohani menyerupai Kristus kita pasti jadi serupa Kristus. Ada tahapan yang harus dilalui.
Di rumah saya ada komunitas untuk remaja. Saya mendidik mereka untuk memiliki karakter Kristus melalui latihan bela diri. Latihan bela diri digunakan sebagai wadah untuk melakukan mentoring. Seorang anak remaja yang baru datang berlatih, diajarkan pukulan jab dan  cross . Ia pun berlatih dengan temannya dan kemudian dia pikir ia sudah siap untuk ikut pertandingan. Anak yang baru memiliki pukulan jab dan cross bila diikut-sertakan dalam pertandingan , apa jadinya? Jadi “tempe bongkrek”. Masuk utuh keluar berantakan. Mengapa? Sekalipun tujuannya ia bisa jadi atlet, tapi selama ia tidak mau mengikuti tahapan proses berlatih dari tingkat dasar, menengah dan mahir, maka ia tidak akan siap. Semua orang yang mau berlatih untuk pertandingan harus mengikuti proses. Untuk mencapai suatu tujuan memang ada prosesnya.
Joan senang bernyanyi. Ia tidak pandai beryanyi, namun ia senang beryanyi. Saya bertanya,”Joan, cita-citanya mau jadi apa?” Saya ingin menanamkan sense of goal kepadanya. Ia menjawab, “Saya mau menjadi artis.”  Lalu ia bernyanyi sambil menggoyangkan tubuhnya. Saya berkata,”Boleh tapi harus les balet.” Joan keberatan,”Tapi balet bisa seperti itu? Jangan balet, tapi modern dance - lah.” Saya menanggapi,”Ikut saja keduanya.” Tapi bernyanyinya tidak bisa. Ia pun saya kursusin. Di tempat kursus dikatakan,”Kelihataan ia berbakat.” Lalu oleh pembina sanggarnya, ia diikutkan menyanyi di mal. Buat Joan hal itu menyenangkan. Tetapi bagi anggota paduan suara terlatih sudah tahu bahwa Joan belum mencapai tahap di sana. Saya pun memaksa dia , “Joan ayo latihan. Ayo latihan.” Saya berdoa, “Tuhan beri dia kesempatan.” Suatu hari di gereja ada audisi untuk rekaman lagu Natal. Joan malu untuk ikut serta dalam audisi. Saya mendorongnya untuk maju. Saya benar-benar mendorongnya sehingga tubuhnya maju ke  depan dan berhenti di depan keyboard. Akhirnya dia langsung ikut audisi. Dua kali ikut audisi , keduanya lulus. Dia pikir bahwa dengan ikut audisi berarti dia sudah menjadi seorang penyanyi. Ia pun tidak mau mengolah vocal, dan hanya bersantai saja padahal ia harus menyanyikan lagu “Gloria in excelsis Deo” sendiri. Lagu ini tidak mudah dinyanyikan alias lagu yang sulit. Saat menyanyi lirik “Gloria in excelsis Deo” napas tidak boleh behenti di tengah-tengah dan di akhir kalimat nada harus turun. Tidak mudah karena selama ketukan itu nafas tidak boleh berhenti. Saya dengan ‘kejam’ menyalakan i-pad dan memperdengarkan lagu tersebut saat dibawakan oleh Andrea Bocelli. Ia pun ngambek. Mamanya berkata, “Jim , ia bernyanyi per kelompok. Santai saja lah. Orang tidak tahu siapa dia.” Saya berkata,”Tidak bisa! Jalan menuju ke atas adalah turun ke bawah. Kalau kita mau ke atas, kita harus turun ke bawah, lakukan apa yang harus kita lakukan.” Kalau seorang atlit perlu latihan push-up sebanyak 200 kali. Untuk penyanyi baru harus latihan olah vocal. Pengkhotbah yang mau berkhotbah dengan baik harus menyiapkan bahan khotbah seminggu sebelumnya. Joan mau menjadi seorang artis, maka ia harus latihan dari awal, mengikuti proses dan prosedur dari bukan apa-apa agar bisa menjadi siapa-siapa.
Pertumbuhan rohani kita harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan. Artinya bukan saja menjadi orang Kristen biasa tetapi melakukan kebajikan secara aktif. Tidak melakukan apa-apa sama dengan baik? Tidak melakukan apa-apa sama dengan tidak melakukan apa-apa. Hanya tidak melakukan apa-apa , bukan berarti baik bila hanya tidak merampok. Kalau mau jadi orang baik, lakukan perbuatan baik secara aktif. Kalau gereja ada kebutuhan untuk misi, ikut memberi persembahan secara aktif. Itu yang dimaksud dengan kebajikan pada 2 Petrus 1:5. Kalau khotbah tidak dicatat, tidak ikut kelas PA dll. bagaimana mau bertumbuh? 20 tahun ke gereja tidak membaca dan belajar Alkitab, bagaimana bisa bertumbuh rohani? Kalau bertemu dengan yang lebih muda ,ditanya usianya berapa? 40 tahun. Ia katakan masih muda  ya. Logikanya 40 tahun tidak muda dan yang bilang muda itu adalah ego. Seharusnya older but wiser Artinya tambah tua seharusnya tambah bijak. Kalau bertemu orang tua dan Kristen maka tetap harus dihormati. Kalau bukan orang Kristen bagaimana? Saya tidak mau bertambah tua, tetapi tidak bertambah bijaksana. Kalau kita bertambah tua, kita harus pastikan kita layak dihormati bukan karena kita ubanan. Bacalah banyak buku.
Mama saya sekolah dasar saja tidak tamat. Tetapi tiap kali datang ke rumah saya, buku saya ada yang hilang. Setiap kali mama pulang, saya harus hitung buku saya ada yang hilang tidak. Kalau ada, tidak usah dicari ke mana-mana, tetapi cari saja ke rumah mama pasti ketemu. Suatu kali mama saya pindah dari Gading Serpong ke daerah Cengkareng, ia berkata,”Jim, bawa pulang buku sekotak (besar). Itu barang kamu.” Rupanya mama kembalikan. Mama saya memang hobi membaca, sampai buku Anand Krishna juga ia baca. Akhirnya saya berkata, “Nanti kalau ambil buku saya bilang dulu ya.” Tetapi saya pikir, mama saya layak dihormati. Bukan karena tua tapi ia menambah pengetahuan dalam pikirannya (seperti kata Rasul Paulus : berusaha untuk menambahkan kepada kebajikan pengetahuan).  Dengan mengetahui apa yang harus dilakukan maka lakukanlah secara terus menerus. Jangan setelah mendengar khotbah tidak berubah. Jadi bukan 5D (Datang Duduk Diam Dengar Doang) tetapi harusnya ditambah “Do it” (lakukan terus menerus). Setelah itu dan kepada pengetahuan penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan,
 Saleh itu bukan karena penampilan. Misal : ada yang memakai jenggot agar mirip gambaran Tuhan Yesus dahulu, tidak berarti ia menjadi orang saleh. Orang Kristen yang semakin bertambah saleh, maka hidup rohaninya makin tersembunyi di dalam manusia, tetapi makin nyata di hadapan Allah. Coba cari pola yang tepat, agar kita bisa bertumbuh. Bisa gunakan 2 Petrus 1 sebagai pola. Bisa juga menggunakan nats dari Gal 5:22-23 (buah-buah Roh Kudus) sebagai pola. Bisa juga menggunakan 10 hukum Taurat sebagai pola. Artinya kita melihat nats tersebut lalu membandingkan dengan diri kita sehingga kita tahu sudah di tahap mana.
Anak saya yang kedua dan berumur 4 tahun, Joshua, minta dibelikan mainan dokter-dokteran. Saya menjawab, “Tidak usah beli, cici dulu punya.” Saya pun membongkar gudang dan menemukannya. Sayangnya tidak ada stetoskop-nya, yang ada tinggal pisau bedah dan termometer. Joshua bertanya, “Ini apa?” Saya menyebutkan namanya yaitu termometer. Dia bertanya,”Gunanya untuk apa?” Saya pun menjelaskan fungsinya sebagai alat untuk mengukur panas. Lalu ia berkata, “Papa, Joshua jadi doker. Papa jadi orang sakit.” Joshua pun pura-pura memeriksa , memasukkan termometer ke tubuh saya dan berkata, “Papa panas. Harus diobatin.” Ia mengambil pisau bedah lalu dipotong. Apa yang sakit dipotong. Padahal untuk menentukan mana yang sakit hanya menggunakan termometer. Namun setidaknya ia belajar bahwa untuk mengukur kesehatan orang ada alat ukurnya. 10 Hukum Taurat, 2 Petrus 1:5, Gal 5 :22-23 adalah alat ukur kerohanian kita sudah sampai mana.
          Disiplin rohani artinya sebuah upaya untuk mencapai tujuan secara terstruktur. Dan disiplin rohani adalah kerja keras untuk mencapai tujuan. Rasul Paulus menggunakan kata “Tambahkan”. Itu berarti bahwa pertumbuhan rohani tidak terjadi dengan sendirinya dan secara instan, jadi kita harus bekerja keras untuk mengalaminya. Apa beda anak ayam dan anak orang? Bapak saya dulu memelihara anak ayam. Induk ayam awalnya dikasih makan. Induk ayam ini kemudian bertelur dan mengerami telur baru jadi anak ayam. Anak ayam tidak dikasih makan tapi dikeluarkan saja. Diumbar  saja sampai pulang sendiri. Setelah besar, maka ayam tersebut dipotong. Kalau anak orang diumbar maka tidak pulang-pulang. Karena itu membesarkan anak manusia harus terencana, untuk menumbuhkannya orang tua harus bekerja keras. Hidup kerohanian juga tidak tumbuh instan harus bekerja keras.

Penutup

       Sewaktu mengambil kuliah teologi, seorang kakak rohani bertanya,”Mengapa gereja karismatik mudah sekali bertumbuh, sedangkan gereja protestan tidak?” Ia tidak tahu jawabannya. Sewaktu ia mencoba datang ke gereja karismatik dan mendengar khotbah, ia merasa emosi,”Pegang saya Jim. Kalau tidak , mau saya lempar orang itu.” Kebetulan saya berasal dan dibaptis di gereja Pantekosta sebelum akhirnya saya menjadi anggota GKY. Saya mengerti mengapa gereja Pantekosta bertumbuh. Karena mereka membayar harga! Contoh : apakah kita punya persekutuan doa pagi? Hanya mushi dan shimu , sedangkan jemaat tidak ada yang datang. Cobalah pergi ke gereja karismatik dan pantekosta. Dari Senin sampai Sabtu mereka ada jadwal doa. Bahkan ada gereja karismatik yang punya menara doa. Itu tempat berdoa 24 jam di mana jemaat terus bergantian untuk berdoa di sana tidak putus-putusnya. Waktu masih di gereja Pantekosta, kami tidak boleh mengambil pelayanan kalau pada hari Kamis tidak ikut doa puasa. Jadi doa puasa itu wajib bagi aktifis. Waktu gembala saya mau melakukan buang jimat , ia berpuasa selama 10 hari dan hanya minum sedikit. Pada waktunya jimat disiram. Lalu saya mendengarnya berkata,”Dalam nama Tuhan Yesus hai iblis keluar!” lalu jimat itu terbakar! Mengapa gereja kita tidak mengalami hal seperti itu? Mengapa gereja Protestan tidak mengalami hal seperti itu? Bukan karena gereja kita tidak ada Roh Kudusnya, masalahnya kita tidak mau bekerja-keras untuk mencapai level kerohanian yang lebih tinggi. Disuruh doa puasa malah puasa doa dan suntuk. Nanti kalau sudah hidup susah ia berkata,”Ini rencana Tuhan.” Bagaimana bisa mengatakan hal itu? Jangan tutupi pertumbuhan rohani dengan kemalasan. Bayarlah harga dan disiplin rohani!

Saya mau kita mengalami Yesus. Allah yang kita sembah, adalah Allah yang hidup. Ia bangkit dari antara orang mati. Ia disebut Allah Imanuel , Allah beserta kita. Kalau sudah 30 tahun tidak mengalami Dia, selama ini ke gereja ngapain saja? Mengalami penghiburan Allah  hanya terjadi kalau kita merelakan diri memikul salib. Dengan cara ini kita mengalami hal yang lebih dalam. Disiplin rohani harus ada dalam diri dan kita harus bayar harga. Pada liburan bulan lalu ada kejadian menarik bagi saya, karena kami hampir tidak jadi liburan. Papa mertua saya diopname. Saya dan istri pulang ke Jambi untuk merawatnya. Hebatnya mertua dan papa saya, di hari yang sama dan jam saya diopname di rumah sakit. Yang satu mengalami stroke dan yang lain menderita diabetes. Papa saya memiliki postur tubuh yang bagus. Walau usianya sudah 60 tahun, tetapi perutnya berotot dan  otot tangannya sebesar paha saya. Namun ia mengalami stroke karena tidak disiplin mulut. Ia maunya makan enak terus. Papa mertua saya lain lagi. Mereka seusia, sama-sama shio kuda, sakitnya bareng dan masuk rumah sakit juga bareng. Papa mertua tidak perlu bekerja keras dalam hidupnya. Bahkan dalam keadaan sulit, dengan duduk saja ia mendapat Rp 20 juta. Satu-satunya olah raga adalah kalau jalan dari rumah ke hall (lapangan) bulutangkis miliknya juga. Hall nya ada 4 buah. Ia berkeringat kalau menyapu hall yang dilakukannya tidak sampai 1 jam. Setelah sapu, dia duduk di kursi malas sambil nonton TV siaran dari Taiwan. Ia tinggal berdua sehingga tidak masak. Saat makan, ia pergi berdua istri untuk membeli makanan enak-enak. Akhirnya ia terkena diabetes. Kalau kena diabetes, keluar keringat sebesar biji jagung dan rasanya seperti mau pingsan. Penderita diabet serba salah. Makan dan tidak makan salah. Umurnya baru 60an (tidak sampai 63). Saya bertanya ke adik ipar saya yang usianya 35 tahun. Ia seorang manajer, tidak punya istri atau pacar dan orangnya tampan. Selain badannya bagus, ia punya rumah dua dan mobil. Karena tidak punya istri dan anak, kerjanya fitness setiap hari. Dadanya dan tangannya besar. Saya bertanya, “Ti, di tempat fitnes- mu ada yang seumuran papa kita?” Dia menjawab,”Ada yang berumur 70 an dan masih menjadi private traniner (PT).” Saya jadi kagum dan ingin memastikan. Ipar saya menjawab,”Benar umur segitu masih menjadi seorang PT. Badannya lebih ‘kering’ dari saya. Lemaknya sudah tidak ada. Perutnya six pack.” Saya berkata,”Ti, kamu ingat papamu? Tetapkan dalam hati, saat kita seumurannya jangan seperti itu.” Kita harus menjadi orang tua yang sehat.” Saya mau jadi sehat dan menikmati jalan-jalan dengan cucu. Untuk mencapai tujuan itu, saya harus berolah raga setiap harinya. Saya tidak bangga dengan badan saya. Tetapi saya bangga punya otot yang bagus dibanding anak umur 18 tahun, itu karena melatih diri berlatih keras. Kalau tidak menetapkan tujuan tinggi, maka kita akan kehilangan arah, mengalami kepicikan rohani. Kita harus punya tujuan mengikut Yesus, mengikuci caranya dan bayar harga. Itulah pertumbuhan rohani dengan disiplin rohani. 

No comments:

Post a Comment