Ev. Lie Wei Tjen
Yoh 13:12-17
12
Sesudah Ia membasuh kaki mereka, Ia mengenakan pakaian-Nya dan kembali
ke tempat-Nya. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengertikah kamu apa yang
telah Kuperbuat kepadamu?
13
Kamu menyebut Aku Guru dan Tuhan, dan katamu itu tepat, sebab memang
Akulah Guru dan Tuhan.
14
Jadi jikalau Aku membasuh kakimu, Aku yang adalah Tuhan dan Gurumu, maka
kamupun wajib saling membasuh kakimu;
15
sebab Aku telah memberikan suatu teladan kepada kamu, supaya kamu juga
berbuat sama seperti yang telah Kuperbuat kepadamu.
16
Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya seorang hamba tidaklah lebih tinggi
dari pada tuannya, ataupun seorang utusan dari pada dia yang mengutusnya.
17
Jikalau kamu tahu semua ini, maka berbahagialah kamu, jika kamu
melakukannya.
Markus 4:14-20
14
Penabur itu menaburkan firman.
15
Orang-orang yang di pinggir jalan, tempat firman itu ditaburkan, ialah
mereka yang mendengar firman, lalu datanglah Iblis dan mengambil firman yang
baru ditaburkan di dalam mereka.
16
Demikian juga yang ditaburkan di tanah yang berbatu-batu, ialah
orang-orang yang mendengar firman itu dan segera menerimanya dengan gembira,
17
tetapi mereka tidak berakar dan tahan sebentar saja. Apabila kemudian
datang penindasan atau penganiayaan karena firman itu, mereka segera murtad.
18
Dan yang lain ialah yang ditaburkan di tengah semak duri, itulah yang
mendengar firman itu,
19
lalu kekuatiran dunia ini dan tipu daya kekayaan dan keinginan-keinginan
akan hal yang lain masuklah menghimpit firman itu sehingga tidak berbuah.
20
Dan akhirnya yang ditaburkan di tanah yang baik, ialah orang yang
mendengar dan menyambut firman itu lalu berbuah, ada yang tiga puluh kali
lipat, ada yang enam puluh kali lipat, dan ada yang seratus kali lipat."
Pendahuluan
Firman Tuhan tidak sesuai dengan
natur manusia yang berdosa. Seringkali firman Tuhan berbanding terbalik dengan
apa yang diajarkan dunia ini kepada kita. Ada 2 aspek firman Tuhan yang besar yakni
dilihat dari :
1.
Pemberita
(orang yang memberitakan, menulis, mengucapkan)
2.
Pendengar
(orang yang mendengar, membaca dan menerima firman Tuhan)
Pemberita (orang yang
menulis dan memberitakan firman Tuhan)
Yoh 13:12-17. Dalam beberapa ayat ini
Tuhan Yesus sedang menunjukkan sesuatu kepada murid-muridNya. Sebenarnya Tuhan
Yesus sedang memberikan tantangan kepada dunia. Ia sedang memberitakan firman
dan kehendak Tuhan kepada dunia ini. Di dalam pelayananNya selama 3,5 tahun, Ia
secara intensif mengajarkan kehendak Tuhan kepada manusia. Manusia dalam hal
ini diwakili oleh 12 orang yang menjadi murid-muridNya. Waktu Tuhan Yesus
memberitakan kebenaran Injil , Ia ingin murid-muridNya mengikuti apa yang Dia
ucapkan. Namun firman Tuhan bukan sekedar omongan biasa, melainkan kata-kata
yang bila diikuti sulit sekali karena manusia adalah berdosa. Kita lebih mudah
melakukan dosa daripada melakukan yang tidak berdosa. Jemaat sekarang banyak
yang sudah punya anak dan bahkan cucu. Seringkali kita mengatakan kepada diri
kita dan orang lain, “Betapa susahnya mendidik anak.” Pernahkah berpikir, “Heran
ya anak-anak tidak pernah diajari yang jahat. Tidak pernah diajari mencuri,
berdusta, menjadi licik, memukul adik dan berbuat jahat pada adiknya. Tetapi
itu semua dilakukan oleh anak meskipun kita tidak mengajarinya. Kita mengajari
dia untuk berbicara jujur, menjadi anak yang sopan, anak yang taat pada orang
tua, menghormati papa-mamanya, mengasihi Tuhan dan rajin ke gereja, bersekolah
baik-baik dan belajar rajin-rajin, tetapi untuk semua hal yang baik, kita harus
bekerja keras dan melawannya.” Teman saya mengatakan, “Setiap hari saya marah
dan ribut dengan anak saya. Makan saja susah. Suruh mandi saja bilangnya nanti.
Apalagi disuruh saat teduh. Ia akan mengatakan, ‘Sudah.. Sudah.. 5 menit lagi.’”
Bagaimana mungkin mengajarkan firman Allah dan melakukannya sendiri? Karena di
dalam diri manusia sudah ada dosa yang sifatnya memberontak kepada Tuhan. Kita pilih yang baik tapi yang kita lakukan
yang tidak baik. Kita mau sekali ikut kehendak Tuhan, tetapi kelakuan kita
ujung-ujungnya tidak cocok denganNya.
Bagaimana Tuhan Yesus mengatakan
kehendakNya kepada murid-muridNya? Yesus melakukan terlebih dahulu. Dia
memberikan pendidikan kepada murid-muridNya lewat hidupNya. Waktu Ia ingin
murid-muridNya merendahkan diri satu dengan lain, ia membasuh kaki murid-muridNya.
Ketika ia ingin murid-muridNya mengasihi orang lain, maka Ia mati di atas kayu
salib bagi manusia. Ia melakukan lebih dahulu, melakukan teladan di hadapan
manusia seperti yang Allah mau. Tetapi Ia memang Allah dan kita manusia,
bagaimana mungkin kita melakukannya? Meskipun begitu dalam seluruh sejarah
gereja, ada orang-orang yang sungguh-sungguh melakukanNya. Di dalam Kisah Para
Rasul, murid-murid Kristus melakukan apa yang diminta Kristus. Ketika Tuhan
mengubah hati mereka, mereka hidup dan melayani Tuhan dengan sungguh-sungguh.
Mereka berani menerima resiko untuk disiksa hanya untuk mengatakan bahwa Yesus
sungguh-sungguh hidup. Itu sebabnya murid-murid Tuhan hari ini harus melakukan
hal yang sama. Kita manusia berdosa tidak mungkin melakukan yang sempurna. Dalam
hidup, kita terus bergumul untuk melakukan kehendak Tuhan. Bukan semata-mata
untuk diri kita, tetapi menjadi satu teladan di mana kita menunjukkan kepada
orang lain bahwa kita melakukan kehendak Tuhan. Sehingga melalui jalan itu
ketika memberitakan Injil dan yang mendengarnya akan melakukannya juga. Maka
harus hati-hati waktu memberitakan dan membagikan firman Tuhan. Saat menghibur
orang lain, apakah mereka tahu kita melakukannya? Ketika kita mengatakan Tuhan
baik saat menghibur teman kita, apakah teman kita yang menerima berita itu
mengatakan amin? Misalnya karena ia tahu, kita pernah bangkrut dan tetap
melakukan kehendak Tuhan. Atau ia mengatakan, “Enak saja. Omong saja gampang! Coba
kamu yang alami kebangkrutan dan di-PHK.” Dalam masa sulit, apakah kita akan
mengatakan, “Sungguh kita akan menyimpan firman Tuhan dalam hati kita?”
Raja Daud dalam sepanjang hidupnya,
bergumul keras dalam menerapkan firman Tuhan. Saat membaca Mazmur kita
menemukan bahwa Daud seringkali berkata, “Tenanglah jiwaku! Diamlah!” Apakah
karena jiwanya tenang saat mengatakan itu? Apakah karena ada damai dalam
dirinya sehingga ia mengatakan hal itu? Tidak! Dia mengatakan hal itu sewaktu
hatinya goyang dan gelisah luar biasa. Dalam keadaan sangat takut, ia mengatakan,
“Tenanglah jiwaku! Diamlah!” Saat seperti ini, ia mengatakan, “Aku akan
memegang kepercayaanku padaMu.” Daud mengalaminya. Daud dikejar-kejar oleh Raja
Saul, mau dibunuh. Dia pernah menitipkan jiwanya dan para pengikutnya pada
raja-raja lain, bangsa kafir. Dan dia harus berpikir keras supaya nyawanya dan
pengikutnya selamat. Apakah Daud tidak ingat bahwa Nabi Samuel pernah mengurapi
dia dan mengatakan,”Engkau akan menjadi raja menggantikan Saul.” Dia tidak
lupa. Tetapi hari itu ia berada dalam kondisi paling gelap. Jiwanya menjadi
taruhannya. Jiwa pengikutnya menjadi taruhannya. Tiap hari ia merasa khawatir.
Oleh sebab itu ia mengatakan, “Hai jiwaku tenanglah! Diam! Percayalah kepada
Tuhan!” Kita sama manusianya seperti Daud. Ada masa dalam hidup, kita goyang
luar biasa. Kadang-kadang melihat kenyataan pada hari ini tidak ada masa depan.
Tetapi ingatlah Tuhan Yesus telah memberikan teladanNya terlebih dahulu kepada
kita. Itu sebabnya kita jangan menaruh kepercayaan kita pada orang-orang yang
mungkin bisa menolong kita, tetapi taruhlah kepercayaan kita kepada Tuhan.
Ingatlah bahwa Ia telah melakukan terlebih dahulu firman Tuhan sehingga kita
dalam pergumulan kita bisa melakukannya. Dan ketika kita bisa melakukannya ,
orang-orang lain melihat itu menjadi teladan dalam kehidupan mereka. Sehingga
ketika kita mengeluarkan nasihat dalam hidup kita, mereka akan mengatakan amin.
Pendengar Berita
Markus 4:14-20 perumpamaan tentang penabur.
Ini adalah perumpamaan biasa dan seringkali kita dengar. Ketika seorang
mendengar dan ingin melaksanakan firman Tuhan ternyata lebih banyak gagalnya daripada
berhasilnya. Karena memang itulah manusia berdosa dan kelemahan kita. Tetapi
ada hal khusus yang ditunjukkan Yesus dalam perumpamaan ini. Ketika orang
mendengar firman Tuhan seringkali tidak bisa menangkap apa yang menjadi
intisari firman. Ada orang yang pergi ke gereja seminggu sekali. Ada juga orang
yang pergi ke gereja beberapa kali dalam seminggu. Ada orang yang membaca
firman Tuhan setiap hari dengan setia. Ada juga orang yang kalau ingat baru membacanya
(kalau ada waktu baru membaca firman Tuhan). Tetapi apapun manusia itu, ia
tidak bisa menangkap apa yang firman Tuhan inginkan. Contoh yang paling mudah,
saat pergi ke gereja ketika pembawa firman Tuhan tidak menyenangkan kita
menjadi ngantuk. Namun kadangkala firman
Tuhan yang dikatakan enak di telinga, enak juga untuk tidur. Kadangkala kita
mendengar dan mengatakan “Bosan sudah tahu! Lebih baik memikirkan habis ini mau
makan di mana, bakmi mana yang enak.” Waktu kita sedang memikirkan hal tersebut,
firman Tuhan sudah lewat dan kita tidak tahu lagi apa yang sudah disampaikan
pembicara. Ada juga yang menerima firman Tuhan dan mengatakan “Wah firman Tuhan
itu bagus sekali.” Waktu ditanyakan isinya, ia bisa bercerita dari A-Z artinya
ia bisa mengerti dan menangkap semua firman Tuhan yang disampaikan. Tetapi
belum tentu firman Tuhan yang didengarnya tersebut membawa dampak dalam
hidupnya. Kenapa? Karena mungkin ia terancam “sesuatu” dan hidupnya tertindas
kalau ia melakukan firman Tuhan. Barangkali kita mendengar saat melakukan
bisnis kita harus melakukannya dengan jujur karena kita adalah orang-orang
Kristen. Tetapi berapa banyak teman kita berkata, “Pengusaha kalau mau jujur maka
akan jadi miskin.“ Kita terdesak oleh konsep yang berbeda dengan konsep yang
Alkitab katakan kepada kita. Memang dosa itu mengatakan yang tidak sesuai
dengan firman Tuhan. Kalau firman Tuhan mengatakan untuk sabar, tetapi dunia
mengajarkan ‘kamu sabar maka kamu akan ditinggalkan’. Alkitab mengatakan kamu
harus rendah hati kalau ingin menjadi besar, tetapi dunia mengatakan ‘kamu
merendahkan diri maka kamu akan dihina orang’ dan kalau mau ‘hebat’ harus
meninggikan diri. Itu menjadi ancaman sendiri dalam hidup kita saat melakukan
firman Tuhan dan itu memupuskan apa yang tadi dikatakan bagus.
Yang lain kesenangan dunia ini. Dunia
mengajarkan sejak kita kecil bahwa kekayaan membawa kebahagiaan. Dunia juga mengatakan
kita harus mengontrol masa depan kita : “Kamu harus terus mengumpulkan harta
agar kamu terus hidup.” Alkitab mengajarkan hal yang terbalik. Manusia tidak
hanya hidup dari roti tetapi dari firman Tuhan. Alkitab mengajarkan jangan kuatir.
Pandanglah burung-burung di langit, yang
tidak menabur dan tidak menuai dan tidak mengumpulkan bekal dalam lumbung,
namun diberi makan g oleh Bapamu yang di
sorga. Bukankah kamu jauh melebihi burung-burung itu? (Mat 6:26). Tetapi dalam
kenyataannya, kita menjadi khawatir. Kalau kita hanya cukup hari ini, nanti
saat tidak bisa bekerja, apakah kita akan menjadi cukup? Karena itu saya harus
bekerja dan mengorbankan hubungan dengan anak dan istri, sehingga saya bisa
mengontrol masa depan saya. Kita merasa kalau kita kaya, banyak orang yang akan
menghormati kita. Kita lupa, Tuhan sudah mengatakan bahwa setiap kita sudah
memiliki bagiannya sendiri. Kalau Tuhan mau mengatakan kita dapat ‘segelas’
maka walaupun kita kerja mati-matian tidak akan mendapat satu ember. Karena
Tuhan lebih tahu bahwa satu gelas cukup untuk kita. Tetapi kalau kita bekerja
mati-matian untuk satu ember maka mungkin kita akan kehilangan orang yang
didekat kita. Mungkin kalau dapat seember maka akan tumpah sehingga akhirnya hanya
mendapat segelas. Maka seringkali karena kekhawatiran, kita kehilangan firman
Tuhan. Jemaat sebagai pendengar mungkin berkata tentang pembicara (pengkhotbah)
di mimbar, “Kamu hanya berbicara saja tetapi tidak mendengarkan. Apakah kamu
memberikan teladan kepada orang-orang lain?” Untuk itu saya akan berbagi cerita
tentang apa yang saya alami bersama suami saya (Ev. Yulimin). Namun cerita ini
bukan untuk membesarkan nama kami berdua, melainkan agar jemaat dapat
mendengarkan dan percaya kepada firman dan kehendakNya.
Bulan
Juli 2015, suami saya divonis oleh dokter mengalami gagal ginjal. Dokter mengatakan
bahwa hanya ada 1 jalan keluar untuk menangani penyakit tersebut yaitu melalui cuci
darah. Kami mencoba untuk tidak melakukannya dan kami bertanya kepada dokter-dokter
lain di Jakarta tetapi semua dokter mengatakan hal yang sama yaitu harus cuci
darah. Kami berdoa dan agak kebingungan karena cuci darah tidak murah dan tidak
mudah (walau memang tidak seperti zaman dulu yang menyakitkan dan membuat
sengsara). Meskipun begitu pilihan ini mau tidak mau kami ambil. Setelah
beberapa kali cuci darah dan dokter di sini mengatakan harus cuci sampai mati,
kemudian salah satu teman kami mengusulkan untuk mencoba mencari opini kedua di
Singapura. Kami tidak terlalu mau, karena waktu dihitung-hitung kami tidak
punya dana yang cukup karena pengobatan di Singapura mahal sekali, sedangkan
cuci darah di sini pun sudah menggunakan fasilitas yang disediakan oleh BPJS.
Tetapi teman saya mendesak untuk pergi ke Singapura dan periksa sekali saja. Ternyata
Tuhan menyediakan dananya sehingga saya berkata ke Yulimin, “Saya sudah
menghitung dan dananya cukup. Tidak baik kalau tidak pergi karena dananya sudah
disediakan Tuhan dengan cukup.” Akhirnya kami pergi ke Singapura. Di sana kami bertemu dengan 2 dokter. Dokter pertama
mengatakan,”Betul harus cuci darah. Selama ini kamu berapa kali cuci darahnya?”
yang dijawab,”1 minggu dua kali.” Ia pun memberikan advis,”Kalau bisa 1 minggu
3 kali.” Sekarang cuci darah dilakukan setiap Senin dan Jumat. Setiap kali cuci
darah, waktunya panjang (berjam-jam). Kami berunding dan berkata,”Ya sudah. Berarti
sama dengan dokter di Indonesia.” Lalu kami pergi ke dokter lain. Waktu dokter
itu melihat Yulimin ia mengatakan,”Kenapa kamu sudah cuci darah baru kemari?”
Dalam hati saya berkata, “Kan kami baru kenal kamu sekarang.” Lalu dia mengatakan
tidak perlu cuci darah. Saya dan suami saling pandang. Semua dokter mengatakan harus
cuci darah kecuali dokter yang satu ini. Dokter itu berkata lebih lanjut,”Saya
jamin kamu tidak apa-apa kalau tidak cuci darah. Tetapi kamu harus berani untuk
tidak cuci darah. Minggu depan datang lagi.” Pulang dari dokter itu saya
berkata ke Yulimin, “Pilihan di tangan kamu. Kalau kamu mau cuci darah, saya
akan antarkan. Tetapi kalau kamu tidak mau saya juga akan mendukung kamu untuk
itu. Resiko ada di tangan kita berdua. Tetapi yang penting, diri kamu lebih
pilih yang mana? Pilih cuci darah atau tidak?” Dia menjawab, “Buat saya, saya
lebih senang untuk tidak cuci darah.” Saya berkata,”Oke. Kalau begitu mulai
hari ini kita tidak cuci darah dan lihat perkembangannya.” Kami kemudian mendoakannya
terus menerus. Minggu depannya waktu cek kembali, sang dokter berkata, “Kamu
lihat hasil labnya kan? Dicuci darah atau tidak hasil labnya sama saja. Kenapa
kamu harus cuci darah? Tidak usah. Nanti 2 minggu lagi datang.” Artinya kami
tidak bisa tidak ke Singapura karena hanya dia yang bilang tidak usah cuci
darah. Sampai hari ini kondisi suami saya tetap stabil. Waktu kami menaruh kepercayaan
kami kepada Tuhan, Ia memberikan wewenangNya kepada kami. Saya tidak mengatakan
“Kalau kita menaruh kepercayaan pada Tuhan, pasti Ia akan sembuhkan.” Saya
hanya tahu Ia punya kuasa dan otoritas. Kami berdua hanya bisa berdoa dan
meletakkan kepercayaan pada Tuhan. Kami juga sangat bergumul untuk menerapkan
firman Tuhan dan mengatakan Tuhan adalah dokter kami. Kami juga harus seperti Daud
yang mengatakan, “Diam. Tenanglah jiwaku. Serahkan hidupmu pada Tuhan” dan dari
saat itu Tuhan membimbing kami. Sampai hari ini suami saya keadaannya tetap
begitu. Tidak menjadi lebih baik, tetapi tidak menjadi lebih buruk. Yang kami
senang, suami saya tidak perlu cuci darah dan masih hidup seperti biasa dia
hidup. Bagi saya itu anugerah Tuhan yang besar. Percayalah waktu saya
mengucapkan ini, saya masih melakukan pergumulan firman Tuhan dalam hidup saya.
Tetapi saya ingin mengajak kita semua untuk mengingat Tuhan Yesus sudah
melakukan teladan terlebih dahulu.
No comments:
Post a Comment