Tiranus X – 28 Mei 2017
Nathanael Ahimsa
Biografi Ringkas
Pria kelahiran
Jakarta ini memulai pengalamannya di bidang Paduan Suara dan
Vokal ketika bergabung dengan Paduan Suara Universitas Kristen Maranatha
dan Studio Cantorum Choir di Bandung di bawah direktur Bapak Tommyanto Kandisaputra. Pada tahun 2003 Ia terpilih menjadi anggota World
Youth Choirsampai tahun 2006 dan bekerja dengan konduktor
dunia Johanes Prinz (Austria) , Maria Guinand (Venezuela),
Georg Grun (Jerman), AnthonyResapan (USA),
Fred Sjoberg (Swedia), Aharonharlap (Israel),
Philipo Bressan (Italy), Frieder Bernius (Jerman)
dengan Tour Concert di Swiss, Slovenia, Austria, Belgia,
Jerman, Korea Selatan dan Jepang. Dia juga dipilih untuk
menjadi bagian dari Chamber World Choir pada tahun 2004
merayakan 60 tahun Perang Dunia ke-I “D’Day” di
Normandia (Perancis) dengan konduktor Volker
Hempfling (Jerman) dan 2009 di Swedia. Pada tahun 2004 sampai tahun 2005 terpilih sebagai
salah satu penyanyi di internasional Kwartet, disebut “Singers
of United Land” dalam memperkenalkan musik Internasional
untuk sekolah dan masyarakat dan Tour Concert di
Amerika Serikat dan Bandung ,Indonesia sebagai Guest Star dari Simposium
pada musik Gereja Paduan Suara. Melakukan penelitian dengan
Mr. Andre de Quadroz dari Boston University dan dia
menjadi konduktor dari Studio Cantorum Choir dari tahun
2005 sampai tahun 2006 dan memenangkan 1st Youth Choir Competition di
Hong-Kong dan Medali Perak di World Choir Games di Cina. Sebagai penyanyi solo Ia sering diundang sebagai Guest Star
untuk konser dan Member of Opera Company Svswara di Jakarta, dalam
produksi Puccini La Boheme di Jakarta 2007 sebagai Coline dan
konser Highlight Opera. Sampai sekarang dia adalah direktur
program musik di Sinfonia Studio musik di bandung dan juga rekan
Konduktor dari Paduan Suara Universitas Kristen Maranatha di Bandung.
Dia juga pendiri musik gerakan pendidikan “Music
Without Borders” yang memiliki misi untuk menghubungkan musisi
Internasional dengan musisi Indonesia sejak 2010 dan secara
aktif memberikan Workshop musik untuk mendorong
dan mengilhami musisi muda dalam belajar musik. Mengenal dan melatih Paduan Suara Mahasiswa Universitas Lampung dimulai
pada tahun 2012. Lalu pada tahun 2014 membawa Paduan Suara Mahasiswa
Universitas Lampung berkompetisi di ajang Nasional yaitu Pesparawi Mahasiswa
XIII di Jakarta dan juga ajang Internasional di Festival Canta Al Mar, Calella
Barcelona.
Achievement
- Pernah bernyanyi dibawah pengarahan conductor terbaik skala
Internasional WYC, yaitu Prof. Johannes Prinz (Austria), Volker Hempfling
(German), Frieder Bernius (German), Fillipo Bressan (Italy), Fred Sjoberg
(Swedia), ketika terpilih untuk mengikuti WYC 2003-2006 dan AYC 2006-2007.
- Terpilih sebagai wakil Indonesia pertama
dalam World Chamber Choir di Perancis, dalam event peringatan 60 tahun
pendaratan Sekutu di Normandy.
- Terpilih sebagai wakil Indonesia dalam
Kwartet Vocal International Singers of United Lands (SOUL), yang mengadakan
konser tour Amerika dan Bandung tahun 2004-2005,
- Terpilih dalam World Chamber Choir dalam
perayaan 20 tahun World Youth Choir di Swedia (2009).
- Sebagai solis dalam banyak konser yang
diadakan oleh PSM UK Marantha dan PaDus Cantorum.
- Mengukir banyak prestasi baik didalam dan
diluar negeri bersama PSM UK Maranatha.
Experience
- Memulai belajar vokal sejak 1998, dibawah
bimbingan Bpk. Tomyanto (Paduan Suara Cantorum).
- Mengikuti banyak vocal masterclass dari
pelatih vokal dalam dan luar negeri, seperti : ibu Catharina, Ibu Maritke
Tenkate, Prof. William Lock (USA), Prof David Hughes (USA), Prof. Andre de
Quadros, dekan musik boston Univ. (USA), Prof. Goritzky (Germany), dll.
- Mengikuti pementasan opera La Boheme,
sebagai Colline bersama Suswara Opera Company.
- Menjadi pelatih beberapa Paduan Suara,
salah satunya : PaDus Citra Cemara.
- Memberikan banyak workshop musik dan
motivasi belajar music bersama Sinfonia Music Studio Bandung.
- Masih aktif sebagai pengajar vokal (klasik
dan semi klasik) di Sinfonia Music Studio.
- Menjabat sebagai Direksi Ekstern bidang
program di Sinfonia Music Studio.
Sesi I
Pengantar
Sekitar sebulan lalu, saya ditelpon dan diminta untuk
memberikan materi tentang musik dan bagaimana memuji dalam gereja (bagaimana bermusik
dalam gereja). Saya berasal Jakarta dan dahulu tinggal di kawasan Puri Indah
serta bersekolah di IPEKA. Waktu kuliah, saya pindah di Bandung. Saya lahir dari keluarga
hamba Tuhan. Papa almarhum (dipanggil 5 tahun lalu) adalah seorang gembala
sidang di Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan sekarang diteruskan oleh mama. Lokasinya
di Puri Indah. Saya cukup familiar dengan pelayanan di gereja khususnya musik
gereja. Seorang anak pendeta di gereja berdenominasi pantekosta harus bisa melakukan
banyak kegiatan di gereja. Koko saya cukup berbakat dalam musik. Dari kecil dia
dikursuskan piano. Waktu kecil saya agak
iri dengan koko saya, karena setiap kursus musik (piano) , ia diantar ke tempat
kursus oleh mama saya. Jadi saya ingin kursus musik agar mama mengantar saya ke
tempat kursus. Tapi saya tidak mau les piano melainkan biola. Sehingga saya dibelikan
biola oleh papa dan ternyata kursus hanya berjalan 1 bulan saja, karena motivasi
saya kursus waktu itu hanya ingin diantar mama saja.
Tuhan punya rencana (jalan) untuk setiap kita.
Waktu masih SMA saya berpikir nanti mau bekerja apa. Saya tidak mau bekerja
kantoran melainkan masuk ke pekerjaan yang bisa bertemu dengan orang-orang dan melakukan sesuatu untuk orang lain. Saya
tidak mau bekerja di belakang meja di kantor yang bagi saya membosankan. Saya
ingin kerja ke luar melihat suasana baru dan bertemu orang-orang. Pilihannya bagi
saya ada 2 yaitu menjadi dokter untuk menolong orang atau menjadi pilot yang bisa
pergi ke mana-mana. Setelah lulus SMA dan mau daftar kuliah, saya memilih untuk
kuliah di Bandung. Saya tidak mau kuliah di Jakarta karena tidak mau tinggal
dengan orang tua lagi. Dalam pengertian saya ingin hidup mandiri dan ingin
merasakan hidup sendiri itu seperti apa. Saya termasuk anak yang walau nakal
tapi banyak berada di rumah. Jadi saya ingin ke luar kota. Pilihannya kuliah di
Surabaya (Ubaya) karena ada teman yang kuliah di sana (Christian dari IPEKA)
atau tempat lain. Akhirnya saya memilih Bandung. Pertimbangannya : karena pacar
saya tinggal di Bogor karena jarak antara Bogor dan Bandung relatif tidak jauh
(kalau Surabaya kejauhan). Saya mengambil kuliah dengan teman saya juga. Waktu
itu bingung hendak mengambil fakultas apa. Awalnya psikologi karena berhubungan
dengan orang lain (konseling). Kalau kuliah kedokteran perlu biaya yang besar (kemahalan).
Saya pun mendaftar kuliah di psikologi dengan harapan bisa menjadi (berperan
sebagai) konselor di gereja. Tapi Tuhan punya rencana luar biasa untuk saya.
Waktu itu saya kuliah di Universitas Maranata dan
ingin punya banyak teman sehingga mengikuti banyak kegiatan, salah satunya ikut
padus. Di situlah saya diajar untuk mempersiapkan pelayanan yang saya cintai
yaitu musik. Di hari pertama latihan, gurunya bernama Tommyanto Kandisaputra, seorang
pelatih paduan suara. Dia berkata, “Tidak ada orang yang bersuara jelek. Masalahnya
hanya orang itu mau belajar atau tidak.” Entah mengapa, dia memanggil saya ke turun
dan maju depan. Jadi saya maju lalu saya diminta untuk berbunyi (bukan
bernyanyi). Ia berkomentar bahwa suara saya bagus hanya perlu latihan. Saya
jadi penasaran terhadap paduan suara (padus) dan musik. Saat itu padus Universitas
Maranata maju bertanding pada lomba padus nasional antar universitas gerejawi (Pesparani)
di Yogya. Saya dipanggil untuk bergabung, tapi tidak mau karena saya memilih liburan.
Jadi saya tidak ikut latihan. Waktu mereka mau berangkat, saya jadi iri. Tetapi
apa boleh buat karena saya sudah menolak bergabung. Namun setelah mereka balik
dari kompetisi , saya jadi tertarik. Rasanya seru juga bernyanyi dalam 4 suara.
Lagunya unik. Akhirnya guru saya mengajak bergabung di padus independen
pimpinannya (Studio Cantorum Choir).
Awalnya anggota padusnya terdiri dari lulusan BPK
Penabur Bandung dengan kegiatan pelayanan di gereja-gereja setiap bulan.
Akhirnya group padus-nya mengundang anggota gereja yang mau terlibat. Tetapi
standar padus ini cukup tinggi karena pelatih saya, Pak Tomy cukup keras dalam melatih. Dari dia saya
banyak belajar. Visi dasar group
padusnya adalah melayani . Pertama kali bergabung dia memberi ajaran yang diambil
dari kitab 1 Tawarikh 23:4-5 ("Dari
orang-orang ini dua puluh empat ribu orang harus mengawasi pekerjaan di rumah
TUHAN; enam ribu orang harus menjadi pengatur dan hakim; empat ribu orang
menjadi penunggu pintu gerbang; dan empat ribu orang menjadi pemuji TUHAN
dengan alat-alat musik yang telah kubuat untuk melagukan puji-pujian,"
kata Daud). bagaimana bangsa Israel
dipilah-pilah untuk mengerjakan tugas masing-masing dan satu suku dipilih untuk
melayani pujian di bait Allah dan mereka adalah ahli seni. Jadi kalau kamu
melayani Tuhan dan musik di gereja, maka kamu harus menjadi ahli musik. Itulah
awal saya belajar musik. Itulah awal bagi saya untuk mencari tahu mengapa musik
itu harus dipelajari dan didalami.
Mengapa musik harus didalami?
Sekarang ini perkembangan musik di padus dan
umumnya tidak terjadi di gereja melainkan terjadi di luar. Musik paduan suara berkembang
di tingkat universitas atau padus-padus independen. Kalau melihat di Metro TV,
ada padus suara anak-anak yang menang di Itali, itu adalah padus independen.
Setiap tahun padus dari Indonesia bertanding di luar negeri (di tingkat
internasional) dan kembali dengan prestasi luar biasa. Batavia Madrigal Singers,
sudah memenangkan 2 tiket European Grandprix untuk padus (European Grand Prix for Choral Singing) yaitu pertandingan padus
yang pesertanya diambil dari setiap pemenang di perlombaan padus yang punya licence di tahun berikutnya.
Musik padus adalah kekayaan gereja. Komposer-komposer
besar menulis lagu-lagu gereja. Seperti Johann Sebastian Bach (1685-1750,
komposer dan musisi Jerman dari masa Baroque). Kalau kita mau menyanyikan semua
karyanya yang pernah dibuat dalam hidupnya, umur kita tidak cukup. Johann Sebastian
Bach setiap minggu menghasilkan karya-karya untuk dinyanyikan di gereja (saat
itu untuk misa di gereja Katolik). Setiap minggu dia membuat lagu (karya musik).
Hari Senin dia kembali dari gereja dan menulis lagu baru. Hari Rabu ia memberi lagu
tersebut ke petugas yang harus menyalin partiturnya karena saat itu belum ada
mesin fotocopi. Hari Kamis salinan lagu tersebut dibagikan ke penyanyi-penyanyi
dan pemain musik. Hari Jumat dipakai untuk berlatih dan hari Minggunya
ditampilkan. Hari Senin kembali lagi seperti itu. Serial lagu Bach, cukup untuk
melayani puji-pujian gereja selama 3 tahun bila ditampilkan setiap minggu. Itulah
komposer-komposer gereja. Tidak banyak orang yang tahu tentang itu.
Sebagai pemilik harta (pewaris) itu kita
seringkali tidak sadar (tahu). Sekarang ini banyak lagu-lagu padus diangkat dan
digusung oleh non Kristen. Setiap bulan dua kali saya pergi ke Lampung untuk
melatih Paduan Suara Mahasiswa Universitas Lampung. 90% dari penyanyinya adalah
Muslim. Setiap 2 tahun sekali padus itu berkompetisi pada Pesta Paduan Suara Gerejawi
(Pesparawi). Mereka pun menyanyikan lagu-lagu gereja. 3 tahun lalu saya ajak
mereka ikut kompetesi di Spanyol di musik gereja yang sakral (Festival Canta Al
Mar, Calella Barcelona). Buat mereka hal itu merupakan sesuatu yang menarik.
Buat kita seakan tidak ada artinya. Itu kembali apakah kita mengerti musik itu?
Mengapa kita tertarik? Di SMA saya bermain drum di GSJA dan saya berpikir
menjadi pemain drum nantinya. Tetapi waktu kuliah bertemu pelatih yang
mengatakan ayat itu dan ditanya, “Apakah kamu melayani musik? Kalau mau, kamu
harus berlajar.” Saya pun berubah. Denominasi gereja ada beragam seperti Katholik,
Reform, Protestan, Karismatik dan gereja saya (GSJA) berdenominasi Pantekosta.
Teman-teman papi saya bertanya,”Mengapa kamu jadi Protestan?” Saya berubah dari
musik jedak-jeduk di gereja Pantekosta jadi anak padus. Padahal musiknya waktu
SMA saya tidak mau, karena membuat ngantuk dan tidak populer. Tapi guru saya
bisa mengajari mengapa harus belajar musik. Lagu-lagu yang indah yang bila
tidak dinyanyikan dengan benar (disampaikan) akan sama dengan sampah.
Tanggung Jawab Pelayanan
Kalau punya pelayanan di gereja pada hari Minggu maka
kita harus bertanggung jawab. Anggota padus saya diisi oleh orang-orang tua
(bapak-ibu) yang telah berusia 50 tahun lebih. Sebagai pelatih, untuk pertama
kali saya dipecat waktu melatih padus gereja. Karena mereka berkata,”Kita tidak
mau maju dan menjadi bagus.” Kalau melatih , saya berkata, “Kita harus latihan seminggu
2 jam. Saya datang dan memberikan lagu. Kita akan bernyanyi, namun kamu belum
bisa not dan kata-katanya bagaimana bisa menyanyi? Berarti kita butuh latihan
tambahan karena belu menguasai lagunya.” Akhirnya mereka pun bisa. Pelayanan padus
kita pada pk 9 (kebaktian II) atau terkadang pk 7 (KU 1). Kalau mau pelayanan sebagai
anggota padus maka saya meminta anggota padus harus datang 2 jam sebelumnya.
Untuk KU1 anggota padus saya kasih dispensasi untuk datang pada pk 5.30! Dengan
berat hati mereka pun datang. Waktu itu pk 5.30 kita mulai berlatih dan
ternyata masih ada yang belum bisa. Saya berkata, “Mengapa tidak dipelajari?
Mengapa tidak bertanggung jawab terhadap lagu anda? Ini kan mau pelayanan. Kalau
mau jelek, anda hanya akan menambah kebaktian 15 menit lebih panjang. Kalau
menyanyi dengan jelek, anda membuat jemaat mendengar sampah. Kalau kita
mengikuti liturgi, bukan sesuatu yang harus dijalani tetapi ada urutannya dari 1,2,3,4,5
yang menuntun kita dalam penyembahan. Kalau kita menyanyi ala kadarnya maka
jemaat mau mendengar apa? Kalau kita menyanyi dengan baik maka akan memberi berkat
buat jemaat.” Suara saya cukup keras waktu itu. Akhirnya beberapa orang sepakat
untuk mendepak saya dan saya pun akhirnya dipecat. Waktu itu padus belum ada
visi dan misi. Akhirnya setelah memecat saya dibuat visi padus yaitu persekutuan
orang kudus, jadi “kita tidak mau bagus”. Saya dipecat karena menuntut hendak
jadi bagus. Akhirnya sebagian yang ingin maju tidak rela sehingga mereka membuat
padus baru bernama “Joyful”. Akhirnya kemarin kita mengadakan konser untuk pertama
kali. Kita ikut konser karena kalau tidak ada target bagaimana para anggota
padus bersemangat mengejarnya? Puji Tuhan, kita mengadakan konser untuk charity
, untuk pertunjukan di yayasan sekolah. Semua merasa senang. Gereja melihat
pertumbuhan yang baik, ada musik yang baik. Kalau kita tidak belajar apa yang
mau kita kasih? Kita mau musik atau bunyi? Piano, gitar bisa dibunyikan. Suara bisa
dinyanyikan. Kalau kita berbunyi dan bermusik berbeda. Ada konsepnya.
Konsep Bermusik Gereja
Aransemen “Nyanyi bagi Dia Lagu Baru” dibuat
dengan latar musik padang pasir. Kenapa musiknya menjadi seperti itu? Idenya
apa? Kata-katanya diambil dari Mazmur 49:1. Karena gayanya mau diambil musik Timur
Tengah (Israel) yang didasari pada alat pukul (rebana) sehingga lagu menjadi
ritmis. Kalau mau mengubahnya maka harus berbicara dulu dengan (minta izin dari)
komposernya. Karena waktu seorang komposer
mengarang sebuah lagu, ia berpikir tentang lagu yang akan dikarangnya. Pada lagu–lagu
lama (himne), seorang komposer menulis dengan pilihan melodi dan kata-kata
tertentu yang luar biasa (punya arti yang luar biasa). Waktu kita menerima dan mengimprovisasinya itu ibarat kita tidak
pernah tahu asal makanan pizza dari mana sehingga jadilah Pizza Hut. Karena tidak
tahu pizza, lalu saat memakannya pakai
nasi. Walaupun hal ini bisa dilakukan, bisa membuat kenyang dan kita bisa menikmatinya,
tetapi tidak proporsional (tidak pada tempatnya) dan nilai estetika-nya tidak
tercapai. Musik juga seperti itu. Makanya kita harus cerdik seperti ular dan
tulus seperti merpati. Kenapa Tuhan tidak mengatakan ‘tulus’ saja karena Tuhan
kan hukumnya kan kasih, tapi juga ‘cerdik’ karena ada nilainya dan efek yang
ingin dicapai.
Musik di gereja punya peran yang luar biasa,
karena musik gereja mau berbicara tentang firman Tuhan. Ia mau menyampaikan dan
bercerita tentang kisah-kisah firman Tuhan. Artinya kita harus punya tanggung
jawab. Pendeta yang berkhotbah di depan, menyampaikan firman dengan cara yang
paling sederhana. Bagaimana bila ada pendeta yang berkhotbah “Tuhan mengasihi
anda semua seberapa besar pun dosa anda, Tuhan mengasihi dan mengampuni anda. Jangan takut kepada Tuhan
karena Ia akan menerima kita” yang disampaikan dengan nada datar? Menurut saya
ada sesuatu yang perlu ditekankan. Harusnya ia menekankan. Kalau berbicara
kasih maka fakta bahwa Yesus dipaku, kepalanya dipaku dan disalib harus diutarakan.
Manusia adalah mahluk seni. Kita mengapresiasi itu. Film The Passion of The Christ (2004) booming karena sutradaranya ,Mel
Gibson, berani memberi gambaran dengan jelas tentang penderitaan Yesus Kristus.
Film-film sebelumnya tidak. Di gereja-gereja semua adegan film ditayangkan.
Sepertinya gereja membutuhkan film itu ditayangkan hanya untuk menjelaskan tentang
Yesus mati di kayu salib . Padahal ada begitu banyak karya yang menggambarkan
Yesus mati di kayu salib. Karya Bach untuk menyambut Paskah diambil dari kitab
Matius , ia membuat musik dan oratio (karya musik yang diambil dari Alkitab
untuk menggantikan pembacaan Alkitab oleh Pastor di gereja). Zaman dulu saat
misa jemaat datang dan pendeta akan membaca Alkitab. Maka kata musisi supaya tidak
dibacakan, teks-nya sama tapi dilagukan. Jadi datang ke gereja, mendengarkan teks dalam bahasa
Latin padahal tidak bicara Latin. Itu ibarat cikal bakal ISIS yang tidak
mengerti pesannya. Maka gereja bisa menjual surat untuk masuk sorga karena
tidak mengerti. Alkitab tidak boleh diterjemahkan. Martin Luther (1483-1546,
profesor teologi, pendeta, pencetus gerakan Reformasi) menentang dan menterjemahkan
dalam bahasa Jerman sehingga ditentang. Dalam keseluruhan oratio , ada satu
bagian yang memainkan 1 alat musik hanya satu kali dalam waktu 2 jam. Alat
musik itu dimainkan pada saat Yesus mati. Menurut dia bunyi alat musik itu begitu
sedih. Ia ingin memberi gambaran seperti itu. Pernah tidak saat menyanyi dan sedang
melayani orang , kita menjelaskan kepada orang tersebut apa yang mau
disampaikan? Salah kalau menyanyikan lagu Maju Laskar Kristus (Onward Christian Soldiers oleh Sir Arthur
Seymour Sullivan) dan musiknya diimprovisasi sehingga tidak menjadi mars.
Padahal lagu itu beraliran mars (baris-berbaris) untuk membakar semangat
tentara. Musik punya peranan yang luar biasa kepada umat manusia.
Kalau pergi ke restoran fast-food (seperti Mc
Donald, Kentucky Fried Chicken), kita akan mendengar musik yang beat-nya lebih
cepat. Waktu mendengar musik tersebut, maka detak biologis kita terpengaruh. Maksudnya
musik seperti itu diperdengarkan agar pengunjung restoran setelah selesai makan
langsung pergi (jangan lama-lama). Anak gaul sekarang tidak mempan yang bisa nongkrong
seharian. Secara psikologis kita dipengaruhi oleh musik yang kita dengar. Sedangkan
di restoran yang mahal lagunya lebih kalem, supaya yang makan bisa lebih lama
dan memesan banyak makanan. Beberapa tahun lalu, dibantal tentara NATO diberi alat
untuk mendengar musik agar bisa lebih efektif tidurnya. Tembok Yeriko
dihancurkan oleh musik (tidak pakai palu) setelah diputar 7 kali. Tuhan
katakan, “Nyanyi!” Ada beberapa kisah peperangan di Alkitab dan yang disuruh
maju awalnya adalah pemain musik dan saya yakin bahwa mereka tidak menyanyi
asal-asalan. Kenapa di lomba perahu dayung ada gendangnya? Pemukulnya tidak
asal main gendang, tetapi ia harus mengatur kecepatannya. Itulah musik. Tuhan memberi
musik untuk kita sebagai sesuatu (seni) yang luar biasa. Ada banyak orang yang
bertobat, dikuatkan dan dipulihkan oleh musik. Waktu melayani orang tua yang
hampir meninggal, kita tidak berbicara saja tetapi menyanyi. Sewaktu menyanyi orang
yang tadinya takut, menjadi tidak takut lagi. Saul saat diganggu roh jahat , Daud
dipanggil ke istana untuk memetik kecapi di istana Saul (1 Sam 18:10). Waktu
Daud main kecapi, Roh Tuhan turun dan roh iblis pergi. Musik merupakan sesuatu
yang sangat sederhana tapi punya kekuatan yang luar biasa. Cukup banyak anak
muda yang ‘menembak’ pacar dengan memakai musik. Anak saya baru berumur 5 tahun.
Karena sering nonton, dia pun tahu lagu seperti itu. Contoh : Oh Tuhan....kucinta dia, kusayang dia, rindu
dia, inginkan dia (Lagu Dia oleh Anji Manji). Ia hanya melihat iklan. Karena lupa liriknya, ia ganti lagunya dengan
Oh Tuhan... mmmmm dia... Dia sengaja.
Musik punya kuasa luar biasa. Untuk memakainya kita harus belajar dan itu perlu
proses yang panjang untuk belajar, untuk bisa mengerti dan untuk melatihnya.
Hari ini saya ingin menaruh suatu benih ide untuk
kita semua. Benih yang harus ditumbuhkan hari demi hari. Waktu bergabung di
padus tahun 1998, saya senang. Karena itu padus bernuansa gerejawi walau tidak
di bawah suatu gereja, tapi padus kami memberikan pelayanan ke gereja-gereja.
Waktu bergabung di sana, ada teman yang baru pulang dari Slovenia. Dia ikut
audisi paduan suara dunia. Tiap tahun ada audisinya dan dia ikut. Saya merasa
keren juga kalau bisa seperti dia. Saya anak seorang pendeta dengan kondisi keuangan
yang tidak menentu. Saya juga ingin ke luar negeri. Jadi caranya dengan
bernyanyi. Saya katakan, “Saya ingin seperti dia.” Saya ingin menyanyi dan ke luar
negeri. Guru saya berkata, “Boleh, Tetapi kamu harus belajar.” Tetapi saya
tidak punya uang untuk les jadi caranya dibarter. “Kamu aktif di padus saya. Kamu
membantu saya,”kata guru saya. Itu semacam kerja sosial. Kalau ia pergi, saya juga
pergi dan mengingap di hotel atau restoran yang sama. Seminggu saya latihan 3-4
kali. Sekali latihan menghabiskan 2 jam sekali latihan. Saya bersyukur bisa
melewati hari-hari itu. Selama 2 jam tidak ada lagu yang saya nyanyikan. Saya
hanya bunyikan satu nada. Misal “a” selama 2 jam dan hal itu terus berulang. Dia
berkata salah lalu ulangi. Dia sangat keras dan disiplin. Pada waktu latihan, aturannya
: bila tidak bisa datang alasannya hanya dua yaitu kalau berbaring di rumah
sakit atau dipanggil oleh Yang Maha Kuasa. Berat tapi ia ingin mengajar bahwa mau
belajar musik untuk Tuhan , masa mau menyanyi begitu saja? Tahun 1998 saya
mulai berlatih.
Saya tidak punya uang untuk pergi ke luar negeri. Untuk
ke luar negeri caranya dengan “teriak” yang merdu. Setiap tahun saya ikut audisi
dan tiap tahun ditolak hingga 2003 akhirnya saya diterima di padus itu setelah
5 tahun. Tahun 2003, saya mendapat telpon dari guru yang meminta saya untuk datang
ke tempatnya. Saat saya datang, ia menyodorkan kertas. Di atas kertas surat itu
ada nama saya. Setelah saya baca isinya
ternyata di bulan Juni 2003 saya diminta ke Swiss. Saya pun merasa sukacita
luar biasa. Saya memberi tahu papi yang kemudian memberi tahu ke jemaatnya. Kabar
pun menyebar,”Anak saya pergi ke Swiss!”. Puji Tuhan! Akhirnya saya pergi ke
Swiss! Di sana ada 80 orang penyanyi pemuda, mereka semua belajar musik. Saya
datang dari Indonesia dan saya tidak
bisa membaca not balok! Saya tidak punya waktu untuk belajar. Saya kurang lebih
tahu bunyinya. Saya duduk di sana di antara orang yang belajar musik. Kita pun
membuka patitur. Pelatih musik melatih dari depan ke belakang. Kalau di
Indonesia sudah seperti untuk konser. Karena saya tidak bisa membaca not balok
maka pada hari pertama saya duduk lalu melakukan lipsinc. Telinga saya buka lebar-lebar untuk mendengar dari tetangga
bagaimana bunyinya. Setelah merasa yakin baru saya nyanyi. Sejak 2003 Tuhan memberi
saya berkat sampai 2007. Setiap tahun saya pergi ke luar negeri bahkan setahun
bisa 3 kali. Modalnya dengan berteriak-teriak tapi harus merdu. Saya sampai geleng-geleng
kepala. Demikian juga teman-teman saya. Setelah tahun 2003 pergi ke sana, saya
berpikir apa yang saya mau dalam hidup? Saya sedang kuliah psikologi waktu itu,
tetapi saya lebih senang mendengar musik karena musik bisa punya cara untuk menyentuh
orang, bekerja dengan orang dan untuk memberitakan sesuatu. Akhirnya saya
berhenti kuliah dan fulltime terjun di
musik. Setelah saya buktikan saya bisa musik, papa saya berkata, “Kamu tetap perlu
pekerjaan” tapi saya tetap berhenti dan mau musik saja.
Waktu kecil saya berpikir mau menjadi seorang gembala
sidang. Karena itu pelayanan yang saya tahu. Tapi dalam hidup saya Tuhan memberi
bidang yang tidak biasa, yaitu melayani musik. Musik penting karena musik
mengiringi suatu ibadah. Padus yang tampil. Itu adalah hal yang penting. Karena
dari situ kata , firman Tuhan dan penghiburan akan diberi. Tetapi harus
dilakukan dengan benar. Bila tidak maka tidak ada manfaatnya. Saat ini industri
musik dan TV tidak memberi contoh yang baik . Banyak musik sampah yang
dihasilkan dan didengar. Gereja yang juga dipengaruhi oleh musik luar yang
tidak mau mempelajari akhirnya hanya menjiplak. Saya berkata ke papi untuk
belajar bagaimana musik dibangun karena bila musik bagus pasti punya pengaruh. Hanya
bisa dua yaitu musik bagus secara performance
atau musik harus bisa bercerita. Harusnya musik bisa bercerita. Kalau kita
sedang pesta merayakan sesuatu, musik mengisi acara. Tapi waktu kita mau menceritakan
sesuatu , musik ikut bercerita. Itu konsep dasar yang ada di benak waktu kita
bernyanyi dan membuat musik dan berbunyi, ada tidak ide itu? Kalau kita
pelayanan di pagi hari dengan menjadi song leaderm , jam berapa kita bangun? Apakah
kita melatih suara kita karena paling susah menyanyi pada pagi hari karena pita
suara kita masih kaku? Yang lebih mudah adalah menyanyi di sore dan malam hari karena
pita suara kita umumnya sudah dipakai seharian. Waktu bergabung di padus, kita
datang pagi-pagi pk 5. Saat itu masih tidak ada siapa-siapa dan kita sudah memanaskan
pita suara dan berlatih untuk menyampaikan sesuatu. Kalau anda musisi dan
memilih melayani di musik, maka untuk melayani di musik harus punya rasa tanggung
jawab apapun pelayanan yang dipilih. Untuk melayani di Sekolah Minggu, maka minimal
harus suka dengan anak kecil di mana minimal harus bisa berkomunikasi dengan
anak kecil. Sebagai pemberita Injil (hmaba Tuhan), maka kita harus mengerti dan
membangun intonasi menuju ke puncak apa yang akan disampaikan. Kita gagal
karena tidak mengerti apa yang akan dilakukan.
Bernyanyi dan bermusik
bukan sekedar profesi atau status
Saya sedih melihat ada pendeta yang hanya memegang
status dan profesi. Ada di gereja yang mapan jabatan pendetanya hanya sekedar profesi.
Sedang di daerah, banyak pendeta membutuhkan jalan panjang untuk membangun
gereja. Bahkan terkadang harus memberi uang ke jemaat-jemaatnya. Di Bandung dibuat
concert charity. Ada anggota padus
dari Inggirs untuk membantu pelayanan bagi orang buta. Ada satu orang buta yang
miskin dan terpanggil untuk melayani orang buta yang miskin pula. Jadi
sama-sama buta. Ia mencari dana untuk rumah dan melatih orang buta agar orang
buta bisa mandiri (mapan). Maka kita pun membuat konser itu. Pemusik harus
punya peranan. Konsep bermusik bahwa sebenarnya
“musik itu mudah (tidak sulit) dan menyenangkan ” . Bagaimana kita mau melakukannya
, berpikir dan mempersiapkan mentalitas kita untuk memulainya? Kalau tidak ,
maka kita tidak senang melakukannya. Saya tidak bergabung dengan padus SMA ,
karena saya tidak tahu dan mengerti musik. Karya Mozat harus dijelaskan kenapa
nada dan katanya seperti ini dan akhirnya seperti apa. Lagu itu kenapa nada
(melodi) dan iramanya seprti itu?
Bagaimana menampilkan iramanya seperti itu? Beda lagi dengan musik untuk Paskah
dan Natal, musik Gospel. Apa itu musik Gospel (African American)? Lagu berlirik
seperti Swing low, sweet chariot. Coming
for to carry me home (Swing Low,
Sweet Chariot ciptaan Wallis Willis). Saat menyanyi lagu gospel harus mengerti
bagaimana cara menyanyikan lagu dengan latar belakang tersebut? Kalau tidak
mempelajarinya maka maknanya akan terlewati. Saya berkata ke padus saya, “Kalau
kita tidak mau belajar menampilkan yang terbaik tentang musik, kalau kamu tidak
mau memuji Tuhan, Aku akan menjadikan batu-batu untuk memujinya.” Maka lihat siapa
yang menyanyikan lagu-lagu kita. Maka “tetangga” yang menyanyikannya seperti saat
kita menyanyi di Spanyol. Omaniu O Misteri. Kelahiran dari anak dara Maria. Itu
sebuah misteri besar karena Maria yang masih anak dara melahirkan dan yang
menyanyi bukan orang gereja! Dalam hati saya menangis. Mereka hanya senang
karena bagus tapi tidak mengerti. Di mana orang-orang gereja? Saya berpikir
sebagai musisi kita harus mempunyai peranan kepada bangsa dan negara. Padus itu
mempersembahkan medali emas, perak dll. Membesarkan nama Indonesia. Lalu gereja
di mana? Saya bukan untuk mengkritik, tapi ini waktunya kita untuk bangkit.
Pakai dan Latihlah Pita
Suara
Kita harus mulai dengan benih itu bagaimana kita
bermusik. Kita punya suara yang baik. Tuhan kasih pita suara ke kita, di leher
bagian bawah seperti membran yang bergetar. Karena itu otot. Cara kerjanya, nadi
itu bergetar. Semakin cepat getarannya semakin tinggi nada yang dihasilkan dan
sebaliknya, dan itu diukur dalam satuan Hertz. Organ pita suara sangat rapuh
karena berbentuk selaput dan otot (membran) dan bisa luka kalau berteriak. Di
gereja saya setelah KKR, biasanya majelis dan song leader hilang suaranya. Karena
dipakai untuk teriak-teriak. Kalau diperlakukan seperti itu pita suara akan rusak.
Dan bila pita suara rusak akan susah (tidak bisa) dikembalikan. Anak-anak yang
nyanyi dengan suara yang serak karena waktu kecil diminta,”Ayo nyanyi yang
keras.” Ternyata salah. Tidak boleh bernyanyi dengan keras tapi harusnya
bernyanyi dengan indah. Tidak boleh nyanyi lebih keras dari indah. Keras belum
tentu indah. Semua orang bisa menyanyi dengan keras tetapi tidak semua orang
bisa bernyanyi dengan indah. Jangan menyanyi keras tapi menyanyilah dengan indah.
Kalau volumenya segitu ya nyanyi segitu. Pelan-pelan saja untuk melatihnya agar
bisa menyanyi lebih keras. Tuhan memberi pita suara di tempatnya dan harganya
bisa sampai triliunan. Luciano Pavarotti sekali diundang nyanyi harganya
berapa? Andrea Bocelli waktu menyanyi di Jakarta paling murah tiketnya Rp 2
juta. Berapa harga tiket yang eksklusif? Tapi kalau pita suara diambil dan di
jual seperti ati ampla maka tidak ada nilainya. Lebih besar ati ampla karena
lebih besar. Tetapi saat diletakkan di tempatnya, kekuatannya menjadi luar
biasa. Mau tidak kita sayang dan latih organ ini? Tuhan kasih pita suara,
pikiran , badan sehingga waktu bernyanyi kita pakai semuanya. Jangan pernah hanya
asal-asalan bernyanyi. Apalagi waktu berdiri di depan dan melayani jadi song
leader, jadi anggota padus, janganlah kita menyanyi asal-asalan. Pilihannya hanya dua : kita
mau kasih berkat atau sampah? Di antaranya tidak ada. Tidak perlu kita punya
suara seperti malaikat (merdu sekali seperti penyanyi hebat), tetapi kita hanya
perlu tahu bagaimana menggunakannya dengan baik dan bagaimana bermusik. Anggota
padus saya isinya orang-orang tua yang suaranya pas-pasan. Tapi saya katakan,
tidak perlu bernyanyi seperti malaikat. Kalau seperti malaikat saya bisa
ketakutan kalau tiba-tiba nenek-nenek menyanyi seperti malaikat. Apa yang
terjadi? Yang saya minta ialah kita persiapkan dengan apa yang kita punya walau
tidak berarti kita tidak mau melatihnya, membuat planning dan mempelajarinya.
Berapa banyak padus di gereja mau melayani di minggu sore hari latihannya baru siangnya.
Itu bisa terjadi tetapi terlalu sedikit waktunya. Kita bukan penyanyi
profesional. Kecuali kita orang profesional yang sekali latih bisa sempurna,
kita bukan profesional dan kita perlu waktu untuk mempersiapkannya. Kalau tidak
kegiatannya akan begitu saja.
Konsep itulah yang ingin dibagikan. Menyanyi itu mudah.
Tinggal buka mulut, omong yang baik dan bercerita tentang apa yang mau
diceritakan. Kalau mau menyanyi lagu gospel tentang Musa yang dikirim Tuhan ke
Firaun, untuk berkata ke Firaun “Bebaskan bangsaku.” Gospel berbicara, “When israel was in egypt land, let my people
go” Lagu ini dinyanyikan dengan suara berat menakutkan karena Tuhan yang berkata
untuk membebaskan bangsa Israel. Tidak mungkin dinyanyikan dengan nada ringan. Itu
menyalahi aturan. Tetapi waktu bicara tentang lagu –lagu lama “Lebih aku pilih
Yesus daripada segala harta kekayaan dunia” kita menyanyi “I'd rather have Jesus than silver or gold, I'd rather be His than have
riches untold “ (I'd Rather Have
Jesus oleh George Beverly Shea). Saya bernyanyi untuk anda dan melihat ke
anda. Kalau tidak melihat kepada orang yang mendengar maka mereka merasa akan
merasa dicuekin. Sehingga jemaatnya WA – an dan buka Facebook karena merasa
begitu. Kalau lihat khotbah Pdt. Stephen Tong seakan dia bicara di depan kita. Jadi
kita dengarkan. Jangan sampai kita di depan tetapi tidak melihat jemaat, bagaimana
jemaatnya? Sebagai song leader, kita punya peranan untuk memimpin jemaatnya.
Kalau jemaat bandel dan nyanyi kepanjangan kasih tahu. Itulah peran song
leader. Jangan semua lagu dinyanyikan seperti Paskah tentang kematian Tuhan
Yesus. Seharusnya kalau merayakan Natal, harus dinyanyikan dengan senang. Untuk
Paskah , kita menyanyikannya dengan sedih jangan dengan senang , karena itu bicara
tentang kematian Tuhan “Were you there
when they crucified my Lord? Oh were you there when they crucified my Lord?
“ dengan nada gembira dan tepuk tangan maka ibarat makan Pizza pakai nasi.
Sebaliknya lagu Natal “Joy to the world,
the Lord is come! Let earth receive her King” harus dinyanyikan dengan nada
gembira karena Tuhan Yesus lahir. Kalau kita jadi song leader dan jemaat tidak
menyanyi dengan gembira, maka harus diperbaiki. Pdt. Stephen Tong juga
membenarkan jemaatnya kalau bernyanyi dengan salah. Jangan sampai kita belajar
musik tetapi tidak kasih tahu jemaat bila salah menyanyi sehingga jemaat tidak
tahu apa-apa. Karena kalau tidak, mau jadi apa lagu hari ini? Misalnya lagu
tentang tarian. Jemaat yang datang pagi dengan pergumulan. Di awal ibadah langsung
disuruh nyanyi dengan menari. Kalau tidak menari dikatakan dosa karena ada
sukacita dalam Yesus. Memulai program berupa rangkaian lagu dalam ibadah
seperti buat program dalam konser. Waktu kita datang kita tidak tahu apakah
jemaat “baru dapat THR / undian atau baru ada pertengkaran”. Song leader tidak
tahu. Tidak diminta ke usher untuk mendata bagaimana keadaan jemaat. Tapi kita
bisa buka dengan lagu netral, lagu yang nyaman untuk semua, lalu pelan-pelan
kita bangun dan undang mereak untuk menyanyi. Kalau kita mau menyanyikan dengan
tarian harus dibangun dulu suasananya. Tidak mungkin baru datang lalu disuruh
menari. Tidak semua bisa seperti itu. Banyak kesalahan seperti itu. Saya tidak
keberatan dengan tipe gereja yang selalu melakukan praise dan worship dengan
heboh. Saya hanya bertanya, “Apakah benar kita melakukan itu atau emosi kita
yang dipacu?” Waktu kebaktian, bagaimana kita membangun hubungan dengan Tuhan
lewat pujian yang dibangun?” Kalau puji-pujian hanya untuk tari-tarian Itu sama
saja dengan pergi dugem. Lebih baik pergi dugem. Konsepnya jelas. Saya pernah
pergi di kebaktian orang negro AS. Saya mengerti mereka menyanyi sepreti itu
lewat musik dan menyebar ke seluruh dunia. Musik Indonesia dipengaruhi Amerika
dan Australia (sekarang) dengan gayanya. Di gereja orang negro , lagi khotbah
dan khusuk tiba-tiba bisa ada yang melompat dan berteriak, “Haleluyah”. Bisa
terbayang, saat penyembahan terjadi seperti itu, dia bisa lompat-lompat, menangis, dan tertawa dan apapun juga. Bila
kita tidak mengerti konsepnya dan diambil, kalau tidak mengerti lalu dibawa ke
sini hasilnya bisa amburadul. Karena kita tidak mengerti konsepnya. Orang negro
dalam lagunya berbicara tentang sesuatu yang membebaskan. Lagu Gospel tidak ada
yang bercerita tentang Paulus. Tidak ada yang bercerita tentang nama-nama di Alkitab yang matinya tertindas. Lalu Gospel
berbicara tentang Gideon, Daniel , Musa, Elia dan tokoh-tokoh besar yang
membebaskan dan kuat. Karena orang Afrika-Amerika dulunya adalah budak
(dulunya). Jadi mereka bicara tentang pengharapan. Waktu mereka baca tentang
Kristus ada kesamaan, kita tidak bersalah tapi dihukum. Orang Negro diculik
dari Afrika dan dibawa ke Eropa dan AS. Salah mereka adalah kulit mereka lebih
gelap dari yang lain. Waktu mereka baca Alkitab, mereka baca tentang hal itu.
Lagu-lagu mereka berbicara tentang pembebasan. Sekarang saat bebas, mereka
mengungkapkan dan mengekspresikannya. Dulu selesai kerja di ladang seharian,
mereka masuk ke ruangan yang kapasitas 100 orang tapi diisi 300 orang, mereka
tidak bisa apa-apa selain bernyanyi. Budak bukan orang sekolah dan buat lagu
seadanya.
Lagu gospel tidak pernah sulit, karena tidak dibuat
oleh orang yang belajar. Menjadi satu budaya yang kita lihat seperti itu
tampilannya. Kita harus mengerti mengapa menjadi seperti itu. Kalau tidak, kita
akan salah arah. Orang Negro menyanyi sebagai kode. Ada saatnya di mana orang
yang bernama Musa dipanggil Musa. Di AS pertengahan, ada seorang wanita , Musa,
ia pergi ke Selatan lalu menjemput orang-orang itu. Kalau mereka tidak ada di
tempat saat dijemput, mereka ketinggalan. Saat Musa datang, orang-orang Negro harus
menyanyi sebagai kode. Mereka harus berjalan saat malam. Mereka punya lambang
ikan, itu adalah lambang di mana mereka boleh numpang untuk pergi ke Utara. Karena
di Utara mereka bebas. Sekarang mereka bebas, dan meluap sedemikian rupa. Kalau
lihat kebaktian kita akan terkejut. Ini kebaktian atau tidak? Lagu gospel bagus
untuk dinyanyikan karena punya kesaksian luar biasa. Kita kasih waktu menyanyi
dijelaskan latar belakangnya.
Menyanyi itu mudah, tetapi kita harus belajar.
Kita harus punya pengetahuan dan punya skill.
Ada beberapa kasus di gereja membuka lowongan untuk pelayanan song leader dan anggota
padus. Siapa saja boleh mendaftar. Lalu ada yang datang mendaftar tapi belum
bisa tahu nada atau pegang nadanya tidak bagus. Itu harus dilatih dahulu, Saya
sering berdebat ke papi untuk memberi kesempatan bagi jemaat untuk menjadi song
leader dan musik itu bagus. Tetapi harus dilakukan audisi. Kalau tidak ada
audisi, maka jemaat tidak belajar. Kita kadang merasa, kita bisa memilih
pelayanan apa saja. Pelayanan musik masa tidak bisa menyanyi? Jangan kita
katakan Tuhan kita luar biasa, nanti waktu naik di atas panggung kita pasti bisa
menyanyi. Kalau kita hidup di zaman Musa mungkin bisa terjadi seperti itu. Sekarang
Tuhan berkata, itu ada studio tempat les musik. Belajar dahulu di sana. Masa
untuk menjadi song leader dan nyanyi di depan, kita harus berdoa puasa kepada
Tuhan agar Tuhan kirim malaikat dan bala tentara surga untuk menjamah pita suara
kita agar kita bisa bersuara hanya untuk menjadi song leader. Masa sampai
segitunya? Masa kita tidak mau ambil tanggung jawab untuk belajar? Tuhan kasih
kita kesempatan itu buat kita? Mau tidak kita belajar dan membuat musik yang
lebih berkualitas? Kalau tidak peduli, bagaimana kita bisa membangun jemaat?
Ada song leader yang menyanyi lagu bahagia, tetapi mukanya sedih. Artinya dia
tidak siap dengan lagunya. Itu yang harus ada sebagai dasar dan pengayaan dan pengembangan
ada banyak cara yang kita bisa belajar. Padus adalah organisasi sangat berguna
untuk melatih semuanya. Padus itu seperti komunitas di mana kita belajar untuk
mendengar, bernyanyi bersama dan kita belajar sebagai sebuah tim dan saling
bahu-membahu. Itu sangat baik. Musik diajarkan di situ. Dari situ kita akan
belajar dengan baik. Waktu belajar padus saya pikir musik saya membosankan
karena hanya menyanyi begitu saja. Akhirnya saya belajar bahwa musik bergenre
apapun, kalau kita memiliki pemahaman yang benar maka kita bisa melakukannya. Karena
tekniknya tetap sama, cara menyanyi tetap sama dan suaranya tetap sama yaitu
suara kita juga. Jadi perlu kita persiapkan dengan bersama dengan baik.
No comments:
Post a Comment