(Pembinaan
Sesi 2, Sidang Tahunan Sinode GKKK 24-26 Juli 2019)
Pdt. Budianto Lim
…….sambungan dari sesi 1
Esensi #2 Penyembahan Kristen : Berpusat pada Karya
Kesalamatan Kristus
Zakaria 2:13 13
Berdiam dirilah, hai segala makhluk, di hadapan TUHAN, sebab Ia telah
bangkit dari tempat kediaman-Nya yang kudus.
Ibadah
yang rasional dan relasional bukan focus pada tindakan kita. Kita tidak boleh
menjadi yang pertama dan terutama. Sehingga segala macam nyanyian, tarian, doa,
komitmen, janji dan lain-lainnya pasti tidak sempurna. Kita harus membiarkan
perkataan Tuhan menduduki posisi teratas di awal ibadah. Bagaimana caranya? Ini
yang paling sederhana : struktur (pola) Panggilan Utama vs Repons Umat
mengikuti Roma, Yohanes 4 tadi dan di Perjanjian Lama juga cukup banyak. Pola
ini bisa diterapkan di Sekolah Minggu, sekolah Kristen dan bisa diterapkan di
kebaktian gereja. Yang menjadi pergumulan kita adalah apa yang harus ada di
antara Panggilan TUHAN dan respons umat. Polanya sederhana sekali dan semuanya
ada di Alkitab. Contohnya : Panggilan Tuhan bisa dilihat pada Maz 96:1-3; 1 Taw
16:29-30; Wahyu 14:7.
Maz 96:1-3
1 Nyanyikanlah
nyanyian baru bagi TUHAN, menyanyilah bagi TUHAN, hai segenap bumi!
2 Menyanyilah
bagi TUHAN, pujilah nama-Nya, kabarkanlah keselamatan yang dari pada-Nya dari
hari ke hari.
3 Ceritakanlah
kemuliaan-Nya di antara bangsa-bangsa dan perbuatan-perbuatan yang ajaib di
antara segala suku bangsa.
1 Taw 16:29-30
29 Berilah
kepada TUHAN kemuliaan nama-Nya, bawalah persembahan dan masuklah menghadap
Dia! Sujudlah menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan.
30 Gemetarlah
di hadapan-Nya hai segenap bumi; sungguh tegak dunia, tidak bergoyang.
Wahyu 14:7 dan
ia berseru dengan suara nyaring: "Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia,
karena telah tiba saat penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan
langit dan bumi dan laut dan semua mata air."
Respons umat. : doa-nyanyian-tarian- introspeksi diri
– pengakuan dlsb
Bagaimana ada yang dikeduanya? Semuanya ada di
Alkitab.
Skema Penyembahan yang Rasional : Who God is &
What God has done (Roma 1-11), What we are and do? (Roma 12-16).
Lagu yang baru terus. Nyanyian baru adalah nyanyian berdasarkan karya Tuhan di
masa lalu, yang diperbaharuai karena kita sekarang punya Roh Kudus. Jadi
nyanyiannya lama bisa jadi baru. Mazmur 66:1-3 ada tiga ayat : nyanyikanlah,
ceritakanlah, kabarkanlah. Di tengah-tengah itu kita bisa masukan unsur-unsur kreatifitas.
Nyanyikanlah nyanyian baru dan kita bisa mengajak jemaat merespons dengan
nyanyian yang girang, memuji Tuhan karena Tuhan mengajak kita. Kemudian ketika
kita masuk “kabarkanlah keselamatan dlbsnya, ceritakanlah kemuliaan Allah, kita
bisa mengajak jemaat melakukan kesaksian”. Aspek kesaksian ini jarang terjadi
di gereja-gereja Injili apalagi gereja-gereja
Tionghoa mungkin semua pada ja-im. Tetapi pada gereja karismatike (kontemporer)
semua mau memberi kesaksian mengenai disembuhkan, dapat berkat ini-itu dlbsnya.
Jadi sebenarnya aspek panggilan Tuhan itu sederhananya, kita mulai dengan perkataan
Kitab Suci. Tetapi kalau perkataan Kitab Suci terlalu pendek, kita perlu mencari
cara bagaimana itu ditenun dengan aspek musik, aspek pembacaan kreatif, aspek visual
yang menolong jemaat yang mungkin secara visual bisa menghayati hadirat Tuhan
dsbnya. Jadi aspek kreatifitas perlu terjadi dalam aspek penyajian.
Yang kedua : 1 Tawarikh 16:29 Berilah kepada TUHAN
kemuliaan nama-Nya, bawalah persembahan dan masuklah menghadap Dia! Sujudlah
menyembah kepada TUHAN dengan berhiaskan kekudusan. Menurut ibu-ibu,”Berikanlah
kemuliaan Tuhan” kira-kira respons apa yang cocok dengan seruan Tuhan tersebut?
Persembahan. Persembahan boleh tidak dilakukan di depan? Boleh. Boleh tidak persembahan
tidak pakai kantong? Boleh. Boleh tidak kalau tidak pakai persembahan? Boleh. Apa
arti ‘berilah kemuliaan kepada Tuhan?’ Hormat. Bagaimana cara kita mengajak jemaat
untukmenghormati Tuhan? Kita harus pikirkan respon apa yang paling tepat? Ada
kata ‘gemetarlah di hadapanNya”. Apa respon yang paling tepat? Bersyukur.
Bersyukur = persembahan. Berarti kalau persembahan tidak ada, lalu jemaat
diberitahu ‘berilah kemuliaan kepada Tuhan. Gemetarlah kepadaNya’, lalu jemaat
diminta kesaksian kepada teman kanan-kirinya , apa yang kamu syukuri minggu
ini, boleh tidak? Pernah kejadian tidak? Tidak! Karena bisa ribut / berisik
apalagi jemaatnya suka ngomong. Apalagi jemaatnya semuanya keluarga. Mungkin
terbalik juga, karena keluarganya suka berantem, maka saling tidak bicara. Ada
gereja yang semuanya keluarga (keluarga karena pernikahan). Tetapi mungkin
terbalik juga. Karena keluarganya saling berantakan, tapi Kristen. Di gereja
diam, di rumah juga saling mendiamkan. Ini mengerikan. Berarti bisa. Reaksi
awal : Kita selalu gereja itu, waktu ribut, kita takut kebaksian jadi messy.
Padahal di dalam realita kehidupan kita sebagai hamba Tuhan sekalipun, hidup
kita banyak messiness.
Kita hamba Tuhan sibuk kan? Istri saya pernah berkata,”Hamba
Tuhan di gereja seperti semut”. Semut saat bertemu dengan semut, akan saling
memberi salam lalu jalan. Semua semua seperti itu. Panggilan Tuhan nomor satu,
kemudian respons umat kita cocokkan dengan panggilan tersebut.. Tentu kita
harus berpikir, “beri kemuliaan itu apa?’. Dalam bahasa Ibrani, kahot (mulai,
glory) berarti kita memberikan bobot kepada Tuhan yang semestinya. Pertanyaan :
Bagaimana kita mengajak jemaat menyatakan bahwa TUhan itu punya bobot yang
berbeda dengan kita dan bobot Tuhan itu patut kita puji dan sembah. Sebagai
hamba Tuhan harus kita pikirkan, dan bila memikirkan hal ini setengah mati.
Kita punya bias/filter. Mari kita jujur setiap kita punya selera nyanyian yang seperti
apa ? Ada yang sukanya lagu-lagunya begitu romantis, asyik dengan Tuhan (nyanyi
bisa sampai menangis) tetapi ada orang juga suka puji-pujian yang girang
(bersorak-sorai). Kita punya selera. Oleh karena itu, waktu kita merancang
hal-hal seperti ini, jangan hanya sendiri. Perlu tim minimal 3 orang, kalau 2 berantem
masih ada yang ketiga (penengah).
Yang ketiga : Wahyu 14:7 dan ia berseru dengan suara nyaring:
"Takutlah akan Allah dan muliakanlah Dia, karena telah tiba saat
penghakiman-Nya, dan sembahlah Dia yang telah menjadikan langit dan bumi dan
laut dan semua mata air." Respon apa yang paling tepat, ketika kita
sudah mendengar seruan Tuhan seperti itu? Tadi muliakan Dia, mirip dengan 1
Tawarikh. Takutlah mirip dengan 1 Tawarikh (ada gemetarlah). Lalu ‘sembahlah Dia
yang menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air’. Bagaimana respon
yang paling tepat? Pujian! Bisa juga kita mengajak jemaat mendoakan Jakarta
yagn katanya mau tenggelam. Berita ini sudah saya dengar dari 25 tahun lalu
tetapi PEMDA diam saja. Kita orang Kristen tidak pedulikan urusan eko. (ecology,
eco teology, ecosystem) padahal firman Tuhan, mengajak kita untuk menjadi
pengelola (steward) atas seluruh ciptaan. Ketika kita memayungi seluruh pemahaman
teologi kita di bawah teologi ibadah, aspek ecosystem, ecology masuk di bawah teologi
ibadah. Gereja Protestan, kaum injili sedikit sekali membicarakan tentang ecology.
Ini adalah aspek yang bisa dipertimbangkan. Sampai seberapa jauh jemaat kita
benar-benar menyadari bahwa urusan kita memelihara bumi adalah aspek kita
menyembah Allah yang menjadikan langit dan bumi dan laut dan semua mata air.
Setiap kali saya punya kesempatan pelayaan di kantong Kristen, saya ajak jemaat
jalan-jalan ke pantai. Contoh : di Nias dan kota kantong Kristen lainnya. Yang
menyedihkan di pantai sampah semua. Gereja tidak ada yang memusingkannya,
karena gereja hanya mengurusi yang di dalam (urusi doktrin pengajaran dlsb).
Tidak ada movement mobilisasi jemaat untuk membersihkannya. Karena Tuhan
kita adalah Tuhan yang menjadikan langit dan bumi, dan semua mata air. Kita jarang memikirkannya.
Pola ini adalah pola yang cukup sederhana. Jadi urusan respon bisa macam-macam.
Jadi jangan terlalu ketakutan untuk bisa mengajak jemaat meresponi. Tetapi
tentu kita perlu bijaksana, karena setiap jemaat local itu beda dan ada kultur
dalam jemaat. Kita perlu mempertimbangkannya dengan seksama. Respon itu bisa
beragam, respon itu tidak selalu harus dengan menyanyi . Ttapi bisa kombinasi doa, tarian,
nyanyian , skip intropeksi diri , pengakuan dosa dll. Dan bisa ditenun , nyanyian
jadi doa atau doa pakai nyanyian. Atau nyanyi, doa ,kemudian nyanyi lagi. Semua
variasi perlu kita pertimbangkan karena aspek kreativitas adalah urusan variasi.
Pengagungan Pengakuan
Yesaya 6:1-13 Pengagungan Pengakuan “TUHAN kasihanilah
kami, orang berdosa ini!”. Kalau kita mau serius mengikuti petunjuk Tuhan maka
ini dua respon yang paling utama. Yesaya 6:1 kasih tahu latar belakang Raja
Uzia meninggal dunia, lalu Yesaya melihat Tuhan duduk di atas tahta. Lalu ayat
2, Serafim (malaikat) berseru ,”Kudus , kudus, kuduslah Tuhan Semesta Allah,
seluruh bumi penuh kemuliaanNya”. Pernyataan ‘kudus, kudus, kuduslah Tuhan’ ini
adalah pengakuan jati diri Tuhan. Itu
bisa disebut sebagai pengakuan sekaligus pujian kepada Tuhan. Kemudian ayat 5 ‘celakalah
aku’. Yang paling umum yang menjadi
garis besar adalah pengagungan bisa memakai pujian atau doa memuji 2. Yang
kedua ungkapan kejujuran , ajak jemaat mengungkapkan apa saja yang sudah terjadi
dalam minggu ini secara jujur. Yesaya 6 ini, Nabi Yesaya bukan saja hanya bicara,
celakalah aku karena aku adalah seorang najis bibir (ini personal). Kalimat
berikutnya,’Aku tinggal di tengah bangsa yang najis bibir’. Ada kejujuran
personal (pribadi), tetapi ia menyadari bahwa bangsanya juga najis bibir. Jadi
aspek personal dan komunal dalam kebaktian tiap minggu, atau di dalam kapel
atau di manapun konteksnya tidak bisa dipilih (harus dua-duanya ada). Kedua
respon utama ini sangat tepat membawa kita ingat akan Tuhan kita (yang menyelamatkan
kita melalui karya kayu salib). Pengangungan wajar sekali (sudah seharusnya). Rasional
kalau kita memuji-muji Kristus yang sudah mati bagi kita. Yang kedua kita masuk
ke dalam ungkapan kejujuran di hadapan Tuhan. Karena Yesus sudah mati untuk
kita, kita percaya kepadanya dan kita diberikan Roh Kudus di dalam kita, tetapi
kita masih mengalami pengudusan. Orang yang sudah percaya Kristus, masih butuh
Injil atau tidak? Masih butuh! Karena kitab Roma mengatakan bahwa kita berpijak dari iman ,
memimpin kita kepada iman, tengah-tengahnya apa? Proses hidup di dalam iman
(orang benar akan hidup oleh iman). Ini adalah satu hal yang patut kita pertimbangkan.
Saya akan focus pada 2 aspek ini, di dalam perenungan
kita untuk sesi ini. Doa pengakuan dosa atau doa kejujuran di hadapan Allah.
Banyak gereja yang sudah tidak ada pengakuan dosa. Dalam liturginya dicetak
doa pembukaan, tetapi tidak ada doa pengakuan dosa. Dalam pembinaan seperti ini
seperti diingatkan dan kemudian esoknya kebaktian di mana dalam doa pembukaannya
ada doa pengakuan dosa. Doa pengakuan dosa mungkin terminology yang terlaku
kaku, berbau liturgi high churh seperti Anglican, HKBP, Lutheran dsbnya,
kita bisa berikan ungkapan terminology yang berbeda : doa kejujuran di hadapan Tuhan, ungkapan
kejujuran di hadapan Tuhan. Saya kira, kita tinggal di negeri ini, kalau orang
Kristen tidak didorong untuk jujur berarti ada yang salah. Apalagi kita hidup
di tengah-tengah dunia yang berita dari KPK banyak sekali (berapa persen dari orang
yang ditangkap KPK itu adalah orang Kristen?”)
Proskuneo ,”Tuhan kasihanillah kami, orang berdosa ini”
Proskuneo adalah kata di Perjanjian Baru yaitu kata mengenai
penyembahan yang paling banyak muncul. Tetapi berapa banyak gereja yang
mengajak jemaatnya melakukan postur menyembah dengan tubuhnya bertelut? Ada
tidak GKKK yang tiap Minggu bersujud? Iman
Kristen Protestan masih mengabaikan postur penundukan diri seperti ini, karena
kita diajari bahwa yang penting adalah hati. Kita diajari (khususnya gereja injili)
yang menganggap postur (gesture) itu miliknya gereja katolik, karismatik atau
ortodoks. Padahal kita berkata, gereja injili based on the Bible. Ini ada yang
kontradiktif dalam pengakuan iman kita. Memang betul bukan masalah fisiknya
saja. Kalau fisiknya saja tapi hatinya tidak sambung dengan Tuhan dengan
penundukkan diri, maka fisiknya tidak ada nilainya di hadapan Tuhan. Tetapi bukan
berarti kita mengatakan yang penting hatinya, fisiknya tidak penting sehingga kita tidak
melakukan. Jangan lupa, kita ini manusia yang diciptakan Tuhan, tubuhnya ada
panca indra. Jadi kita perlu Roma 12 ‘persembahkanlah tubuhmu’. Mempersembahkan
tubuh karena hati kita sudah in tune dengan Tuhan. Jadi bukan hanya hati
tetapi juga fisik (holistic atau seluruhnya). Banyak gereja yang ribut tentang tepuk
tangan, karena kita tidak pernah diajari Alkitab mengatakan dengan jelas,”persembahkanlah
tubuh”, tapi ada gereja yang berantem boleh tidak tepuk tangan. Tangan itu
tubuh atau bukan? Ada yang berkata tidak boleh tepuk tangan. Ada yang bicara
mari kita tepuk tangan memuliakan Tuhan. Apakah kita sedang merohanikannya atau
tidak? Jadi boleh tidak tepuk tangan? Mengapa
ada tepuk tangan dalam kebaktian? Kalau mau memuji Tuhan, “Tuhan luar biasa”
dan spontan tepuk tangan, masa kita memarihinya? Tetapi tipe di gereja seperti
kita,tepuk tangan banyak kalau orang tampil di depan. Apalagi kalau paduan
suara anak-anak. Itu anak gua lucu bangat, lalu divideokan. Semua tepukin. Kalau
kita ada paduan suara anak, lalu kita tepoki, kita-kira kita kirim pesan apa kepada
anak-anak kita? Bahwa ibadah (tampil) itu butuh dihargai. Itu tidak jelek. Itu kan
common sense. Tetapi kita perlu ajarkan anak kita di dalam peribadahan,
bukan saya yang ditepoki. Dalam hal ini, saya dan Lidya lebih memilih, kalau ada
paduan suara di depan tidak usah ditepoki, tapi saat kita memuji-muji Tuhan
silahkan tepuk tangan. Bahkan ada orang-orang yang mengatakan paduan suara jangan
di depan. Karena orang-orang yang ikut paduan suara kerohaniannya belum tentu
benar. Ada yang tidur dan di depan hanya melihati gadget (saat khotbah melihat
gadget saja). diusulkan paduan suara ditaruh di pojok atau di balkon (suaranya
dari atas ke bawah seperti gereja-gereja di Inggris). Maka Banyak yang eperti
itu. Mending taruh di pojok seperti gereja-gereja di Inggris. Di sana Inggris
paduan suara tidak menghadap ke jemaat tetapi saling berhadapan. Bangkunya
berhadapan. Jadi bukan mau ajak mereka tampil. Tetapi ketika kita pakai model entertainment
(hiburan) kita mau semuanya tampil. Saya
ketemu banyak gereja Tionghoa yang bertengkar gara-gara yang satu ditepoki dan
yang lainnya tidak. Ini karena tidak ada pemahaman teologi ibadahnya. Ini doa
yang pendek sekali. Kita ajak jemaat berdoa, “Tuhan kasihanilah kami orang berdosa
ini”. Kita coba dan siapkan hati kita. Hapalkan kalimat “Tuhan kasihanilah kami
orang berdosa ini”
Mari kita tundukan kepala, kita cari posisi duduk yang
cukup baik. Nanti saya berikan aba-aba untuk menaikkan doa ini bersama-sama. Mari
tenangkan diri dan berdoa “Tuhan kasihanilah kami orang berdosa ini”. Lalu coba
dengan posisi berlutut (posisi proskuneo) dan sama-sama sekali datang ke
hadapan Tuhan. Sekarang sebelum menaikkan doa bersama-sama, mari saya undang
bapak/ibu merenungkan pelayanan yang kita kerjakan selama ini. Adakah motivasi
, tindakan dimana kita butuh belas kasihan? Silahkan berdoa sekarang. Apakah
ada bedanya?
Apakah ada efeknya? Bedakan berdoa dengan posisi
duduk, berdiri dan berlutut. Dengan berlutut merendahkan diri di hadapan Tuhan,
menyerahkan semuanya dan merasa kita manusia berdosa. Dengan berlutut, adakah
yang pernah berkhotbah atau mendengarkan khotbah ,”Rendah hatilah! Rendah hatilah!
Rendahkanlah dirimu di hadapan Tuhan”. Karakter pelayan Kristen rendah hati,
memperhatikan kepentingan orang lain. Kita bicara tetapi tidak pernah ajak
jemaat untuk benar-benar merendahkan diri. Aneh bukan? Di dalam konteks yang
lain, misalkan kita mengajak jemaat memuji Tuhan, mengangkat tangan tapi kita semua
tidak mengangkat tangan. Aneh bukan? Padahal lagunya mengajak mengangkat tangan.
Ada teorinya. Mengapa mengangkat setengah saja? Ini orang malas. Mengapa angkat
tangannya tidak tinggi? Lihat apakah keringatan tidak? Ini adalah teorinya
dalam gesture. Ada meaningnya. Gereja mula-mula banyak menggunakan simbolisem.
Aspek-aspek yang perlu kita perhatikan. Postur atau gestur tubuh kita mengenai
Dia yang menolong kita jujur mengakui keberdosaan kita dan sebagainya. Kita
tidak bisa mengabaikan aspek tersebut.
Ini ada lagu “Di muka Tuhan Yesus betapa hina diriku,
kubawa dosa-dosaku di muka Tuhan Yesus”. Coba nyanyikan lagu ini. Posisinya
boleh duduk, berdiri atau berlutut. Kita coba nyanyikan lagu ini sebagai sebuah
pengakuan di hadapan Tuhan. Mari kita tenangkan diri kita sekali lagi dan coba
menaikan lagu pujian ini. Saat mengajak jemaat menyanyi lagu ini, kita
rendahkan diri. “Di muka Tuhan Yesus betapa hina diriku, kubawa dosa-dosaku di
muka Tuhan Yesus” Kita mengajak jemaat menyanyikan lagu ini. Setelah
menyanyikan lagu ini, music tetap jalan, jemaat dipersilahkan jujur di hadapan
Tuhan. Setelah momen jemaat berdoa, lalu music diam. Kemudian doa dilanjutkan ,
lalu untuk menutup kita kembali menyanyikan lagu ini. Artinya bagian kejujuran
dan bagian pengakuan dosa , tidak hanya satu cara melakukannya. Aspek-aspek
seperti ini pun kita bisa memvariasikannya. Intinya kita bisa cocokan dengan konteks
jemaat kita. Postur, gestur adalah media untuk mendaratkan kebenaran iman yang
kita semua sudah tahu, tapi sayangnya aspek ini tidak dilakukan.
Ada seorang filsuf yang sudah almarhum, Marshall
Mcluhan yang mengatakan,The Medium is the massage. “Tidak ada media yang murni
netral sebab apapun media yang dipilih untuk mengkomunikasikan sesuatu akan
memberi dampak pada isi pesan”. Meida yang digunakan untuk menyampaikan injil,
media itu akan mempengaruhi isi injil. Ketika kita melakukan seluruh penyembahan
dengan media , postur tubuh kita karena firman Tuhan mengatakan persembahkanlah
tubuhmu, maka postur tubuh kita mengkomunikasikan isi kerendahan diri,
kerendahan hati dan sebagainya. Di situlah jemaat akan dibawa makin dalam lagi mengalami
Tuhan dan kalau orang mengalami Tuhan, ia bukan saja diinspirasi tetapi ia juga
ditransformasi.
Kebaktian tidak bisa disebut Kristen kalau tidak ada
pengakuan dosa (kejujuran). Mengapa tidak bisa? Kalau kebaktian tidak ada
pengakuan dosa, berarti injil dihapus. Mengapa orang butuh Injil? Karena doa! Injil
perlu karena dosa. Kalau doa pengakuan dosa tidak ada, di mana Injilnya kalau
begitu? Kalau kita berkoar percaya pada Yesus, tetapi kita tidak kasih tahu
mengapa harus percaya. Tanpa kejujuran (pengakuan dosa), kita terjebak dalam
ajaran dunia untuk percaya diri berlebihan dan mampu memecahkan semua persoalan
hidup dengan kemajuan teknologi, kebaktian menjadi momen memperbesar mentalitas
narsistik yang sangat kental di zaman ini. Kita perlu pikirkan cara bagaimana memandu
jemaat dan diri kita sendiri untuk jujur di hadapan Tuhan setiap minggu.
Mengapa setiap minggu? Mengapa tidak setiap hari? Perjamuan kudus di GKKK
sebulan sekali. Bersyukur bisa sebulan sekali, masih banyak gereja yang
melakukan 3 bulan sekali. Saat ditanya,”Mengapa frekuensi-nya tidak lebih
banyak?” Dijawab,”Tidak enak kalau lebih banyak. Nanti kurang menghayati”.
Padahal kita makan tiap hari,mengapa kita tidak makan 3 bulan sekali agar kita
lebih menghayati makan. Aneh bukan? Padahal perjamuan kudus adalah perjamuan
dan perjamuan kudus itu bukan hanya di Perjanjian
Baru. Perjamuan dengan Allah sudah ada di Kitab Keluaran 24 waktu umat Israel
sudah menerima firman Tuhan, mereka makan-minum di hadapan Allah. Perjamuan
dengan Allah berarti Allah sudah menerima kita (yuk kita makan semeja). Jadi
yang namanya perjamuan tidak bisa jarang, harusnya seminggu sekali. Hanya kita
gereja Protestan karena kita mengikuti sejarah dari tradisi reformasi dan di
dalam tradisi reformasi itu beraneka-ragam reformatornya. Ada reformator
seperti John Calvin yang mau setiap Minggu tetapi majelis-nya tidak mengijinkan
sehingga akhirnya hanya dilakukan sebulan sekali. Ada Zwingli di kota Zurich
yang dia mau menjauh dari Katolik sehingga perjamuan kudus hanya simbol dan
akhirnya dilakukan 3 bulan sekali. Bahkan ada gereja yang melakukannya setahun
dua kali. Ada gereja Protestan yang mau
menjauh banget dari Katolik sebagai counter dari Katolik, sehingga
perjamuan kudusnya dikorbankan dan khotbahnya dibanyakan. Padahal perjamuan
kudus adalah firman di dalam bentuk visual. Kan Tuhan sendiri yang berbicara (Sesering
kamu memakannya ingatlah akan Aku). Berarti gereja semakin jarang ada perjamuan
kudus semakin tidak ingat kalau Tuhan Yesus sudah mati.
Tanpa pengakuan dosa :
-
Esensi Injil ikut
dihapus
-
Komunitas Kristen
diajak ikuti arus kultur bahwa kita bisa lakukan segala sesuatu & tidak butuh
anugerah
-
Kita terjebak
dalam ajaran dunia untuk “percaya diri” berlebihan dan mampu memecahkan segala
persoalan hidup dengan kemajuan teknologi
-
Kebaktian hanya
menjadi momen membesarkan mentalitas narsistik – Tuhan Yesus disuruh nolonginn
saya, jawab doa saya, perhatikan saya, beri saya rejeki dll
Cara lain mewujudkan pengagungkan adalah dengan
menyanyi
menyanyi : respons merayakan Allah Penyelamat.
Dasarnya ada di Keluaran 15. Miryam dan Musa mengajak seluruh
jemaat untuk memuji Tuhan karena Tuhan sudah omong dan sudah lakukan keselamatan
baru mereka merespons dengan nyanyian. Nyanyian mereka secara eksplisit ditujukan
kepada Tuhan Allah Yahweh. Jadi aplikasi yang paling praktis, kita harus memperhatikan
nyanyian yang dipakai apakah lagu tersebut spesifik ditujukan pada Yesus
Kristus. Eksplisit tidak liriknya ditujukan kepada Allah? Banyak lagu-lagu
Kristen yang pakai istilah Tuhan secara generic. Kita harus berhati-hati sekali
karena kita tinggal di negeri Indonesia yang adalah Ketuhanan yang Maha Esa. Semua
orang katanya percaya kepada Tuhan. Tetapi apakah Tuhan yang dipercaya Kristen,
sama atau tidak dengan agama lain? Tidak! Ini bisa diperdebatkan. Ada yang
menjawab, ya dan tidak. Kita tidak akan berdebat ke arah sana.
Contoh :
Sari Simorangkir Edward
Chen
Tuhanlah kekuatan dan mazmurku saat ku tak
melihat jalan-mu
Dia gunung batu dan es’lamatanku saat
ku tak mengerti rencana-mu
Hanya padaMu hatiku percaya namun
tetap ku pegang janji-mu
Kaulah Menara dan kota perlindungan pengharapanku hanya pada-mu
Reff : Reff
:
Ku mau sla’lu bersyukur hatiku
percaya 3x
S’bab cintaMu padauk s’lalu
ku percaya
Tak kan pernah berubah
Hatiku percaya
Walau bumi berguncang
Gunung-gunung beranjak
Namun kasih setiaMu
Tak pergi dariku
Mana yang bagus di antara kedua lagi di atas? Yang di
kiri lagu Sari Simorangkir. Intinya : hanya kepadaMu aku percaya. Lagunya
Edward Chen juga sama “hatiku percaya”. Lagu Sari Simorangkir berkata Tuhanlah
kekuatanku. Di dalam konteks orang-orang dalam pergumulan, Roh Kudus bisa
memakai kedua lagu. Tapi dalam kebaktian komunal (bukan individualistik, dalam
personal worship keduanya boleh dipakai), prinsip kita : berpusat pada karya
keselamatan Kristus.Kalau memang berpusat pada karya keselamatan Kristus, maka saya
ingin membuatnya spesifik dan eksplisit. Karena kita percaya Tuhan yang
menyelematkan, bukan yang mana-mana tetapi Tuhan Yesus. Dari kedua contoh lagu
ini, ada yang mengatakan yang satu baik, keduanya baik, ada juga yang
mengatakan lagu yang satu lagi sangat menolong (hatiku percaya yang
diulang-ulang). Saya tidak setuju lagu Edward Chen dipakai karena tidak jelas siapa
‘mu’ di sini? Kita percaya dengan siapa? Lagu Sari Simorangkir lebih mending
karena ada kata Tuhan satu. Dan ada metafora (kiasan) tentang Allah kita adalah
gunung batu, keselamatan, Menara , kota perlindungan dan seterusnya. Ini
kalimat dari Mazmur. Tapi saya tidak akan pakai lagu ini dalam konteks
kebaktian komunal. Kecuali saya ubahnya kata-katanya. Di Indonesia kita tidak
pakai copyright. Saya akan mencari lagu yang eksplisit karena saya mau sadar-sesadarnya
bahwa yang ikut kebaktian belum tentu semuanya sudah lahir baru. Dari mana kita
tahu? Apakah kita mengajak jemaat berasumsi bahwa yang dipercaya adalah pasti
Yesus, satu-satunya Juruselamat? Apakah kita berasumsi? Kalau kita pakai lagu Edward
Chen kita berasumsi. Padahal kita percaya nama Yesus punya kuasa.
Dalam
lagu Edward Chen tidak ada kata Tuhan sama sekali, saya tidak setuju. Saya suka
lagu ini karena melodinya menolong saya untuk dekat dengan Tuhan. Tapi saya tidak
akan pakai lagu ini di ibadah komunal, kecuali saya medley lagu ini dengan lagu
yang ada kata Kristusnya. Kita harus berhati-hati dengan mengatakan motivasi
kita jelas kepada Yesus. Prinsip saya : berpusat pada keselamatan Kristus. Kalau
nama Yesus saja tidak mau kita sebutkan di dalam lagu , bagaimana? Di dalam
konteks kebaktian komunal ada orang yang belum peraya. Kita tidak bisa
berasumsi, orang yang tidak percaya itu melihat orang Kristen menyanyikan
kepada Yesus. Kalau dalam nyanyian, ada kata “Bapa Sorgawi” itu ok. Tetapi
ketika sama sekali tidak ada maka saya kesulitan. Tetapi kalau bapak/ibu
mengatakan sebodo amat, terserah bapak/ibu juga. Saya menegaskan, lagu yang
hanya menggunakan kata ‘kau’,’mu’,’engkau’ tidak akan saya gunakan. Karena saya
kembali ke prinsip “Berpusat pada karya keselamatan Kristus”. Kalau istilah GBU masih bisa saya terima,
karena masih menempatkan Allah yang subjek. Namun di group WA teman-teman SMA,
saya gunakan Jesus loves you. Kalau group WA semua sudah lahir baru, bisa pakai
GBU. Saya berharap bapak/ibu bukan hanya sekedar menggumuli hal ini secara
intelektual, tapi mari kita
menggumulinya dilihat dari aspek secara keseluruhan ketika semua jemaat
berkumpul. Karena kita bisa berasumsi, semua orang percaya kepada Yesus. Tentu,
ini satu aspek banyak orang menganggap saya kaku. Tetapi tidak apa-apa, karena
saya memegang prinsip apa yang saksikan di dalam Alkitab dan saya melihat banyak
lagu yang tidak berpusat pada Allah Tritunggal. Hanya kepada Allah Bapa atau
Yesus saja, sedangkan lagu yang ditujukan kepada Allah Roh Kudus sedikit
sekali. Ini sebuah kekurangan di dalam iman Kristen Protestan khususnya kaum
injili. Padahal kita katanya percaya kepada Allah Bapa, Putra dan Roh Kudus,
tetapi lagu-lagu kita bukan trinitarian, paling binitarian atau hanya satu.
Lagu Jonathan Prawira
Bukan dengan barang fana Kau membayar dosaku
Dengan darah yang mahal tiada noda dan cela
Bukan dengan emas perak Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih dan pengorbananMu
Reff :
Kutelah mati dan tinggalkan jalan hidupku yang lama
Semuanya sia-sia dan tak berarti lagi
Hidup ini kuletakkan pada mezbahMu yang Tuhan
Jadilah padauk seperti yang Kau ingini
Bukan dengan emas perak Kau menebus diriku
Oleh segenap kasih dan pengorbananMu
Lagu ini dari 1 Petrus 1:18-20. Tetapi coba perhatikan
kalimat dalam ayat firman Tuhan tersebut. Di dalam ayat tersebut, darah yang
mahal, darah Kristus. Firman Tuhan eksplisit mengutarakan hal tersebut. Saya
jadi bertanya-tanya pada saat Jonathan Prawira menciptakan lagu ini, apakah ia
membuat lirik lagunya karena lebih enak Kristusnya tidak ada, atau saat membuat
lagu ini ia melihat ayat tersebut tetapi mengapa kata Kristus-nya dikeluarkan?
Apakah lagu ini ingin dibuat se-generic mungkin sehingga orang yang non-kristen
itu bisa menyanyikannya juga. Seperti lagu “Tiada yang Mustahil bagi Tuhan”
yang dinyanyikan oleh Pak Wiranto yang beredar di WA group. Ini jadi pertanyaan
saya. Padahal firman Tuhan jelas sekali (darah yang mahal, Darah Kristus),
mengapa kata ‘Kristus’ tidak dikeluarkan? Hal ini bisa diperdebatkan dengan
banyak intepretasi. Lagu ini saya suka sekali. Lagu ini menolong saya untuk
ingat bahwa kasih Tuhan luar biasa sekali. Tetapi saya bergumul, darah yang
mahal , darah apa? Lagu ini ada dasar Alkitab (1 Petrus 1) tetapi dalam ayat
itu ada darah Kristus secara eksplisit tetapi maka tidak dikeluarkan pada saat
menyanyi? KPPK 12 dan 23 tidak ada kata Tuhan , yang ada hanya kata “Mu” dan “Nya”. KPPK terjemahannya ada yang jelek. Kalau kita
memeriksa bahasa aslinya (semua lagu himne terjemahan), lagu amazing graze
tidak ada kata Tuhannya, tapi pada bait ke 4 atau 5 muncul bahwa Dia adalah
Juruselamat kita. Tetapi Bait 1-2 tidak ada. Itu masalah terjemahan. Jadi saya
setuju KPPK, tidak semua lagu di KPPK bagus, tidak semuanya himne, ada lagu
kontemporer dimasukkan ke sana. Dulu PPK sekarang jadi KPPK dengan terjemahannya
ada yang jelek. Saya mengajarkan lagu paduan suara, KPPK (lagu himne) tetapi
waktu baca kalimat di KPPK tidak nyambung dengan anak-anak sekarang. Itu high
language, bahasa yang bukan day-to-day. Kalau menggunakan enak bahasanya, maka
akan gampang nempel di jemaat.
Nyanyian adalah instrumen pengajaran.
Mari kita perhatikan firman Tuhan. Saya tidak intepretasi
macam-macam. Mari kita lihat Mazmur 119:12 Terpujilah Engkau, ya TUHAN;
ajarkanlah ketetapan-ketetapan-Mu kepadaku, 54
Ketetapan-ketetapan-Mu adalah nyanyian mazmur bagiku di rumah yang
kudiami sebagai orang asing, 108 Kiranya persembahan sukarela yang berupa
puji-pujian berkenan kepada-Mu, ya TUHAN, dan ajarkanlah hukum-hukum-Mu
kepadaku., 164 Tujuh kali dalam sehari
aku memuji-muji Engkau, karena hukum-hukum-Mu yang adil., 171 Biarlah bibirku
mengucapkan puji-pujian, sebab Engkau mengajarkan ketetapan-ketetapan-Mu
kepadaku., 172 Biarlah lidahku menyanyikan janji-Mu, sebab segala perintah-Mu
benar., 175 Biarlah jiwaku hidup, supaya memuji-muji Engkau, dan biarlah
hukum-hukum-Mu menolong aku.
Ada beberapa hal yang menegaskan bahwa nyanyian adalah
instrumen pengajaran.
12 : dikaitkan pujian dengan pengajaran.
54 : pengajaran
Tuhan adalah nyanyian (pengajaran yang dinyanyikan).
108 : pujian
disetarakan dengan ajaran (hukum) Tuhan
164 : memuji
Tuhan karena pengajaran hukum (ketetapan) Tuhan , baik dan adil tidak pernah
salah.
Menyanyi adalah respon atas keselamatan Allah dan
berikutnya nyanyian adalah instrument pengajaran. Semua ayat 7 ini mengaitkan
nyanyian (puji-pujian) dengan aspek ketetapan , hukum , pengajaran Tuhan. Jadi yang
namanya nyanyian tidak bisa hanya dipertimbangkan atau dihayati sebagai fungsi merayakan
keselamatan Allah sebagai respon kepada Allah. Nyanyian bisa menjadi bentuk
untuk menyajian pengajaran Allah. Pola panggilan Tuhan – respons umat. Saat
panggilan Tuhan (Wahyu 14:7) boleh dipakaiin lagu tetapi isinya berupa kalimat
dari Wahyu 14:7. Dalam hal ini nyanyian menjadi instrumen pengajaran. Adalah
salah buat gereja yang tidak mau lagi lagu himne. Banyak gereja yang ketika
berkata, “Saya tidak mau pakai lagu himne. Lagu-lagu pendek semua atau
lagu-lagu kontemporer seperti Hatiku Percaya, Sari Simorangkir, Jeffry S Tjandra,
JPPC, NDC, Symphony. Menurut saya salah.” Bukan berarti lagu zaman sekarang tidak
ada yang punya bobot pengajaran. Memang betul, harus pilih lagu baik-baik. Kita
tidak bisa sembarangan pakai lagu yang disukai oleh si worship leader. Karena
nyanyian di dalamnya bisa jadi pengajaran. Ini jelas sekali dalam firman Tuhan,
tidak dibuat-buat.
Bersambung ke sesi 3….
No comments:
Post a Comment