Bp. Rizal Badudu
Ef 6:1-4
1 Hai anak-anak, taatilah orang tuamu di dalam
Tuhan, karena haruslah demikian.
2 Hormatilah ayahmu dan ibumu -- ini adalah
suatu perintah yang penting, seperti yang nyata dari janji ini:
3 supaya kamu berbahagia dan panjang umurmu di
bumi.
4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan
amarah di dalam hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan
nasihat Tuhan.
Generation Gap
(Jarak Antar Generasi)
Generation gap (kesenjangan
antar generasi) yang terjadi dari waktu ke waktu makin besar. Tahun 60-an kesenjangannya
tidak terlalu besar, tahun 80-an makin besar dan tahun 2000-an semakin besar
lagi. Apa penyebabnya? Salah satunya karena faktor teknologi. Sekarang makin cepat
datangnya generation gap. Orang yang lahir 1900-1945 termasuk kaum
tradisionalis. Tahun 1946-1964 termasuk kaum baby-boomers. Orang yang lahir
tahun 1965-1976 termasuk gen X, tahun 1977-1997 termasuk generasi milenial dan
sekarang sudah masuk generasi Z dan sebentar lagi sudah akan ganti lagi dan jarak
antar generasi semakin lebar. Tetapi apa yang firman Tuhan katakan, itu yang kita
mau mengerti. Ada fakta dan fenomena di situ namun yang lebih penting adalah mengarahkan hati kita pada firman
Tuhan.
Ajaran dan Nasehat
Tuhan
Efesus adalah kitab yang indah
sekali. Pasal 1-3 berbicara mengenai mengapa dan bagaimana kita diselamatkan.
Pasal 4-6 berbicara tentang bagaimana mengisi keselamatan itu, bagaimana hidup
sebagai orang yang sudah diselamatkan. Pasal 6 dalam satu bagian berbicara tentang
hubungan keluarga. Ayat 1-3 sangat menarik bagi orang tua. Orang tua senang
dengan ayat ini, karena berkata “anak-anak harus taat (karena harus demikian)”.
Anak-anak harus menghormati ayahmu dan ibumu. Itu perintah yang penting sekali,
lepas seperti apa ayah dan ibumu, kamu harus taat. Saya berasal dari keluarga campur
(ayah dari keluarga muslim yang baik, sembahyang 5 kali sehari, berpuasa selama
30 hari dalam setahun. Walaupun terkadang ibu lupa bangun dan menyiapkan saur,
tetapi ayah saya tetap puasa. Seperti apapun orang tua kita, maka kita harus
hormat kepada ayah-ibu. Karena ada janji yang penting supaya bahagia hidup kita
di bumi. Tetapi ada ayat 4 yang berkata,”Dan kamu bapa-bapa (konteks-nya dalam
budaya saat itu), dikatakan kepada para pria tetapi maksudnya kepada
bapak-bapak dan ibu-ibu (emak-emak juga). Dan kamu, bapak-bapak dan ibu-ibu, janganlah
bangkitkan amarah di dalam hati anak-anakmu tetapi didiklah mereka di dalam
ajaran dan nasehat Tuhan. Waktu orang tua mendidik anak-anaknya, pengertian
firman di situ adalah mendidik (to disciple, memuridkan) anak-anak di dalam
nasehat dan ajaran Tuhan. Peringatan kepada orang tua,”Jangan bangkitkan amarah
di dalam hati anak-anak”, karena sering justru waktu kita mendidik anak-anak,
kita membangkitkan amarah anak-anak kita. Bagaimana supaya tidak membangkitkan
amarah anak-anak? Ada kata,”Tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasehat
Tuhan”.
Ajaran
(paedia dalam bahasa Yunani) mempunyai pengertian “mengingatkan, menasehati”
tetapi juga ada unsur “menghukum, mendisiplinkan”. Jadi ada 2 pengertian dalam
ajaran yaitu yang baik, “mengingatkan, mengajarkan dan menasehatkan” tetapi ada
juga pengertian di kata itu adalah menghukum bila melakukan kesalahan. Waktu
dikatakan nasehat Tuhan (nutisia dalam bahasa Yunani) = memberikan nutrisi
kepada anak-anak untuk bertumbuh dalam nutrisi Tuhan.
Waktu anak-anak masih kecil (waktu
baru lahir, bayi), kita memberikan makanan seperti bubur atau susu. Waktu berumur
1 tahun diberi makanan lebih keras sedikit. Waktu lebih besar lagi makanannya
berbeda. Bayangkan waktu sudah berumur 10 tahun, dikasih bubur yang sama
seperti untuk bayi umur 1 tahun, maka makanan itu akan dilepehkan karena tidak
cocok. Ini memberikan ilustrasi bahwa seringkali orang tua mendidik anak, waktu
sudah berusia 10 tahun atau 15 tahun masih mendidik dengan cara yang sama seperti
anak-anak itu masih kecil sehingga anak-anak itu melepehnya. Anak-anak tidak
suka makanan ini. Orang tua berpikir mengapa ,”Kok tidak suka sih? Anak harus
makan makanan ini. Ini makanan yang baik!” Tetapi sebetulnya sudah tidak cocok
dengan makanan itu, maka anak-anak bangkit amarahnya. Orang tua berpikir ,”Kok
diajarin mengapa marah-marah?” sebetulnya makanannya yang tidak cocok. Jadi waktu
sering terjadi di dalam membesarkan anak terjadi gap. Waktu anak-anak
tidak mengerti, orang tua menjadi lebih tidak mengerti.
4 tahap dalam
mendidik anak
(Sumber: kurikulum Growing
Kids God’s Way, Pastor Garry Ezzo & Anne Marie Ezzo, 2003)
1. Disiplin
(umur 0-5 tahun)
Dalam tahap ini,orang tua harus mendisiplin anak. Anak harus taat. Orang
tua melatih dan mengajar dia untuk taat. Karena kalau ia tidak diajar untuk
taat maka akan bergeser ke umur 6-10 tahun (waktu anak berumur 6-10 tahun tidak
taat, orang tua jadi lebih susah).
2. Training
(umur 6-12 tahun)
Orang tua melatih anak-anaknya terus. Kalau tahap 1=disiplin, di tahap
kedua ini semua dikasih tahu. Misal : pakailah baju ini kalau ke gereja pakai
baju ini, jangan disuruh pilih-pilih, nanti orang tua marah. Mau pilih baju
apa, pilihnya lama sehingga orang tua merasa tidak sabar. Itu salahnya orang
tua. Kalau makan jangan anak yang umur 5 tahun di suruh pilih. Mau pilih apa? Waktu
dijawab,”Mau jus mangga!”. Orang tua menjawab,”Cari yang tidak ada” dan menjadi
marah. Ini yang salah adalah orang yang bertanya. Waktu umur 10-12 tahun ,
sudah boleh lebih memilih. Kita berkata,”harus makan sayur” dia boleh memilih
sayurnya. Ada yang suka buncis, kangkung dan sebagainya. Ini sudah di periode
yang berbeda, kita melatih anak-anak. Tetapi waktu training, sebagai pelatih
kita berada di dalam lapangan, bersama-sama dengan anak-anak. Kalau olah raga,
saat menandang bila salah, maka diberikan contoh.
3. Coaching
(umur 13-18 tahun)
Pada tahap coaching, orang tua ada di luar lapangan. Dalam tahap
ini , kalau coach masuk ke lapangan saat pertandingan , maka akan
diberikan kartu merah (tidak boleh). Banyak orang tua yang anak-anaknya berumur
13-18 tahun sering masuk ke lapangan. Masuknya melalui handphone diperiksa.
Itu membuat anak-anaknya marah. Padahal dikatakan, “jangan bangkitkan amarah”. Itu
masa coaching, sudah di luar. Sekali-kali masuk timeout untuk
mengingatkan caranya.
Ada seorang anak umur 10 tahun duduk di meja makan. Saya kenal anak dan
ibunya dan duduk di depan mereka. Sang anak suatu kali berkata, “Mi, minum!”. Lalu
maminya mengambil minuman dan sang anak minum. Saya bertanya kepada maminya,”Dia
umur berapa?” dijawab,”10 tahun,Pak”. Lalu saya bertanya ke anaknya,”Kamu bisa ambil
minum sendiri tidak?” DIjawab sang anak,”Bisa Pak” “Kamu ambil sendiri!”. Orang
tua seringkali di masa ini berlanjut ke masa sana sehingga anaknya tidak berkembang.
Orang tua sering lupa (kebablasan). Yang sudah biasa di umur sebelumnya terbawa
ke umur berikutnya. Jadi sudah tidak cocok sebetulnya. Kalau biasa umur 4 tahun
tiap hari dikatakan, “Mandi! Makan! Sekarang tidur!”. Pada umur 11 atau 12 tahun
masih banyak yang melakukan hal itu. Kalau sudah berumur 12 tahun, masih tiap
hari dikatakan,”Mandi! Makan! Belajar! Tidur! Bangun! Gosok gigi!” sehingga membuat marah anak-anak. Orang tuanya
berkata,”Kalau tidak digitukan, tidak dilakukan!” Justru dengan digitukan, makin
tidak dilakukan. Karena dia tidak dibiarkan tumbuh menjadi besar. Kalau umur 12
tahun, tiap hari masih diingatkan, coba hitung dia sudah berapa kali sepanjang umur
hidupnya mendengarnya? Itu membuat telinga dan hatinya makin tebal dan membangkitkan
amarah dalam hati anak-anak. Jadi kita tidak masukkan ajaran dan nasehat Tuhan.
Maka waktu dari umur 8 pre-teen (pra remaja), otoritas kita harus makin
turun, jangan perintah terus. Kalau umur 12 tahun masih diperintah setiap hari,
garis otoritas manteng (tetap ada). Kita urusi terus perilakunya. Sudah umur 11
tahun ditanya,”Sudah cuci tangan belum?” Dijawab,”Sudah Mi!”. Waktu mulai pegang
sendok di meja makan, dikomentari,”Pegangnya jangan seperi itu!” lalu
diperbaiki cara memegangnya. Waktu mulai makan dikomentari, “Jangan mengunyah
seperti itu!”. Seharusnya gaya makan setiap orang berbeda-beda. Ada yang makan
sup dulu pertama kali tetapi ada juga mencampur semuanya. Namun maminya yang punya
gaya berbeda berkata,”Jangan dicampur-campur begitu!” Anaknya menjawab,“Mi,
saya suka seperti itu” “Iya tapi jangan begitu makannya!” jawab maminya. Semua
perilaku diurus. Ada anak yang gaya belajarnya audible jadi gaya
belajarnya harus pakai musik. Musikus memang seperti itu. Makin ada suara musik,
lamat-lamat semakin masuk belajarnya. Maminya yang bukan orang yang audio kemudian
memberikan nasehat,”Kalau belajar jangan pakai musik!”. Hal ini membuat marah,
karena ini sebetulnya gaya yang berbeda. Ini bukan dosa kalau belajar pakai musik.
Tetapi buat mami itu adalah dosa. Semua kegiatan bahkan sampai pencet odol, pakai sabun, urusannya
banyak sekali yang bisa membuat marah. Sehingga
pada waktu orang tua mau masukkan didikan, ajaran dan nasehat Tuhan, hati dan telinga anaknya sudah
tebal sehingga tidak masuk! Sedangkan pengaruh itu harus semakin besar. Itu mengenai
nilai-nilai bersama. Orang tua menanamkan nilai. Waktu kecil tidak menanamkan
nilai, padahal itu harus.
Waktu kecil saat ditanya, “Mengapa kamu begini?” dijawab dengan
bahasanya,”Mami bilangnya begitu”. Buat dia sebaiknya seperti itu (sabda saja
yang jelas). Tetapi masa umur 12 ditanya hal yang sama , mengherankan kalau
masih menjawab,”Mami bilangnya begitu” Hal ini berarti anak ini tidak bertumbuh!
Maka ada masa transisi di situ. Umur 12 tahun itu adalah masa transisi. Orang
tua harus mentransisikan tanggung jawab dan nilai supaya itu menjadi nilai dari
si anak. Umur 12 tahun, Tuhan Yesus mulai mengajar di Bait Allah. Karena bagi
orang Ibrani tidak ada masa remaja. Umur 12 tahun dia akan diupacarakan (mitzvah)
dari anak-anak pindah menjadi orang dewasa. Maka Daniel, Sadrakh, Mesakh dan Abednego,
pada umur sekitar 13-15 tahun seperti orang dewasa, masuk universitas di
istana. Mereka sudah menjadi orang dewasa, diperlakukan secara dewasa, bisa
mengajukan usul dengan cara yang baik. Itu namanya pola hubungan dewasa. Sejak
umur 8 tahun dan seterusnya, orang tua harus memperlakukan anak semakin dewasa.
Apa maksudnya? Jangan diingatkan untuk semua hal. “Kalau dia ketinggalan bukunya
bagaimana?” Biarkan saja, karena ia tidak
akan mati. Paling dimarahin dan dihukum gurunya. Saya banyak mendampingi
sekolah-sekolah dan kampus-kampus Kristen dalam pekerjaan saya. Banyak sekali orang
tua yang menyusulkan buku dan bekal saat anak-anaknya ketinggalan. Jadi si anak
selalu tahu kalau dia melakukan kesalahan , ada orang tua yang akan mengamankan
jalan itu dan ia tidak bertumbuh jadi dewasa. Jadi jangan tiap hari diingatkan
dan dikoreksi terus perilakunya, tetapi tanamkanlah nilai!
Ada simptom (gejala) yang dikenal dengan nama puncak gunung es. Gunung
es (iceberg) adalah suatu bongkahan besar es air tawar yang telah
terpecah dari gletser atau ice shelf dan mengambang di perairan terbuka.
Karena densitas es (920 kg/m3) lebih rendah dari air laut (1025 kg/m3),
umumnya, sekitar 90% volume gunung es berada di bawah permukaan laut, dan
bentuk bagian tersebut sulit diperkirakan hanya berdasarkan apa yang tampak di
permukaan. Hal ini memunculkan suatu istilah puncak gunung es (tip of the
iceberg) yang biasanya diterapkan pada suatu masalah atau kesulitan untuk
menggambarkan bahwa masalah yang tampak hanyalah sebagian kecil dari masalah
yang lebih besar. Gunung yang terlihat bagian atas air hanya 10% dan bawahnya
besar sekali. Pemberontakan remaja, teknologi, gawai (gadget) atau generation
gap, dari dulu sudah ada, itu hanyalah puncak gunung es (topping). Jangan
itu yang diurus terus. Tetapi kita harus melihat bawahnya yaitu apa akar
penyebab kemarahan anak yang bikin jadi tidak nyambung.
Akar Penyebab “Kemarahan” Anak
(yang bikin jadi ‘gak nyambung dengan ortu)
-
Otoritas yang tinggi terus
-
Perilaku yang terus dikoreksi
-
Nilai-nilai tidak ditanamkan; jadi nilai berbeda
antara ortu dengan remaja
-
Remaja terus diperlakukan seperti anak kecil.
Kalau mau berangkat ke gereja, diingatkan,”Cepat ya. Cepat lho. Ini
sudah telat” itu perilaku. Harusnya ditanamkan nilai, “Kita mau ke rumah Tuhan.
Jadi datang sebelum waktunya karena kita menghormati Tuhan!” Itulah nilai (values).
Jarak rumah kami ke gereja 15 menit. Dari kecil saya tanamkan ke anak-anak, “Kita
mau ke rumah Tuhan, kita harus menghormati Tuhan. Di sini meeting point-nya.
Kita berdoa lalu berangkat”. Hal ini untuk menghormati Tuhan walau mungkin ada
insiden, tapi tidak setiap minggu datang terlambat. Itu nilainya keluarga kita
apa? Kalau dikatakan,”Oh belum khotbah, tidak apa-apa. Kan Tuhan belum bicara?”
Lho? Kita kan mau memuji dan menghormati Tuhan. Ada juga remaja yang terus diperlakukan
seperti anak kecil. Itu “bawah”nya yang membuat marah anak-anak sehingga
terjadi gap sehingga dikatakan,”Papa-mama kenapa tidak mengerti aku ya?”
Karena hal-hal seperti ini semuanya. Jadi bagaimana?
Jalan
keluar : perbaiki / membangun hubungan
Kalau ada remaja bingung akan identitas remaja yang mau bebas, kena
pengaruh negatif teman, penuh kemarahan, berontak, adu kuat dengan orang tua
dll itu bukan akar masalah. Itu hanya gejala ‘penyakit’-nya (simpton). Jadi
jangan cari obat untuk hal-hal ini. Kalau orang pusing lalu dikasih Panadol
terus, itu gejala pusingnya sakit, di ujung syarafnya yang diperbaiki, tetapi
akarnya apa? Kalau pusing bisa macam-macam akarnya. Jadi jalan keluarnya : memperbaiki
dan membangun hubungan. Itu dua belah pihak baik dari orang tua maupun anak-anak.
Tadi malam ada kelas juga di
gereja saya. Orang tua berkata,”Iya Pak. Anak-anak sekarang jawabnya seperti
itu sih.” Jawabnya seperti apa? “Tidak tahu”,”Sudah”,”Iya”, jawaban yang singkat-singkat.
Jawaban anak remaja/pemuda yang seperti itu tidak membangun hubungan. Cobalah
bila punya pacar lalu menjawab pertanyaan pacar seperti itu, maka akan
diputusin. Contoh : “Kamu kemana?” dijawab”Ke sana”. “Di mana tadi di sana?”
dijawab “Ya begitulah”. “ Jadi kamu nanti mau bagaimana?” dijawab “Ya, belum
tahu”. Mau jawab seperti itu dengan pacar? Pasti tidak kan? Maka dengan orang
tua yang sudah membesarkan, jawablah kalimat yang lebih panjang. Jangan
menjawab dengan kalimat seperti pesan di WA (hanya pasang emoticon).
Kalau face to face dengan orang tua, masa jawabnya seperti emoticon?
Harusnya tidak seperti itu untuk membangun hubungan. Orang tua coba tanya, “Mengapa
anak-anaknya menjawab seperti itu?” Karena orang tua nya juga membuat marah anaknya
terus. Anak sudah berumur 20 tahun ditanya,”Sudah mandi belum?” Saya juga terkadang
lupa dan bertanya ke istri,”Sudah mandi belum?” Itu tidak tepat dan pertanyaan
seperti itu menyebalkan. Jadi jangan urus hal-hal ini, perbaiki dan membangun hubungan.
Bagaimana caranya?
4. Sahabat
(umur lebih dari 18 tahun)
Membangun hubungan dengan anak.
Kiat Membangun Hubungan yang Dewasa dengan Anak Remaja
Bagaimana bisa mendidik mereka dalam ajaran dan nasehat Tuhan
:
a. Perlakukan
anak (remaja) sebagai orang dewasa.
Sebagai
orang dewasa, tiap ada apa-apa tidak di-omong-in. Di kantor, bila tiap kali
atasan bertanya,”Eh sudah buat ini belum? Eh sudah selesai belum? Eh nanti kapan
selesainya?” “Eh kapan dikasih ke saya?” Ini bos atau apa sih? Menyebalkan. Kalau
memperlakukan orang dewasa tidak seperti itu. Tidak usah disuruh-suruh.
b. Terima
mereka dalam kasih.
Mereka melakukan
kesalahan dan kebodohan harus diterima dalam kasih.
c. Minimalkan
omelan dan koreksi perilaku.
Di
keluarga-keluarga Kristen , omelan itu harus minim. Makin banyak omelan, makin
tidak sehat. Itulah yang dikatakan Efesus 6:4 (jangan bangkitkan amarah dalam
hati anak-anakmu).
d. Transisikan
tanggung jawab.
Saat anak
sudah umur 10 tahun, maka minta dia ambil minuman sendiri. Zaman sekarang , agar
anak dapat angka bagus di sekolah, orang tua sudah menyiapkan semua. Tas,
makanan dan lain-lain disiapkan yang terbaik, anak-anak jadi tidak berpartisipasi
dalam pekerjaan rumah. Untuk remaja-remaja kehidupan anda bukan pelajaran saja.
Kalau anda hanya mengisi hidup dengan belajar dan banyak orang tua yang
pokoknya menyiapkan anaknya supaya belajar saja dan supaya angkanya bagus, waspadalah.
Bulan lalu, kami bertemu dengan seorang tua yang anaknya baru lulus kuliah. Orang
tua tersebut berkata,”Ternyata, anak saya lulusnya cumlaude. Dia tidak
omong-omong. Saya tahunya baru waktu wisuda itu. Ternyata cum-laude!”
Kami pun mengucapkan selamat. Orang tua tersebut tidak tahu, zaman sekarang
dari satu angkutan yang mendapat cum-laude lebih dari 50 %!. Dalam
pelatihan membina anak-anak muda, banyak sekali yang mendapat cum-laude.
Zaman dahulu kalau dapat cum-laude terhormat, tetapi zaman sekarang
biasa. Tetapi anak mahasiswa yang mendapat cum-laude itu saat masuk dunia kerja, bengong, karena tidak
tahu dunia kerja itu bagaimana dan tidak berani bertanya ke atasan. Kalau
dikasih tugas, merasa bingung dan panik karena tidak biasa kerja! Itu harus
dibiasakan di rumah. Apa itu kerja? Sapu , ngepel, setrika, siram tanaman, cuci baju, cuci piring dll. Karena mental anak-anak
sekarang, semua yang seperti itu adalah bagian-nya pembantu! Zaman sekarang anak-anak teriakan-nya sakti, “Mbak!!” lalu datanglah apa yang dikehendaki.
Itu mujizat tapi nyata.
Saya melatih anak-anak kami sejak kecil, saya ajarkan cara menyapu
(saya juga dulu dilatih oleh ayah saya), saya ajarkan teknik mengepel (arahnya
kebalikan dengan nyapu), mengajarkan cuci piring dan mbak pk 21 stop diminta nonton
dan nikmati dangdut, agar senang hatinya. Anak-anak tidak boleh menyuruh dia lagi.
Jadi transisikan tanggung jawab itu, agar kita siapkan anak-anak itu untuk hidup,
bukan supaya dia nanti bagus angkanya. Karena angka itu hanya sebagian kecil
dari hidup, jangan itu yang diutamakan. Jadi transisikan tanggung jawab. Ada
anak mahasiswa yang terus disiapkan semuanya, maka ia tidak siap menjadi manusia.
Ada banyak orang tua yang bila anaknya mengalami
sesuatu mau datang sehingga guru-guru menjadi takut. Saat saya menjadi
konselor, guru ketakutan,”Ini orang tua sudah mau datang. Bagaimana jawabannya?”
Saya bertanya,”Apa masalahnya?” Dia menjawab,”Anaknya kena masalah di sekolah,
orang tua yang maju”. Guru jadi takut karena saat bermain sang anak kena ayunan
akibat ulah temannya. Orang tua-nya sudah mau datang dan mau berantem, orang
tua dengan orang tua. Saya membesarkan
hati guru tersebut,“Hayo, anda guru di sekolah Kristen kan? Filipi 4:6-7
berbunyi apa? Janganlah hendaknya
kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal
keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan dengan ucapan syukur. Damai sejahtera Allah, yang melampaui segala
akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. Kamu sudah utarakan
kekuatiranmu kepada Tuhan?” “Belum Pak! Saya takut” jawabnya. “Hayo serahkan
sekarang. Orang tua tidak akan berantem!” Lalu saya kasih tahu cara-caranya. Kemudian
saya datang lagi karena mau dengar kelanjutannya,”Berantem tidak? Bagus tidak jadinya?”
tanya saya. “Tidak Pak!” jawabnya. ‘Siapa yang bekerja? Roh Kudus! Karena anda
sudah menyerahkan kekuatiranmu kepada Tuhan” jawab saya. Kalau anak-anak
mengalami apa-apa di sekolah seperti di Kalam Kudus, maka jangan maju dan komplain ke kepala sekolah dan guru dengan
marah-marah. Jangan jadi tukang protes. Biarkan mereka selesaikan. Ada guru bimbingan
konseling di sana, mereka bisa selesaikan. Perbanyak waktu untuk obrol dengan anak-anak
remajamu dan keluarga. Makan bersama itu perlu! Terserah, paling tidak sekali sehari
makan bersama sebagai satu keluarga, Dan di meja makan tidak ada koreksi
apapun, buatlah itu jadi sesuatu yang menyenangkan.
e.
Perbanyak waktu untuk ngobrol dengan remaja
Ada businesman
yang sukses sekali . Perusahaannya berkembang dan sudah ada 300 karyawan. Waktu
ia mendengar pengajaran-pengajaran , ia berkata,”Saya harus dedikasikan satu
malam untuk anak-anak saya” dan ia umumkan sehingga terjadilah itu. Setiap Kamis
malam didedikasikan waktu untuk keluarga. Maka anak-anak merasa senang sekali.
Hubungan dia dengan anak-anak menjadi dekat sekali. Terjadi hubungan dewasa. Jadi
orang tua kurangilah omelan. Jangan koreksi-koreksi perilaku, tambah waktu
bersama untuk tanamkan nilai-nilai supaya bisa masuk didikan , dalam ajaran dan
nasehat Tuhan.
Penutup
Kristus
datang kepada kita, pada waktu kita masih berdosa. Dia Tuhan Allah yang
memprakarsai itu. Waktu ada gap yang besar sekali antara kita dengan
Dia, Dia yang datang memperkecil gap itu.,
Dia menyelamatkan kita dan mengorbankan diriNya di kayu salib supaya kita bisa
menjadi anak-anak Allah dan diselamatkan. Kita sudah punya jaminan hidup yang
kekal bersama Allah di sorga. Hendaklah kita menciptakan sorga-sorga di dunia
ini dalam keluarga kita dan untuk itu perlu
dari orang tua terlebih dahulu untuk membangun hubungan pada waktu remaja
(anak-anak) masih banyak melakukan kesalahan, kita yang terlebih dahulu datang kepada anak-anak itu. Kita memaafkan dan menerima
dalam kasih. Itulah tandanya, Allah membuat orang tua untuk mengubah segala
sesuatunya, membuat rumah lebih kondusif dan nyaman untuk anak-anak tumbuh dan
nanti pada waktu masukan firman Tuhan , nasehat dan ajaran firman Tuhan, maka
mereka menerimanya dengan baik.