Pdt. Nindyo Sasongko
Lukas 2:25-35
25 Adalah di Yerusalem
seorang bernama Simeon. Ia seorang yang benar dan saleh yang menantikan
penghiburan bagi Israel. Roh Kudus ada di atasnya,
26 dan kepadanya telah dinyatakan oleh Roh Kudus,
bahwa ia tidak akan mati sebelum ia melihat Mesias, yaitu Dia yang diurapi
Tuhan.
27 Ia datang ke Bait Allah oleh Roh Kudus.
Ketika Yesus, Anak itu, dibawa masuk oleh orang tua-Nya untuk melakukan
kepada-Nya apa yang ditentukan hukum Taurat,
28 ia menyambut Anak itu dan menatang-Nya sambil
memuji Allah, katanya:
29 "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu
ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu,
30 sebab mataku telah melihat keselamatan yang
dari pada-Mu,
31 yang telah Engkau sediakan di hadapan segala
bangsa,
32 yaitu terang yang menjadi penyataan bagi
bangsa-bangsa lain dan menjadi kemuliaan bagi umat-Mu, Israel."
33 Dan bapa serta ibu-Nya amat heran akan segala
apa yang dikatakan tentang Dia.
34 Lalu Simeon memberkati mereka dan berkata
kepada Maria, ibu Anak itu: "Sesungguhnya Anak ini ditentukan untuk
menjatuhkan atau membangkitkan banyak orang di Israel dan untuk menjadi suatu
tanda yang menimbulkan perbantahan
35 — dan suatu pedang akan menembus
jiwamu sendiri — , supaya menjadi nyata pikiran hati banyak
orang."
Roma 8:32 Ia, yang tidak
menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya bagi kita semua,
bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu kepada kita
bersama-sama dengan Dia?
Pendahuluan
Saya pernah tinggal setahun sebagai seorang misionaris di Ethiopia.
Ethiopia adalah sebuah negera di Afrika.
Tidak pernah terlintas dalam benak sebelumnya bahwa saya akan tinggal di sana,
karena saat mendengar nama Ethiopia yang terbayang adalah kemiskinan, kelaparan,
kegersangan dan kekurangan lainnya. Pada awal 1980-an, siaran TV banyak menayangkan
bencana kelaparan yang maha dahsyat dan kematian yang melanda Ethiopia. Pada
tahun 2009 saya tinggal di Addis Ababa (ibukota Ethiopia) di bawah naungan
suatu badan misi. Saya tinggal dengan jemaat yang sangat miskin. Gereja yang
saya layani belum memiliki gedung
permanen dan masih menggunakan fasilitas yang sangat sederhana. Bangunannya hanya
ditutup dengan kain terpal atau karung beras saja dan tiang-tiangnya masih
dibuat dari kayu. Ubinnya belum permanen dan hanya berupa tegel yang ditata berdempetan dan
dialasi pasir (belum disemen karena gedungnya masih sementara). Namun yang luar
biasa, semangat dari para jemaat di sana. Setiap Minggu jemaat di sana
beribadah selama 3 jam! Sekitar 1 jam digunakan untuk puji-pujian, 1 jam untuk penyampaian
firman Tuhan dan 1 jam lagi untuk pendalaman Alkitab. Pendalaman Alkitab (bible study) diadakan 1 jam sebelum
ibadah yaitu pada pk 9 sedangkan ibadah dimulai pk 10. Yang menarik sebelum pk
9 , bahkan dari pk 7 ada jemaat yang sudah datang. Mereka bukan orang terkenal yang
datang dengan mobil mewah melainkan mereka sangat sederhana dan miskin. Mereka adalah
orang-orang tua atau ibu yang sudah senior dan mereka datang dari tempat yang jauh.
Mereka kebanyakan tidak memiliki cukup uang untuk naik angkot (di sana dikenal
sebagai taxi). Karena tidak punya uang sekitar Rp 4.000 maka mereka harus berjalan
kaki. Sebelum pendeta datang, mereka telah datang untuk bersujud dan berdoa. Pk
8.30 -9.30 jemaat berdatangan dan pk 10 ibadah di mulai . Suatu kali saya
bersama dengan ketua majelis datang lebih pagi yakni sekitar pk 8.30 sebelum pendalaman
Alkitab (bible study) dimulai. Saat
itu kami bertemu dengan seorang ibu tua . Dia datang menghampiri saya dan
mencium (di sana hal ini merupakan simbul bahwa mereka menerima hamba Tuhan)
dan berkata, “Pak Pendeta dan Bapak majelis , jangan pernah melupakan bahwa
kekuatan gereja ini bukan hanya dari orang-orang yang punya uang atau harta dan
bukan hanya orang-orang yang punya posisi yang baik di gereja. Tetapi lihat dan
kenang selalu bahwa kekuatan gereja ini ada di lutut orang-orang tua yang berlutut dan berdoa. Jangan pernah
lupakan itu!” Perkataannya saya ingat dan terbukti hasilnya. Pada Juni 2010, 1
bulan sebelum saya tinggalkan gereja di sana, gedung gereja sudah tidak cukup
menampung jemaat yang hadir. Dari 250 orang yang beribadah, setahun kemudian
sudah bertambah menjadi 350-400 jiwa yang datang. Di mana letak kekuatan
gereja?
Menghargai Orang-Orang
Marjinal (Terabaikan)
Pada saat membaca
Lukas 2:25-35 kita akan menemukan seseorang yang bernama Simeon. Ia sudah
lanjut usia dan tengah menantikan penggenapan janji Tuhan. Ada sebuah legenda
yang tidak terdapat di Alkitab tapi patut direnungkan tentang Simeon sebagai pengganti
Zakharia, ayah Yohanes Pembaptis. Dikisahkan Zakharia tidak melanjutkan
tugasnya karena terbunuh di tangan punggawa Raja Herodes dan Simeon terpilih menjadi
imam dan tinggal di Bait Allah menggantikannya. Ada juga legenda kedua yang
mengisahkan Simeon sebagai salah satu dari 70 orang yang menerjemahkan Alkitab dari
Bahasa Ibrani ke Bahasa Yunani. Saat ia menerjemahkan firman Tuhan dan sampai pada
Yesaya 7:14 yang mengatakan Sebab itu
Tuhan sendirilah yang akan memberikan kepadamu suatu pertanda: Sesungguhnya,
seorang perempuan muda mengandung dan akan melahirkan seorang anak laki-laki,
dan ia akan menamakan Dia Imanuel. Pada bagian di mana LAI menerjemahkannya
sebagai perempuan muda, dalam bahasa Yunani kata “perempuan muda” ini adalah
gadis atau anak dara (virgin) alias seorang perempuan yang belum dijamah
laki-laki. Waktu Simeon menerjemahkan bagian ini kata aslinya bukan anak dara
tetapi perempuan muda. Tetapi kenapa diterjemahkan di sini sebagai ‘anak dara’
(anak perempuan yang belum terjamah laki-laki)? Ia siap menghapusnya, namun konon
malaikat menghardik dan memintanya agar jangan dihapus karena ada rencana Allah
: “Engkau sendiri akan melihat tanda (bukti)
dari kata-kata itu.” Konon menurut legenda ini Simeon kemudian hidup 360 tahun lagi
sampai ia melihat buktinya saat ia berjumpa dengan Kristus. Ini hanya legenda
dan tidak perlu dipercayai tetapi ada kebenaran dibaliknya yakni ada
penghargaan terhadap orang tua (mereka yang sudah sepuh). Ada sebuah
penghargaan bagi banyak orang yang tidak ‘dianggap lagi atau bagi masyarakat terpinggirkan.
Hal ini berbeda dengan
tema-tema yang diusung oleh film sinetron pada stasiun-stasiun TV di Indonesia.
Dalam film sinetron yang banyak ditampilkan adalah pemeran (artis) muda di mana
mereka berpacaran, putus lalu cari lagi pacar yang baru serta kisah tentang memadu
kasih antara yang kaya dan miskin. Yang dijual oleh media di masyarakat adalah
anak-anak muda. Demikian pula dengan iklan kosmetik yang menampilkan
orang-orang muda. Sedangkan tokoh dan pemeran orang (golongan) tua seolah –olah
dipinggirkan dan tidak dianggap lagi. Mari menjelang natal dan tutup tahun,
saya mengajak setiap kita untuk menyadari apakah selama ini kita telah meninggalkan
dan melupakan orang yang disisihkan di masyarakat. Apakah gereja Tuhan juga demikian?
Saya suka dengan bagian ini yakni ketika membaca Lukas yang penuh gambaran tentang
orang-orang yang tidak berada di tempat yang hebat, bukan Raja Herodes, para
imam, para orang muda yang hebat tetapi orang-orang yang terpinggirkan. Hal ini
dapat dilihat pada pasal 2 di mana ‘konser pujian’ malaikat yang maha besar
digelar bukan di gedung konser yang luar biasa megah melainkan di padang gurun
Efrata dan di hadapan orang-orang pinggiran yaitu para gembala. Pada kitab
Lukas ini, kita juga membaca ada seorang perempuan yang dipilih jadi ibunda Yesus
Kristus yang berasal dari dusun dan tidak terpandang (tidak pernah dimasukkan
di sejarah waktu itu) yaitu Maria yang usianya masih muda. Maria bukanlah seorang
yang hebat. Kita juga melihat Zakharia dan Elizabet (Lukas 1) yang mandul ,
menanggung aib bertahun-tahun dan mendapat janji dari Tuhan. Mereka mendapat
berkat yang hebat dari Tuhan walau dilupakan oleh manusia. Kalau dilanjutkan,
kita akan menemukan nama Nabiah Hanna (Lukas 2:36), seorang perempuan tua renta yang baik. Gereja kiranya
tidak melupakan orang tua.
Mari kita kembali melihat
seorang tua bernama Simeon yang tinggal lama sekali di Yerusalem dan menantikan
janji Allah dan menunggu kehadiran Sang Mesias. Ia sudah diberitahu oleh Roh Kudus
bahwa ia akan melihat Allah. Kemudian ia menyambut Anak Itu, membopong dalam
pelukannya dan berseru dari mulutnya melalui ucapan lagu yang istimewa, "Sekarang, Tuhan, biarkanlah hamba-Mu
ini pergi dalam damai sejahtera, sesuai dengan firman-Mu (Lukas 2:29) atau
dalam bahasa Latinnya Nunc dimittis
servum tuum, Domine,secundum verbum tuum in pace, quia viderunt oculi mei. Ia
siap sekarang melihat tahta dan kemuliaan Allah. Ia siap memuliakan karena
matanya telah melihat keselamatan. Orang yang digeser di masyarakat ini melihat
keselamatan dari Tuhan. Bertahun-tahun ia sudah menantikannya. Bagaimana dengan
kita? Apakah yang menjadi penantian kita? Minggu ini adalah minggu penantian (minggu
kedatangan Tuhan yang keempat atau minggu adven terakhir). Gereja Tuhan telah diajak
untuk menantikan Tuhan selama 4 minggu. Jemaat diajak menghadapinya kembali, “Di
manakah pengharapan itu di tengah hidup tanpa harapan?.” “Di mana cinta kasih
itu di tengah ketiadaan cinta, sukacita, damai sejahtera?” Yang terjadi hanyalah
peperangan, musibah dan dunia yang carut marut. Mungkin saat ini kita merasa was-was
sewaktu meninggalkan tahun 2016 karena
kita tidak tahu apa yang akan terjadi terhadap kita. Mungkin masih tersembunyi
ujung jalan yang akan kita tempuh. Banyak orang Kristen yang tidak bisa merayakan
Natal seperti kita, bukan hanya jemaat di Ethiopia. Bayangkan anak-anak yang
kehilangan orang tua akibat pemboman di Aleppo (Suriah). Anak-anak yang tidak
bisa duduk di ruang ibadah bersama orang yang mengasihi dan dikasihi mereka.
Bagaimana dengan orang di Pidie Aceh? Saat ada gempa 6,4 skala Richter memporakporandakan di sana,
ada banyak orang Kristen yang tidak bisa duduk dan menikmati perjamuan serta pesta
Natal yang megah di gedung bagus seperti kita. Juga bayangkan dalam hati ketika
kita mengingat perempuan-perempuan muda dari bagian Timur Indonesia yang dijual
dan diberi janji muluk bahwa mereka akan mendapat uang yang banyak dengan
bekerja di luar negeri. 2 hari yang lalu saya duduk bersama seorang teman dari
NTT. Ia banyak bekerja untuk advokasi perempuan muda di sana. Sampai di
penghujung tahun ini, ada 54 perempuan muda Indonesia dari NTT yang pergi
dengan sukacita dengan penuh pengharapan namun pulang sebagai jenazah. Sebagian
diperlakukan dengan tidak adil. Mereka kehilangan harapan. Bukan hanya
dianiaya, ketika meninggal organ tubuh mereka dijual! Inilah dunia di mana tempat
kita tinggal. Tidak perlu jauh-jauh, adakah orang di keluarga atau tetangga
yang kita lupakan? Berapa banyak orang yang seperti Simeon yang telah lama
menantikan kedatangan Mesias dan hanya
bisa mengerang, menanti dan akhirnya kecewa? Simeon akhirnya mendapatkan janji
Tuhan. Simeon mendapat hak istimewa dari Tuhan. Bagi Simeon bayi kecil di
gendongannya bukanlah bayi biasa. Roma
8:32 Ia, yang tidak menyayangkan Anak-Nya sendiri, tetapi yang menyerahkan-Nya
bagi kita semua, bagaimanakah mungkin Ia tidak mengaruniakan segala sesuatu
kepada kita bersama-sama dengan Dia? Dan dilanjutkan pada Roma 8:35 Siapakah yang akan memisahkan
kita dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau
kelaparan atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Simeon sudah
melihat keselamatan dan rela melepaskan semua itu.
Bagaimana kita mengisi
Natal dan tahun baru ini? Saya bersyukur pernah tinggal di Ethiopia. Suasana Natal
di sini berbeda dengan di sana. Di sini tanggal untuk memperingati Natal dekat
dengan tahun baru. Di Ethiopia, Natal jatuh tanggal 7 Januari (setelah tahun
baru). Karena sistem penanggalan di Ethiopia berbeda dengan kita. Kita sekarang
sudah hampir memasuki tahun 2017 , sedangkan
di sana masih 2009. Maka bila ada yang khawatir usia bertambah bisa pergi ke
sana karena 8 tahun lebih muda. Penanggalannya berbeda karena tahun baru di
Ethiopia jatuhnya tanggal 11 September. Setelah itu baru Natal 7 Januari. Saya
memaknai Natal yang berbeda dengan kita. Pada perayaan Natal di kita , begitu
banyak uang yang dihamburkan dan disia-siakan, sedangkan tahun barunya di sana
jauh (berjarak 3 bulan lebih). Saat malam natal di sana, jemaat berkumpul untuk
mengadakan ibadah dari pk 24 – pk 03 pagi. Setelah pk 3 mereka melayani satu
dengan yang lain dengan saling mencuci kaki. Di sini ada tindakan yang luar
biasa. Hakikat Natal di Ethiopia adalah saling melayani. Maka melalui renungan
Lukas 2:25-35 saya mengajak agar kita memaknai Natal secara berbeda : kepada
siapa saya harus melayani? Siapa yang telah saya lupakan dan belum layani? Saya
mau pergi dan melayani mereka. Simeon mendapat anugerah besar dari Allah. Dari tahun
2003-2005 saya mengucap syukur karena diberi kesempatan untuk melayani paduan suara
kaum tunanetra di Semarang . Saya menjadi
pelatihnya. Itu pelayanan yang luar biasa agar saya punya memiliki hati
gembala. Saya justru banyak dilayani oleh anggota paduan suara Efrata di
Semarang. Tiap Jumat semua anggota paduan suara berkumpul. Ada saja anggota yang
membagikan kisah sukacita maupun sedih. Kalau saya mengeluh dan merasa tidak
ada pengharapan dan pertolongan mereka hadirkan melalui paduan suara Efrata. Bagaimana
kita pulang menjelang Natal di tahun 2016 ini?
Hidup kita sebenarnya
hanya sementara saja. Kita punya kelengkapan hidup yang hebat dan normal, namun
itu hanya sementara. Sewaktu kecil, kita menjadi orang yang ‘disable’ dan membutuhkan orang lain
untuk memapah, menolong dan membesarkan kita. Sebentar lagi sebagian dari kita memasuki
usia seniordan memasuki era di mana kita akan mengalami permanent disable. Itu berarti kemampuan dan normalitas saya
sebentar lagi akan hilang dan juga kita kehilangan orang-orang yang kita kasihi.
Sebentar lagi saya kehilangan pandangan saya dan kabur. Kita tidak bisa lagi berjalan secepat
sekarang dan suka sakit-sakitan. Kapan waktunya? Saya tidak tahu. Menghayati
kehidupan seperti ini dan berefleksi seperti Simeon : Apa yang sudah kita
kerjakan untuk orang yang sudah lama dilupakan banyak orang? Marilah kita
pulang dan kiranya dibimbing oleh Tuhan . Temukan orang yang dekat dengan diri kita dan mungkin kita lupa
melayani mereka. Tahun 2006, tahun kedua saya tidak berada bersama ibuda yang
dipanggil Oktober 2005. Kalau saya pulang dari studi di Amerika, Ibu saya ingin
melihat ijazah dan sertifikat saya dari luar negeri. Tetapi kehendak Tuhan
berkata lain. Ibu saya belum sempat melihat ijazah saya. Tetapi saya mengucap
syukur tahun lalu, penantian saya untuk kembali melihat ibunda diberi waktu
bersama 1 bulan Tuhan penuhi. Waktu saya mau pergi ke luar negeri. Ibu saya
menderita sakit gagal ginjal dan harus melakukan cuci darah. Saya pergi ke luar
negeri dengan berat hati, tapi ia yakinkan,”Kamu harus pergi karena Ibu masih punya
saudara dan teman yang bisa menjaga Ibu . Ketika di luar negeri saya berjanji
untuk menyelesaikan studi dengan baik. September lalu saya pulang dan pada
bulan Oktober saya sudah punya rencana,”Sebentar lagi Natal dan saya akan merayakan
Natal bersama Ibu.” Tetapi Tuhan memanggil dia. Sebelum kita kehilangan orang
yang kita kasihi, kita ingat mereka sekali lagi. Sebagai gereja yang dibesarkan
Tuhan, mari kita lihat adakah orang yang dilupakan, yang merupakan soko guru
dan tiang gereja dan yang menjadi kekuatan gereja ini. Bila ada orang yang
tidak punya memiliki keluarga dan kita tergerak menolong mereka, mari nyatakan
cinta kasih kita kepada mereka. Mari melayani mereka yang dilupakan masyarakat,
Mari sekarang waktunya untuk menjadi terang Allah di dunia yang kehilangan
pengharapan ini. Jika kita memiliki keyakinan bahwa Kristus yang paling berharga dan terutama, maka kita
datang seperti Kristus sudah datang kepada kita dan berkata, “Tuhan aku sudah
melihat keselamatan Mu dan menjadi saksiMu demi namaMu” dan kiranya di akhir zaman
Dia berkata,”Selamat datang hambaKu yang
baik dan setia.” Amin.
No comments:
Post a Comment