Sharing Bagaimana Membuat Paradigma Baru dalam Gereja
Saat ini
Pdt Benny Solihin
11 April 2013, Sidang Tahun Sinode GKKK
Perubahan Paradigma
2 Tim 4:2 Beritakanlah firman (Preach the word), siap
sedialah baik atau tidak baik waktunya, nyatakanlah apa yang salah, tegorlah
dan nasihatilah dengan segala kesabaran dan pengajaran.
2 Tim 4:2 merupakan hal yang ditulis Rasul Paulus
kepada Timotius saat Rasul Paulus sedang mengalami krisis :
1.
“Beritakanlah
firman” ditulis Rasul Paulus dalam penjara saat ia sedang mengalami krisis dan
akan meninggal. Kalau sampai ia meninggal dunia, siapa yang akan meneruskannya?
2.
Timotius orang
yang minder dan merupakan anak rohani tokoh besar, yang dikelilingi orang-orang
yang memiliki pengetahuan filsafat yang luar biasa.
3.
Injil
Walau sedang krisis, Rasul Paulus berkata kepada
Timotius , “Preach the wod” (beritakanlah firman) yaitu firman yang didengar
dari ibunya, neneknya dan Rasul Paulus. Rasul Paulus tidak bilang, “tetap
peganglah ibadah” atau belajarlah filsafat sedikit. Ada beberapa hamba Tuhan
saat ini yang mulai goyah dan mengikuti gaya motivasi dan mengutip kata-kata
motivasi.
Kenapa Timotius harus mengorbankan firman Tuhan?
1.
Orang-orang benar
akan tetap dalam kebenaran. Pasal 1:3-5 supaya anak-anak Tuhan tidak goyah.
2.
Firman Tuhan yang
menyelamatkan jiwa manusia
3.
Firman Tuhan yang
menguasakan / menguatkan.
4.
Masyarakat akan
diubah oleh orang yang dilengkapi oleh firman Tuhan.
Pada ulang tahun SAAT ke-60 temanya Back to Bible
(firman harus dijaga , jangan tertukar /
tereliminasi)
Khotbah harus firman Tuhan yang punya kuasa untuk
mengubah orang.
Rasul Paulus yang sangat kaku (tidak bisa diubahkan),
yang mengejutkan lihat 1 Kor 9:19-23
19 Sungguhpun aku bebas terhadap semua orang,
aku menjadikan diriku hamba dari semua orang, supaya aku boleh memenangkan
sebanyak mungkin orang.
20 Demikianlah bagi orang Yahudi aku menjadi
seperti orang Yahudi, supaya aku memenangkan orang-orang Yahudi. Bagi
orang-orang yang hidup di bawah hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang
hidup di bawah hukum Taurat, sekalipun aku sendiri tidak hidup di bawah hukum
Taurat, supaya aku dapat memenangkan mereka yang hidup di bawah hukum Taurat.
21 Bagi orang-orang yang tidak hidup di bawah
hukum Taurat aku menjadi seperti orang yang tidak hidup di bawah hukum Taurat,
sekalipun aku tidak hidup di luar hukum Allah, karena aku hidup di bawah hukum
Kristus, supaya aku dapat memenangkan mereka yang tidak hidup di bawah hukum
Taurat.
22 Bagi orang-orang yang lemah aku menjadi
seperti orang yang lemah, supaya aku dapat menyelamatkan mereka yang lemah.
Bagi semua orang aku telah menjadi segala-galanya, supaya aku sedapat mungkin
memenangkan beberapa orang dari antara mereka.
23 Segala sesuatu ini aku lakukan karena Injil,
supaya aku mendapat bagian dalamnya.
Rasul Paulus seolah-olah hidup dalam hukum Taurat
supaya bisa memenangkan orang yang hidup dalam hukum Taurat. Dalam prinsip yang
kaku “preach the word”, cara komunikasinya sangat fleksibel (bagi orang Yahudi,
aku menjadi seperti orang Yahudi, bagi orang yang lemah aku menjadi seperti
orang yang lemah). Secara bentuk kaku, kemasan fleksibel (sangat cair). Ini
menimbulkan inspirasi dalam bergereja. Iman tidak bisa dijual, pemberitaannya
sesuai dengan konteks masyarakat.
Keadaan gereja Injili dan protestan, pertumbuhannya
stagnan bahkan menurun. Dalam pertumbuhan masyarakat yang naik, bila jumlah
jemaat stagnan , maka berarti sebenarnya jemaatnya mengalami penurunan.
Rata-rata gereja sedang struggle (untuk menahan saja). Kalau bisa menahan
pemuda sebanyak 20 orang , maka persekutuan yang berbahagia. Sedangkan bila
lebih dari 50 orang, persekutuan
tersebut langka. Jumlah anak-anak muda ke gereja menurun. Di sebuah gereja
Medan, belasan tahun lalu jumlah pemudanya 700 orang. Hari ini jumlahnya
merosot. Saat saya berada di sana lagi, kebaktian dipimpin oleh pemuda. Namun
jumlah pemuda yang datang di KKR tersebut kurang dari 20 orang dengan jemaat
600 orang. Jarang gereja protestan bisa
membawa pemuda hadir dalam gereja. Kalau Sekolah Minggu dan remaja masih ok.
Lalu di mana pemuda kita? 10 tahun terakhir terjadi keresahan. Bagaimana
menahan pemuda untuk stay di gereja. Mereka ada di persimpangan, untuk itu
harus ambil action. Harus dicari solusi dan hal itu harus dicari tahu dulu
penyebabnya.
Kita bergeser dari zaman Modern ke Post Modern.
Perubahan di Indonesia tidak sederas di Amerika. Kita ikut arus, ambil ikan
secepat-cepatnya untuk beritakan Injil dengan cepat. Perubahan ini membuat perubahan gaya hidup. Kalau pakai
konsep berpikir 20 tahun yang lalu tidak cocok. Saya lulusan manajemen,
sekarang tidak bisa ikut kalau masuk kuliah manajemen. Perubahannya cepat
sekali. Gereja warisan zaman Belanda tidak cocok karena tidak menampung
perubahan masyarakat. Kita harus berpikir ulang. Dengan pola pikir usia 30-40
tahun yang sudah berubah, apalagi anak muda yang akrab dengan era digital.
Karena dilahirkan di bidang digital maka gelombangnya sama sehingga mudah
mengikuti peralatan digital. Otak bekerjanya multi tasking, padahal dulu kita
konsentrasinya 1 hal saja. Kalau ikut arus orang bicara, saya lupa apa yang
sedang dibicarakan. Anak-anak kita bukan saja lebih canggih, otaknya multi
tasking, tidak konsentrasi seperti kita. Dalam waktu bersamaan mengerjakan 5
pekerjaan. Orang seperti ini bosa di gereja yang hanya melihat pendeta saja,
layar tidak bergerak, apalagi pendeta yang hanya membaca saja. Anak sekarang
ingin melihat sesuatu yang bergerak, movable, 2-3 detik layar diganti. Ini
mempengaruhi otak. TV Yang tidak ganti layar belakang adalah TVRI dan TV
Malang. 5 menit sekali baru ganti. Saat ingin tenang saya putar saluran
tersebut. Tenanglah Jiwaku. Mereka senang dalam jejaring khusus &
sosialita. Bisa beri pendapat dan berinteraksi walau terkesan remeh. Pendapat
apapun masukin ke facebook, lalu tekan like dan disklike. Bagaimana anak muda
bangkit? Kalau buat acara ditujukan untuk anak muda , yang datang mungkin 700
orang namun setelah itu mereka kabur. Serahkanlah event kepada anak muda,
jangan kita yang kelola. Kalau mereka diajak makan, mereka pilih fast food atau
junk food. Kalau diajak pergi , tanya siapa saja yang diajak? Kalau orang tua,
mereka tidak mau. Karena mereka terbiasa berpikir kritis dan ajukan pendapat.
Mereka jadi orang yang pragmatis, kalau tidak bermanfaat tidak mau. Walau hal
ini tidak benar, tapi perlu diantisipasi. Yang disenangi mau diikuti. Jiwa
pragmatis sulit masuk ke gereja. Mereka jadi sensitive dengan klaim-klaim
kebenaran. Jangan lagi khotbah menjelek-jelekkan orang atau pandang rendah
aliran lain, karena tidak akan didengar. Belum turun dari mimbar, mereka tulis
di status “garing dengn pendeta kritik orang terus”. Orang merasa kebenaran
untuk kamu saja, jangan jelek-jelekkan orang. Harus dukung dan beri jawaban
yang positif. Dulu saya juga susah untuk tahan diri tidak kritik begitu saja.
Orang-orang seperti ini sulit dijangkau oleh gereja injili dan protestan. Kita
tidak mampu jaring mereka. Kita tidak pahami jiwa mereka.
Usia 30-40 yang tidak dipahami. Untuk kalau mereka
hanya pindah gereja. Jumlahnya semakin banyak. Seperti pyramid. Sekarang 67%
merupakan usia 35 tahun ke bawah. Kalau masuk ke 40 tahun ke atas , kita
kehilangan anak muda. 10 tahu lalu hilang, makin lama makin kosong. Anak muda
ini yang akan jadi majelis. Tidak berarti abaikan orang tua, mereka adalah
jemaat yang loyal. Dilawat saja mereka loyal. Harusnya jaring anak-anak 35
tahun ke bawah, kalau tidak akan habis.
Kita buat komisi anak-anak pre-school – SD6. Tunas
remaja. Tiap paskah-natal, anggaran besar untuk anak-anak. Saat remaja hilang
separuh, pemuda tinggal 10%. Ada yang kabar ke gereja lain, bila tidak
memilukan hati. Ibarat berinvestasi, sudah investasi tidak balik modal.
Di pesawat saya bertemu dengan seorang pendeta muda
GBI. Saat SD-SMA ia bergereja di GKKK sekarang jadi pendeta muda GBI. Secara
Kalam Kudus rugi besar, tidak mampu tampung. Walau dari Kerajaan Allah
bersyukur karena banyak yang tidak ke gereja lagi. Kita tidak bisa paksakan
anak muda. Gereja lambat menangani hal ini dan masih konsen ke orang tua.
KKR PGTI 4 tahun lalu yang diikuti 9-10 sekolah
Kristen, ada 4.000 orang yang datang. Ada ribuan yang terima Yesus. Tapi hanya
sekali saja dilakukan. Kalau gereja fokus ke orang tua, akhirnya hilang anak
muda.
Hasil survey di gereja. Dari sudut anak muda, gereja
seperti apa? (berdasar interview dan baca buku) :
1.
Gereja menjadi
tempat yang asing
Kalau ke gereja, tidak mengerti ngomong apa. Saya kesulitan bahasa Inggris waktu belajar di
Barat. Waktu dengar frustasi, tidak mengerti padahal di Malang saya mengerti.
Anak muda yang tidak mengerti, benar-benar terasing, tersisih, sendiri.
Liturgos masuk, votum dan salam mungkin juga asing. Saat lagu dinyanyikan,
lagunya asing. Kalau di gereja Korea, tidak bisa nyanyi. Bahasa Afrika dan suku
tidak dimengerti. Lulusan SAAT nyanyinya PujiHu. Hu bahasa apa? Apa artinya? Juga kata “mukhalisku”. Lagu-lagu dari abad
16-17-18. Bahasa sekarang lebih hidup, cara ungkapkan nya beda. Anak-anak kita
diminta nyanyi dengan lagu yang lalu yang tidak mereka kenal. Gereja jadi
tempat asing. Ketika anak-anak remaja (SMP2, SD6) 4 tahun di Amerika. Mereka
berubah, orang tua tidak berubah. Paradigma kita juga perlu berubah. Yang sulit
waktu di mobil. Saya mengambil CD putar lagu Praise The Lord. Anak saya ganti
dengan lagu rock. Saya bilang, “Ini lagu papa.” Dijawab anak saya,”Kan mobilnya
sama-sama”. Lain kali dia putar lagu duluan. Akhirnya ditentukan yang duluan
yang putar lagu. Lama-lama saya pikir, kenapa bapa tidak turun ke anak saja?
Untuk orang yang hampir mati tenggelam, penjaga pantai tidak bisa berteriak
tunggu-tunggu, tapi harus langsung terjun. Anak saya mau ke gereja tidakmandi,
pakai sandal jepit, celana pendek. Saya bilang pakai sepatu kalau tidak, tidak
ke gereja. Ternyata di gereja, pendetanya pakaiannya santai (pakai kaos
oblong). Anak saya bilang, “Jangan nilai orang dari yang dipakai.” Anak saya
ingin ditato dan di-piercing (dibolongin telinganya). Saya bilang tidak boleh,
nanti kalau sudah umurnya 17 baru boleh. Saat usianya sudah 17 tahun, dia tanya
boleh tidak? Saya bilang prinsipnya tidak boleh. Lalu dia pergi dan 10 jam
kemudian dia sudah pakai anting. Saya bilang cakep juga. Dia bilang, jangan
lihat orang dari anting. Lalu dia tato. Kalau kita lihat remaja, pakai kacamata
remaja. Kita bergumul. Demi mereka ke gereja, banyak hal kita stretching etiket
kita. Merka tidak kurang ajar amat. Itu gaya mereka. Mereka datang ke tempat
yang liturgy dan lagunya asing. Khotbahnya juga asing. Saya bilang, untuk
menyampaikan khotbah pikirkan sedalam-dalamnya sampaikan sesimpel-simpelnya.
Jangan suruh orang awam naik ke bahasa kita. Ada 4.000 kata asing saat belajar
teologia. Untuk berkhotbah perlu berbahasa yang sama dengan audience. Bagi orang lemah, seolah-olah aku orang lemah.
Khotbah ke remaja, bahasa gaul seperti alay (bahasa gaul) agar saya efektif
berbicara ke pemuda remaja. Harus pahami mereka, kalau kaku, pakai bahasa
asing, dilihat sebagai orang asing, dan mereka tidak tahan. Perasaan asing
membuat tidak betah dan tidak mau kembali. Buat mereka tidak asing. Apakah buat
kebaktian pemuda? Belum tentu dinikmati karena dianggap second class karena itu
tidak terisi penuh. Buatlah kebaktian umum berjiwa muda, baru mereka datang.
Disain kebaktian kontemporer. Kita punya kebaktian pagi-sore lalu buat disain
kontemporer walau yang masuk orang tua. Mungkin 10% yang datang adalah orang
tua. Disain kontemporer dengan gaya anak muda. Bila yang datang 300 mungkin 60
orang tua yang mau kemuda-mudaan. Banyak orang tua yang suka kontemporer. Buat
anak muda kelola kebaktian. Dari awal sampai penutup serahkan mereka. Di
Makasar ada gereja Bethany. Saat masuk disambut oleh pemuda pakai jeans &
kaos. Yang dipilih yang cantik dan ganteng. Kalau protestan yang jadi penyambut
60 tahun ke atas (collagen sudah kurang). Padahal di mal-mal, istri saya
dipanggil “bunda”. Istri saya bilang, “kapan saya lahirkan dia?” Beri anak muda
kepercayaan. Kenapa majelis dipaksa jadi liturgos? Pilih orang yang sesuai
talenta. Di gereja kapasitas 3.500
orang, tanpa singer, choir tidak akan penuh. Pilih yang bertalenta memimpin
pujian , yang bisa membawa suasana. Cukup 2 orang WL (worship leader) yang
dekat Tuhan daripada majelis yang jadi liturgos tidak bisa membedakan nada C
& D. Di Kharismatik, WL dibayar sama besar dengan pendeta. Sekali tampil
dibayar Rp 1,5 juta. Sehingga ada yang bajak membajak WL. Anak muda ingin WL
yang dekat di hati. Sound system penting. Ada gereja yang bilang, kita pakai
mike Rp 75 juta. Mau ditukar dengan yang dari Jerman Rp 8 miliar! Mana ada
gereja Injil yang mau pikirkan yang
demikian. Yang penting bisa bunyi. Kita tidak punya pikiran beri yang terbaik
untuk Tuhan. Kebaktian pakai LCD, sering operate nya terlambat. Ada yang belum
pindah-pindah slidenya padahal lagu sudah ganti liriknya. Itu tidak terjadi di
gereja-gereja kharismatik. Di Surabaya, ada gereja kurang lebih 15.000 jemaat.
Kalau sampai hal itu terjadi, petugasnya dimarahi agar jangan sampai terjadi.
Di kita , tidak apa-apa. Anak muda punya jiwa sempurna. Waktu saya mau khotbah,
dikasih run-down. Di kebaktian ada event organizer, yang bukan hamba Tuhan
(sekarang ada hamba Tuhan yang jadi event organizer). Kalau perlu bayar. SAAT
sedang mencari event organizer. Dia bertugas menyiapkan liturgy, orang-orangnya
disiapkan. Di GKI sudah ada e.o. Sekarang kebaktian harus ada e.o. baru
kebaktian tanpa gangguan. Bila mike bunyi, dievaluasi. Jangan sampai terjadi
lagi. Kalau tidak ada, beli. Jadi perlu berpikir terus, jangan zona nyaman
terus.
Saat kolekte jangan lama-lama. Bila banyak
pengunjungnya, kolektannya diperbanyak. Kalau firman Tuhan panjang,
dinanti-nanti orang, kalau kolekte lama untuk apa?
Perjamuan kudus. Puji Tuhan, sekarang roti &
anggur digabung. Tidak ditentukan roti dulu baru anggur. Itu mempercepat.
Hikmat harus dipertahankan.
Saat baca pengumuman, untuk warta komisi tidak dibaca.
Hanya untuk yang umum saja diwartakan. Karena kalau ada 12 komisi , tiap komisi
1 menit maka perlu 12 menit. Selebihnya baca di warta. Kalau pengumuman 7-10
menit setelah khotbah, yang diingat pengumuman, khotbahnya lupa.
Penutup. Khotbah ditutup dengan perasaan yang gloomy
(guilty feeling/ mellow) seharusnya pulang dengan celebration. Maka music harus
mendukung (di Karismatik ditanya siapa yang dapat berkat?). Kalau Injili :
setelah khotbah , mari kita beri persembahan. Orang pulang setelah berkat. Yang
percaya katakana Amin, nyanyi dengna pujian. Buatlah orang pulang dengan
positif.
2.
Gereja tempat
yang membosankan. Otak terlatih melihat
yang banyak. Di gereja layar tidak bererak, tidak ada singer. Hanya ada
liturgos / pendeta Mata yang biasa bergerak melihat hanya 1 titik. Saat khotbah
jangan ragu bergerak sedikit. Ini membuat tidak jemaat tidak mengantuk. Kalau
tidak bergerak, mata yang terbiasa melihat yang bergerak jadi mengantuk.
Gunakan power point, kasih anak muda yang buat. Gunakan potensi anak muda, sehingga
khotbah sangat canggih (audio visual). WL dengan singer, serahkan ke anak-anak
yang partisipasi.
Penyanyi koor pakai uniform? Sekarang jenuh memandang.
Belang-belang tapi indah. Seragam jadi jenuh. Yang penting perubahan paradigma.
Hamba Tuhan berpikir terus. Semalam kami membawa 50an nasi bungkus untuk
tukang-tukang beca dan gelandangan. Ada tukang beca yang parkir dekat tong
sampah. Bagaimana bisa laku? Paradigma tidak berubah-ubah, kalau dia berpikir
maka pelanggannya lebih banyak. Terus berpikir, jangan diam / status quo. Setahun
lalu SAAT pindah, ada yang tanya mau jadi apa? Bukan mewah atau megah, makannya
tetap Rp 4.000 / sekali makan , siswa tetap dididik dengan disiplin. Kalau
pindah ke tempat baru masih pakai kayu, maka 5 tahun sekali ganti. Ayo berubah.
Lagu Pujian
Gereja Injili / protestan lebih kaya karena bisa
menggabung lagu hymne dan kontemporer. Lagu kontemporer bahkan ada yang
sebagian diciptakan oleh jemaat dari gereja Injili / protestan. Contoh pencipta lagu kontemporer dari gereja
injili : Jonatan Prawira, Jeffry S Tjandra, VG Yerikho yang berasal dari GKI
Samanhudi. Awalnya lagu mereka ditentang oleh majelis sehingga mereka
terpencar. Yang penting nyanyikan yang bagus. Lagu hymne bila tidak bagus
dinyanyikannya untuk apa?
Khotbah
Gereja injili / protestan lebih kaya. Misal : Matius
6:24 khotbah tentang rasa khawatir. Kalau karismatik, ujung-ujungnya “mammon”.
Khotbah ekspository merupakan filosofi berkhotbah yang kemudian bisa
disampaikan secara deduktif, induktif, narasi & tekstual. Misal : khotbah
ekspositori dengan perikop tekstual dll. Semuanya bersumber dari Alkitab. Kalau
diluar Alkitab berarti khotbah pendapat sendiri.
Sekarang ini banyak yang menggunakan cerita. Bahkan
dari binatang seperti tikus, beruang digunakan dalam cerita. Cerita bukan alat
tapi dapat dipakai untuk membawa kebenaran. Tuhan Yesus sendiri memakai perumpamaan.
Sekarang zaman pragmatis. Hamba Tuhan juga harus
menunjukkan kesaksian hidup. Bukan yang sukses saja, tapi juga kegagalan juga
disaksikan (bagaimana ditegur).
Pada zaman postmodern, dibutuhkan teladan / bukan
teori saja.
Dulu kalau khotbah 7 sesi tanpa cerita hidup kita,
yang mendengar tidak bosan, sekarang 2 sesi saja bosan, apalagi yang dengar
anak muda.
Terjemahan mandarin. Survei memperlihatkan gereja yang
menggunakan bahasa yang diterjemahkan , tidak maju Mendengar 2 bahasa ada time
lag (menunggu). Kalau ada bahasa Mandarin, jangan di waktu utama yakni pk 8-9,
tetapi pk 6/7 masih ok. Karena ortu yang senang bangun pagi. Kalau ada yang
penuh, karena tidak punya alternative lain. Kebaktian prime-time jangan
diterjemahkan. Untuk kebaktian yang diterjemahkan, maka penterjemah harus
mengikuti irama yang membawakan khotbah (yang diterjemahkan). Demikian juga
untuk penterjemah liturgos. Sekarang disebut WL bukan MC. WL tidak boleh banyak
komentar, kalau banyak komentar itu pemimpin pujian / dirigen. Sekarang jangan
diperintah-perintah (orang sekarang tidak merasa nyaman). WL kasih contoh
(jangan atur orang). Saat WL mengatakan,”Mari kita sembah”, dia ikut menyembah.
Kebanyakan WL kita komentar, misal : tadi fals di bagian ini. Seharusnya
komentar seperti itu merupakan bagian dari belajar lagu bukan kebaktian.
Doa juga tidak langsung. Seharusnya tidak perlu
kata-kata, langsung masuk , diiringin music langsung masuk.
Liturgi yang harus ada
(tidak boleh diubah) di GKKK adalah votum, salam, khotbah, pengakuan
iman rasuli, doxology dan doa berkat.
Kebaktian kering karena terpotong. Votum-salam,
pengakuan iman rasuli lalu pujian terus, sehingga waktu ujian tanpa banyak
komentar. Lalu khotbah (jangan tersekat). Untuk kebaktian Mandarin, dapat
diajari dulu lagu kontemporer 15 menit sebelumnya. Kebaktian yang ada
dipertahankan, yang prime-time yang kontemporer. Yang Old-style pk 6. Hamba
Tuhan tidak semuanya menonjol di khotbah. Untuk hamba Tuhan yang menonjol bisa
diminta untuk khotbah 1 bulan 2 kali atau seminggu sekali. Yang kurang lebih
jarang diminta khotbah misal : 1 bulan sekali dengan harapan persiapan lebih
panjang.
Persekutuan Doa
Ibadah dan Persekutuan Doa merupakan kebaktian utama
(makanan). Kalau pokok doa mendoakan program kerja, orang tidak datang. Orang
datang karena ada kebutuhan. Sehingga pokok doa seperti program kerja
diletakkan di akhir. Karena bila tidak seperti abuse jemaat untuk doakan
gereja. Format doa : pujian ½ jam dengan WL, singer dan music yang baik baru
firman ½ jam dan doa ½ jam.
Biarkan mereka nangis sendiri. Jangan putar-putar
doakan program gereja.
Tidak salah bila ada doa (kebaktian) penyembuhan.
Misal ditanya :
Siapa yang ingin didoakan, angkat tangan. Tuhan akan menyembuhkan anda.
Yang perlu berlutut, disediakan bantal. Berikan ruang
untuk Allah bekerja. Lalu setelah disembuhkan minggu depan beri kesaksian. Bisa
juga yang mau didoakan berdiri di depan, lalu didoakan bersama-sama oleh para
hamba Tuhannya.
Doa jangan kering.
Sekolah
Sekolah lebih kontemporer dibanding gereja. Untuk
gereja doakan untuk bangku-bangku kosong. Jangan membuat gereja menjadi asing
sehingga sulit menangkap anak muda.
Namun demikian : budaya pakai sandal ke gereja di
Amerika tidak perlu dicontoh. Hanya kita maklumi budaya anak muda. Kita tetap
harus sopan, tapi bukan berarti harus berjas. Biarlah paradigm diperluas (jiwa
memaklumi lebih besar), misal : gereja dengan jins.
Lagu
Musik identitas lagu. Jangan ubah kebaktian yang
dicintai jemaat. Riset lagu apa yang cocok dengan mereka. Yang penting content
nya firman Tuhan. Anak muda ada yang suka dengan Pdt Stephen Tong, namunada
yang tidak suka yang perlu diwadahi. Warna gereja Injili adalah beritakan
Injil. Yang ditahan bukan tradisi, karena akan selalu berubah. Yang tidak
berubah adalah “preach the word”. Khotbah yang terlalu panjang, Tuhan jadi masa
lalu, Tuhan tidak eksis. Aplikasinya menghadirkan Tuhan masa sekarang.
Kalau lagu kontemporer, Tuhan hadir dalam hidup
sekarang.
Anak sekolah sedikit yang masuk ke GKKK , tetapi
banyak yang karismatik.
Gereja kontemporer
Ada di hotel / mal, ini langkah cerdik terhadap
respon. Kita kalau pakai pola lama, mulai dari pos, lalu kirim penginjil. Dari
10-20 jemaat. Penginjil yang keluar ganti yang baru terus begitu sampai 20
tahun, baru jadi gereja dengan anggota 120 orang.
Orang kontemporer tidak mulai dengan ruko / pos.
Langsung dirikan gereja. Hari ini orang tidak mau datang ke pos tapi ke gereja.
Pos PI harus dinamakan gereja bukan Pos PI.
Kelemahan pakai sekolah untuk gereja : kalau yang
diundang orang yang menengah ke atas untuk datang ke aula sekolah, sekali
datang kemudian tidak datang lagi. Apalagi kalau ke tolit SD.
Sedangkan kalau di mal , banyak yang belajar bahasa
Inggris dan lain-lain (banyak yang senang ke mal).
Jangan lagi beli ruko, itu seakan-akan tempat restoran
coba-coba. Sekarang masuklah ke mal seperti CP.
Untuk khotbah kirim WL dan pengkhotbah yang terbaik.
Saat launching berikan yang terbaik supaya datang kembali.
Jangan ragu mentahbiskan penginjil jadi pendeta. Yang
cukup baik, dorong jadi pendeta.
“Kurikulum” harus terus diganti, tapi visi dan misi
tetap.
Dukung guru punya ipad. Buat jemaat bangga jadi bagian
dari Kalam Kudus.
No comments:
Post a Comment