Sekar Wulan
Ayub 42:1-6,
1 Maka jawab Ayub kepada TUHAN:
2 "Aku tahu, bahwa Engkau sanggup
melakukan segala sesuatu, dan tidak ada rencana-Mu yang gagal.
3 Firman-Mu: Siapakah dia yang menyelubungi
keputusan tanpa pengetahuan? Itulah sebabnya, tanpa pengertian aku telah
bercerita tentang hal-hal yang sangat ajaib bagiku dan yang tidak kuketahui.
4 Firman-Mu: Dengarlah, maka Akulah yang akan
berfirman; Aku akan menanyai engkau, supaya engkau memberitahu Aku.
5 Hanya dari kata orang saja aku mendengar
tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.
6 Oleh sebab itu aku mencabut perkataanku dan
dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu."
1 Perus 1:6-9
6 Bergembiralah akan hal itu, sekalipun sekarang
ini kamu seketika harus berdukacita oleh berbagai-bagai pencobaan.
7 Maksud semuanya itu ialah untuk membuktikan
kemurnian imanmu — yang jauh lebih tinggi nilainya dari pada emas yang fana,
yang diuji kemurniannya dengan api — sehingga kamu memperoleh puji-pujian dan
kemuliaan dan kehormatan pada hari Yesus Kristus menyatakan diri-Nya.
8 Sekalipun kamu belum pernah melihat Dia,
namun kamu mengasihi-Nya. Kamu percaya kepada Dia, sekalipun kamu sekarang
tidak melihat-Nya. Kamu bergembira karena sukacita yang mulia dan yang tidak
terkatakan,
9 karena kamu telah mencapai tujuan imanmu,
yaitu keselamatan jiwamu.
Pendahuluan
Benarlah yang mengatakan, bahwa hidup kita bukanlah
produk yang “sekali jadi”, melainkan suatu “proses menjadi”. Bergerak.
Berkembang. Bertumbuh. Berubah. Dalam setiap proses pertumbuhan ini, satu unsur
tak terhindarkan: kesakitan. Bertumbuh itu menyakitkan. Membingungkan.
Menimbulkan ketidakpastian. Penderitaan adalah proses yang akan dialami oleh
setiap roang percaya untuk berubah dan berbuah ke arah yang sesuai dengan kehendak
Tuhan. Mengapa Tuhan mengijinkan penderitaan dalam kehidupan manusia. Yang tidak
dapat dipungkiri, kita memang manusia yang sejak awal telah jatuh ke dalam dosa
dan menerima penderitaan itu sebagai ganjaran. Tetapi dibalik setiap
penderitaan yang kita alami, apakah Tuhan tidak pernah peduli? Apakah Tuhan
tidak memiliki kebaikan-kebaikan di dalam penderitaan yang terjadi dalam
kehidupan manusia.
Pergumulan
Hidup (Ayub 42:1-6)
Ayat-ayat ini menunjukkan suatu perubahan yang total
di dalam pengalaman seorang yang saleh. Ayub adalah seorang saleh yang di zaman
yang sangat awal, dan ia mungkin lebih dahulu ada daripada Musa. Ayub hidup di
zaman yang sangat kuno, ia tidak hidup dalam arus orang Yahudi dan tidak
menerima Perjanjian Lama (Hukum Taurat). Namun ia memiliki pengalaman yang
ajaib dengan Tuhan. Ia mengalami pencobaan dari iblis. Pencobaan itu diijinkan
oleh Tuhan dan dipakai oleh Tuhan sebagai ujian. Jadi, pada satu pihak ia
menerima pencobaan dari iblis, di pihak lain Allah menggunakan pencobaan itu
sebagai ujian bagi Ayub. Hal inilah yang menimbulkan konflik iman di dalam diri
Ayub sehingga ia mengalami pergumulan yang sangat berat. Pergumulan yang paling
berat adalah tuduhan dari mereka yang menganggap bahwa penderitaannya pasti
karena akibat dari perbuatan dosanya yang tersembunyi. Pergumulan ini terus
berlangsung dan Tuhan sepertinya tidak memberikan jawaban apa-apa. Seolah-olah
membiarkan orang itu terus bergumul. Di tengah pergumulan itu, terjadi
perdebatan antara Ayub dengan ketiga temannya. Ayub, satu orang melawan tiga
orang temannya. Sampai pada akhirnya terbukti bahwa ketiga orang teman Ayub
tidak mengerti rencana Allah yang jauh melebihi konsep manusia. Ayub sepertinya
tidak menerima suatu imbalan yang umumnya dimengerti oleh manusia. Pada saat ia
mengalami kesulitan tersebut, seharusnya ia mendapatkan penghiburan dari mereka
yang sehati dan dekat dengannya. Tetapi justru sebaliknya yang Ayub dapatkan:
fitnahan, kritikan, kutukan dari mereka yang seharusnya paling mengerti
keadaannya.
Kalau kita perhatikan, ketiga teman Ayub sebenarnya
begitu mengasihi dan memperhatikan Ayub. Sehingga begitu mereka mendengar bahwa
Ayub sedang menghadapi musibah, yaitu sepuluh anaknya mati, seluruh hartanya
hilang dan Ayub sendiri menderita penyakit yang berat, mereka datang dari
tempat yang jauh untuk menghibur Ayub. Selain itu, mereka tidak menghibur Ayub
dengan kata-kata kosong belaka. Disinilah letak kesulitan kita. Ketika kita
melihat orang lain mengalami kesulitan dan bencana, seringkali kita dengan
mudahnya berkata, “Jangan sedih, jangan menangis, banyaklah berdoa. Tuhan tahu,
serahkan saja pada Tuhan.” Perkataan yang membosankan ini tidak akan pernah
memberikan penghiburan yang sesungguhnya. Itulah sebabnya seringkali ketika
kita menghibur orang yang sedang dalam kesulitan, makin kita hibur ia justru
makin merasa jengkel dengan kita. Karena kita belum pernah sungguh-sungguh
mengerti kesedihannya.
Akan tetapi, ketika ketiga teman Ayub datang untuk
menghibur Ayub, mereka menghibur dengan cara yang sangat berbeda, yaitu dengan
berdiam diri. Mereka tidak mengucapkan sepatah katapun, tidak menegur ataupun
berbicara. Mereka duduk di samping Ayub selama 7 hari 7 malam. Ini semacam
pendampingan atau simpati yang dinyatakan dengan berdiam diri dan di dalam
kesunyian. Penghiburan semacam ini sangat berarti dan merupakan sebuah
pernyataan simpati yang luar biasa. Namun, pada akhirnya mereka juga sudah
tidak tahan lagi. Setelah 7 hari 7 malam, mereka mulai berbicara untuk
mengkritik Ayub. Semuanya ini menandakan bahwa simpati dan cinta kasih manusia
bagaimanapun besarnya, tetap terbatas.
Jangan berharap bahwa orang yang paling dekat dengan
saudara akan bisa mengerti segala kesulitan dan kesusahan yang kita alami.
Istri Ayub, seorang yang seharusnya paling dengat dengannya, justru berkata:
“Kalau Tuhanmu hidup mengapa anakmu semuanya mati? Mengapa keadaanmu menjadi
seperti ini? Masih bertekunkah engkau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan
matilah!” Orang yang paling dekat dengan Ayub justru mengucapkan perkataan
seperti itu.
Ketiga teman Ayub juga mulai menuduh dan menghakimi
Ayub. Mereka berkata bahwa jika Ayub adalah orang yang cinta Tuhan, dan
sekarang mengalami kemalangan seperti ini, maka pastilah ada dosa-dosa yang
tidak kelihatan.
Tuduhan ini muncuk karena mereka mempunyai konsep
bahwa Allah adalah Allah yang Maha adil, dan Allah yang Maha adil tidak mungkin
melakukan suatu perbutan yang tidak adil. Menurut mereka, Ayub pasti teah berbuat
sesuatu yang mengakibatkan dosa, sehingga oleh karena dosa itulah maka ia
dihakimi oleh Allah.
Memang benar bahwa Allah adalah Allah yang Maha adil.
Memang benar bahwa apa yang Allah kerjakan tidak mungkin berdasarkan
ketidakadilan. Konsep ini memang tidak dapat dipisah-pisahkan. Tetapi ada satu
kalimat yang belum mereka katakan, dan kalimat itu dikatakan oleh Ayub (42:3 -
baca).
Kalimat ini menyatakan tentang kehendak Allah yang
tersembunyi, yang melampaui segala kemungkinan pengertian kita. Kehendak yang
tersembunyi dan misterius dari rencana Allah yang kekal, tidak mungkin kita
mengerti seluruhnya.
Di tengah pergumulan hidup kita, kita perlu mengerti
tentang poin ini. Jika tidak, maka kita akan selalu mengeluh dan
bersungut-sungut, tidak puas, tidak rela taat, bahkan bisa meninggalkan Tuhan.
kita akan terus bertanya, “Mengapa orang lain hidupnya lebih baik daripada
saya? Mengapa orang lain tidak mengalami kesulitan seperti yang saya alami?”
Tidak ada orang hidup yang tidak merasakan kesulitan,
tanpa air mata dan tidak mengalami ketidakadilan. Jika saudara tidak mau
menerima fakta, maka saudara akan terus memikul salib yang tidak ada harganya.
Semakin saudara marah, semakin saudara lemah; semakin saudara lemah, semakin
saudara jengkel, dan akhirnya saudara akan terus berada dalam lingkaran
pergumulan saudara.
Inilah titik bahaya bagi Ayub. Jika ia tidak berhasil
keluar dari titik ini, maka dia akan menjadi orang yang mencela Allah, menjadi
ateis dan menjadi alat di tangan iblis. Namun, akhirnya Ayub bisa keluar dan ia
mulai melihat pemecahan masalahnya, yaitu pada Allah yang tidak dapat
dimengerti oleh akal manusia (Trancendency of God).
Allah tidak boleh diukur dengan ukuran, atau
dimasukkan ke dalam “kotak” rumusan, atau dikurung dalam prinsip yang dibangun
oleh manusia. Di sinilah letak pemecahan masalah Ayub. Ayub mengerti bahwa
Allah tidak dapat dimengerti sepenuhnya oleh manusia yang sangat terbatas. Oleh
karena pengertian seperti inilah, maka Ayub bisa keluar dari lingkaran
permasalahannya.
Kalau kita mempunyai pengertian tentang rencana dan
kehendak kekal Allah yang misterius, yang jauh melampaui kemungkinan kita untuk
mengerti, maka kita akan dilepaskan dari ikatan-ikatan pemahaman kita yang
terbatas. Jika kita menerima dan menghadapi fakta dengan berani, dan kemudian
mengaitkan fakta itu dengan rencana kekal Allah yang misterius, maka kita akan
terlepas dari ikatan masalah dan pergumulan hidup kita.
Namun bagaimana kita dapat mencapai atau memperoleh
keberanian untuk menghadapi kesulitan dan masalah hidup kita? Bagaimana caranya
supaya kita dapat mempunyai kekuatan untuk menghadapi kesulitan yang
menggerogoti iman kita sehingga kita tetap dapat hidup dalam sukacita?
Ini tidak mudah! Tetapi, inilah yang disebut hidup
rohani, yaitu hidup yang menerima fakta dengan berdasarkan pengertian tentang
rencana Allah yang melampaui pengertian kita dan menerima rencana Allah yang
kekal dan yang misterius itu.
Ayub bisa mengakui ketidak mampuannya untuk mengerti
rencana Allah yang msiterius, karena ia tahu bahwa Allah itu Maha kuasa. Ayub
mengatakan, “Aku tahu, Engkau Maha kuasa (sanggup melakukan segala sesuatu).”
Kita tahu Allah itu Maha kuasa, namun seringkali kita tidak mengerti arti
sebenarnya dari penyataan itu. Pernyataan ini seringkalai hanya sekedar pengetahuan
umum saja. Allah Maha kuasa artinya Ia menguasa segala sesuatu di dalam seluruh
aspek hidup kita. Ayub melanjutkan, “Tidak ada rencana-Mu yang gagal.”
Terjemahan yang tepat, “tidak ada yang bisa merintangi-Mu.” Tidak ada orang
yang bisa merintangi kehendak-Mu karena Engkau Maha kuasa.
Karena pengetahuan dan pemahaman kita telah dirusak
oleh dosa, maka pengetahuan kita tentang Allah yang Maha kuasa juga rusak.
Itulah sebabnya kita sering bertanya, “Kalau Allah itu Maha kuasa, mengapa ia
tidak menyelamatkan saya? Mengapa Ia tidak menolong saya dan malah membiarkan
saya dalam kesengsaraan ini?” Jika tidak ada yang bisa merintangi-MU, “Waktu
Engkau mau menolong saya, Engkau dirintangi oleh siapa, sehinga Engkau tidak
jadi menolong saya?
Jika Engkau benar-benar Maha kuasa, mengapa Engkau
tidak menolongku? Jika Engkau menolongku, namun aku tetap menderita, maka
bukankah hal itu berarti Engkau dirintangi?” Iman kita mulai menjadi goncang. Apakah hal
seperti ini pernah terjadi di dalam kehidupan saudara?
Apakah selama ini kemahakuasaan Allah membuat saudara
bingung? Saudara dan saya bingung karena pemahaman dan pengertian kita telah
rusak. Kita tidak mampu benar-benar mengerti kemahakuasaan Allah. Mari kita
belajar dari Ayub.
Ketika Ayub sadar, ia mengubah semua situasinya dan
mulai mengakui, “Engkau Mahakuasa, sebaliknya aku tidak mungkin mengerti.” Ini
berarti sama dengan mengatakan, “Kemahakuasaan-Mu jauh melebihi rasioku.”
Kehendak dan rencana Allah yang kekal jauh melampaui
kata-kata yang dapat diucapkan. Perbendaharaan kata yang ada tidaklah cukup
untuk menyatakannya. Kehendak dan rencana Allah jaug melampaui perkiraan rasio
manusia. Pengetahuan Allah melampaui semua kemungkinan pengetahuan kita.
Kemahakuasaan Allah juga melampaui pengalaman dan emosi kita.
Itulah sebabnya Ayub mengatakan, “dengan menyesal aku
duduk dalam debu dan abu.” Ungkapan ini adalah sebuah kiasan, karena pada waktu
itu, cara orang-orang yang tinggal di Timur Tengah, di dalam mengutarakan
kesedihan yang begitu mendalam adalah dengan menaburkan abu di atas kepala,
muka dan tubuhnya.
Apa yang Ayub sesali? Ayub menyesal karena dengan
pengertiannya yang terbatas, ia sudah terlalu cepat menilai Allah, dan ia sudah
berusaha memasukkan Allah ke dalam kotak logikanya sendiri. Ia juga sudah
menyalahkan Allah dan tidak mau menerima fakta. Ia telah beranggapan bahwa jika
Allah Maha kuasa, maka mengapa Dia menimpakan kesulitan itu kepadanya.
Tetapi sekarang dia sudah memahami bahwa pengertian
seperti itu adalah salah dan ia sudah mengerti bahwa Allah melebihi
pengertiannya. Oleh karena itu, sekarang ia tunduk pada rencana Allah, karena
ia tahu bahwa kehendak Allah lebih tinggi dari pengetahuan dan pengertiannya.
Perubahan semacam ini adalah suatu perubahan yang luar biasa.
Kunci perubahan ada dalam kalimat ini, “dari kata
orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri
memandang Engkau” (46:5). Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang bersifat
sangat pribadi, antara pribadi dengan pribadi.
Ayub berkata, “tetapi sekarang mataku sendiri
memandang Engkau.” Bagaimana caranya kita memandang Allah? Kita melihat Allah
bukan secara fisik, karena Allah itu Roh. Karena Roh Allah itu suci, maka hanya
jika hati kita suci dan rohani kita murni, barulah kita dapat melihat Allah.
Tuhan Yesus mengatakan, “Berbahagialah orang yang suci
hatinya, karena mereka akan melihat Allah” (Mat 5:8).
Saudara lihat! Betapa pentingnya mengenal Allah secara
pribadi. Bukan dengar dari perkataan orang lain, tetapi kita secara pribadi
yang mengalaminya. Pengenalan Allah secara pribadi mempengaruhi seluruh
kehidupan rohani kita dan sudut pandang kita dalam memandang hidup, masalah dan
kesulitan yang kita alami.
Inilah hal yang paling penting yang harus kita cari
dalam hidup kita, dan harus menjadi tujuan utama dalam hidup kita, yaitu
mengenal Allah secara pribadi. Seorang teolog Finlandia mengatakan, “Mengenal
Tuhan secara pribadi itu sangat pahit.” Pertama kali mengenal Tuhan dengan
sungguh-sungguh secara pribadi, pengalaman pengenalan itu adalah pengalaman
yang pahit. Tetapi banyak gereja sekarang berusaha supaya orang dapat mengenal
Allah dengan pengalaman pertama yang manis.
Mengapa pengalaman pengenalan Tuhan secara pribadi
merupakan pengalaman yang pahit? Mengenal Tuhan dengan sungguh-sungguh secara
pribadi, berarti saudara dan saya harus melucuti/ menelanjangi segala topeng
kemunafikan kita, dosa kita, kepalsuan kita yang selama ini menutupi hidup
kita. Bukankah ini merupakan pengalaman yang pahit?
Biarlah Allah yang menlucuti segala topeng
kemunafikan, dosa dan kepalsuan kita, sehingga kita benar-benar menjadi orang
yang menganal Dia secara pribadi. Inilah kehidupan rohani yang sejati. Inilah
yang harus menjadi tujuan utama dalam seluruh kehidupan kita.
Mengenal Allah secara pribadi inilah yang akan memampukan
kita berjalan dalam kehidupan yang penuh dengan pergumulan, masalah dan
penderitaan. Dengan telanjang secara rohani kita menyatakan diri kepada Tuhan,
“Tuhan, jika Engkau mau menolong saya atau tidak menolong saya dari kesulitan,
itu terserah pada kedaulatan-Mu.” Orang yang benar-benar mengenal Allah secara
pribadi, dia akan mampu mengucapkan kalimat itu tanpa keraguan ataupun protes.
Ayub menerima fakta. Ayub tahu bahwa kematian anaknya,
istrinya yang meninggalkannya dan penderitaannya, semuanya berada di dalam
kedaulatan Tuhan. Ayub sadar bahwa kehendak Allah jauh melampaui pengertian
manusia, dan Ayub pun menyesal karena kata-katanya yang bodoh. Sesudah terjadi
penerobosan ini, maka Tuhan baru mulai menolong dia. Baru setelah Ayub
sungguh-sungguh mengerti secara pribadi, maka kemahakuasaan Allah dinyatakan.
Ilustrasi:
Pohon terkenal
Di California Selatan ada sebatang pohon yang terkenal
di seluruh Amerika. Sepanjang tahun pohon itu dikunjungi ribuan wisatawan dari
dalam dan luar negeri. Bentuk pohon itu sama sekali tidak sedap dipandang mata.
Tingginya kurang dari 2 meter dengan batang agak pipih & melintir. Hanya
sebagian cabang ditumbuhi daun, sedang bagian lainnya gundul. Pohon itu menjadi
terkenal karena tumbuh di atas batu granit yang keras. Tingginya sekitar 100
mtr di atas permukaan laut, menghadang langsung Samudera Pasifik yang anginnya
keras mendera. Tidak ada pohon lain yang
tumbuh di sekitarnya, kecuali pohon itu. Rupanya beberapa tahun lalu sebutir
biji pohon terbawa angin, dan jatuh di celah batu granit yang ada tanahnya.
Benih itu kemudian tumbuh, tetapi setiap kali batang muncul keluar, langsung
hancur diterpa angin Pacifik yang kencang. Terkadang pohon itu tumbuh agak
besar, tapi badai kembali memporakporandakann ya. Sekalipun demikian, akarnya
terus tumbuh menghunjam ke bawah mencapai tanah melewati poros-poros batu
granit sambil menghisap mineral-mineral di sekitarnya. Sementara itu batangnya
tumbuh terus setelah berkali-kali dihancurkan angin kencang, makin lama makin
kokoh dan liat sampai akhirnya cukup kuat menahan terpaan badai, sekalipun
bentuknya tidak karuan. Oleh orang Amerika, pohon tersebut dianggap sebagai
simbol ketegaran karena seakan-akan memberi pelajaran kepada umat manusia untuk
tetap tabah dan gigih dalam menghadapi berbagai cobaan dan gelombang kehidupan.
ketika kita hidup di dunia ini, Tuhan tidak
menjanjikan bahwa mengikut Dia, berarti kita akan bebas dari penderitaan, bahwa
kita akan bebas dari kesusahan, tekanan, sakit penyakit, kelemahan. Dia tidak
menjanjikan bahwa pekerjaan kita akan selalu lancar, bahwa semua orang akan
menyukai kita, bahwa tidak akan ada persoalan hidup dalam hidup kita. Tetapi
setiap kita sebagai orang-orang percaya didalam penderitaan terus belajar di
proses menjadi seorang yang memiliki iman dan kesetiaan dalam Tuhan. melalu
penderitaan, Tuhan memurnikan dan mendewasakan iman kita, semakin teguh dan
semakin kuat di dalam dia.
Penderitaan mendekatkan kita kepada Tuhan, penderitaan
memberitahukan kepada kita betapa kita ini lemah dan butuh bersandar kepada
Tuhan dan bukan kepada diri kita sendiri.
Pergumulan hidup yang seperti apakah yang saat ini
saudara dan saya hadapi? Bagaimana saduara dan saya hadapi pergumulan itu? Jika
selama ini kita masih mempertanyakan kemahakuasaan Allah, dan ingin Allah
segera menolong kita keluar dari pergumulan hidup kita, maka kita tidak akan
pernah menjadi dewasa secara rohani.
Marilah kita mulai membuka diri kepada Tuhan,
membiarkan Tuhan yang menelanjangi hidup rohani kita, pengetahuan dan pemahaman
kita yang terbatas. Biarkan Tuhan yang menyatakan Diri-Nya secara pribadi
kepada saudara, sehingga saudara juga dapat mengenal-Nya secara pribadi. Kejarlah
hidup rohani yang baik, maka saudara dan saya akan mampu menghadapi pergumulan
hidup dengan pertolongan dari Allah yang Mahakuasa dan tidak dapat dimengerti
oleh keterbatasan kita. Amin.
Pada akhirnya kitab Ayub mengantar kita kembali kepada
karunia Ilahi. Kitab Ayub mendorong kita agar memandang segala sesuatu dari
segi ilahi, bukan dari segi manusiawi.
Iman berarti belajar mempercayai Allah dalam
kegelapan, dalam ketidaktahuan, dalam bayang-bayang kegagagalan. Iman adalah
pemberian Tuhan kepada kita agar kita dapat menerima ketidakpastian.