(Pembinaan
Sesi 1, Sidang Tahunan Sinode GKKK 24-26 Juli 2019)
Narasumber : Pdt. Budianto Lim, Th.M., D.W.S.
Perkenalan
Saya (Budianto Lim) dan istri Lidya Siah baru kembali
dari Singapore 2 tahun. Dahulu kami melayani Gereja Presbyterian Bukit Batok di
Singapura untuk jemaat berbahasa Indonesia. Kami diberi kesempatan untuk bisa
bergabung dengan STT Reformed Indonesia dan membuka Magister Teologi dengan fokus
teologi ibadah. Kami bersyukur karena akhirnya Tuhan panggil kami pulang ke
Indonesia. Saya kuliah di Singapore Bible College (MDiv). Sebenarnya dulu saya bukan
hamba Tuhan fulltimer. Dulu saya pernah
bekerja di BCA Sudirman dan sangat menikmati sekali , tetapi Tuhan buat ‘sesuatu’
dengan diri saya. Intinya saya tidak mau. Dulu istri saya menjadi hamba Tuhan, jadi
saya yang mencari duit. Kerja di BCA enak karena semua ditanggung. Tetapi tidak
bisa melawan benih panggilan yang sudah ada sejak tahun 1993. Akhirnya saya sekolah teologia 2001 tapi bergumul sekali dalam aspek
panggilan tersebut. Awalnya untuk apa suami ikut istri? Untuk apa sekolah
Alkitab? Biarkan saja istri pelayanan di GKY Pluit. Lidya lulus dari music.
Pelayanan pertama di GKI Bungur (gereja Tionghoa) mirip GKKK semua menyanyi menggunakan
PPK dan KPPK. Kami menggeluti, mendoakan, menekuni aspek peribadahan berangkat
dari konteks pelayanan Lidya di GKY Pluit. Dulu gereja ribut tentang musik.
Mengapa diributkan? Dalam pergumulan itu, Lidya coba menggali firman Tuhan dan
saya turut mendampingi. Kami menemukan tidak perlu membicarakan (mempermasalahkan)
musik atau pakai alat musik apa? Yang menarik, ada beberapa gereja di Indonesia
yang sampai hari ini masih meributkan hal seperti itu. Sudah 15 tahun lebih (2001-2017)
sehingga kami terperanjat mengapa sampai hari ini masih membicarakan hal ini.
Berarti ada aspek teologi ibadah yang memang tidak terlalu tersentuh. Saya
khawatir, kita semua yang dididik di sekolah teologi (seminar, sekolah Alkitab)
tidak pernah mendapat kuliah teologi ibadah. Kita belajar Perjanjian Baru,
tetapi kita tidak melihat Perjanjian Baru ditulis setelah orang Kristen berhimpun
beribadah. Itulah awal pergumulan kami untuk mencari : Tuhan kamu maunya apa?
Mengapa orang Kristen masih meributkan ini? Banyak gereja Tionghoa (injili) merasa
terancam dengan gereja kontemporer sehingga akhirnya kita mencoba mengikuti
gaya mereka. Tapi mengikutinya tanggung-tanggung. Pemusiknya baru belajar, powerpoint
yang digunakan terkesan ‘kuno’. Padahal mereka sudah memakai LCD screen (kita
sulit mengikuti mereka). Semoga bapak/ibu bisa secara garis besar mengenal kami
meskipun sangat di permukaan saja. Kami menikah 20 tahun lebih, bergumul dan
tidak punya anak. Tetapi Tuhan baik karena memberikan banyak ‘anak ketemu besar’,
baik di jemaat maupun sekarang di STT. Kami tidak menyangka ada beberapa mahasiswa
dari STT yang berani memanggil Lidya sebagai mami. Berarti keberadaan kami at
least sudah bisa memberikan berkat meskipun baru 2 tahun.
Catatan tambahan :
Pdt. Budianto Lim, D.W.S. sekarang menjabat Ketua
Program Studi Magister Teologi di Sekolah Tinggi Teologi Reformed Indonesia
(dulu STTRII) dan dosen Teologi Ibadah
dan Perjanjian Lama. Pendidikan : S.Kom, Universitas Bina Nusantara. M.Div,
Singapore Bible College. Th.M, Gordon Conwell Theological Seminary. D.W.S,
Robert E. Webber Institute for Worship Studies (Doctor of Worship Studies)
Dinamika – ibadah Kristen itu dinamis
Saya berterima kasih kepada Pak Karyanto dan juga
bapak/ibu di Sinode yang setuju menerima usulan tema ini. Seperti apa dinamika
penyembahan Kristen yang sungguh bisa menginspirasi kehidupan secara holistik?
Jadi saya tidak hanya bicara kehidupan jasmani, kehidupan rohani atau secara
psikologi. Kita hanya bisa menjawabnya ,kalau mau jujur periksa seberapa jauh selama
ini kita menghayati esensi penyembahan Kristen? Saya sudah 2 tahun, Tuhan buka
pintu. Kami banyak pelayanan memberikan pembinaan ,khotbah di gereja-gereja dan
kami bertemu pola yang sama, juga di
seminari. Ketika ibadah mulai apakah di chapel sekolah Alkitab, sekolah Kristen
(saya sempat mengadakan pembinaan sekolah di Bandung) dan gereja , setiap kali membuka
ibadah langsung dimulai dengan menyanyi. Bagaimana bisa menginspirasi? Asumsinya
dengan menyanyi maka nyanyian dan musik akan menyentuh emosi dan emosi itu akan
menggerakkan diri seseorang. Ini yang saya ingin ajak pertimbangkan ulang. Karena
arti dinamika di sini, tentu ibadah Kristen tidak statis. Mengapa? Dinamis
karena ada liturgi yang memandu dinamika tersebut. Masih ada gereja orang
Kristen yang memikirkan bahwa ada gereja yang tidak punya liturgi. Setuju tidak
, ada gereja yang tidak punya liturgi?
Leitourgia = work of the people
Setiap gereja punya liturgi, tata urutan , sistem
ketika berkumpul. Ada konsensus yakni urutannya seperti ‘ini’. Bahkan gereja
kontemporer atau gereja karismatik seperti
Hillsong sekalipun (kami 2 tahun berkeliling gereja juga termasuk GBI, JPCC
dll), polanya setiap minggu sama. Menyanyi 30-40 menit kemudian baru masuk
firman Tuhan. Di tengah menyanyi musiknya tidak pernah berhenti, di
tengah-tengah menyanyi tiba-tiba doa. Kita tidak tahu apakah kita diajak berdoa
atau tidak, pokoknya worship berjalan terus. Di gereja kontemporer orang
yang demam panggung tidak bisa jadi worship leader karena bisa
keringatan di depan meskipun ruangannya ber-AC. Di beberapa gereja tradisional
(GKP, HKBP, BKPN, Gereja Toraja) , katanya kalau mau memimpin ibadah, mereka
harus minum tuak terlebih dahulu baru lancar (mengerikan sekali).
Tidak ada gereja yang tidak punya liturgi. Liturgi
tidak statis karena liturgi adalah living
literature (literatur yang hidup) karena orang di setiap gereja berbeda-beda.
Liturgi itu kontekstual dalam gereja lokal. Maka liturgi itu tidak bisa menjadi
tradisi yang harga mati tidak bisa diubah 40-50 tahun karena profile jemaat-nya
saja berubah. Kami mengalaminya sendiri. Pelayanan kami di gereja Singapore itu
awalnya 65% mahasiswa, tetapi 10-15 tahun kemudian profilnya berubah. Mahasiswa
tersebut menikah semua dan menjadi keluarga muda. Berarti ada yang harus berubah
di dalam konsensus bagaimana kita berjumpa dengan Allah. Bahkan di chapel
sekolah Kristen ada liturginya (sama terus setiap minggu). Kalau berbeda sedikit
akan diprotes oleh siswa (tidak boleh begini, kita kan begitu urutannya). Ada
juga arti liturgi = work of the people. Ketika orang Kristen berhimpun,
mereka diajak berdoa, memuji, membaca dan mendengarkan firman dll , jika mereka
berpartisipasi berarti mereka berliturgi. Hanya seringkali jemaat tidak diajak
partisipasi. Kalau diperhatikan ada gereja-gereja kontemporer yang sebenarnya
sama dengan gereja Katolik sebelum transformasi. Gereja Katolik dulunya juga
seperti itu, jemaatnya hanya nonton. Dan kebanyakan pada zaman sekarang gereja kontemporer yang luar biasa, jemaatnya
malas menyanyi karena musik-nya begitu keras
sekali. Bahkan kalau kita mau menyanyi sampai pingsan sekali pun dan mulut berbusa-busa
tidak akan terdengar suara kita. Kecuali
jemaat dikasih mic. Jadi ini harus kita perhatikan
dan pertimbangkan.
Ibadah yang Dinamis.
Seperti
apa ibadah yang dinamis? Kita perlu masuk komponen kedua dari tema kita yaitu
penyembahan Kristen. Di mana prinsip yang paling basic adalah semua
orang pasti menyembah sesuatu atau seseorang (everybody worship something or
someone). Tidak ada manusia yang ateis. Yang ada adalah idolatrous atau
mereka yang jatuh di dalam pemberhalaan. The problem of human beings &
God’s people is not atheism but idolatry. Waktu sadar, hal ini dikaitkan
dengan aspek kebaktian (peribadahan), kita tidak menghubungkan kebenaran itu
dengan wujud praktisnya. Jadi masalah hidup manusia terbesar bukan ateisme
tetapi pemberhalaan. Jadi yang perlu diperiksa, apakah yang selama ini
dikerjakan, benarkah penyembahan Kristen atau bukan? Jangan langsung memikirkan
nyanyian yang dipakai apa : nyanyian dunia
atau sorga? Banyak masalah nyanyian. Pinggirkan dahulu pikiran kita yang kalau
bicara penyembahan adalah nyanyian penyembahan. Ini hal yang aneh. Banyak pemimpin
ibadah baik di gereja kontemporer maupun gereja injili yang mengikuti gereja
kontemporer (gereja Injili yang worship leader- nya ditraining di gereja
kontemporer) ada ungkapan seperti ini. Dari depan sudah menyambut dan diajak
memuji-muji Tuhan, dengan pujian sukacita, bersorak dan bersyukur. Lalu ia
berkata, “Mari saudara-saudari terkasih kita masuk ke dalam penyembahan?” Jadi
kalau begitu yang lakukan sebelumnya dianggap apa? Apakah memuji-muji Allah
bersyukur itu bukan penyembahan? Ada terminology mengenai penyembahan yang seolah-olah penyembahan itu hanya ada satu
titik. Mendengar khotbah itu juga dianggap bukan penyembahan. Kita berkhotbah
dianggap bukan penyembahan. Kita berkhotbah itu pun bukan dianggap penyembahan.
Ini yang perlu dipertimbangkan ulang. Apa yang saya bagikan ini , mungkin bagi
sebagian dari bapak/ibu merasa tidak nyaman karena akan merombak seluruh
pemahaman teologia kita khususnya teologia ibadah dan prakteknya.
Kami
mencoba untuk terus mengajak agar gereja jangan hanya konsentrasi pada pengalaman
ibadah (experiential worship). Kalau kita mengalami (mendapatkan pengalaman
ibadah) tetapi tanpa pendalaman ibadah, maka pengalaman hanya itu temporer. Nanti
kalau zaman berubah, maka kita akan berubah lagi (mengikuti zaman). Pendalaman
ibadah itulah yang kami yakini sebagai transformasi gereja yang terjadi dengan utuh.
Inspiratif
Komponen terakhir adalah inspiratif. Dari Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI), inspiratif-adanya ide-ide kreatif yang muncul karena
ada rangsangan dari luar. Pertanyaannya adalah untuk kita yang menyembah
(melakukan penyembahan kristiani), rangsangannya apa? Apakah rangsangannya dari
dunia markerting atau rangsangannya dari firman Tuhan yang digumuli sedemikian
rupa sehingga cocok dengan perkembangan zaman? Atau memang ini menjadi
pertanyaan yang patut kita pertimbangkan. Seperti apa dinamika penyembahan
kristiani yang inspiratif diwujudkan di dalam kebaktian minggu atau pun chapel?
Secara global ada salah satu gereja (bukan
satu-satunya) yang kebaktiannya dianggap inspiratif yaitu Willow Creek
Community Church. Pdt. Bill Hybels (1951) mencetuskan satu ibadah yang disebut
sebagai Seeker sensitive worship service. Siapa yang pernah membaca buku
Pdt. Bill Hybles dan kemudian mencoba mengikuti gaya pemuridan dari pendeta
ini? Mungkin ada mungkin tidak. Kebaktian ini mencetuskan kebaktian hari minggu
dengan slogan sit back dan relax. Jemaat yang ikut kebaktian di gereja awalnya
tidak terlalu banyak dan sekarang jemaatnya sudah 25.000 orang. Bayangkan saja
lapangan parkirnya besar-besar. Tujuannya kebaktian minggu untuk menginspirasi
orang-orang untuk mengajak teman baru
supaya mendengar injil atau minimal mereka mendengar pesan Kristen. Kebaktian
minggu didisain untuk orang-orang yang non Kristen, yang belum percaya Yesus.
Mereka minta ahli marketing melakukan market research di sekitar
lingkungan gereja ini dan kemudian opini publik dikelola dan dipelajari
mengenai gereja dan kekristenan. Salah satu hasilnya , gereja merancang
kebaktian supaya orang non Kristen tidak mudah tersinggung. Jadi istilah dosa
tidak dipakai. Salib sebagai simbol visual satu-satunya gereja Protestan juga tidak
dipakai. Kalau diperhatikan gereja kontemporer yang luar biasa, terkadang salib
juga tidak ada karena tidak ada tempatnya. Yang di depan apa? Screen
yang besar sekali dan orang banyak sekali, pemusik dan sebagainya. Hal ini bukan
berarti gereja ada salibnya pasti berpusat pada Kristus, belum tentu juga. Bisa
jadi itu hanya pajangan saja. Karena di dalam setiap kebaktian jemaat tidak pernah
diajak untuk perhatikan salib. Renungkan hidup seminggu apakah sesuai dengan pengorbanan
Kristus atau belum. Apakah ada yang di saat teduh, musik-nya tidak ada tetapi jemaat
diajak melihat salib. Jarang! Saya belum ketemu gereja Tionghoa yanga melakukan
itu. Jangan-jangan, gereja besar dengan salibnya besar sekali tetapi tidak pernah
dipakai untuk fasilitasi mengajak jemaat untuk introspeksi. Senin sampai Minggu
ada tidak dosa-dosa yang dilakukan yang
perlu disalib di sini? Ini satu hal yang perlu dipertimbangkan. Semoga
apa yang disampaikan di depan ini,
bapak/ibu merasa diberkati.
Saya ingin mengajak kita merenungkan : inti dari
contoh ini yang dianggap insipriatif. Kebaktian minggu yang diperlakukan
sebagai platform, adalah panggung atau alat penginjilan? Karena sebagai
platform, maka model yang dipakai adalah model konser entertainment. Karena
bukan hanya musik, tetapi ada visual, pencahayaan dsbnya. Yang menarik adalah pendekatan
ini ditiru oleh gereja-gereja Indonesia, pendekatan ini dipakai untuk
menjangkau generasi milenial (muda). Mungkin sebagian kita menerima pesan WA di
mana dirjen bimas Kristen mengutip bahwa kita punya bonus demografi. Sehingga
gereja harus menyesuaikan kebaktian agar bisa menjangkau generasi milenial. Buat
saya, saya kesulitan dengan dorongan seperti itu. Karena kalau kita baca bilangan
reseach centre hasilnya dibukukan mengenai spiritual generasi muda,
bukan hanya kebaktian tapi yang mereka rindu adalah perubahan. Yang nomor satu adalah
contoh figur senior yang bisa jadi contoh (teladan). Ini banyak terjadi di
gereja-gereja. Gereja Willow Creek ini menjadi model untuk gereja-gereja yang cukup
banyak di Indonesia dan secara global. Kebaktian diubah kemasannya, ruang kebaktian
dibuat gelap. Ada GKKK yang kebaktiannya digelapkan? Orang tua akan susah berjalan
dan bisa tersandung, sedangkan anak muda suka. Karena generasi milenial (muda)
adalah generasi yang inginnya ‘terima saya apa adanya’ (I am who I am). Jadi
ia masuk ruangan kebaktian gelap dengan satu keyakinan bahwa tidak ada yang
melihati dia. Gelap menolong ambience. Saya tidak mau mempermasalahkan
gelap atau tidak. Buat saya, kalau secara pastoral itu membantu jemaat untuk
mengarahkan hati kepada Tuhan, saya kira itu baik. Hanya ada caranya. Tapi
jangan dari awal sampai belakang gelap terus, orang hanya diajak nyanyi sehingga
membaca firman Tuhan jadi malas.
Yang saya syukuri dari gereja Willow Creek adalah gereja
ini pada Willow Creek Church Summit Starts under Cloud of Sexual Misconduct Scandal
tahun 2008 mengakui we made a mistake. Ini dipublikasikan pernyataan
tersebut. Kepemimpian gereja ini menemukan bahwa pertumbuhan rohani dalam aspek
keintiman dengan Tuhan , pelayanan kepada sesama semua dipengaruhi sangat kecil oleh aktivitas rohani
khususnya aktifitas dalam kebaktian. Asumsi yang selama ini dipakai oleh gereja
tersebut (karena menggunakan market research) : kalau orang melayani
berarti komitmen orang itu bagus, kalau komitmen orang itu bagus berarti ia
bertumbuh dan cinta Tuhan serta puas dengan gereja. Ternyata setelah ribuan
jemaat diinterview, bukan itu yang terjadi. Jemaat tidak puas dengan gereja. Jemaat
merasa gereja belum melakukan lebih. Naturnya orang Kristen menjadi konsumen (semakin
konsumeristik). Ini satu hal yang mengejutkan untuk saudara/i kita yang
digandrungi secara global. Strategi yang diambil dari dunia marketing adalah
mengakomodasi kebutuhan manusia dengan cara memberikan apa yang disukai orang-orang
ternyata tidak menolong jemaat untuk semakin serupa dengan Kristus. Mengapa
begitu? Padahal gereja ini rancangan ibadahnya luar biasa sekali. Yang menjadi
masalah adalah rancangan ibadah seperti Gereja Willow Creek makin tidak berbeda
dengan dunia hiburan. Ada yang berani mengakui , tetapi begitu mengakui kita
dianggap menghakimi. Kita tidak sedang menghakimi tapi sedang mencoba mengajak
kembali, coba lihat kembali Alkitab. GKKK adalah gereja injili dan kita
meyakini bahwa The Bible is sufficient (Alkitab atau firman Tuahn itu
cukup memberi petunjuk untuk kehidupan kita, apalagi aspek penyembahan). Ini sentral
karena tiap minggu kita melakukannya.
Ada ahli Sally Morgenthaler mengatakan, Seeker
sensitive service Willow Creek Church is “a pre-evangelistic entertainment, a
highly captivating (orang ingin ikut) sixty minute, ‘informercial’ for Christianity”
(ungkapan yang komersial karena menggunakan social media dlsbnya,
dijual juga jadi podcast, CD, buku ,
dsbnya). Saya berpikir memang orang Kristen banyak yang jadi
pedagang, sehingga apa-apa dijual. Hal yang kita lihat di Willow Creek juga terjadi
di Singapore. Istri Pastor Kong Hee (gereja City Harvest) , Sun Ho, membuat
music video dengan penyanyi sexy untuk menjangkau generasi muda. Katanya untuk
menginjili generasi muda karena generasi muda katanya suka seperti itu. Akhirnya pada tahun 2015 lalu, Pdt. Kong Hee dan
beberapa pengurus gereja City Harvest divonis bersalah dan dimasukkan ke
penjara karena menyalahgunakan uang gereja sebesar 35 juta dolar Singapura
untuk mendukung karir menyanyi Sun Ho. Dalam salah satu online news, ada
komentar yang berbunyi, “Tidak mungkin menyampaikan Injil dengan kemasan yang
bertolak belakang dengan nilai -nilai Injil . Ketika itu terjadi, maka
intensitas kekuatan Injil diturunkan derajatnya.” Ini kalimat kebenaran tetapi
seringkali tidak bisa dikaitkan ke dalam konteks kebaktian minggu .
Karena sebagai seorang hamba Tuhan apalagi Gembala
Sidang , kita selalu deg-degan, minggu ini lebih banyak atau kurang jemaat yang
hadir. Ada juga gereja yang memakai KPI (Key performance index). KPI nya
bagaimana? Semua di-KPI-kan seperti BCA. Deposito kalau jadi marketing tahun
ini harus masuk tahun ini berapa miliar Rupiah nasabah deposito baru. KPI tidak
salah di dalam gereja karena ini manajemen dan administrasi gereja. Gereja
perlu visi tetapi bukan hanya menjadi mimpi harus ada goal-setting, di
mana visi itu diterjemahkan secara konkrit sehingga akhirnya terjadi. Tetapi
tidak mungkin semua urusan rohani dinumerikan. Tapi tidak mungkin semua unsur
kerohanian di numerikan. Khususnya di gereja-gereja Tionghoa khususnya majelis
yang sangat berpikir manajerial sekali, KPI-nya apa? Ujung-ujungnya jumlah jemaat, uang yang masuk dan mungkin property.
Ini satu hal yang kita harus hati-hati sekali. Bahkan Churchleaders.com pernah mengeluarkan
artikel Entertainment fatigue, are people tired of the church glitzy
stage? (apakah gereja sudah mengalami kelelahan yang luar biasa? Mau bangun
sudah malas. Tiba-tiba muncul sinar terang
dan pengkhotbah keluar dari bawah pakai asap. Tetapi di Amerika kalau search
di google, banyak yang aneh-aneh terjadi. Tidak sedikit ibadah gereja dirancang
berdasarkan model yang mengikuti kultur panggung hiburan yaitu konser. Jika
jujur memang format kebaktian gereja banyak mengikuti panggung hiburan
khususnya gereja kontemporer atau gereja yang mencontoh gereja kontemporer.
Dengan model format panggung berikut seluruh kemasan pencahayaannya. Jadi kalau
kita mau menggunakan model konser, maka tidak bisa tidak harus menggunakan cahaya,
music, orang banyak di depan, LED screen. Itu lingua franca dari dunia
entertainment. Kalau kita mau pakai model seperti itu tetapi mau pakai HD LED display
screen, anak muda -anak muda sering berkata,”Apaan seperti itu? Tanggung-,
tanggung.” Betul juga pendapat mereka. Begitu kita pakai model tersebut, maka
etos panggung hiburan akan masuk kehidupan gereja. Akhirnya pelayan ibadah jadi
satu tim elit (bintang panggung). Kita yang duduk adalah customer. Ada
gereja-gereja di mana jemaatnya berlomba jadi worship leader karena setiap
worship leader ada baju baru, jas baru. Mentalitas orang Kristen sebagai
konsumen, semakin menggelembung dan hamba Tuhan , pengurus gereja menjadi tim
yang fungsinya seperti event coordinator atau wedding coordinator / planner
yang merancang segala sesuatu untuk pasangan mempelai agar mereka bisa dipakai lagi
oleh pasangan lain. Ujung-ujungnya keletihan luar biasa, karena rancangan
ibadah cenderung untuk memuaskan jemaat.
Apakah kita sederap dengan saya? Benar tidak yang saya
katakan? Anda bergumul tidak dalam aspek-aspek ini dalam gereja anda? Ada
kencenderungan untuk mengubah kebaktian. Hanya kita tidak tahu cara mengubahnya
bagaimana. Kita punya contohnya : toko sebelah karena jemaat kita yang
muda-muda banyak yang ke toko sebelah. Sehingga kita pikir kalau kita pakai
cara toko sebelah maka diharapkan anak-anak muda balik ke gereja kita. Hati-hati
dengan cara berpikir seperti itu. Ada gereja-gereja di Indonesia yang mengikuti
kebaktian sampai mengikuti titik seperti ini, penuh dengan cahaya. Lagu yang
dinyanyikannya “Sebab Kau Besar”. Kalau trend kebaktian di Indonesia seperti
kita, terus mengarah seperti ini maka ekstrim sekali. Kalau trendnya seperti
ini maka gereja makin tidak bisa dihadiri oleh orang-orang miskin. Siapa yang berani
masuk ke gereja seperti ini? Gereja semakin dipandang sebagai kumpulan orang-orang
yang tidak ada bedanya dunia hiburan. Negara kita populasi muslim terbesar,
mereka tidak akan mau masuk ke gereja karena gereja itu ‘aneh’. Gereja seperti
diskotik, pub, jazz pub dan sebagainya. Gereja semakin mengalami kebingungan
identitas sekarang ini. Kita ditempatkan di dalam dunia tetapi kita bukan berasal
dari dunia. Dalam hati saya berkata, “Tuhan enak bicaranya sedang kita
bergumul. Bagaimana hidup di dalam dunia era digitalisasi tetapi kami bukan
berasal dari dunia? Kalau kami pakai cara-cara dunia apakah kami menjadi seperti
dunia?” Begitu bolak-balik.
Ada seorang pendeta dan juga presiden k e-3 dari Westminster
Seminary di California, Robert Godrey berkata, “Entertainment is often sold in
the name of evangelism” (Gereja menjual
hiburan atas nama penginjilan). Ini fakta dan realita di mana gereja bingung akan
esensi penyembahan dan penginjilan. Gereja bingung akan identitas dan tujuan
mengapa gereja ada. Saya tidak tahu sampai sejauh bapak/ibu di GKKK bisa
menjawab pertanyaan seperti tadi. Mengapa ada GKKK di Bandung padahal di
Bandung banyak gereja? Demikian juga di Jakarta ada beberapa GKKK padahal sudah
banyak gereja di Jakarta. Terkadang saya bingung. Misal : di jalan Pasar Baru.
GKY Samanhudi sebelahnya GKBJ. Setiap minggu karena tidak ada lahan parkir,
maka ¾ badan jalan habis untuk parkir. Jadi kita tidak ada bedanya dengan orang
Muslim yang sedang sembahyangan. Bedanya yang ini mobil sedangkan mereka
tikaran. Orang-orang Muslim melihat gereja tidak mau masuk. Orang ke gereja
bawa mobil semua sehingga mereka takut.
Ada seorang teolog reform bernama Jean-Jacques von Allmen
dari Swiss. Ia menjadi pendeta di Lucerne, Swiss selama 17 tahun dan professor dari
teologia praktis di University of Neuchatel dari 1958 hingga pensiun tahun 1980
dan meninggal pada tahun 1994. Beliau menggarisbawahi identitas gereja terkait
dengan ibadah dan menulis, “Hanya melalui ibadah atau kebaktian Kristen, gereja
menggenapi identitasnya, gereja mencapai kesadaran akan eksistensinya, gereja
mengakui dirinya sebagai entitas yang unik dan berbeda”. Kalau kita tidak
memperhatikan bagaimana kita melakukan kebaktian (ibadah) setiap Minggu, maka
sebenarnya kita sedang menyangkal identitas gereja.
Pelaksanaan ibadah menghidupkan natur gereja yang semestinya.
Waktu kita pergi ke mal melihat begitu banyak orang, lalu
bertemu dengan 1-2 orang memakai kalung salib. Apakah kita akan menyebut orang
itu sebagai gereja? Tidak! Tetapi kalau kita ke mal, orang tidak pakai salib,
ada 3-4 orang masuk ke satu ruangan yang dari depan terdengar suara pujian. Kita
akan menyebut orang itu masuk ke gereja. Jadi yang Namanya gereja tidak mungkin
1 atau 2 orang. Tetapi orang menyebut satu kumpulan sebagai gereja ketika
ibadah terjadi. Benar tidak? Ibadah dan identitas gereja tidak bisa dipisah.
Ibadah tidak bisa jadi alat penginjilan seperti yang dilakukan oleh Willow
Creek Community Church.
Yang lebih mengejutkan lagi adalah tulisan alm. Pdt.
John Stott. Tulisannya tajam sekali dan saya khawatir banyak dari kita yang
tidak setuju. Ia mengatakan,”Panggilan
utama gereja bukan penginjilan (evangelism) tetapi penyembahan (worship)”. Setuju
tidak dengan kalimat ini? Kita di Indonesia kan menginjili. Banyak dari kita yang
bertobat dan diteguhkan panggilan setelah mendengar kotbah Pdt. Stephen Tong
yang sampai hari ini masih terus melakukan KKR gaya abad 18-19 seperti George
Whitefield, John Wesley dengan altar call dan sebagainya. Tetapi panggilan utama
gereja bukan penginjilan. Hal ini bila didiskusikan bisa menimbulkan
pertikaian. Bagaimana mau menyembah kalau tidak tahu Injil dan tidak tahu
(kenal) Yesus?. Dalam Lukas 24 ada cerita Yesus sudah bangkit dan tiba-tiba menampakkan
diri kepada dua muridNya yang mau pulang ke Emaus tetapi kedua muridNya itu tidak
mengenali Yesus. Kedua murid itu baru mengenali Yesus, setelah Yesus mengambil
roti, memecah-mecahkan, mengucap berkat dan kemudian memberikannya. Tindakan
simbolis dari perjamuan kudus ini yang membuka mata mereka. Intinya mengenali
Yesus adalah suatu kunci. John Stott, mengatakan ada 3 alasan Pdt. John Stott
mengungkapkan pandangannya itu yaitu :
-
Sebab penyembahan
itu akan berlanjut pada kekekalan tetapi penginjilan bersifat sementara.
-
Sebab Allah dan
kemulianNya adalah yang terutama sedangkan penginjilan ialah ekspresi konkrit
penyembahan yang diterima Allah. Kalau orang benar menyembah Allah Tritunggal,
Allah yang mengutus anaknya yang tunggal dan kemudian memberikan Roh Kudus
kepada kita, lalu kita berkata untuk apa penginjilan, itu bukan penyembahan. Waktu
belajar tentang Perjanjian Lama , saya tidak pernah ketemu Tuhan Allah (Allah Yahweh)
menyuruh (memerintah) orang Israel untuk
menjadikan bangsa lain menjadi seperti orang
Israel. Kalau buat paradigma mengenai misi penginjilan, yang dimaksud misi
penginjijlan yang Tuhan maksud bukan
sekedar pergi tetapi jadikan komunitas Kristen (jadi mercu suar , beacon).
Orang ingin melihat ada apa di komunitas itu. Maka ada cerita, waktu Daud
melakukan survei, Tuhan menghukum atau tidak? Tuhan hukum! Mengapa? Apa
salahnya melakukan survei? Survei dilakukan untuk menunjukkan keberhasilan dan
kekuasaannya. Begitu ia melakukan survei, ujung-ujungnya ia ingin melakukan
ekspansi Israel. Tuhan tidak pernah menyuruh ekspansi Israel. Israel segitu
saja, tidak perlu apa-apa lagi, tapi hidup seturut amanat yang Tuhan inginkan.
Ini suatu hal yang luar biasa dalam Perjanjian Lama yang banyak dari kita tidak perhatikan (miss).
-
Sebab All true
Christian are worshipper but not all Christians are evangelistic.
Dengan paparan seperti ini, saya berharap bapak/ibu
menangkap bahwa penyembahan Kristen yang inspiratif harus punya pondasi yang
berpijak pada jati diri gereja sesuai perspektif Tuhan Allah. Kalau GKKK
bingung identitas unik di dalam kebaktiannya, maka gereja itu belum tentu menjadi
inspirasi buat jemaat atau orang-orang yang belum percaya. Salah satu
perspektif Allah yang eksplisit mengenai pondasi penyembahan adalah Yohanes 4:1-54.
Ayat 23 Tetapi saatnya akan datang
dan sudah tiba sekarang, bahwa penyembah-penyembah benar akan menyembah Bapa
dalam roh dan kebenaran; sebab Bapa menghendaki penyembah-penyembah demikian. God
is seeking. Seeking itu pada zaman sekarang seperti CCTV (searching,. siapa yang
sungguh menyembah sejati. Ajaran Kristus dalam konteks percakapan dengan seorang
perempuan dari Samaria. Allah Bapa mencari dan kebenaran akan siapa diri Allah
di Yohanes 4 konsisten dengan di Kejadian 3. Waktu manusia jatuh dalam dosa, apa
yang Tuhan lakukan? Yang pertama Dia mencari. Tuhan bertanya, “Di manakah
engkau Adam?” Memangnya Tuhan tidak tahu? Dia tahu! Lalu kenapa masih tanya?
Dengan bertanya, Dia menunjukkan siapa diriNya, “Dia adalah Allah yang tidak langsung
menghukum”. Betul? Yang kedua kali, Tuhan bertanya lagi. Lihat Kejadian 3:9
Tetapi TUHAN Allah memanggil manusia itu dan berfirman kepadanya: "Di
manakah engkau?" Ayat 10
dijawab oleh Adam. Lalu pada ayat 11 Tuhan Yesus bertanya lagi. Firman-Nya:
"Siapakah yang memberitahukan kepadamu, bahwa engkau telanjang? Apakah
engkau makan dari buah pohon, yang Kularang engkau makan itu?" Memangnya
Tuhan tidak tahu kalau mereka sudah makan? Tahu! Lalu mengapa masih tanya? Ayat
12 dijawab lagi. Ayat 13 Tuhan bertanya lagi. "Apakah yang telah
kauperbuat ini?" Tuhan berlagak tidak tahu? Tidak! Lewat pertanyaan
dan perkataan Tuhan yang bentuknya pertanyaan, kita menangkap bahwa Tuhan kita
bukanlah Tuhan yang langsung menghukum tetapi Tuhan yang mencari, Tuhan yang terus memberi kesempatan. Itu Tuhan
yang kita sembah. Pertanyaan dalam konteks kebaktian tiap hari Minggu, apakah jemaat
yang kita layani sadar tidak kalau Tuhan adalah Tuhan yang terus mencari
dan memanggil (ayo pulang)? Dia adalah Tuhan
yang cemburu.
Yoh 4:20-22 Nenek moyang kami menyembah di atas gunung
ini, tetapi kamu katakan, bahwa Yerusalemlah tempat orang menyembah." Kata Yesus kepadanya: "Percayalah kepada-Ku,
hai perempuan, saatnya akan tiba, bahwa kamu akan menyembah Bapa bukan di
gunung ini dan bukan juga di Yerusalem.
Kamu menyembah apa yang tidak kamu kenal, kami menyembah apa yang kami
kenal, sebab keselamatan datang dari bangsa Yahudi. Tuhan terus menegur si
perempuan. Waktu perempuan mengatakan, “Nenek moyang kami (ini tradisi) menyembah
di atas gunung ini, tetapi kamu bilang Yerusalem tempat orang menyembah.” Saat
wanita ini mengucapkan kata-kata tersebut berdasarkan iman dia dengan tulus
tapi salah. Banyak orang Kristen berkata, “Sudah tidak apa-apa , yang penting
hatinya. Yang penting dia tulus”. Kalau tulus tapi salah (tidak sesuai dengan
kehendak Tuhan), untuk apa? Jadi kita harus hati-hati. Tuhan mengatakan ini
untuk mengoreksi. Karena kalau perempuan Samaria dan orang Samaria menyembah
Allah yang tidak dikenal maka tindakan penyembahan pasti salah semua. Tuhan
memberikan koreksi karena pikiran itu salah sehingga tindakan penyembahan menjadi
salah sehingga diarahkan Tuhan Yesus. Ketika kita mengenal siapa yang disembah,
kita tidak terlalu mudah jatuh ke dalam pemberhalaan. Kalau kita tidak mau (kita
tidak mau pusing) apakah jemaat menangkap
atau tidak, pokoknya kebaktian caranya begini. Kalau kita pakai seperti itu,
apalagi konteks zaman sekarang, maka saya khawatir, yang dilakukan tiap minggu adalah
bukan penyembahan tetapi pemberhalaan. Kita melatih jemaat ,”Ayo saya maunya
begini.” Apalagi kalau di gereja ada orang penting. Ada contohnya di kitab 1 Korintus. Jemaat tidak berani tegur
orang berpengaruh di dalam gereja karena karena kemungkinan besar dia adalah donatur.
Konteks zaman ini bisa membuat kita menyembah berhala
dan bukan menyembah Tuhan. Dan hal ini ditulis dalam buku yang menjadi bestseller
yaitu ‘Homo Deus, A Brief History of Tomorrow’ (masa depan umat manusia) oleh Yuval
Noah Harari. Diusulkan hamba-hamba Tuhan dan guru-guru sekolah perlu membaca
buku yang menjadi bestseller. Ia bicara tentang homo deus dan mengatakan,
“Dengan kecanggihan digitalisasi, ego manusia itu semakin besar dan menggelembung
tapi dalamnya kosong”. Banyak manusia memberhalakan dirinya sendiri dengan
kehidupan di era digital. Contoh : selfie. Bukan berarti tidak boleh
foto. Tapi kalau setiap kali makan difoto, bagaimana? Ada teman SD – SMP
seperti itu dan memuat fotonya di Instagram. Ia agen asuransi dan dapat bonus
jalan-jalan ke Rusia dan negeri lainnya. Di mana pun ia makan difoto. Menurut
saya , ini agak berlebihan karena bisa membuat orang iri hati. Kalau
penyembahan Kristen sungguh mau menginspirasi maka kita perlu kembali ke esensi
penyembahan yang sesungguhnya (penyembahan sejati). Esensi : tidak mungkin
terlepas dari pengenalan kita akan siapa diri Allah. Kalau tidak, apa yang
dilakukan gereja setiap minggu akan menjadi pemberhalaan. Masalahnya : di
gereja sedikit sekali khotbah yang mengajarkan mengenai isu pemberhalaan.
Menurut Pdt. Dr. John D. Witvliet (1967) dari Calvin
Theological Seminary, Amerika Serikat. Ia mengatakan, “Asumsi salah : menyembah
berhala itu primitf dan tidak akan terjadi pada masyarakat zaman now (sudah ada
teknologi tinggi). Pemberhalaan , harus bahas mengenai dosa.” Orang Kristen
berasumsi: kalau kita (yang dari tradisi-tradisi Tionghoa) sudah tidak sembahyang pakai patung, maka kita tidak
akan jatuh pada pemberhalaan. Kalau kita yang bukan Tionghoa, mungkin dari
latar belakang animisme, dinamisme, dulu leluhur kita pakai dukun dsbnya, kita
berpikir ,”Oh itu primitif”. Saya sudah dididik di sekolah Alkitab, jemaat saya
tidak mungkin jatuh dalam pemberhalaan. Menurut John D. Witvliet. hal itu
asumsi yang salah. Karena ada asumsi yang salah, maka urusan pemberhalaan itu tidak
terlalu disinggung di gereja-gereja. Alasan lain karena begitu omong berhala, berarti omongin
dosa, kecuali Pak Tong. Siapa di zaman sekarang yang suka diajak merenungkan
dosa? Bersyukur, Pdt. Stephen Tong makin senior semakin jarang omelin orang.
Paling tidak kalau jemaat ke toilet tidak diomelin. Saya kira Pak Tong, punya
sisi yang kita syukuri, Pak Tong enak kalau diajak ngobrol. Saya mendengarnya
dari gembala senior saya di Singapore dan rekan-rekan di STRII yang pernah
diajari Pak Tong : sikap humoris, passion - nya, semangatnya. Itu energi
dari mana? Naik tangga sudah berat tapi begitu di atas mimbar ada roh yang
berbicara melaluinya. Kita bersyukur beliau ada di Indonesia.
Saya adalah hamba Tuhan yang karena bandel tapi
melalui Pdt Stong akhirnya menyerah. Kalau mau panggil, panggillah! Pakai malu-malulah.
Saya ‘dipanggil’ bukan lewat khotbah tetapi lewat QnA (tanya jawab). Dari rumah
saya berkata, saya tidak mau bertanya macam-macam. Benar, tidak ada yang mau
tanya-tanya. Biasanya ada yang bertanya bagaimana tahu kita dipanggil jadi
hamba Tuhan fulltime. Benar-benar tidak ada yang tanya, saya happy
luar biasa. Begitu Pak Tong mau menutup dalam doa, tiba-tiba ada satu orang
lari dari belakang dan memberi kertas dan menanyakan hal itu : “bagaimana saya
tahu kalau saya dipanggil jadi hamba Tuhan?” Saya kesal sekali. Pak Tong menjawab
dan memberi tahu semua. Karena bandel, saya lewati semua itu. Akhirnya Pak Tong
berkata,”Kalau benar-benar dipanggil, jangan bandel dan lari nanti ditabok
Tuhan dst nya. Saya semakin takut. Tapi saya dari tempat duduk saya tetap
keukeuh,”Tuhan, saya tidak mau. Saya bisa melayani engkau melalui konteks market
place. Banyak orang Kristen apalagi di gerja, tidak pernah membicarakan
bahwa bekerja adalah penyembahan. Padahal bekerja ada sebelum manusia jatuh
dalam dosa. Khtobah-khotbah di gereja tidak memperlengkapi umat Tuhan yang ada di
tengah-tengah lapangan pekerjaan,yang meluangkan waktu lebih dari 50% untuk
bekerja dan berusaha. Saya keukeuh
berkata,”Tuhan ngapain? Sudah istri saya saja!” Saya kepalkan tangan dan
berkata,’Saya tidak mau Tuhan!”. Tapi entah kenapa seperti ada awan di belakang
saya, sehingga saya bangun berdiri. Tetapi saya tetap kepalkan tangan dan
seperti ada yang dorong. Waktu saya maju ke depan, teman paduan suara saya yang
kerja di bank juga menertawakan saya.
Kita tidak suka membicarakan aspek dosa. Bagaimana
mengatasinya? Rev. Dr. Timothy Keller dari Redeemer Presbyterian Church, New
York mengatakan, “Berhala tidak bisa disingkirkan, tetapi perlu digantikan (disubstitusi)”.
Kalau kebaktian tiap minggu, jemaat pulang kebaktian, makin tidak kenal siapa Tuhan
yang disembah, bagaimana mau menyingkirkan berhala-berhala dalam hidupnya.
Tuhan yang dikenalnya hanya satu yaitu Tuhan adalah kasih. Tuhan baik. God
is so good all the time. Tetapi apa aratinya? Apa artinya Tuhan adalah
kasih? Padahal di kitab Ibrani Tuhan mengatakan,”Kalau Aku mengasihi kamu , aku
akan mendisiplinkan kamu”. Saya khawatir, kita menonjolkan Tuhan sebelah saja
yaitu imanen tapi yang transenden tidak kita tunjukan. Dasarnya dari Yehezkiel
14:3-4 , Berhala harus diganti Tuhan sejati yang hidup. Yeh 14:3-4 "Hai anak manusia, orang-orang ini
menjunjung berhala-berhala mereka dalam hatinya dan menempatkan di hadapan
mereka batu sandungan, yang menjatuhkan mereka ke dalam kesalahan. Apakah Aku
mau mereka meminta petunjuk dari pada-Ku? Oleh sebab itu berbicaralah kepada
mereka dan katakan: Beginilah firman Tuhan ALLAH: Setiap orang dari kaum Israel
yang menjunjung berhala-berhalanya dalam hatinya dan menempatkan di hadapannya
batu sandungan yang menjatuhkannya ke dalam kesalahan, lalu datang menemui nabi
— Aku, TUHAN sendiri akan menjawab dia oleh karena
berhala-berhalanya yang banyak itu. Berhala harus diganti dengan Tuhan
yang sejati,benar dan hidup. Artinya kebaktian Gereja atau di sekolah
Kristen perlu mencari cara bagaimana bisa menonjolkan siapa Tuhan yang disembah,
Tuhan yang jauh lebih berharga dari seluruh dunia ini. Saya percaya, untuk kita
yang sudah menyerahkan hidup kita kepada Tuhan, hidup kita hanya sekali, kalau kita
sudah serahkan semuanya, dan kita makin tidak mengenal Tuhan, nanti di ujungnya
Tuhan berkata, “Siapa kamu? Saya tidak kenal kamu!”
Esensi #1 Penyembahan Kristen : Inisiatif &
Identitas Tuhan Allah
Penyembahan yang inspiratif tidak mungkin bergantung
pada proyeksi imajinasi kita sendiri mengenai siapa Tuhan. Sebab inspirasi kembali ke definisi awal adalah
ide-ide kreatif yang muncul karena ada rangsangan dari luar. Urusan
penyembahan, rangsangannya adalah pengenalan kita kepada Tuhan. Siapa Tuhan
yang kita cintai dan sembah? Kalau bersumber dari diri sendiri-sendiri yang
sudah tercemar dosa dan dihimpit oleh budaya yang berdosa, maka tindakan penyembahan
akan salah kaprah. Maka kita perlu Tuhan sendiri yang singkapkan siapa
diriNya, barulah kita bisa tahu cara menyembah
dengan benar. Itu pun pengetahuan kita tidak akan sempurna.
Penyembahan tidak bisa (tidak perlu) ada tanpa Tuhan berinistiatif
memberitahu siapa identitas diriNya. Jadi
inisitatif dan identitas Tuhan nomor satu di dalam penyembahan kristiani yang
inspiratif. Kebenaran ini konsisten di seluruh Alkitab.
Balik ke Yohanes 4:1-42
untuk bagian firman Tuhan yang menjadi kunci. Pada ayat 1-8 kita diberitahu
setting cerita, Kristus dalam perjalanan ke Galilea dan mampir di Sikhar dekat sumur
Yakub pada tengah hari. Yesus berinisiatif membuka dialog untuk minta minum
(4:7). Tanpa Yesus buka dialog seluruh kebenaran Yoh 4 tidak ada. Aspek
liturgika : tunjukkan bahwa ibadah dimulai karena ada inisiatif Allah. Gunakan
Perkataan Alkitab! Ini keyakinan kita bersama. Kami dari STTRI sangat memegang kuat
sekali bahwa dasar biblical harus kuat. Jadi Yesus pegang insiatif dan kita
perlu tunjukan itu di awal, jadi tidak bisa dimulai dengan nyanyi. Setelah itu apa
yang terjadi? Aspek praktis : cari style penyampaian inisiatif Allah melalui Firman
Tuhan yang cocok dengan budaya gereja local & menggali jemaat local.
Yang kedua ayat 9-15. Perhatikan respons dari perempuan
Samaria berdialog dengan Yesus (9-10,11-12,13-14,15). Jawaban ini tipe apa? Spontan. Selain itu, apakah
nadanya enak? Sinis. Berilah aku minum. Pembukaan dan dialognya simple. Tetapi
dijawab, orang Yahudi kenapa minta dari Samaria. Siklus dialog terjadi seperti
ini. Ayat 10 Tuhan Yesus tidak tersinggung. Tuhan Yesus keukeuh. Jawab Yesus
kepadanya: "Jikalau engkau tahu tentang karunia Allah dan siapakah Dia
yang berkata kepadamu: Berilah Aku minum! niscaya engkau telah meminta
kepada-Nya dan Ia telah memberikan kepadamu air hidup." (Yesus menyingkapkan
diri : Air Hidup). Ayat 11-12 Kata perempuan itu kepada-Nya: "Tuhan,
Engkau tidak punya timba dan sumur ini amat dalam; dari manakah Engkau
memperoleh air hidup itu? Adakah Engkau
lebih besar dari pada bapa kami Yakub, yang memberikan sumur ini kepada kami
dan yang telah minum sendiri dari dalamnya, ia serta anak-anaknya dan
ternaknya?" Si perempuan respons secara literal mengenai air. Jawaban seperti
ini dalam ranah apa? Tuhan Yesus berkata,”Aku akan memberikan kepadamu air
hidup” tapi si perempuan balik ke air literal. Tidak sambung.
Ayat 13-14 Jawab Yesus kepadanya: "Barangsiapa
minum air ini, ia akan haus lagi, tetapi
barangsiapa minum air yang akan Kuberikan kepadanya, ia tidak akan haus untuk
selama-lamanya. Sebaliknya air yang akan Kuberikan kepadanya, akan menjadi mata
air di dalam dirinya, yang terus-menerus memancar sampai kepada hidup yang
kekal." Yesus tetap
menyingkapkan diri : Air Hidup. Aspek Liturgika
: jemaat diberi kesempatan menyatakan pertanyaan kepada Allah melalui
doa-doa. Aspek praktis : ajukan pertanyaan refleksi pemandu bagi umat dalam
menyatakan doa-doa.
Yoh 4:1-8 Setting Cerita
4:7 Yesus inisiatif buka dialog
Yoh 4:9-15 siklus dialog 1
4:9 respons
sinis si perempuan
4:10 Yesus tidak tersinggung dan menyingkapkan diri :
Air Hidup
4:11-12 Si perempuan respons secara literal mengenai
air.
4:13-14 Yesus tetap menyingkapkan diri : Air Hidup
4:15 Respons perempuan masih literal.
Terjadi siklus dialog ayat 9-15. Kalau kita lanjutkan respons wanita masih ada
lagi , tetapi masih literal. Masih
bicarakan tentang air secara literal. Ia ingin agar tidak haus lagi.
Yoh 4:16-20 : Siklus Dialog 2. Dimana Tuhan Yesus
beralih topik. Kalau tadi urusan minum air, sekarang Tuhan Yesus masuk ke dalam
realita hidup pernikahan perempuan, lalu kita lihat respon si perempuan.
4:16 Yesus beralih ke urusan pribadi si perempuan.
4:17 a respons kejujuran si perempuan .
4:17b-18 Afirmasi yesus + pengetahuanNya atas urusan
pribadi si perempuan. Dia tahu, saya tidak punya suami. Lalu ia mengatakan
bahwa Kau adalah nabi. Jadi ada pengakuan.
4:19-20 repons si perempuan takjub, pengakuan dan
pemahaman tentang penyembahan.
Siklus dialog kedua yang terjadi setelah itu ayat 20
ia bicara tentang penyembahan. Topiknya dari air (Tuhan Yesus bicara tentang
air hidup,dia bicara air secara literal, lalu Tuhan Yesus bicara tentang urusan
pernikahan – sangat personal, ditanggapi lalu Tuhan Yesus tanggapi lagi, lalu
ia sendiri yang beralih bicara tentang penyembahan di gunung ini. Lalu Tuhan
Yesus menyambut dengan siklus dialog 3. Tuhan Yesus memberi pengajaran yang
panjang sekali mengenai penyembahan di dalam roh dan kebenaran.
Yoh 4:21-26 siklus dialog 3.
4:21-24 Yesus menyingkapkan ajaran tentang penyembahan
yang sejati.
4:25 respons perempuan mengenai pengetahuan tentang
Mesias. Jawab perempuan itu kepada-Nya: "Aku tahu, bahwa Mesias akan
datang, yang disebut juga Kristus; apabila Ia datang, Ia akan memberitakan
segala sesuatu kepada kami." Dia mulai tunjukkan pengetahuannya
tentang Mesias.
4:26 penegasan Yesus bahwa Ia adalah Mesias tersebut.
Di depan, Tuhan Yesus memberitahu bahwa Ia adalah air
hidup. Kemudian di tengah-tengah Akulah Mesias. Di tengah-tengah diinterupsi oleh murid-muridNya
yang balik. Dari alur ini, menurut saya di dalam konteks kebaktian (percakapan
kita dengan Tuhan), maka ada orang-orang yang mengatakan kebaktian itu harus mengalir
(ngeflow) yaitu dengan music. Bagi yang
main music, skill-nya harus baik sekali.
Tetapi dari Yohanes 4
Ini adalah salah satu percakapan itu di interupsi.
Jadi ide yang praktis pragmatis bahwa ibadah harus mengalir tidak selalu benar.
Karena di dalam Alkitab, ada alur yang mengalir tetapi kemudian diinterupsi.
Yoh 4:1-8 setting cerita
Yoh 4:9-15 siklus dialog 1
Yoh 4:16-20 siklus dialog 2
Yoh 4:21-26 siklus dialog 3
Yoh 4:27 : interupsi.
Yoh 4:28-30 implikasi : bersaksi
Yoh 4:31-38 implikasi : ajaran
Yoh 4: 39-42 implikasi : percaya.
Kronologisnya :
-
Yesus menyapa /
melawat perempuan Samaria Sapaan Allah
-
Perempuan Samaria
terus menyatakan kebutuhan fisik Seruan Manusia
-
Yesus terus menawarkan
diriNya sebagai air hidup Pernyataan
jati diri Allah
-
Perempuan Samaria
jujur atas realita hidup pribadi (pernikahannya) Kejujuran Manusia
-
Yesus mengajar
esensi penyembahan yang benar kepadanya Ajaran Allah
-
Perempuan Samaria
ambil resiko kembali ke kampung beritakan Yesus Dampak
bagi Manusia
-
Yesus menetap 2
hari di Samaria & mereka percaya Berkat Allah
Saya mengambil data seperti itu, tetapi saya tidak
ingin menyelesaikan ke sana. Ini yang terjadi setelah si perempuan
bercakap-cakap dan mendengar bahwa Akulah Mesias itu, kemudian di ayat 28 ia
pulang ke kampung. Ia menyaksikan kepada orang-orang kampung padahal dia tahu
orang kampung tidak akan percaya. Benarlah orang kampung tidak percaya kepada
kata-katanya. Sehingga orang-orang kampung dibawa untuk melihat Yesus sendiri.
Itu yang terjadi. Jadi pada ayat 39
dikatakan Dan banyak orang Samaria dari kota itu telah menjadi percaya
kepada-Nya karena perkataan perempuan itu, yang bersaksi: "Ia mengatakan kepadaku
segala sesuatu yang telah kuperbuat." Lalu pada ayat 42 dan mereka berkata kepada perempuan itu:
"Kami percaya, tetapi bukan lagi karena apa yang kaukatakan, sebab kami
sendiri telah mendengar Dia dan kami tahu, bahwa Dialah benar-benar Juruselamat
dunia."
Dari awal percakapan sinis, lalu ia jujur dan di ujung
dia bersaksi lalu banyak orang percaya kepada Kristus . Ini ibadah inspiratif, karena
datangnya sendiri. Banyak jemaat datangnya sendiri atau bersama keluarga,
banyak masalah tetapi di dalam merancang kebaktian tidak dipusingkan, yang
penting lagunya enak. Kita tidak memusingkan urusan penggembalaan banyak banyak
jemaat yang sedang bergumul. Kita perlu perhatikan aspek tersebut tetapi
ujungnya agar jemaat bersaksi waktu mereka di
luar sana. Gereja yang terus menerus pakai gaya zaman dulu, orang dibawa
masuk gereja lalu diinjili di gereja, menurut saya ini cara yang harus
dipertimbangkan ulang. Karena ketika kita berada di tengah masyarakat di
situlah kesaksian yang paling luar biasa. Ini adalah kebenaran kita semua,
apalagi hamba-hamba Tuhan juga tahu, tetapi kita tidak pernah menghubungkan dengan aspek
pelaksanaan kebaktian.
Dari pola yang kita saksikan dalam Yohanes 4,
kesempatan dialog antara si perempuan dengan Yesus memfasilitasi perubahan yang
menginspirasi hidupnya. Jadi ibadah adalah perjumpaan di mana di dalam
perjumpaan dengan Allah ada percakapan intim. Kalau kita mau jemaat
bercakap-cakap dengan Tuhan, berarti jemaat di dalam kebaktian tidak boleh
nonton. Paduan suara tidak boleh jadi tontonan. Solois tidak boleh jadi
tontontan. Gereja Tionghoa cara pikirnya masih cara pikir lama. Tampil paduan
suara. Setelah tampil ditepuk tangani dan membuat senang. Lalu diributkan di
kebaktian boleh tepok tangan atau tidak. Kita meributkan hal-hal yang tidak
esensial. Karena kita tidak punya teologi ibadah yang mumpuni. Ini aspek yang
harus diperhatikan sekali. Bagi si perempuan pasti sudah terinpirasi, maka dia
adalah tindakan. Dia pulang walau orang kampung tidak percaya dan ikut dia.
Jadi ujung ibadah adalah kesaksian. Misi dan penginjilan jangan dibawa masuk
gereja, tetapi saat kita mau melakukan dalam kehidupan sehari-hari. Aspek ini
tidak bisa diungkapkan lagi karena perlu dibutuhkan.
Secara praktis pelayanan ibadah, berarti kita tidak bisa
dan tidak tepat memulai ibadah dengan menyanyi atau yang lainnya sebelum ada
pernyataan diri Allah, melalui firman Tuhan maka tindakan-tindakan yang
dilakukan tidak bisa dipandang sebagai ibadah. Sebab ibadah yang inspiratif,
selalu menggunakan pola lengkap yang rasional dan relational. Tindakan harus
relational, dimulai dari : Sapaan Allah, Seruan manusia, Pernyataan diri Allah,
Kejujuran Manusia, Ajaran Allah, Dampak bagi manusia dan Berkat Allah. Dan
urutan ini tidak boleh dibolak-balik . Banyak gereja memulai dengan menyanyi
dahulu, karena itu puji Tuhan dan bersyukur. Gereja kontemporer ada yang pakai tarian,
banner dan sebagainya, itu semuanya tindakan manusia. Tuhan tidak suruh
menyanyi. Tuhan suruhnya berdoa, berdiam diri, tetapi kita mulai dengan
menyanyi, tidak sambung. Jadi sapaan Allah itu krusial sekali, tidak boleh
dibalik. Logika penyembahan yang rasional seperti ini ditekankan pada Roma
12:1-2 Karena itu, saudara-saudara, demi
kemurahan Allah aku menasihatkan kamu, supaya kamu mempersembahkan tubuhmu
sebagai persembahan yang hidup, yang kudus dan yang berkenan kepada Allah: itu
adalah ibadahmu yang sejati. Janganlah kamu menjadi serupa dengan dunia ini,
tetapi berubahlah oleh pembaharuan budimu, sehingga kamu dapat membedakan
manakah kehendak Allah: apa yang baik, yang berkenan kepada Allah dan yang
sempurna.
Pola ibadah yang insiprasional dan relasional.
Tuhan menyatakan atau menyingkapkan siapa diriNya.
Kita meresponi atau menanggapi pernyataan diriNya. Kalau focus meresponi (nyanyi panjang), pra ibadah
nyanyi. Dipakai blended worship. Alm. Robert Weber menyesal menggunakan blended
worship. Seluruh dunia salah tangkap. Porsinya ada beberapa lagu him dan
kontemporer. Hampir semua gereja Tionghoa menggumulinya.
Ancient future worship. Yang ditekankan ibadah yang
rasional, ibadah Kristen seluruh persembahan tubuh (yang sudah mati ,
dibangkitkan).
Roma 12:1-2
Ibadah Kristen adalah sebuah tindakan mempersembahkan
tubuh yang hidup , kudus dan berkenan pada Allah.
-
Tubuh yang sudah
disalibkan, mati bersama Tuhan Yesus
-
Tubuh yang sudah
dihidupkan kembali karena kebangkitan Yesus (ayat 6)
-
Tubuh ini artinya
keseluruhan diri yang dikuasai oleh Roh Allah (ayat 8)
-
Bukan tubuh lama,
tetapi tubuh baru yang hidup
-
Tubuh yang kudus,
artinya tubuh yang dikhususkan bukan lagi untuk dunia tetapi didedikasikan buat
Allah.
Worship is a verb. Ibadah adalah karya aktif dan nyata
Yang namanya penyembahan jemaat tidak boleh menonton.
Jemaat diajak terlibat di dalamnya karena yang bercakap-cakap bukan hanya WL
atau pendetanya tetapi kita semua bercakap-cakap sebagai umat kepada Allah.
Kalau ini dilakukan maka lokigen latreian (penyembahan yang rasional), barulah
terjadi ibadah yang rasional dan relasional. Mengapa tindakan penyembahan tubuh
ini adalah penyembahan yang rasional? Karena kita mengerjakan penyembahan tubuh
bukan dengan paksaan, memanipulasi , kewajiban dan seterusnya, tetapi karena
kita sudah menerima apa yang Allah kerjakan dan kita semakin mengenal siapa
diri Allah. Roma 1-12. Jadi kitab Roma seluruhnya adalah aspek penyembahan.
Tetapi kita selama ini kita menganggap kitab Roma hanya membicarakan doktrin.
Padahal kita selama ini theology leads to doxology. Kalau kita belajar
doktrin tetapi tidak memimpin kita menyembah yang semakin mengenal Tuhan, maka
seperti orang-orang di universitas belajar teologi tetapi ateis. Hal ini banyak
terjadi di Inggris. Ada professor yang mengajar Perjanjian Baru tetapi ia tidak percaya Yesus
sebagai Juruselamat.
Roma 12:1-2 adalah aspek yang kita sudah dilakukan, ketika
sudah menerima anugerah keselamatan. Ini pola ibadah yang rasional (logiken
latreian) dan relasional. Jadi persembahan tubuh kita seperti menyanyi ,
pengakuan iman mungkin ada GKKK yang pakai tarian, pakai slide, semua tindakan
manusia adalah reaksi akibat respon bahwa kehidupan setelah kemurahan Tuhan.
Kalau kita tidak mengalami kemurahan Tuhan kita tidak bisa menyembah Tuhan
karena kita tidak mengenal Dia adalah
Tuhan yang menderita untuk mencapai kemuliaan.
Hidup menyembah Allah selalu memberi diri, memberi
tubuh itu adalah bukti bahwa kita sudah mengalami keselamatan melalui Yesus
Kristus. Ini esensi penyembahan yang kedua. Yaitu harus berpusat pada karya
keselamatan Yesus Kristus. Bagaimana cara mewujudkannya, akan dibahas pada sesi
kedua.