Ev. Charlotte
Ulangan 6:4-9
4 Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah
kita, TUHAN itu esa!
5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu.
6 Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari ini
haruslah engkau perhatikan,
7 haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang
kepada anak-anakmu dan membicarakannya apabila engkau duduk di rumahmu, apabila
engkau sedang dalam perjalanan, apabila engkau berbaring dan apabila engkau
bangun.
8 Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai
tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu,
9 dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang
pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Pendahuluan
Tema hari ini “Keluarga
Penting! Hanya Teori?”. Keluarga penting, apakah hanya teori? Kalau selama ini
menganggap keluarga penting, apakah itu hanya
‘omdo’ (bicara saja)?. Apakah dikatakan saja tetapi tidak dilakukan? Alkitab
bila diperas hanya menjadi 2 ayat saja yakni Matius 22:37-39. Jawab Yesus
kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan
segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu.
Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang
sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.
Kita harus mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi dan bukti
kita mengasihi Tuhan adalah mengasihi sesama manusia seperti diri sendiri.
Hukum inilah yang seharusnya ada di dalam hidup kita baik di keluarga,
pekerjaan maupun dalam pelayanan. Intinya : hanya mengasihi Tuhan dengan
segenap hati, jiwa dan akal budi. Jadi sewaktu membangun keluarga untuk
mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan akal budi, kalau hal itu sudah
dicapai maka dengan demikian kita akan mudah mengasihi istri, suami, papa,
mama, anak , keluarga, karyawan dll.
Yang paling penting di
dalam diri kita apa? Apakah pekerjaan , pelayanan , keluarga saya yang paling
penting? Ketika dihadapi pada berbagai pilihan, kita bisa bingung memilih yang
mana. Akhirnya bertanya,”Bagaimana keseimbangan antara pekerjaan, pelayanan dan
keluarga?” Selamanya tidak pernah bisa seimbang karena porosnya salah. Bila memiliki 3 orang anak,
orang tua tidak pernah bisa mengasihi ketiganya dengan sama besarnya. Ada yang
lebih dan kurang sedikit. Mungkin anak yang baik, rajin, pintar dan mirip dengan
orang tua, lebih disayangi. Kalau nakal, bodoh, malas kurang disayang. Manusia
tidak bisa pernah adil.
Waktu saya kecil ada lagu
“Aku Sedih” Joan Tanamal (1971) yang liriknya, “Aku sedih, duduk sendiri, mama pergi, papa pergi. Oh itu dia mereka
datang. Aku senang hatiku riang.” Itu lagu dulu di mana kalau anak ditinggal akan merasa sedih. Namun
sekarang liriknya berbeda,”Aku senang
duduk sendiri. Mama pergi papa pergi. Oh itu dia mengapa pulang? Aku sedih
hatiku pedih.” Mengapa bisa begitu? Pada iklan produk biskuit Khong Guan ,
tampak ada seorang ibu dengan 2 anaknya. Pertanyaannya,”Di mana Papa?” Saat itu
bisa dijawab,”Papanya yang memfoto” karena pada zaman dulu tidak ada tongsis.
Tetapi yang sekarang,”Di mana Papa? Di mana Mama?” Tidak ada! Mereka tidak
hadir dalam kehidupan anak-anak. Kalau dulu sekeluarga masih berkumpul, di dalam
keluarga ada interaksi dan komunikasi, tetapi sekarang keluarga inti masih duduk
bersama-sama tetapi tidak ada kebersamaan. Masing-masing dengan gawainya
masing-masing. Bahkan anjingnya saja santai untuk dirinya sendiri , padahal anjing
ada untuk tuannya. Apa yang salah dengan kondisi sekarang ini?
1.
Salah fokus
Roma 14:7-8
Sebab tidak ada seorangpun di antara kita yang hidup untuk dirinya sendiri, dan
tidak ada seorangpun yang mati untuk dirinya sendiri. Sebab jika kita hidup,
kita hidup untuk Tuhan, dan jika kita mati, kita mati untuk Tuhan. Jadi baik hidup atau mati
kita adalah milik Tuhan! Ayat ini menginspirasi lagu “Ku Hidup bagiMu” (Sari
Simorangkir) dengan lirik,”Kalau kuhidup,
kuhidup bagiMu. Hatiku tetap, tetap menyembahMu. Dunia tidak bisa menjauhkanku
dari kasihMu. Selama ku hidup, kuhidup bagiMu. Mataku tetap, tetap memandangMu.
Dunia tak bisa menjauhkanku dari kasihMu.” Fokus hidup kita hanya satu yaitu
untuk Tuhan. Karena Ia sudah memberi hidupNya untuk kita. Jadi hidup kita bukan
lagi tentang kita tetapi tentang Dia. Ada ayat yang sering dibaca yakni Roma 8:35 Siapakah yang akan memisahkan kita
dari kasih Kristus? Penindasan atau kesesakan atau penganiayaan, atau kelaparan
atau ketelanjangan, atau bahaya, atau pedang? Atau penderitaan,
sakit-penyakit, perceraian? Singkatnya apapun yang dialami saat ini.
Semalam saya baru tiba dari
Singapura. Saya bergumul karena anak mantu saya sakit. Saya baru menikahkan
anak pertama saya yang menjadi dokter. Mereka berdua adalah dokter, mereka akan
segera pelayanan di Papua. Menantu saya waktu kelas 2 SMP satu ginjalnya sudah
pecah. Pembuluh darahnya melebar dan pecah sehingga hanya ada 1 ginjal. 10
tahun lalu ternyata ginjal yang satunya lagi pembuluh darah sudah melebar (aneurisma)
dan sewaktu-waktu bisa pecah. Setelah menikah, pembuluh darah dipasang selongsong
stent graft. Suami saya seorang dokter spesialis jantung dan pembuluh darah.
Dia melihat pembuluh darah menantu saya sangat rapuh. Biasanya hal ini terjadi di
otak tetapi ini di ginjal. Di Indonesia kejadian ini sangat langka. Setelah
mencari dokter yang tepat akhirnya ditemukan ada dokter yang dapat menanganinya
di Singapura yang telah menangani kasus seperti ini. Sehingga ia didaftarkan di
sana dan dapat jadwal dioperasi hari Jumat kemarin. Saya bergumul tapi saya
datang hari ini. Kami berharap stent bisa dipasang supaya pembuluh darahnya
tidak pecah karena kalau pecah hanya
bisa punya 1 ginjal. Ternyata tidak bisa pasang stent. Sewaktu dibedah, ternyata
pembuluh darah itu sangat banyak cabangnya, tidak tahu yang mana harus dipasang
stent. Kalau dipasang stent kemungkinan gagal ginjal 40%. Yang mengoperasinya ada
2 dokter. 1 dokter konsulen biasanya menangani pembuluh darah di otak. Dia
berkata, “Ya sudah pasang saja stent karena anak dan menantu saya mau ke
pedalaman. Ia mengusulkan agar pembuluh darahnya tinggal dipasang-stent. Pasang
atau tidak pasang stent tetap memiliki resiko. Jadi setelah peralatan operasi dicopot
semua, mereka diskusi bertiga. Akhirnya dokter yang ahli pembuluh darah di otak
berkata, “Sudahlah daripada 40% ginjal rusak tidak perlu pasang stent, toh dia
bisa hidup 10 tahun seperti ini. Kita hanya bisa berharap dia bisa tetap
seperti ini, tidak menjadi lebih buruk.” Kesimpulan ,”sudah dibiarkan saja”.
Tentu saja, kami kecewa. Anak ini mau melayani Tuhan , hidupnya untuk Tuhan.
Tetapi kenapa Tuhan tidak kasih dia? Mengapa kasusnya paling unik sendiri? Tapi
kami disadarkan seakan-akan Tuhan berbicara, “Memangnya siapa yang bisa memberi
hidup?” Pertama kali saya berdoa,”Ya Tuhan anak mantu saya sakit seperti ini
dan sewaktu-waktu bisa dipanggil. Boleh tidak Tuhan, kalau usianya pendek, mereka
jangan menikah. Kasihan anak saya, kalau baru satu tahun menikah istrinya meninggal,
nanti bisa jadi duda.” Tetapi bisa saja anak saya yang mati duluan. Kita
berpikir,”Apa anak kita bisa tahan lama?” Siapa bisa menduga pembuluh darah di
otak dan jantung bagus-bagus , bisa saja ada aneurisma (pelebaran pembuluh
darah abnormal) di otak dan sewaktu-waktu bisa pecah. Bisa saja seperti mainan
, baterenya habis sehingga mainannya mati. Kita juga bisa habis ‘batere’ dan
mati. Kitar merenungkan hal ini. Keluar dari rumah sakit, Kita bersyukur dan
berdoa bergandengan tangan berempat, “Tuhan bukankah kami sudah berdoa kepadamu? Apapun hasilnya kami tetap percaya Engkau
baik dan semua baik. Dan hidup kami hanya untuk Engkau. Pergunakanlah semua
untukMu selama Engkau mau.” Ini pengalaman rohani buat anak dan menantu kami
saat mereka nanti melayani di pedalaman. Kalau Tuhan mau tidak ada yang
mustahil. Tuhan mau seberapa lama pelayananmu lakukanlah. Sebagai manusia kita
lakukan. Setelah melakukan yang terbaik, lakukan saja. Apa yang memisahkan kita
dari kasih Kristus? Apakah kesulitan, penderitaan, kekecewaan sehingga ada yang
begitu kecewanya hingga berkata,”Saya tidak mau lagi mengasihi Tuhan.” Tidak
ada! Tuhan mengasihi kita sewaktu kita berdosa (sewaktu kita tidak layak
dikasihi). Jadi kasih Tuhan tidak tergantung dari apa yang kita lakukan.
Apa yang kita kejar? Uang, prestasi
akademik dan bidang lainnya, kemewahan, deposito, reputasi, gengsi yang
memisahkan kita dari kasih Kristus dan menganggapnya yang utama? 1 Yoh 2:15-17 Janganlah kamu mengasihi dunia dan apa yang
ada di dalamnya. Jikalau orang mengasihi dunia, maka kasih akan Bapa tidak ada
di dalam orang itu. Sebab semua yang ada
di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan
hidup, bukanlah berasal dari Bapa, melainkan dari dunia. Dan dunia ini sedang
lenyap dengan keinginannya, tetapi orang yang melakukan kehendak Allah tetap
hidup selama-lamanya. Agustus tahun lalu (2016) saya mengkhotbahkan hal
ini. Tentang keinginan daging (hedonisme), keinginan mata (materialisme), dan
keangkuhan hidup (narsisisme). Orang ingin punya ilah (i) sehingga ada i-pad, i-phone.
Kalau mencintai hal seperti ini maka kasih akan Allah tidak ada. Tidak bisa kita
katakan,”Ada secuil kasih untuk diri , anak, suami saya jadi saya kasih Tuhan
99%” tidak bisa! Kita harus mengasihi Tuhan 100%, dengan kasih kepada Tuhan baru
mampu mengasihi anak, istri, orang tua bahkan siapapun yang melukai kita. Tanpa
kasih ini, kita tidak mampu. Jadi kita hanya fokus kepada Dia.
Apa yang menjadi fokus kita? When Christ is the center of your foucs.
All elese will come into proper perspective. Bila Kristus yang jadi pusat
dari fokus, maka yang lain akan berada dalam perspektif yang tepat. Misalnya : keluarga
dulu , bukan pelayanan. Atau sebaliknya sehingga keluarga diabaikan. Kalau Kristus
yang menjadi fokus (core) maka semua akan seimbang. Punya uang, teman,
rekreasi, pekerjaan, hobi, keluarga, sekolah,rekreasi untuk Tuhan. Semuanya
untuk Tuhan. Jadi tidak usah bingung. Karena kalau bingung akan terkotak-kotak.
Seolah-olah yang satu bukan urusan Tuhan. Jadi dari Senin-Sabtu hidup untuk diri
sendiri sedangkan Minggu untuk Tuhan? Tidak! Kita hidup dari Senin sampai Minggu
untuk Tuhan. Bahkan buang air besar pun untuk Tuhan. Anak saya tidak makan
sayur jadi sulit buang air. Saya katakan kepadanya,”Makanlah sayur bukan
masalah kamu mau atau tidak tetapi karena tubuh kamu butuh.” Dia menjawab,”Saya
tidak apa-apa! Saya kan sehat” Saya berkata lagi,”Bagaimana tidak apa-apa ? Kamu
kan sulit BAB.” Firman Tuhan bahkan berkata makan dan minum untuk memuliakan
Tuhan, melalui tubuhmu mempersembahkannya sebagai persembahan yang hidup dan
berkenan kepada Allah (bukan tubuh yang mati). Persembahkanlah tubuh yang sehat
untuk Tuhan. Bukan kita sehat untuk hemat (tidak keluar masuk rumah sakit).
Bukan itu. Kita perlu hidup sehat karena kita mau memuliakan Tuhan. Bisa buang
air besar itu anugerah Tuhan. Karena anugerah Tuhan, maka tiap hari kita harus
buang air besar. Kalau mules pagi hari, itu sehat. Kalau harus makan obat untuk
mules, berarti tidak sehat. Demikian juga dengan buang angin. Waktu anak saya
di rumah sakit untuk dioperasi , dia merasa haus dan ingin minum. Saya berkata,”Tidak
bisa minum, karena kamu belum kentut!” Dia pun merengek,”Mami tolong belikan
kentut”. Saya menjawab,”Kalau bisa mami belikan.” Ternyata bisa kentut saja anugerah. Saya pun mendukungnya,”Mami
tidak minum - makan sampai kamu kentut supaya setelah itu kita sama-sama makan.”
Saya ingin menemaninya terus. Jadi waktu itu kita berdoa,”Tuhan bagaimana
caranya kirimkan kentut agar ia bisa minum.” Hidup itu anugerah. Saat bangun
pagi ini apakah ada yang bisa membuka mata sendiri? Siapa yang membukakan mata
kita selain Tuhan? Tuhan yang membukakan mata kita , hidup kita rapuh sekali.
2.
Salah prioritas
“Kekurangan waktu” menjadi
problem keluarga masa kini. Kita diberi waktu 24 jam. Semua manusia sama.
Tetapi kita selalu bilang kurang waktu dan sibuk sekali. Sehingga seolah-olah
waktu itu menjadi sesuatu yang mahal. Berapa banyak waktu yang diluangkan ayah
bagi anaknya? Menurut survey hanya 7 menit/hari. Menjadi ayah (being father) tidak sama dengan having children (punya anak). Keduanya
berbeda, jangan katakan saya punya anak harus cari uang. Ketika menjadi ayah atau
ibu apakah kita sudah menjalankan fungsinya? Efesus 6:4 Dan kamu, bapa-bapa, janganlah bangkitkan amarah di dalam
hati anak-anakmu, tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan. Apakah
kita sudah melakukannya? Ulangan 6:4-9
Dengarlah, hai orang Israel: TUHAN itu Allah kita, TUHAN itu esa! Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap
hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Apa yang kuperintahkan kepadamu pada hari
ini haruslah engkau perhatikan,
haruslah engkau mengajarkannya berulang-ulang kepada anak-anakmu dan membicarakannya
apabila engkau duduk di rumahmu, apabila engkau sedang dalam perjalanan,
apabila engkau berbaring dan apabila engkau bangun. Haruslah juga engkau mengikatkannya sebagai
tanda pada tanganmu dan haruslah itu menjadi lambang di dahimu, dan haruslah engkau menuliskannya pada tiang
pintu rumahmu dan pada pintu gerbangmu.
Ada 3 hal yaitu mengasihi Tuhan dengan segenap jiwa,
hati dan kekuatan. Itulah yang harus diajarkan. Bagaimana anak mengasihi ,
kagum dan hormat yang kudus? Mengasihi Tuhan sesuatu yang abstrak. Kalau mengagumi
Tuhan yang kudus , itu lebih konkrit. Kalau Tuhan ada di sampingmu, kita tidak
akan berani membuka situs porno, tidak berani menulis untuk mengumpat di situs
medsos. Kalau orang yang kamu bully itu
punya Tuhan, maka tidak berani kita lakukan. Jadi ketika mengasihi Tuhan dengan
seluruh keberadaan. Mengasihi Tuhan dengan segenap hati, jiwa dan kekuatan.
Dengan segenap keberadaan, semua dikasihi Tuhan. Tidak ada kesenangan saya
tetapi yang ada adalah kesenangan Tuhan. Tidak ada kepentingan saya tetapi yang
ada kepentingan Tuhan. Bagaimana bentuk mengasihi Tuhan? Cowo datang ke cewenya
dan mengatakan,”Saya mengasihi kamu. Ini dompet saya. Kalau tidak cukup, ini
jam tangan saya. Kalau masih tidak cukup, saya kasih baju dll, semuanya dikasih”
sampai si cowo membuktikan kalau kamu berada di ruangan yang terbakar, si cowo
masuk ke dalam menyelamatkan si cewe sehingga cewenya mengatakan,”Iya betul
kamu mengasihi saya!” Memberi yang utama bagi orang lain adalah nyawa. Suatu hari
kalau kita ditanya,”Percaya dan mengasihi Tuhan tidak?” Kalau percaya akan dipancung.
Akhir-akhir ini kita dikhawatirkan oleh ISIS. Sebagai orang Kristen kita
dipertaruhkan. Apakah sampai pada titik itu mengatakan , “Kita tetap mengasihi
Tuhan walaupun mengalami penderitaan.” Kalau kita menghadapi masalah itu apakah
kita masih tetap mengasihi Tuhan atau tidak? Saya berdoa supaya kita tetap mengasihiNya.
Kita menghadirkan Tuhan dalam
segenap aspek hidup kita (masalah, pergumulan). Apakah waktu mengambil pilihan,
apakah menghadirkan Tuhan dalam hidup? Apakah saat menghadapi masalah, lari ke
Tuhan atau ke yang lain? Apakah kita melihat, di dalam masalah dan
pilihan-pilihan ,“Tuhan yang ada di sini, bantulah kami mengambil keputusan” .
Ketika Tuhan ada maka damai sejahtera Tuhan menaungi kami.
Dalam memilih karir, teman,
sekolah, pekerjaan dan teman hidup apakah untuk mengutamakan Tuhan? Seperti
yang ditulis pada Ulangan 6, apakah kita mengasihi Tuhan melebihi apapun?
Membenci dosa melebihi apapun? Apakah kita mengutamakan Tuhan dalam setiap
kegiatan dan kesempatan kita? Kalau kita mengutamakan Tuhan, yang lain dianggap
sampah (yang lain kuanggap rugi karena Kristus). Karena Kristus lebih mulia
dari apa pun. Ketika kita mengasihi, mengutamakan dan menghadirkan Tuhan,
itulah prioritas. Jadi hal yang menyebabkan kehancuran keluarga adalah salah fokus (bukan pada Kristus).
Mana yang lebih penting : kualitas
atau kuantitas? Bukan soal waktu yang menjadi sasaran tapi waktu hanya menjadi
sarana untuk menicptakan hubungan (kedekatan). Jadi bukan masalah kualitas atau
kuantitas tapi apakah waktu yang diluangkan bersama dapat memperat hubungan.
Kalau anak mau curhat pada hari Selasa tidak bisa dijawab tunggu sampai nanti akhir
Minggu. Waktu itu adalah sarana, sasarannya adalah hubungan (relasi). Ada orang
yang tua diwawancara, “Kalau anak ingin hadiah yang paling baik seperti apa?”
Hadiah yang terindah. Orang tua pikir anaknya pasti mau main dan pergi
jalan-jalan tetapi apa yang terjadi ketika anak itu ditinggal? Anak ini hanya menginginkan
punya papa dan pergi dengan papa!
3.
Salah relasi
Hukum kasih tidak bisa berjalan
tanpa relasi. Apa relasi yang ada? Relasi yang kita bangun biasnya hanya relasi
memiliki. Karena saya punya orang tua, maka saya jadi anak. Jadi being bukan having. Yang ada demanding (menuntut). Karena saya mama maka kamu
harus hormat ke mama atau “Turut ke papa” itu relasi having. Seharusnya relasi being
bukan transaksional , apakah saya telah menjadi mama dan papa yang baik? Apakah
saya sudah menjadi suami yang mengasihi istri, apakah sebagai istri saya tunduk
ke suami? Kalau relasi being, maka kita harus menghargai orang di sekeliling.
Saya akan menjadikan diri saya berharga pada suaminya. Supaya suami nyaman,
tidak diganggu saya, ditolong dan membuat kita merefleksikan diri. Kalau tidak,”Apakah
dia sudah jadi suami yang baik? Dia saja tinggalkan saya dan tidak ada waktu
temani saya jalan-jalan.” Jadi yang ada tuntut-menuntut. Ketika diri sendiri,
relasi diri kita beres, maka relasi kita dengan pasangan dan anak-anak akan
menjadi beres, juga relasi dengan anggota gereja. Jadi negara kalau mau kuat maka
keluarga harus kuat. Gereja kuat kalau anggota keluarga kuat. Mau tidak mau
diri kita sendiri diperbaiki. Masalah muncul karena diri sendiri yang menyimpang.
Saat konseling, saya memberi nasehat ke seorang ibu,”Ibu harus berubah!”. Sang
Ibu menjawab,”Kenapa suami saya tidak?Kan dia yang selingkuh!” Saya menjawab,”Saya
sangat mengerti. Masalahnya suami Ibu tidak berada di depan saya. Ibu yang
berubah dahulu. Tanpa ibu yang berubah, suami tidak akan berubah. Ibu lakukan
apa yang Tuhan mau Ibu lakukan. Lakukan dengan taat dan setia” Memang tidak
mudah berubah, dimulai dari diri sendiri.
2 minggu lalu setelah seharian penuh
saya pelayanan dan pulang malam hari pk 21.30 setelah kondangan dengan tubuh
yang lelah sekali. Lalu suami saya berkata “Coba lihat waze”. Waze sebagai
aplikasi penunjuk jalan mengarahkan untuk belok ke kiri, tetapi suami saya tidak
belok kiri hanya mengambil jalan kiri. Jadi saya berkata,”belok kiri”, suami
menjawab,”Ini saya sudah kiri” dengan nada jengkel. Lalu dia berkata,”Jangan
ngomong” sehingga hati saya jadi mendidih. Lalu saya diam dan sampai di rumah saya
diamkan saja. Dia mengajak bicara namun saya diamkan. Firman Tuhan mengatakan, “Sebelum
matahari terbenam, harus dibereskan”. Tetapi kalau setelah matahari terbenam, diselesaikan
sebelum matahari terbit alias sesegera mungkin. Suami saya setelah pulang langsung
mandi dan tidur, jadi belum bisa
dibereskan masalahnya. Keesokan pagi saya mau pergi pelayanan. Sebelumnya saya
berdoa,”Tuhan hari ini saya mau melayani Tuhan.” Namun saya teringat 2 tema yang
akan disampaikan yaitu bagaimana komunikasi efektif dalam keluarga dan
bagaimana keluarga yang saling mengampuni. Tuhan ingatkan ada hal yang belum
beres,”Tetapi kamu harus beres dengan Aku”,kata Tuhan. Saya berdoa minta ampun“Tuhan,
ampuni saya! Tuhan, saya sombong dan egois. Saya tidak mau mengampuni suami saya.”
Akhirnya ada damai sejahtera Tuhan. Saya tahu Tuhan mengasihi saya. Saya mandi
, siap-siap dan waktu saya cium suami saya, dia diam saja. Akhirnya saya
bilang, “Pap saya pergi dulu.” Dia mejawab, “Hmm...” Kalau dulu, saya balikkan,
“Sudah bagus saya ngomong dulu. Tahu rasa” Itu dulu. Begitu beres dengan Tuhan,
tingkah laku dia tidak mengganggu saya, sukacita saya tidak hilang. Saya baru
mengerti apa yang Rasul Yohanes katakan, “Sukacitamu menjadi penuh!” Seperti beras
yang ditakar dan sudah padat jadi bila digoyang-goyang pun tidak jadi tumpah. Saya
bilang,”Tuhan tolonglah dia, supaya sukacita Tuhan ada di dalam dia!” Belas
kasihan muncul dalam diri saya. Sepanjang perjalanan untuk pergi pelayanan saya
merasa gemibra. Dengan mengetahui firman Tuhan, maka saya tidak merasa jengkel
dan kesal dengan perlakuan orang lain. Karena sukacita Tuhan ada di dalam diri
kita. Kalau keluarga penting, apakah kita mau melakukan yang the best untuk keluarga karena sedang
melakukan yang the best untuk Tuhan? Orang
yang mengkomunikasikan tentang keluarga kepada rekannya dan mengkomunikasikan
pekerjaan pada keluarganya, maka ia akan berada lebih puas dan efektif dalam
lingkungan itu karena bekerja untuk keluarga sehingga pergi bekerja dengan
semangat. Ada tulisan : never get so busy
making a living that you forget to make
a life. Biasanya kita sibuk, bagaimana supaya kita bisa hidup tetapi kita
lupa tentang kehidupan kita sendiri.
Ada seorang anak yang akan berulang
tahun seminggu lagi dan diberi satu tas berisi hadiah-hadiah ulang tahun oleh orang
tuanya. Ibunya mempersilahkannya untuk
membukanya lebih dahulu. Ia mendapat banyak hadiah dari 2 film, piyama, kaos
disney-land dan makanan-makanan kecil. Lalu sang anak ditawarkan hadiah ulang
tahun yang paling diinginkan yaitu pergi ke disney land hari itu juga bersama
orang tuanya. Sang anak merasa begitu terkejut
hingga menangis. Mereka sekeluarga akan pergi setelah papanya bekerja. Orang
tua kita saja bisa memberi apa yang menjadi keinginan kita,bukan hanya kebutuhan
kita terlebih lagi Tuhan yang kita sembah. Dia memberikan lebih dari segalanya.
Karena Tuhan tidak hanya tahu tetapi Dia selalu memberi yang terbaik untuk
kita. God not only gives you presents on
your birthday, but He always gives the special gifts for you at present. Don’t
just do things for the one you love only on special days. Make everyday for HIM
special. Maz 103:13 Seperti bapa sayang
kepada anak-anaknya, demikian TUHAN sayang kepada orang-orang yang takut akan
Dia. 1 Kor 2:9 Tetapi seperti ada
tertulis: "Apa yang tidak pernah dilihat oleh mata, dan tidak pernah
didengar oleh telinga, dan yang tidak pernah timbul di dalam hati manusia:
semua yang disediakan Allah untuk mereka yang mengasihi Dia."
No comments:
Post a Comment