Pdt. Jimmy Lucas
2 Petrus 1:3-9
3 Karena kuasa ilahi-Nya
telah menganugerahkan kepada kita segala sesuatu yang berguna untuk hidup yang
saleh oleh pengenalan kita akan Dia, yang telah memanggil kita oleh kuasa-Nya yang
mulia dan ajaib.
4 Dengan jalan itu Ia
telah menganugerahkan kepada kita janji-janji yang berharga dan yang sangat
besar, supaya olehnya kamu boleh mengambil bagian dalam kodrat ilahi, dan luput
dari hawa nafsu duniawi yang membinasakan dunia.
5 Justru karena itu kamu harus dengan
sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan, dan kepada
kebajikan pengetahuan,
6 dan kepada pengetahuan
penguasaan diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan
kesalehan,
7 dan kepada kesalehan
kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan saudara-saudara kasih akan
semua orang.
8 Sebab apabila semuanya
itu ada padamu dengan berlimpah-limpah, kamu akan dibuatnya menjadi giat dan
berhasil dalam pengenalanmu akan Yesus Kristus, Tuhan kita.
9 Tetapi barangsiapa
tidak memiliki semuanya itu, ia menjadi buta dan picik, karena ia lupa, bahwa
dosa-dosanya yang dahulu telah dihapuskan.
Pendahuluan
Memiliki ketrampilan dan
kompetensi tidak berarti sukses. Banyak orang yang punya ketrampilan dan kompetensi
namun tidak berakhir di mana-mana. Anak pertama saya (Joan) adalah anak yang
serba bisa. Usianya baru 8 tahun namun ia pandai bernyanyi, menari, melukis dan
public speaking. Masalahnya Joan
merasa ia bisa ini-itu sehingga kehilangan fokus. Ia tidak tahu mana yang harus
didahulukan. Ia tidak tahu apa yang harus dikejar. Akibatnya ia kehilangan
semangat. Ketika seseorang kehilangan tujuan hidup, maka ia akan menghabiskan
sumber dayanya tidak untuk apa-apa. Ia tidak mampu mendisiplinkan dirinya
sehingga ia tidak bisa menjadi apa pun. Hal yang sama terjadi dalam kehidupan
kerohanian.
Pertumbuhan Rohani
Berada dalam gereja yang baik bukan berarti kita
mengalami pertumbuhan rohani. Mendengar khotbah yang baik bukan berarti kita
mengalami pertumbuhan rohani. Bukan itu saja yang dibutuhkan untuk mengalami
pertumbuhan rohani. Untuk mengalami
pertumbuhan rohani kita membutuhkan disiplin rohani yang tinggi.
Hal pertama yang perlu
dipahami kalau kita tidak bertumbuh maka kita menjadi orang yang buta dan picik
walau bukan berarti kita tidak diselamatkan. Mungkin kita diselamatkan tetapi
kita menjadi buta dan picik. Tanpa bermaksud merendahkan orang buta, orang buta adalah orang yang tidak bisa
melihat apa-apa dan untuk melakukan sesuatu membutuhkan bantuan orang lain. Ia
menjadi beban bagi orang sehat. Ketika orang tidak bertumbuh secara rohani maka
ia menjadi buta rohani dan menjadi beban bagi orang sehat. Ia tidak mampu
melihat visi dari Allah sehingga dalam kebutaan , ia meraba-raba dan
membebankan orang lain. Orang yang tidak bertumbuh juga bisa menjadi orang yang
picik. Picik bukan berarti bodoh. Orang yang picik bisa merupakan orang yang
cerdas dan berpendidikan tinggi. Orang yang picik adalah orang yang berpikir
secara sempit. Hatinya ‘kecil’ tidak mampu menampung orang lain, tidak bisa
melihat perbedaan (tidak bisa melihat sudut pandang yang berbeda). Ia merasa
diri benar dan merasa diri baik sendiri, tidak memiliki rasa aman, marah ketika
berhadapan dengan perbedaan. Sehingga orang picik bukan hanya menjadi beban
bagi orang lain juga menjadi penghambat pertumbuhan orang lain. Gereja tidak rusak
karena orang-orang di dalamnya tidak berpendidikan, tetapi gereja menjadi rusak
karena orang-orang di dalamnya picik. Di dalam kepicikan ia menolak perubahan. Di
dalam kepicikan ia menganggap diri benar dan menghambat pertumbuhan orang lain.
Orang seperti ini lebih baik dijadikan ‘pondasi jembatan’ karena tidak berguna dalam gereja. Tidak berguna adalah
satu hal, tetapi menghalangi orang lain bertumbuh adalah hal yang lain. Kita
tidak boleh menjadi orang yang buta dan picik. Itu sebabnya kita harus
bertumbuh . Untuk bertumbuh kita membutuhkan disiplin rohani.
Defisini Disiplin Rohani
1.
Disiplin rohani adalah
upaya yang bertujuan.
Tidak ada disiplin tanpa tujuan.
Disiplin hanya tumbuh ketika ada tujuan. Maka berbicara tentang disiplin rohani
berarti kita berbicara tentang tujuan
kerohanian yaitu agar setiap orang percaya mengalami pertumbuhan rohani dalam
dirinya. Kita menanggalkaan manusia lama dan mengenakan manusia baru hingga
menyerupai Yesus Kristus. Kata ‘kenal’ berasal dari kata epiginosko (2 Petrus 1:8). Epiginosko
(bahasa Yunani) artinya mengenal dengan penuh, jelas atau lengkap atau
pengenalan secara wahyu. Epiginosko terdiri dari dua kata, yaitu epi yang berarti di atas, melampaui dan ginosko yang berarti mengetahui,
mengerti. Dua kata ini digabungkan menjadi di atas dari ginosko, melampaui mengetahui atau mengatasi pengertian alamiah,
melampaui pengetahuan atau pengalaman jasmani. Inilah pengenalan pewahyuan
ilahi. Mirip seperti suami mengenal istrinya secara intim dan sebaliknya itulah epiginosko. Dalam pengenalan ini kita berinteraksi secara intim
hingga mengubah pribadi kita.
Sewaktu pelayanan di Surabaya, saya tinggal di rumah Om Han (majelis) dan
Ai Mei Fang (staf tata usaha gereja). Mereka sepasang suami sitri yang sangat
mesra dan romantis. Mereka telah berumah tangga selama bertahun-tahun. Mereka
sangat mesra sehingga bila Om Han melirik maka Ai Mei Fang tahu suaminya mau
apa, bahkan walau Om Han tidak bicara pun Ai Mei Fang sudah tahu maunya. Saya
mau memiliki kehidupan rumah tangga seperti itu. Suatu kali saya melihat Ai Mei
Fang cemberut sehingga saya bertanya, “Mengapa?” yang dijawabnya,”Tidak
apa-apa.” Akhirnya saya langsung bertanya,”Ribut ya sama Om?” Ia pun
membenarkan. Kemudian ia menambahkan,”Heran setelah bertahun-tahun menikah
masih ada saja yang harus dipelajari.” Tetapi saya pikir itulah hakekat dari epiginosko. Itulah hakekat mengenal
Allah. Di satu sisi kita seharusnya mengetahui apa yang Allah kehendaki dalam
hidup kita. Tetapi di sisi lain kita terus harus belajar mengenal Allah. Berada
dalam hubungan ini terus menerus akan membuat kita dari hari ke hari semakin
mengenal Allah sehingga karakter kita berubah dan mencerminkan Kristus. Inilah
tujuan rohani.
Banyak orang yang keliru berpikir bahwa orang yang dewasa rohani adalah orang yang
menduduki posisi di organisasi gereja. Jadi bila menjabat sebagai majelis,
dianggap orang sudah dewasa rohani. Jadi pelayan (aktifis) berarti sudah dewasa
rohani. Jadi pendeta berarti sudah dewasa rohani. Padahal kenyataannya tidak
begitu! Kenyataannya majelis bisa jatuh dalam dosa. Hamba Tuhan bisa jatuh dalam
dosa dan hidup dalam kedagingan. Majelis bisa jadi jelmaan iblis. Hamba Tuhan
bisa jadi hamba uang. Jadi posisi rohani
tidak identik dengan kedewasaan rohani. Kedewasaan rohani tidak identik dengan aktivitas rohani. Orang yang
sering terlibat dalam pelayanan tidak berarti dia dewasa rohani. Orang dewasa
rohani pasti terlibat dalam pelayanan.
Di Malang ada seorang pendeta yang terpaksa ‘mengusir’ seorang ibu-ibu jemaat.
Ibu ini setiap hari datang ke gereja. Persekutuan wanita ikut. Komsel ikut. Kebaktian
Umum ikut. Pasutri ikut, walau suami tidak datang ia tetap ikut. Jadi semua
ibadah ia ikut. Suatu kali Bapak Gembala ‘marah’ karena ia ikut ibadah lagi. Dengan heran, saya bertanya,”Mengapa
mushi melarang ia ikut ibadah?”
karena berpikir seharusnya hamba Tuhan senang kalau melihat jemaatnya datang
beribadah dari Senin sampai Minggu. Seharusnya
pendeta senang tetapi ternyata ia tidak bisa senang. Saya bertanya,”Mengapa
mushi tidak senang?” Rupanya suami dari ibu tersebut datang kepada pendeta marah-marah
dan bertanya di gereja ada apa. Suaminya berkata,”Saya tidak melarang istri
saya ke gereja. Tetapi mengapa istri saya tidak memasak, mencuci piring dan mengurus
anak dulu sebelum ke gereja?” Ternyata itu bukan pertumbuhan rohani atau
disiplin rohani, tetapi itu namanya melarikan diri. Sang istri tidak mau melakukan
pekerjaan rumah tangga sehingga ia kabur ke gereja.
Orang yang melakukan kegiatan rohani tidak berarti dewasa rohani. Untuk mengetahui orang sudah dewasa rohaninya
dilihat dari karakternya. Seberapa jauh
karakter nya berubah menjadi serupa dengan Yesus. Setelah datang ke gereja
selama lebih dari 20 tahun tapi karatkernya tidak berubah serupa dengan Yesus atau datang
ke gereja setiap Minggu hanya untuk ‘menghangatkan’ kursi gereja maka berarti
ia belum dewasa rohani. Saat ke gereja seharusnya punya tujuan yaitu agar “Saya
ingin berubah”. Ketika bicara tentang disiplin rohani, kita tidak bicara
tentang kegiatan dan tujuan. Ketika bicara tentang disiplin rohani , kita berbicara
tentang bagaimana menjadi semakin serupa dengan Tuhan Yesus.
2.
Disiplin rohani adalah
upaya yang tersistematis.
Kita bukanlah petinju yang
dengan sembarangan memukul. Kita bukan pelari yang berlari tanpa tujuan. Kita ibarat
atlit yang punya tujuan dan mengikuti aturan main dalam pertandingan. Ini yang
ditekankan oleh Petrus. Justru karena itu
kamu harus dengan sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu
kebajikan, dan kepada kebajikan pengetahuan, dan kepada pengetahuan penguasaan
diri, kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan, dan
kepada kesalehan kasih akan saudara-saudara, dan kepada kasih akan
saudara-saudara kasih akan semua orang. (2 Petrus 1:5-7). Jadi ada fase
atau tahapannya. Bukan karena kita mau bertumbuh maka kita pasti bertumbuh.
Bukan berarti tujuan rohani menyerupai Kristus kita pasti jadi serupa Kristus.
Ada tahapan yang harus dilalui.
Di rumah saya ada komunitas untuk
remaja. Saya mendidik mereka untuk memiliki karakter Kristus melalui latihan
bela diri. Latihan bela diri digunakan sebagai wadah untuk melakukan mentoring. Seorang anak remaja yang baru
datang berlatih, diajarkan pukulan jab
dan cross
. Ia pun berlatih dengan temannya dan kemudian dia pikir ia sudah siap untuk ikut
pertandingan. Anak yang baru memiliki pukulan jab dan cross bila diikut-sertakan
dalam pertandingan , apa jadinya? Jadi “tempe bongkrek”. Masuk utuh keluar
berantakan. Mengapa? Sekalipun tujuannya ia bisa jadi atlet, tapi selama ia
tidak mau mengikuti tahapan proses berlatih dari tingkat dasar, menengah dan mahir,
maka ia tidak akan siap. Semua orang yang mau berlatih untuk pertandingan harus
mengikuti proses. Untuk mencapai suatu tujuan memang ada prosesnya.
Joan senang bernyanyi. Ia tidak pandai beryanyi, namun ia senang beryanyi.
Saya bertanya,”Joan, cita-citanya mau jadi apa?” Saya ingin menanamkan sense of goal kepadanya. Ia menjawab, “Saya
mau menjadi artis.” Lalu ia bernyanyi
sambil menggoyangkan tubuhnya. Saya berkata,”Boleh tapi harus les balet.” Joan
keberatan,”Tapi balet bisa seperti itu? Jangan balet, tapi modern dance - lah.” Saya menanggapi,”Ikut saja keduanya.” Tapi bernyanyinya
tidak bisa. Ia pun saya kursusin. Di tempat kursus dikatakan,”Kelihataan ia
berbakat.” Lalu oleh pembina sanggarnya, ia diikutkan menyanyi di mal. Buat
Joan hal itu menyenangkan. Tetapi bagi anggota paduan suara terlatih sudah tahu
bahwa Joan belum mencapai tahap di sana. Saya pun memaksa dia , “Joan ayo
latihan. Ayo latihan.” Saya berdoa, “Tuhan beri dia kesempatan.” Suatu hari di
gereja ada audisi untuk rekaman lagu Natal. Joan malu untuk ikut serta dalam
audisi. Saya mendorongnya untuk maju. Saya benar-benar mendorongnya sehingga
tubuhnya maju ke depan dan berhenti di
depan keyboard. Akhirnya dia langsung ikut audisi. Dua kali ikut audisi ,
keduanya lulus. Dia pikir bahwa dengan ikut audisi berarti dia sudah menjadi
seorang penyanyi. Ia pun tidak mau mengolah vocal, dan hanya bersantai saja
padahal ia harus menyanyikan lagu “Gloria in excelsis Deo” sendiri. Lagu ini
tidak mudah dinyanyikan alias lagu yang sulit. Saat menyanyi lirik “Gloria in
excelsis Deo” napas tidak boleh behenti di tengah-tengah dan di akhir kalimat nada
harus turun. Tidak mudah karena selama ketukan itu nafas tidak boleh berhenti.
Saya dengan ‘kejam’ menyalakan i-pad dan memperdengarkan lagu tersebut saat
dibawakan oleh Andrea Bocelli. Ia pun ngambek. Mamanya berkata, “Jim , ia bernyanyi
per kelompok. Santai saja lah. Orang tidak tahu siapa dia.” Saya berkata,”Tidak
bisa! Jalan menuju ke atas adalah turun ke bawah. Kalau kita mau ke atas, kita
harus turun ke bawah, lakukan apa yang harus kita lakukan.” Kalau seorang atlit
perlu latihan push-up sebanyak 200
kali. Untuk penyanyi baru harus latihan olah vocal. Pengkhotbah yang mau
berkhotbah dengan baik harus menyiapkan bahan khotbah seminggu sebelumnya. Joan
mau menjadi seorang artis, maka ia harus latihan dari awal, mengikuti proses
dan prosedur dari bukan apa-apa agar bisa menjadi siapa-siapa.
Pertumbuhan rohani kita harus dengan
sungguh-sungguh berusaha untuk menambahkan kepada imanmu kebajikan. Artinya
bukan saja menjadi orang Kristen biasa tetapi melakukan kebajikan secara aktif.
Tidak melakukan apa-apa sama dengan baik? Tidak melakukan apa-apa sama dengan
tidak melakukan apa-apa. Hanya tidak melakukan apa-apa , bukan berarti baik bila
hanya tidak merampok. Kalau mau jadi orang baik, lakukan perbuatan baik secara
aktif. Kalau gereja ada kebutuhan untuk misi, ikut memberi persembahan secara aktif.
Itu yang dimaksud dengan kebajikan pada 2 Petrus 1:5. Kalau khotbah tidak
dicatat, tidak ikut kelas PA dll. bagaimana mau bertumbuh? 20 tahun ke gereja
tidak membaca dan belajar Alkitab, bagaimana bisa bertumbuh rohani? Kalau
bertemu dengan yang lebih muda ,ditanya usianya berapa? 40 tahun. Ia katakan
masih muda ya. Logikanya 40 tahun tidak
muda dan yang bilang muda itu adalah ego. Seharusnya older but wiser Artinya tambah tua seharusnya tambah bijak. Kalau
bertemu orang tua dan Kristen maka tetap harus dihormati. Kalau bukan orang
Kristen bagaimana? Saya tidak mau bertambah tua, tetapi tidak bertambah
bijaksana. Kalau kita bertambah tua, kita harus pastikan kita layak dihormati
bukan karena kita ubanan. Bacalah banyak buku.
Mama saya sekolah dasar saja tidak tamat. Tetapi tiap kali datang ke rumah
saya, buku saya ada yang hilang. Setiap kali mama pulang, saya harus hitung
buku saya ada yang hilang tidak. Kalau ada, tidak usah dicari ke mana-mana, tetapi
cari saja ke rumah mama pasti ketemu. Suatu kali mama saya pindah dari Gading
Serpong ke daerah Cengkareng, ia berkata,”Jim, bawa pulang buku sekotak (besar).
Itu barang kamu.” Rupanya mama kembalikan. Mama saya memang hobi membaca,
sampai buku Anand Krishna juga ia baca. Akhirnya saya berkata, “Nanti kalau
ambil buku saya bilang dulu ya.” Tetapi saya pikir, mama saya layak dihormati.
Bukan karena tua tapi ia menambah pengetahuan dalam pikirannya (seperti kata
Rasul Paulus : berusaha untuk menambahkan
kepada kebajikan pengetahuan). Dengan
mengetahui apa yang harus dilakukan maka lakukanlah secara terus menerus. Jangan
setelah mendengar khotbah tidak berubah. Jadi bukan 5D (Datang Duduk Diam Dengar
Doang) tetapi harusnya ditambah “Do it” (lakukan terus menerus). Setelah itu dan kepada pengetahuan penguasaan diri,
kepada penguasaan diri ketekunan, dan kepada ketekunan kesalehan,
Saleh itu bukan karena penampilan. Misal
: ada yang memakai jenggot agar mirip gambaran Tuhan Yesus dahulu, tidak
berarti ia menjadi orang saleh. Orang Kristen yang semakin bertambah saleh, maka
hidup rohaninya makin tersembunyi di dalam manusia, tetapi makin nyata di
hadapan Allah. Coba cari pola yang tepat, agar kita bisa bertumbuh. Bisa
gunakan 2 Petrus 1 sebagai pola. Bisa juga menggunakan nats dari Gal 5:22-23 (buah-buah
Roh Kudus) sebagai pola. Bisa juga menggunakan 10 hukum Taurat sebagai pola. Artinya
kita melihat nats tersebut lalu membandingkan dengan diri kita sehingga kita
tahu sudah di tahap mana.
Anak saya yang kedua dan berumur 4 tahun, Joshua, minta dibelikan mainan dokter-dokteran.
Saya menjawab, “Tidak usah beli, cici dulu punya.” Saya pun membongkar gudang dan
menemukannya. Sayangnya tidak ada stetoskop-nya, yang ada tinggal pisau bedah
dan termometer. Joshua bertanya, “Ini apa?” Saya menyebutkan namanya yaitu
termometer. Dia bertanya,”Gunanya untuk apa?” Saya pun menjelaskan fungsinya sebagai
alat untuk mengukur panas. Lalu ia berkata, “Papa, Joshua jadi doker. Papa jadi
orang sakit.” Joshua pun pura-pura memeriksa , memasukkan termometer ke tubuh
saya dan berkata, “Papa panas. Harus diobatin.” Ia mengambil pisau bedah lalu dipotong.
Apa yang sakit dipotong. Padahal untuk menentukan mana yang sakit hanya menggunakan
termometer. Namun setidaknya ia belajar bahwa untuk mengukur kesehatan orang
ada alat ukurnya. 10 Hukum Taurat, 2 Petrus 1:5, Gal 5 :22-23 adalah alat ukur
kerohanian kita sudah sampai mana.
Disiplin rohani artinya sebuah upaya untuk mencapai tujuan
secara terstruktur. Dan disiplin rohani adalah kerja keras untuk mencapai
tujuan. Rasul Paulus menggunakan kata “Tambahkan”. Itu berarti bahwa pertumbuhan rohani tidak terjadi dengan
sendirinya dan secara instan, jadi kita harus bekerja keras untuk mengalaminya.
Apa beda anak ayam dan anak orang? Bapak saya dulu memelihara anak ayam. Induk
ayam awalnya dikasih makan. Induk ayam ini kemudian bertelur dan mengerami telur
baru jadi anak ayam. Anak ayam tidak dikasih makan tapi dikeluarkan saja.
Diumbar saja sampai pulang sendiri. Setelah
besar, maka ayam tersebut dipotong. Kalau anak orang diumbar maka tidak
pulang-pulang. Karena itu membesarkan anak manusia harus terencana, untuk menumbuhkannya
orang tua harus bekerja keras. Hidup kerohanian juga tidak tumbuh instan harus bekerja
keras.
Penutup
Sewaktu
mengambil kuliah teologi, seorang kakak rohani bertanya,”Mengapa gereja
karismatik mudah sekali bertumbuh, sedangkan gereja protestan tidak?” Ia tidak
tahu jawabannya. Sewaktu ia mencoba datang ke gereja karismatik dan mendengar
khotbah, ia merasa emosi,”Pegang saya Jim. Kalau tidak , mau saya lempar orang
itu.” Kebetulan saya berasal dan dibaptis di gereja Pantekosta sebelum akhirnya
saya menjadi anggota GKY. Saya mengerti mengapa gereja Pantekosta bertumbuh.
Karena mereka membayar harga! Contoh : apakah kita punya persekutuan doa pagi?
Hanya mushi dan shimu , sedangkan jemaat tidak ada yang datang. Cobalah pergi ke
gereja karismatik dan pantekosta. Dari Senin sampai Sabtu mereka ada jadwal
doa. Bahkan ada gereja karismatik yang punya menara doa. Itu tempat berdoa 24
jam di mana jemaat terus bergantian untuk berdoa di sana tidak putus-putusnya.
Waktu masih di gereja Pantekosta, kami tidak boleh mengambil pelayanan kalau pada
hari Kamis tidak ikut doa puasa. Jadi doa puasa itu wajib bagi aktifis. Waktu
gembala saya mau melakukan buang jimat , ia berpuasa selama 10 hari dan hanya
minum sedikit. Pada waktunya jimat disiram. Lalu saya mendengarnya berkata,”Dalam
nama Tuhan Yesus hai iblis keluar!” lalu jimat itu terbakar! Mengapa gereja
kita tidak mengalami hal seperti itu? Mengapa gereja Protestan tidak mengalami
hal seperti itu? Bukan karena gereja kita tidak ada Roh Kudusnya, masalahnya
kita tidak mau bekerja-keras untuk mencapai level kerohanian yang lebih tinggi.
Disuruh doa puasa malah puasa doa dan suntuk. Nanti kalau sudah hidup susah ia
berkata,”Ini rencana Tuhan.” Bagaimana bisa mengatakan hal itu? Jangan tutupi
pertumbuhan rohani dengan kemalasan. Bayarlah harga dan disiplin rohani!
Saya mau kita mengalami Yesus. Allah yang kita
sembah, adalah Allah yang hidup. Ia bangkit dari antara orang mati. Ia disebut
Allah Imanuel , Allah beserta kita. Kalau sudah 30 tahun tidak mengalami Dia,
selama ini ke gereja ngapain saja? Mengalami penghiburan Allah hanya terjadi kalau kita merelakan diri memikul
salib. Dengan cara ini kita mengalami hal yang lebih dalam. Disiplin rohani
harus ada dalam diri dan kita harus bayar harga. Pada liburan bulan lalu ada
kejadian menarik bagi saya, karena kami hampir tidak jadi liburan. Papa mertua
saya diopname. Saya dan istri pulang ke Jambi untuk merawatnya. Hebatnya mertua
dan papa saya, di hari yang sama dan jam saya diopname di rumah sakit. Yang
satu mengalami stroke dan yang lain menderita diabetes. Papa saya memiliki
postur tubuh yang bagus. Walau usianya sudah 60 tahun, tetapi perutnya berotot
dan otot tangannya sebesar paha saya. Namun
ia mengalami stroke karena tidak disiplin mulut. Ia maunya makan enak terus. Papa
mertua saya lain lagi. Mereka seusia, sama-sama shio kuda, sakitnya bareng dan
masuk rumah sakit juga bareng. Papa mertua tidak perlu bekerja keras dalam
hidupnya. Bahkan dalam keadaan sulit, dengan duduk saja ia mendapat Rp 20 juta.
Satu-satunya olah raga adalah kalau jalan dari rumah ke hall (lapangan) bulutangkis
miliknya juga. Hall nya ada 4 buah. Ia berkeringat kalau menyapu hall yang dilakukannya
tidak sampai 1 jam. Setelah sapu, dia duduk di kursi malas sambil nonton TV
siaran dari Taiwan. Ia tinggal berdua sehingga tidak masak. Saat makan, ia pergi
berdua istri untuk membeli makanan enak-enak. Akhirnya ia terkena diabetes.
Kalau kena diabetes, keluar keringat sebesar biji jagung dan rasanya seperti
mau pingsan. Penderita diabet serba salah. Makan dan tidak makan salah. Umurnya
baru 60an (tidak sampai 63). Saya bertanya ke adik ipar saya yang usianya 35
tahun. Ia seorang manajer, tidak punya istri atau pacar dan orangnya tampan. Selain
badannya bagus, ia punya rumah dua dan mobil. Karena tidak punya istri dan
anak, kerjanya fitness setiap hari. Dadanya dan tangannya besar. Saya bertanya,
“Ti, di tempat fitnes- mu ada yang seumuran papa kita?” Dia menjawab,”Ada yang berumur
70 an dan masih menjadi private traniner
(PT).” Saya jadi kagum dan ingin memastikan. Ipar saya menjawab,”Benar umur
segitu masih menjadi seorang PT. Badannya lebih ‘kering’ dari saya. Lemaknya
sudah tidak ada. Perutnya six pack.” Saya berkata,”Ti, kamu ingat papamu? Tetapkan
dalam hati, saat kita seumurannya jangan seperti itu.” Kita harus menjadi orang
tua yang sehat.” Saya mau jadi sehat dan menikmati jalan-jalan dengan cucu.
Untuk mencapai tujuan itu, saya harus berolah raga setiap harinya. Saya tidak
bangga dengan badan saya. Tetapi saya bangga punya otot yang bagus dibanding
anak umur 18 tahun, itu karena melatih diri berlatih keras. Kalau tidak
menetapkan tujuan tinggi, maka kita akan kehilangan arah, mengalami kepicikan
rohani. Kita harus punya tujuan mengikut Yesus, mengikuci caranya dan bayar
harga. Itulah pertumbuhan rohani dengan disiplin rohani.
No comments:
Post a Comment