Pdt. Imanuel Adam
Matius 4:4 Tetapi Yesus menjawab:
"Ada tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap
firman yang keluar dari mulut Allah."
Yohanes 1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di
antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang
diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan
kebenaran.
Yang Membuat Kita Hidup adalah Firman
Tuhan
Matius 4:4 Tetapi Yesus menjawab: "Ada
tertulis: Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang
keluar dari mulut Allah." Ucapan Yesus ini diucapkan saat Yesus sedang
dicobai oleh Iblis. Dalam hidup ini banyak percobaan yang kita alami, banyak
persoalan yang kita hadapi. Itu sebabnya seringkali kita mengeluh, kecewa,
patah arang, merasa tertekan, tidak punya kekuatan apapun saat menghadapi
persoalan-persoalan. Ketika itu Iblis mencoba mengarahkan pikiran dan perasaan
Yesus pada apa yang Dia alami saat Yesus sedang puasa. Matius 4:3 Lalu datanglah si
pencoba itu dan berkata kepada-Nya: "Jika Engkau Anak Allah,
perintahkanlah supaya batu-batu ini menjadi roti." Saat itu Yesus
diperhadapkan dengan hal-hal duniawi : tanpa roti kita tidak kenyang, tanpa
minum akan kehausan, namun Yesus ingin mengatakan hidup manusia bukan dari roti
saja. Jadi menghadapi godaan dan arahan iblis, Yesus melawan iblis dengan firman
Tuhan, "Ada tertulis: Manusia hidup
bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut
Allah." Jadi saat menghadapi percobaan, pergumulan, tekanan hidup, maka
dijawab dengan firman Tuhan!
Kalau setiap hari kita menonton acara TV tentang kawin-cerai,
maka apa yang akan ada di benak kita? Kawin cerai! Kalau setiap hari hati dan
pikiran diterangi oleh firman Tuhan, maka di hati kita akan diterangi oleh firman
Tuhan. Karena hidup kita digerakkan oleh apa yang dipikirkan dan dirasakan.
Jadi ketika mengatakan “aku bodoh” maka jadilah kita bodoh. Ketika mengatakan “kekecewaan
mulai masuk dalam hidupku” maka jadilah kekecewaan masuk dalam hidup. Kalau
mengatakan “tidak bisa” maka kita benar-benar tidak akan bisa. Saat menghadapi setiap
persoalan, pergumulan dan tekanan hidup
harus dijawab dengan firman Tuhan. Maka Yesus mengatakan manusia hidup bukan
dari roti saja. Makanan, minuman, pakaian , harta tidak bisa menjadikan kita
hidup dan menikmati hidup. Itu hanya sebagian kecil saja, yang membuat kita bisa
hidup adalah firman Tuhan.
Firman Tuhan adalah Yesus
Yohanes 1:14 Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di
antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang
diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan
kebenaran. Firman itu adalah Yesus
yang mau hidup, bekerja dan menopang kehidupan kita. Kalau kita hidup tapi
tidak bisa menjalaninya dengan baik maka untuk apa hidup kalau tidak bisa
bersukacita? Untuk apa hidup kalau tidak punya damai sejahtera dalam hidup ini?
Yesus mengatakan, “Aku datang untuk memberikan kepadamu damai sejahtera,
sukacita hidup. Damai sejahtera yang Kuberikan kepadamu beda dengan yang disiapkan
manusia kepadamu, karena damai Allah adalah kekal”.
Saat Tuhan menciptakan alam semesta dan ketika Tuhan
menciptakan manusia, apa bedanya? Ada 2 hal :
1.
Saat menciptakan
alam semesta Tuhan mengatakan, “Baik”. Tetapi saat menciptakan manusia, Tuhan
mengatakan sungguh amat baik. Jadi dengan ungkapan “sungguh amat baik” sudah final,
luar biasa, tidak perlu ditambahkan lagi apa-apa. Itu sebabnya Nabi Yesaya
menulis , “Di mata Tuhan manusia sungguh berharga dan mulia.” Artinya kita adalah ciptaan Tuhan yang spesial dan khusus
. Tuhan tidak mau membuang ciptaanNya yang sangat spesial (khusus).
2.
Ketika
menciptakan alam semesta , Tuhan hanya berfirman,”Jadilah terang” lalu terang
pun jadi. “Jadilah cakrawala” maka cakrawala jadi. Tetapi saat menciptakan manusia
, Tuhan membuat gambar terlebih dahulu. Seperti saat membuat rumah dibuat
gambar dahulu (mana ruang tamu, kamar mandi, dapur, ruang tidur. Dapur ada
dapur bersih dan dapur kotor dan sebagainya). Jadi dipikirkan semuanya (dipikirkan
sedemikian rupa) karena kita mau tinggal di sana. Jadi ketika Tuhan menciptakan
manusia menurut gambaran dan rancanganNya karena Dia mau tinggal di situ. Dia
mau tinggal bersama kita. Tuhan mau berjalan bersama – sama kita, mau bergumul
bersama kita. Itu sebabnya Tuhan sangat kecewa ketika manusia membiarkan
hidupnya dikendalikan oleh dosa. Berkali-kali Tuhan berupaya melalui orang-orang
yang mencintai Tuhan (para nabiNya) mengarahkan manusia untuk kembali lagi kepada
Tuhan tetapi tidak bisa. Akhirnya Tuhan sendiri harus datang ke tengah-tengah
dunia ini dalam diri Yesus. Yesus mengingatkan kembali manusia adalah ciptaan
Tuhan. Yoh 15:4 Tinggallah di dalam Aku dan Aku di dalam
kamu. Sama seperti ranting tidak dapat berbuah dari dirinya sendiri, kalau ia
tidak tinggal pada pokok anggur, demikian juga kamu tidak berbuah, jikalau kamu
tidak tinggal di dalam Aku. Kerinduan Tuhan adalah tinggal bersama kita,
berjalan bersama kita. Itu sebabnya Tuhan yang begitu kudus, suci, besar ,
tidak bisa tinggal dengan orang yang berdosa. Tuhan mengubah manusia berdosa
menjadi benar di hadapanNya.
Itu sebabnya, ketika saya merenungkan firman
Tuhan, “saya benar-benar ciptaan yang luar bisa, sangat diperhatikan dan dipedulikan
oleh Tuhan, ke mana saya berada Tuhan ada di sana. Dalam persoalan apa pun yang
saya hadapi Tuhan ada di situ. Allah kita luar biasa! Itu sebabnya kalau kita
mau tinggal bersama dengan Tuhan, berarti kita harus sepakat dengan pikiran dan
perasaan Tuhan. Kalau kita mengatakan, “Aku mau menjadi pengikut Tuhan” maka
kita harus sepakat dengan rencana, pikiran, rancangan besar Tuhan dalam hidup
kita di dunia ini. Sepakat artinya kita siap menyerap pikiran dan perasaan
Tuhan melalui firmanNya dalam hidup saya. Bagaimana cara sepakatnya? Sepakat di
sini berarti siap meninggalkan kebenaran sendiri dan mulai menggantikan dengan
kebenaran Tuhan. Ini tidak mudah.
Kebenaran Tuhan, bukan kebenaran sendiri
Ada seorang opa ,
umurnya sudah hampir 70 tahun. Ia sedang berpikir menghadapi istrinya yang sudah
mulai tuli (susah mendengar). Sang Opa pun mencari caranya di google. Di situ diajarkan,”Ada caranya. Dalam
jarak 10 meter pangggil istrimu. Kalau tidak menjawab, berarti istrimu ada
masalah dengan pendengarannya. Lalu maju lagi 2 m dan panggil lagi. Kalau tidak
mendengar juga berarti memang dia sudah di area budeg. Lalu maju lagi 2 meter dan panggil lagi, kalau tidak mendengar juga, berarti
ia benar-benar sudah tuli.” Sang Opa pun mempraktekkan petunjuk itu. Dia pun
memanggil istrinya, “Mi, masak apa hari ini?” namun istrinya tidak menjawab. Sehingga
Sang Opa berkata, “Wah benar, istri saya punya masalah dengan pendengarannya” lalu
ia maju 2 meter lalu dan bertanya ,”Mi, masak apa hari ini?” namun istrinya diam
saja. Wah sudah budeg istrinya. Lalu ia maju kembali 2 meter dan bertanya lagi,
“Mi, masak apa hari ini?” Sang istri pun menjawab,”Dari tadi saya sudah menjawab,’Masak
sayur asem!’” Jadi sebenarnya siapa yang budeg? Kadangkala kita tidak pernah
merasa diri kita bermasalah.
Kita hidup dalam
kebenaran sendiri. Setelah merasa benar, kita merasa tidak perlu lagi mendengar
orang lain. Tuhan Yesus mengatakan,”Aku ingin agar ciptaanKu hidup dan
menikmati (menjalani) hidup” sehingga Dia mengatakan : "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang
datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku (Yoh 14:6). Ada 3 hal : harus
di jalan Tuhan, mulai mencari kebenaran Tuhan (bagi Tuhan, tidak ada yang benar
di dunia ini, baru kita bisa menikmati hidup). Banyak orang yang sudah di jalan
Tuhan, tetapi hidupnya tidak benar, makanya dia tidak bisa hidup.
Saya dan istri suka berjalan pagi di
taman dan ada taman favorit kami. Karena sudah rutin berjalan di taman itu,
maka suatu hari kami pindah taman agar tidak menjadi bosan. Di sana sudah ada
tanda panah petunjuk (diarahkan searah jarum jam). Ketika kami sedang berjalan
berdua di taman, lalu masuk sepasang suami-istri yang kemudian berjalan
berlawanan dengan arah jalan kami. Kami berpikir,”Orang ini tidak mengerti
tanda panah”. Seharusnya mereka berjalan searah dengan jarum jam sesuai dengan
petunjuk. Lalu masuk lagi serombongan lain yang juga berjalan berlawanan arah.
Demikian juga dengan rombongan yang lain. Akhirnya saya berkata ke istri saya, “Mari
kita balik, salah arahnya!”. Istri saya membantah dan mengatakan bahwa arahnya
sudah benar.
Terkadang ada banyak
hal yang kita dengar dan lihat yang membawa kebenarannya, sehingga ketika
berjalan dengan firman Tuhan seperti tidak benar. Itu yang dimaksud dengan
godaan. Bagaimana menghadapi situasi seperti itu? Maka belajarlah untuk
sepikiran dengan Tuhan. Berikan waktu untuk firman itu hadir di hati dan
pikiran kita lalu jalanilah! Menjalani kehidupan dalam firman berarti kita
sedang belajar untuk mengalami dahsyatnya firman Tuhan dalam kehidupan kita. Firman
yang keluar dari mulut Allah tidak akan kembali kepada Allah dengan sia-sia. Ketika kita mengimani, mengamini dan
menjalani, maka firman itu akan berkerja dan ketika firman itu bekerja maka Ia akan
berhasil. Masalahnya kita sering merasa tidak sabaran (ingin cepat berhasil). Diimani
tidak firman itu? Dijalani tidak firman itu?
Dua tahun lalu anak saya yang besar
(laki-laki bernama Theo) berkata “Pi, saya sudah siap menikah” Saya bertanya, “Memang
kenapa?” Dia menjawab,”Saya teringat pesan papi, Mrk 10:7 sebab itu laki-laki
akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya” Saya
menjawab agar dia benar-benar merenungkan firman tersebut. 4 hari kemudian ia
datang lagi dan berkata,”Saya sudah mengerti benar firman Tuhan ini. Hanya, setelah
menikah saya tinggal di sini dulu selama 10 tahun saja”. Saya berkata, “Ko,
kalau belum siap jangan menikah!” “Lho kapan siapnya Pi?” responsnya. Buat dia
makna perkataan “siap” berbeda, Buat anak saya , siap itu siap tempat tinggal ,
pekerjaan dan lain-lain. Untuk saya, siap adalah siap untuk berjalan dengan
Tuhan. Dia bertanya,”Pi, kan tidak apa-apa. Saya kan anak papi, bisa tidak saya
tinggal di sini selama 10 tahun?” Saya timbul rasa kasihan kepadanya. Saya terjebak
dengan rasa kasihan. Akhirnya saya berkata,”Iya deh. Nanti papi tanya dulu ke mami”.
Saat bertemu istri, saya berkata,”Mi, Koko mau menikah”. “Oh aku sudah tahu”
jawab istri saya. “Hanya tadi dia bilang
mau tinggal dengan kita selama 10 tahun dulu. Sudahlah Mi, kasihan. Ini anak
kita juga. Biar dia bisa kumpul-kumpul dahulu.” Istri saya kemudian memandangi saya
terus. “Saya jadi heran dengan Papi. Papi itu pendeta bukan?” “Pendeta!” jawab
saya kaget. “Kenapa Papi tidak pegang mulut Papi. Di mimbar berkata, ‘laki-laki
meninggalkan orang tuanya’. Sekarang anak sendiri dipegangi?” Saya menjawab,”Apa
salahnya? Saya mencari pembenaran-pembenaran. Tuhan juga mengerti anak ini belum bisa
apa-apa, sedang mempersiapkan segala hal untuk masa depannya. Tuhan juga
mengerti…”. Saya mencari pembenaran diri saya. Kemudian berbulan-bulan saya
bergumul dengan diri saya. Akhirnya suatu malam, setelah selesai berdoa, saya
merenung. Sepertinya Tuhan saat itu mengingatkan saya, “Immanuel , waktu kamu
menikah, kamu bawa apa?” “Tidak bawa apa-apa, Tuhan”, jawab saya. “Kok kamu
bisa lewatkan hari-hari kamu? Tidak kekurangan makanan, minuman , pakaian. Aku percayakan
kepadamu 2 orang anak . Kamu bisa sekolahkan, les-kan, berikan sarana kepada
mereka sehingga bisa bertumbuh, hingga mereka bisa sekolah dari SD, SMP, SMA
dan kuliah dan sekarang sudah bekerja. Siapa yang buka jalan?” “Tuhan!” jawab
saya. Sepertinya Tuhan mengingatkan, “Immanuel sama seperti Aku berjalan dengan
kamu selama ini, sekarang ijinkan anakmu berjalan bersama dengan saya. Jangan
kamu pegangi terus! Mengapa?” Karena saya
mengukur segala hal dengan kebenaran-kebenaran saya : ini anak belum siap. Ini
anak belum begini-begitu. Semua itu menurut pikiran saya, menurut kebenaran
saya. Di mana bagian Tuhan dalam kehidupan anak saya? Di situlah saya seperti
digampar oleh Tuhan sehingga saya berkata, “Ampuni saya Tuhan. Aku tidak
memberikan tempat bagi Tuhan untuk bekerja di tengah-tengah kehidupan anak”.
Begitu si Koko datang
lagi dan bertanya,”Jadi bagaimana Pi? Sudah bicara dengan mami?” Jadi saya
berkata, “Firman Tuhan dari dahulu , sekarang sampai selama-lamanya tidak
pernah berubah. Laki-laki harus meninggalkan orang tuanya dan bersatu dengan
istrinya.” Adiknya yang perempuan tertawa dan berkata,”Syukur saya tidak
menjadi laki-laki”. Istri saya merespon,”Oh.. Kamu juga sama, Agatha. Kamu juga
harus dibawa keluar rumah ini oleh suami kamu, berjalan bersama Tuhan.”
Bagaimana Tuhan memenuhi janjiNya kepada kita? Kalau kita membiarkan hidup kita
dikendalikan oleh ketakutan , kekhawatiran dan kebenaran kita? Bagaimana firman
Tuhan bisa berkuasa dan kita mengalami pekerjaan-pekerjaan Tuhan dalam kita ,
ketika kita membiarkan hidup kita dikendalikan oleh pikiran kita? Itu sebabnya
firman Tuhan berkata, “Kita hanya bisa hidup karena firman Tuhan yang dibiarkan
hidup dan bertumbuh dalam hidup kita, yang mengongtrol , mulai mengarahkan hidup
kita pada kebenaran. Tidak mudah, tetapi harus siap. Begitu keluar dari ruangan
ini, “Tuhan aku siap untuk hidup dalam kebenaraMu.” maka kita akan hidup. “Akulah jalan, kebenaran dan hidup”
Firman Tuhan menjadi cahaya
Firman Tuhan ingin mengajarkan hal ini. Mazmur 119:105 Firman-Mu itu pelita bagi
kakiku dan terang bagi jalanku. Kalau dikatakan terang (cahaya) itu berarti
kita sedang berada di dalam situasi yang benar. Tidak ragu-ragu, tidak ada yang
abu-abu dalam hidup kita. Tidak lagi kita berkata, “mustahil”. Mengapa? Terang
itu berarti jelas. Itu sebabnya Tuhan Yesus mengatakan, “Akulah terang dunia.
Barang siapa mengikut Aku, ia tidak akan berada dalam kegelapan, melainkan dalam
dirinya ada terang itu”. Ini agak sedikit berlawanan dengan hukum bahasa
Indonesia yang pengertiannya, “Akulah terang dunia. Barang siapa mengikut aku,
maka dalam perjalanan hidup dia, akan merasakan terang.” Karena terangnya
berada di depan dan kita mengalami terang itu. Namun Yesus mengatakan berbeda, “Barang
siapa mengikut Aku” berarti Yesus tinggal dalam diri orang itu” sehingga
dikatakan oleh Yesus, “Di dalam hidupnya ada terang itu”. Jadi ketika firman
Tuhan diserap dan dijalani dalam hidup kita, firman itu diamini, maka firman
itu sendiri memberi terang dan kejelasan kepada kita sehingga kita bisa
membedakan mana kehendak Tuhan yang baik dan benar. Menurut Tuhan , bukan
menurut saya. Dunia mengajarkan yang relatif.
Siapa
yang paling cantik di ruangan ini? Yang duduk bersama istri, tidak ada pilihan
lain. Dikatakan, relatif. Dunia mengajarkan hal itu. Di Jakarta, sayur asem mana yang paling enak? Relatif. Kopi mana yang paling enak? Relatif!
Dunia mengajarkan bahwa tidak ada yang benar-benar benar. Semuanya relatif. Firman Tuhan mengajarkan
tidak, “Hanya satu yang benar yaitu Yesus.” Firman yang menerangi hati dan
pikiran kita yang bisa membedakan mana yang benar dan baik. Terkadang kita
tidak bisa mengatakan begitu. Misalnya :mengapa firman Tuhan mengajarkan “hormatilah
orang tuamu”?.
Suatu ketika, anak saya membawa teman wanitanya
bertemu kami dan saat itu istri saya berkata, “Ko, sepertinya mami kurang sreg”.
Dia berespon,”Wah, mami baru saja ketemu , sekarang sudah berkata tidak sreg. Apa
dasarnya?. Ini sih kebenaran mami sendiri”. Istri saya menjawab,”Kamu dengan
dia sepertinya banyak persoalan. Bukan menghakimi”. Theo bertanya,”Apa dasarnya?”
“Tidak mengerti juga sih Ko. Hanya perasaan mami, hanya perasaan mami kurang
begitu sreg. Akhirnya anak kami berkata,”Iya Mi. Saya dengarkan apa yang mami
mau” Akhirnya selesai dan tidak jadi. Setelah setahun jadi jomblo, anak saya
berkata,”tuh kan, gara-gara mami tidak jadi terus!” Namun suatu ketika , istri saya
mengatakan,”Ya sudahlah , Mami tidak mau mengecewakan kamu. Tapi pada dasarnya
sebenarnya Mami kurang sreg.” Namun suatu ketika, ia membawa seorang temannya
lagi. Theo berkata,”Bagaimana mi? Ini kan anak Tuhan, dia jadi worship leader di gereja. Dia jadi ketua
komisi, pelayanannya luar biasa,Mi. Ini cocok untuk mantu pendeta. Apalagi orang
tuanya pengurus gereja yang begini… (segala macam).” Istri saya menjawab,”Ya
sudah terserah. Mami tidak mau kecewakan kamu lagi. Kalau memang itu pilihanmu.
Mami pernah dengar dari Papi yang mengatakan ‘apa yang kamu pilih, itu menentukan
masa depanmu’. “Ya sudahlah. Aku memilih yang terbaik kok” jawabnya. Lalu diperkenalkan
kepada saya dan kemudian saya melihat.
Kalau lelaki kurang begitu peka. Saya berpikir,”Dia mau dan anak saya mau , ya
sudah. Yang penting anak Tuhan”. Anak saya terus mempromosikan temannya itu“Dia
pelayanannya luar biasa.. dan lain-lain”
Maret
2017, teman wanita dia datang. Padahal kami siapkan pernikahannya di bulan
Agustus 2017 dan ternyata tidak jadi. Anak saya berkata,”Saya juga bingung
mengapa bisa tidak jadi. Tetapi sudahlah, memang ini keputusan kita berdua, kita
tidak bisa teruskan lagi.” Ya sudah, batal semuanya. Sekitar November 2017 anak
saya membawa temannya lagi, cepat sekali pulihnya. Anak saya berpikir tidak
usah kacau dan depresi. Rupanya ia lebih memikirkan satu hal yang pernah saya
katakan kepadanya, “Ko, persoalan itu ada karena kita buat sendiri. Persoalan
jadi besar karena kita buat jadi besar. Persoalan kita jadi kecil, karena kita
buat jadi kecil. Persoalan bukan jadi persoalan ketika kita anggap itu bukan
persoalan buat kita”. Akhirnya anak saya memilih itu bukan persoalan. Jalani
saja. Istri saya berkata, “mami sreg”. Baru sekarang si mami sreg, tetapi anak
saya berkata,”Masalahnya, ia belum pernah ke gereja! Kedua orang tuanya sudah meninggal
waktu ia berusia 10 tahun. Ia tinggal dengan omanya.” “Omanya ke gereja?”
“Tidak”. Rupanya oma dan kakaknya tidak ke gereja. Ada satu dua orang om-tante
yang sudah ikut Tuhan, tetapi sebagian besar belum”. Begitu saya mendengar hal
ini, dalam hati berkata,”gawat”. Saya tanya kepada temannya itu,”Kalau ke
gereja ke mana?”. Dia menjawab,”Tidak ke gereja, om!” Saya bertanya lagi,”Jadi
selama ini, kamu pernah ke gereja?” Dia menjawab,”Oh pernah. Dulu waktu kecil
saya diajak ke Sekolah Minggu. Namun setelah orang tua meninggal tidak ada yang
mengantar saya ke gereja, jadi tidak ke gereja lagi.”. Saya geleng-geleng
kepala. Hal ini berarti berat. Kemudian istri saya langsung berkata, “Wah kamu nanti
bisa mengenal Tuhan nanti bersama Theo. Nanti belajar ke gereja .. dstnya”. Istri
saya membela terus. Kok jadi begini. Akhirnya saya bertanya istri saya setelah
mereka pergi, “mengapa kamu sepertinya…” “Aku sreg Pi walau dia belum mengenal
Tuhan.” “Sreg dari mana ukurannya?” “Tidak mengerti juga. Sepertinya anaknya itu
baik.” Itu membuat anak saya jalan terus. Di bulan Januari 2018 dia datang lagi
bersama temannya itu, dan ternyata temannya sedang ikut katekisasi. Saya
bertanya,”Apakah terpaksa atau tidak?” Jangan gara-gara calon bapaknya pendeta,
dia ikut jadi Kristen. Rupanya dia mau sendiri karena dia tiba-tiba bertanya,”Les
agama Kristen dimana ya?” Akhirnya diantarkan ke gereja dan cocok dengan satu gereja dan beribadah di sana. Akhirnya
Oktober 2018 mereka menikah dan saya bersyukur karena ia bertumbuh imannya. Saya
mulai berpikir lagi,”Benar juga. Ketika saya mulai berpikir tentang masa depan
, juga anak saya berpikir tentang masa depan dan saya bertanya kepadanya, “Apa
yang menjadi peganganmu untuk masa depan?”. Dia menjawab,”Hanya satu Pi. Saya harus
mendengarkan apa kata papi-mami. Bukan karena papi-mami paling benar. Kalau
tidak benar, saya juga ingatkan yang tidak benar. Persoalannya firman Tuhan
katakan,’Hormatilah orang tuamu kalau kamu mau lanjut usiamu dan berbahagia di
tanah yang dijanjikan Tuhan”. Jadi masa depanmu tidak lepas dari peranan orang
tua. Jadi anak-anak muda yang belum menikah perlu bertanya orang tua, jangan
putuskan sendiri. Doakan bersama orang tuamu karena masa depan tidak lepas dari
firman Tuhan. Katakan,”Amin, sesungguhnya Tuhan aku percaya Tuhan, bahwa
firmanMu adalah firman yang hidup dan aku jalani itu dalam hidup. Aku percaya
bagi Tuhan tidak ada yang mustahil. Bagi manusia sangat mustahil, tapi bagi Tuhan
Tuhan tidak ada yang mustahil!”
Firman Tuhan adalah sumber untuk
melangkah ke masa depan.
Firman yang membuka jalan di dalam hidupmu. Firman
Tuhan bukan saja menjadi cahaya tetapi , firman Tuhan adalah sumber untuk
melangkah ke masa depan. Yakobus
1:21 Sebab itu buanglah segala sesuatu
yang kotor dan kejahatan yang begitu banyak itu dan terimalah dengan lemah
lembut firman yang tertanam di dalam hatimu, yang berkuasa menyelamatkan
jiwamu. Firman yang ada di dalam kita yang menyelamatkan jiwamu dan
memampukan engkau keluar dari situasi-situasi sulit dalam hidupmu. Yang membuka
jalan bagi hidupmu di tengah-tengah ketiadaan jalan.
Suatu hari anak saya bertanya, “Pi, dulu papi membeli
rumah ini berapa harganya?” Saya menjawab,”Waktu itu Rp 200 sekian juta”. Dia bertanya lagi,”Kalau sekarang berapa
harganya?” “Oh sekarang, itu di tikungan ada tanah kosong baru dijual Rp 3,1
miliar.” “Kalau saya gajinya Rp 6 juta
kapan saya bisa punya rumah?”. Saya menjawab,”Dengan harga rumah segitu, maka seumur
hidupmu, kamuu bakal tidak bisa punya
rumah.Coba pikir kalau gaji Rp 6 juta dipotong Rp 2 juta untuk naik bus, makan
siang di kantor. Rp 4 juta kumpulkan sampai kapan. 10 tahun harga rumah naik lagi, kapan terkejarnya?.” Dia
bertanya lagi,“Jadi bagaimana Pi?” Saya menjawab,”Coba tanya om-om kamu. Tanya bagaimana
caranya mereka bisa punya rumah.” Maka satu per satu ditanya. “Om, waktu
menikah langsung punya rumah?” Dijawab tidak (hanya menyewa). “Kok sekarang
bisa punya rumah?” Itu hebatnya Tuhan kita. “Jadi bagaimana Pi?” Banyak yang
tidak pernah engkau pikirkan dan rancangkan, namun Tuhan sediakan buat kamu
karena Tuhan mengerti siapa kita, Tuhan
mengerti batas-batas kemampuanmu, Tuhan mengerti siapa engkau sesungguhnya di
mata Tuhan. Maka Tuhan membuka jalan dengan caraNya bukan cara kita. Kamu tahu,
saat papi membeli rumah ini dari mana uangnya?” Saya ceritakan masa lalu saya.
Bukan ingin menyombongkan tapi
menyaksikan bagaimana pekerjaan Tuhan yang
luar bisa.
Suatu
saat saya harus bergumul untuk tempat tinggal. Selama ini seorang pendeta disiapkan
pastori di gereja. Tapi waktu itu saya mengambil keputusan untuk mengundurkan
diri dari pelayanan di gereja tersebut karena ada pergumulan-pergumulan yang
berat sekali. Akhirnya kami harus mencari tempat tinggal. Tabungan kami hanya Rp
18 juta, menyewa rumah di sekitar satu rumah situ seharga Rp 28 juta. Jadi
tidak pernah bisa dapat. Jauh dari tabungan kami. Akhirnya setelah 3 bulan,
kami meminta ijin ke majelis jemaat untuk tinggal dahulu di pastori sambil kami
mencari tempat tinggal. Tinggal seminggu lagi dari 3 bulan, saya berkata,”kita kembali
ke Bandung tinggal di rumah orang tua”. Sambil menunggu keputusan penempatan
dari sinode yang diperkirakan akan memakan waktu lama. Istri saya berkata, “Tidak
jadi masalah”. Ia mengerti bahwa saya sedang stres berat. Dia ingin
menyenangkan saya. Ia berkata,”Saya mau ke pasar. Saya mau buat sayur asem untuk
Papi”. Memang kesukaan saya sayur asem. Lalu ia pergi ke pasar. Ternyata pasar
yang biasanya dia datangi pk 10 sudah banyak bahan yang habis. Lalu ia mencari ke kompleks perumahan
ada pasar kaget. Ternyata di sana ada bahan-bahannya. Waktu mau keluar kompleks
itu ada rumah yang mau dijual. Ada seorang oma yang sedang menyapu di depan rumah
itu. Dia berpikir, “Tidak ada salahnya bertanya, disewa dulu setengah tahun”
jadi dia bertanya. “Boleh tidak sewa ½ tahun dulu?”. Sang oma menjawab,”Tidak
bisa! Ini untuk dijual”. Waktu mau sampai ke mobil, istri saya dipanggil si oma
dan ia pun bertanya apa pekerjaan istri saya. Istri saya menjelaskan bahwa ia seorang
ibu rumah tangga dan suaminya hamba Tuhan. Sang oma berkata,”Maaf ya Dik. Saya
bukan orang Kristen. Begini saja, adik beli saja rumah ini. Besok kita ke notaris.
Setelah dari notaris, kita buka rekening tabungan bersama-sama. Berapa saja suami
adik punya uang tiap bulan, masukan ke tabungan. Mendengar itu, istri saya sampai
bertanya 3 kali dan jawaban nya tetap sama!
Rupanya ia cocok dengan istri saya jadi ia mau menjual
ke istri saya. Istri saya pulang ke rumah dan membawa kabar sukacita kepada
saya. Saya hanya tersenyum. Saya bertanya, “Oma itu sudah berumur berapa?”
Istri saya menjawab,”Mungkin sudah 80 tahun lebih!”. Jadi saya berkata, “Ya
sudah, jangan didengerin. Karena sekarang ngomong A besok B. “ “Tidak! Tadi
ngomongnya begini-begitu” sanggah istri saya. Saya akhirnya berkata,”Baik mi,
besok kita ke sana.” Jadi kalau besok Si
oma berkata, “Siapa yang bilang begitu?” jadi saya bisa berkata,”Tuh kan”” Jadi
tunggu sampai besok. Keesokan harinya, istri saya membawa saya. Saat bertemu
oma itu, istri saya berkata, “Oma ini suami saya.” Dia berespon,”Oh jadi ya
beli rumah Pendeta?”. Saya bertanya dulu, “Oma punya anak berapa?” Dijawab ada
11 orang. Lalu saya minta agar anak-anaknya dikumpulkan dulu semuanya. “Apa
urusannya dengan anak-anak saya.. Ini rumah saya!” “Bukan begitu oma. Saya
tidak mau nanti di antara anak-anak oma
ada yang mengatakan, ‘Tuh si pendeta pintar mulutnya bisa membuat si mama
menjadi berbalik menjual rumah untuknya!”. Lalu anak-anaknya dikumpulkan. Puji
Tuhan, semua anak si Oma sudah ikut Tuhan. Ada yang Katolik, Pantekosta, Protestan.
Saya mengutarakan maksud saya bertemu mereka. Anak yang besar berkata, “Ma benar
rumah ini jadi mau dijual?” Dijawab,”Betul”. Anaknya bertanya lagi, “Mama mau
menjual untuk Pdt. Immanuel?” Dijawab lagi ,”Betul!” Anak-anaknya berkata,”Pak
pendeta dengar, mama saya mau jual hanya ke pendeta. Kalau nanti Pak Pendeta
butuh saksi di notaris, kami siap!”. Saya katakan,”Oma, kalau saya hanya punya
RP 50.000 bagaimana?” Dijawab,”Tidak masalah. Rumah ini adalah rumah sial.
Karena letaknya tusuk sate. Diperkirakan 3-4 tahun bisa selesai, kita doakan bersama.”
Yang sangat luar biasa, sejak saat itu, saya banyak sekali diminta pelayanan di
gereja-gereja. Setiap bulan ada saja dana yang masuk ke tabungan si oma dan 10
bulan selesai. Begitu selesai, si Oma berkata, “Tuh kan benar? Pasti bisa. Tidak
3 tahun tapi 10 bulan!” Saya hanya tersenyum,”Tuhan itu luar biasa”. Sejak 10
bulan selesai, tidak ada yang mengundang saya khotbah kecuali hari Minggu atau hari
Jumat. Tuhan ingin mengatakan, “Sudahlah cukup kasih karuniKku padamu”. Tuhan mau
menunjukkan, “Ada jalanKu, ada bagianmu!” Di dalam hidup ini ada bagian Tuhan
dan ada bagian kita. Kerjakan bagian kita, selebihnya adalah bagian Tuhan.
Amin.
No comments:
Post a Comment