Ev. Susan Kwok
Keluaran 2:1-10
1 Seorang
laki-laki dari keluarga Lewi kawin dengan seorang perempuan Lewi;
2 lalu
mengandunglah ia dan melahirkan seorang anak laki-laki. Ketika dilihatnya,
bahwa anak itu cantik, disembunyikannya tiga bulan lamanya.
3 Tetapi ia
tidak dapat menyembunyikannya lebih lama lagi, sebab itu diambilnya sebuah peti
pandan, dipakalnya dengan gala-gala dan ter, diletakkannya bayi itu di dalamnya
dan ditaruhnya peti itu di tengah-tengah teberau di tepi sungai Nil;
4 kakaknya
perempuan berdiri di tempat yang agak jauh untuk melihat, apakah yang akan
terjadi dengan dia.
5 Maka datanglah puteri Firaun untuk mandi di sungai
Nil, sedang dayang-dayangnya berjalan-jalan di tepi sungai Nil, lalu
terlihatlah olehnya peti yang di tengah-tengah teberau itu, maka disuruhnya
hambanya perempuan untuk mengambilnya.
6 Ketika
dibukanya, dilihatnya bayi itu, dan tampaklah anak itu menangis, sehingga belas
kasihanlah ia kepadanya dan berkata: "Tentulah ini bayi orang
Ibrani."
7 Lalu
bertanyalah kakak anak itu kepada puteri Firaun: "Akan kupanggilkah bagi
tuan puteri seorang inang penyusu dari perempuan Ibrani untuk menyusukan bayi
itu bagi tuan puteri?"
8 Sahut puteri
Firaun kepadanya: "Baiklah." Lalu pergilah gadis itu memanggil ibu
bayi itu.
9 Maka
berkatalah puteri Firaun kepada ibu itu: "Bawalah bayi ini dan susukanlah
dia bagiku, maka aku akan memberi upah kepadamu." Kemudian perempuan itu
mengambil bayi itu dan menyusuinya.
10 Ketika anak
itu telah besar, dibawanyalah kepada puteri Firaun, yang mengangkatnya menjadi
anaknya, dan menamainya Musa, sebab katanya: "Karena aku telah menariknya
dari air."
Pendahuluan
Tema hari ini : “Keluargamu adalah
Ladangmu”. Berbicara tentang ladang di tengah keluarga bukan sekedar berbicara
tentang penginjilan, namun kita berbicara tentang banyak hal termasuk
penginjilan yakni bagaimana bila ada
anggota keluarga yang belum mengenal Tuhan dan kita harus punya beban dan
kerinduan untuk mendoakannya. Dengan perkataan lain, hal ini bisa berbicara
tentang bagaimana kita mempunyai konsep keluarga yang bernilai dan juga
bagaimana kita melihat keluarga kita sebagai sesuatu yang Tuhan percayakan untuk kita garap, gali
dan temukan mutiara-mutiara rohani di dalam keluarga. Jadi kita bukan berbicara
tentang sesuatu yang sepele (jauh yang tidak bisa kita jangkau) tetapi sesuatu
yang sangat sederhana yang ada di depan kita. Setiap kita pasti punya keluarga.
Bagi yang belum menikah pasti punya orang tua dan saudara. Bagi yang sudah
menikah mungkin sudah punya anak. Atau ada yang sudah berpacaran dan berencana
ingin menikah. Terdapat begitu banyak permasalahan dalam keluarga. Ada keluarga
yang sudah mengenal Tuhan dan ada keluarga yang anggotanya belum mengenal Tuhan.
Ada keluarga yang tabiatnya berbeda-beda Berbicara tentang keluarga itu berbicara
tentang sesuatu yang sangat dekat dengan kita.
Beberapa Keadaan Keluarga Kristen
Pengalaman ini saya temukan sepanjang
pelayanan dan kehidupan saya dan terjadi di tengah keluarga Kristen. Sebagian
contohnya membuat saya merasa khawatir dan sedih, tetapi ada juga contoh yang
menguatkan. Itulah hidup, ada yang baik dan tidak baik. Dari yang tidak baik
kita bisa belajar jangan seperti itu dan dari yang baik kita belajar bagaimana
kita bisa seperti itu.
Saya mengenal seorang bapak yang
menjadi aktivis di gereja. Awalnya saya mengetahui ia seorang yang mencintai keluarganya (istri
dan anaknya). Tetapi perjalanan waktu membuatnya berubah. Ia tertarik dan jatuh
cinta pada seorang janda (non Kristen) lalu ia hidup bersama (samen leven) dengannya dan meninggalkan istri dan anaknya. Secara
organisasi , saya dan mu-shi tidak
ada kaitan dengannya, tetapi secara pertemanan ada. Sehingga ketika diminta tolong untuk
mengunjungi orang tersebut, kami coba mengunjunginya walau tempatnya jauh dari
Jakarta. Kami berusaha datang mencari setelah Mu-shi pernah bertemu dengannya secara tidak sengaja. Lalu secara
sengaja kami datang membesuknya. Waktu pagi kami datang, pintu rumahnya digembok.
Lalu siang hari kami datang lagi dan ternyata masih dikunci. Demkian juga sore
hari kami datang lagi dan masih dikunci juga. Saya berkata dengan kesal, “Kita
buat kemah saja di depan rumahnya, agar bisa tahu kapan dia pulang!
Jangan-jangan dia berada dalam rumahnya.” Kami pun bertanya ke tetangga , “Apakah
ada orang di rumah itu?” tetapi tetangganya juga tidak tahu. Saya merasa yakin
pasti ada karena waktu kami datang pada siang
hari lampu rumahnya tidak menyala tetapi waktu kami datang lagi pada malam hari
lampunya sudah menyala. Siapakah yang menyalakannya? Saya juga tidak tahu apa
dia menggunakan lampu otomatis yang menyala saat gelap. Tetapi bisa saja ia ada
di dalam. Jadi saya berkata,”Mu-shi ,
besok pagi-pagi kita datang fajar-fajar agar bisa melihat pukul berapa dia
keluar rumah”. Tetapi tetap saja ia tidak keluar-keluar. Ia tidak mau berelasi lagi
dengan teman-teman lama. Sangat menyedihkan karena ia aktifis. Dulu saya pernah
menegurnya satu kali. Saat itu ia menjadi majelis di suatu gereja tetapi ia paling
bisa menemukan kesalahan-kesalahan orang lain. Kesalahan yang tidak bisa kami
temukan, dia bisa temukan. Dia punya ‘talenta’ seperti itu. Jadi saya pikir
orang ini ada sesuatu yang Tuhan ingin dia urus. Dia tidak boleh lari dari
permasalahan. Itu inti dari maksud kami datang yaitu agar dia jangan lari dari
permasalahan tetapi harus hadapi dan selesaikan bagaimana caranya. Saya juga tidak
tahu bagaimana caranya, yang penting kami bertemu dahulu. Tetapi ia tidak mau
menemui. Jadi sangat tragis. Sampai hari ini, istrinya banting tulang sendiri
dan tidak ada komunikasi.
Contoh kedua. Seorang teman yang
lebih tua sedikit usianya dari saya dan sudah memiliki anak. Ia berkata terang-terangan,”Anak saya akan
saya kuliahkan di Universitas A!”. Saya berkata,”Wow!” Karena universitas yang
dipilih itu adalah universitas yang beken, keren, dan mahal. Banyak pejabat,
pengusaha dan orang kaya yang
menyekolahkan anak-anaknya di sana.” Saya bertanya,”Mengapa harus di sana? Bukankah
di sana lokasinya jauh? Mengapa tidak cari dekat sini saja yang bagus? Di sini
juga banyak yang bagus” Ia menjawab, “Itu modal untuk anak saya bisa bertemu
anak orang keren dan terkenal. Bertemu anak pejabat dan pengusaha. Siapa tahu suatu
hari ia akan kenal dan berpacaran , lalu kenalannya itu menjadi suaminya sehingga
saya menjadi tenang.” Saya terdiam , bingung dan bertanya-tanya dalam hati,”Ini
sebenarnya sedang meminta anaknya sekolah atau yang lainnya?” Mengapa ada orang
yang punya konsep seperti ini? Mungkin ada juga yang lain tetapi dalam
bentuk-bentuk yang berbeda. Saya tidak mengerti karena orang tua tidak melihat
anaknya sebagai anggota keluarga yang harus diurus dengan benar, tetapi lebih
mirip sebagai modal yang nanti suatu hari harus dikembalikan dengan bunganya. Bagaimana
kalau nanti yang jatuh cinta pada anaknya bukan dari kalangan di sana? Mungkin anaknya
bisa ‘digorok lehernya’! Cinta mana bisa dipaksa? Apalagi anak sekarang, maunya
bebas.
Contoh ketiga. Saya punya seorang kenalan.
Usianya jauh di bawah saya. Setelah
beberapa saat menikah, ia berkata, “Waduh shi-mu, saya baru tahu orang Protestan seperti itu.” Saya merasa
heran,”Mengapa?” Apa maksudnya berbicara seperti itu (menyebut Protestan). Ia beribadah
di Gereja Betel, aliran karismatik dan ia senang ke JPCC. Saya melihat foto
pernikahannya. Ternyata suaminya tampan sekali. Tetapi tidak lama kemudian,
usia pernikahannya tidak bertahan lama. Hanya 3 bulan! Hanya seumur jagung ia sudah
bercerai karena permasalahan yang sangat luar biasa. Di hari pertama menikah,
waktu membersihkan dandanannya dia masuk ke kamar mandi. Di sana ia menjadi bingung
melihat suaminya punya peralatan make-up
yang lebih banyak dari dia sendiri. “Ini apa?” tanyanya kepada suaminya.
Suaminya pun menjelaskan,”Ini sabun muka. Ini sabun tumit. Ini sabun tangan.
Ini lotion untuk ini-itu.” Jadi dari hari pertama ia sudah curiga. Ternyata suaminya
adalah pecinta sejenis. Suaminya terpaksa menikah karena dipaksa oleh keluarganya,
karena kalau tidak menikah maka harta warisan tidak jatuh kepadanya. Suaminya memang
keturunan orang kaya luar biasa. Kenalan saya itu berkata, “Saya bingung dengan
orang Protestan. Ia aktif di gereja , mengapa bisa begitu?” Ia mencoba menarik jarak
antara Protestan dan non Protestan (bicara tentang organisasi). Lalu apalagi? Ia
berkata,”Seminggu sesudah kami menikah, mertua saya ribut. Saya bingung.
Papa-mama saya sendiri saja baru masuk gereja. Padahal mereka majelis di gereja
yang sangat terkenal. Yang membuat terkejut, hari ketiga selesai kami menikah, papa
mertua ribut dengan istrinya. Mereka saling teriak di dapur. Yang membuatnya
terkejut adalah istrinya sedang mengejar suaminya membawa pisau dapur sambil keliling-keliling
seperti ke kamar, ke dapur dll. Saya merasa heran,”Yang benar?”
Dijawab,”Benar!” Jadi waktu ribut pada hari ketiga , istrinya memakai pisau. “Apa
mungkin sedang emosi saja kali? Berikut-berikutnya bagaimana?” saya bertanya
lagi. “Sama!” tegasnya lagi. “Pokoknya, apa yang ada di rumah, mau pisau, garpu
atau apa pun bisa menjadi senjata kalau ribut!”. Padahal ia adalah aktifis dan
majelis. Artinya, mereka orang yang seharusnya menunjukkan bagaimana seharusnya
Kristus hidup di tengah keluarga tetapi kenyataannya tidak demikian. Ini cerita
yang sangat tidak enak.
Contoh keempat. Cerita yang sangat
indah yang saya rindukan terjadi di tengah keluarga kita. Kalau ada suatu
keluarga yang konsisten, di minggu malam dikumpulkan anak-anaknya untuk sharing. Padahal anaknya ada yang SMP,
SD dan TK besar. “Hari ini lao shi
cerita apa di Sekolah Minggu? Hayo coba cerita!” mamanya bertanya seperti itu
kepadanya anaknya di TK besar. Untuk anaknya
yang sudah SD dan SMP ditanya yang berbeda, “Hari ini dengar firman Tuhan apa? Yang
kamu pelajari apa? Tadi di sekolah, kamu ganggu teman tidak? Ada PR tidak?” Mamanya
selalu aktif bertanya dan terakhir papanya menutup dalam doa. Suatu persektuan keluarga
yang sangat sederhana. Kemarin waktu kami ke Malang, saya berbicara dengan
keponakan saya ,dia punya teman namanya Hansel. Anaknya lucu sekali dan sama
sekali tidak tampan. Ia masih kelas 2 SD. Saya bertanya, “Hansel, kamu kalau
jadi besar mau jadi apa? Kamu mau minta apa?” Ia menjawab,”Mau operasi plastik!”.
Saya bertanya, “Hah? Kamu mau minta operasi plastik? Mau apa kelas 2 SD operasi
plastic? Ada juga bintang film Korea yang operasi plastik. Mengapa begitu?” “Saya mau menjadi handsome seperti Abi.” Mendengar hal ini
Abi , keponakan saya, tersenyum-senyum malu. Saya terus berkata, “Hansel,
bukankah papa-mama mu tidak punya uang? Kamu sangat cakap dan tampan” Dia
berkata, “Tidak! Papa-mama saya tidak pernah berkata begitu.” Lalu mu-shi mencoba membesarkan hatinya,“Walau
papa-mama mu tidak berkata begitu, tetapi kamu adalah ciptaan Tuhan yang berharga
dan luar biasa. Tuhan Yesus mati untukmu…. Dan seterusnya” Dia bertanya, “Abi
mengapa pamanmu kalau bicara selalu back
to the Bible seperti mamamu?”. Mendengar perkataannya itu, saya bukannya
mau membesarkan atau memuji. Ternyata kakak ipar saya kalau bicara ke anaknya
suka bicara back to Bible. Maka dia bisa berkata “Mengapa paman kamu bicara
seperti mama kamu yang selalu apa-apa baliknya ke Alkitab?” Pertanyaannya, waktu
kita punya anak kecil sampai dia besar dan tua sekalipun, pernah tidak ia
mengeluarkan pernyataan seperti begitu, “Kok selalu baliknya ke Alkitab ya?”
Ini kalimat yang positif. Dia bisa berkata seperti itu, karena setiap hari ia
mendengar dan diajar oleh orang tuanya tentang Alkitab. Sehingga isi Alkitab ,
pembicaraan Alkitab dan kalimat-kalimat positif tidak asing di telinganya. Itu
membahagiakan dan melegakan di tengah-tengah cerita yang cukup tragis di atas.
Belajar dari Keluarga Musa
Setiap keluarga punya salib dan
permasalahan sendiri. Kita tidak bisa berkata, “Keluarga saya lebih susah dari
yang lain karena setiap keluarga punya
takaran sendiri.” atau tidak bisa juga berkata, “Keluarga itu lebih berbahagia
dari keluarga saya, karena semua keluarga punya hal-hal yang diberikan oleh Tuhan
masing-masing. Oleh karena itu
kita ingin belajar dari Musa. Tidak seorang pun yang tidak mengenal Musa.
1. Iman
Keluarga Musa
Harun, Miryam dan Musa , ketiga bersaudara dilahirkan Yokhebed
(mama Musa) dan Amram (papa Musa) yang keturunan imam. Yokhebed dan Amram keturunan
imam dan keturunan dari Abraham, Ishak , Yakub dari suku Lewi. Mereka adalah
keluarga yang secara pelayanan tidak asing. Musa adalah tokoh yang lahir di
tengah situasi yang sangat sulit. Pada Kel 1:22, Firaun sudah memberikan
perintah, oleh karena takut suatu hari nanti secara politik, jumlah SDM mereka
kalah banyak dengan bangsa Israel. Karena ternyata Israel (Yahudi) berkembang
dengan sangat pesat dan ditolong Tuhan. Sehingga di tanah Gosyen, jumlah mereka
lebih banyak dari orang Firaun. Firaun pun mengeluarkan titah bahwa semua anak-anak
lelaki yang lahir bagi orang Ibrani harus dibuang ke dalam sungai Nil (dibunuh).
Singkatnya, Musa lahir di tengah situasi politik yang sangat suram dan keras.
Pemerintah di dalam keputusan yang sangat keras, tetapi satu hal Allah tidak
pernah salah menempatkan seseorang. Mau di zaman yang keras maupun gampang,
Allah tidak pernah salah menempatkan anak di keluarga. Keluarga kita hari ini
berlawanan , bermusuhan atau menghadapi pertentangan mungkin bukan dengan cara
seperti Firaun tetapi dengan medsos, handphone
dan segala macam , sepertinya tidak pernah lepas dari itu. Terkadang saya suka
berpikir : Mengapa kita tidak bisa melawan dan berhasil memeranginya. Mengapa
keluarga Kristen tidak berhasil melawan atau berhasil mengatasinya? Mengapa
keluarga Kristen tidak berhasil menjadi pemenang ketika berbicara tentang penggunaan
teknologi . Mengapa malah sebaliknya keluarga Kristen dipecah belah dan dijauhkan
dengan kemajuan teknologi? Tidak ada satu orang yang mau bayar harga untuk
benar-benar berkata, “Sekarang saya tidak mau pakai handphone karena sedang makan dengan orang tua.” Tidak ada! Orang
tua cuek dan anaknya cuek dan itu perlawanan kita hari ini. Kita tidak sedang menghadapi
peraturan pemerintah yang mengatakan GKKK tidak boleh beribadah di hari Minggu.
Tetapi yang dihadapi adalah bagaimana keluarga Kristen tidak menjadi berkat
satu sama lain, kehilangan hal-hal indah dalam gereja dan sosialisasi dengan
jemaat, kehilangan hal-hal indah dalam beribadah karena ditundukkan oleh
alat-alat seperti itu.
Kemarin
saya pergi dengan mu-shi, karena
Lelah mau pijat dan makan karena tidak sempat makan. Setiap kali pergi kalau
tidak merasa perlu membawa handphone saya
tinggalkan. Jadi kalau saya belum membalas hal-hal penting dari jemaat,
malamnya baru saya pasti balas. Karena terkadang hal itu sangat mengganggu saat
kita mau berinteraksi. Banyak keluarga Kristen menghadapi masa sulit bukan
kesulitan seperti Musa, tetapi kesulitan dalam menundukkan hal – hal seperti
ini. Apakah kita menjadi pemenang atau tidak , itu kembali kepada kita.
Saat
Musa lahir di masa sulit yang juga dihadapi papa-mamanya. Tetapi mereka tidak
pernah meragukan kepedulian dan campur tangan Allah. Pada Ibrani 11 mencatat, “Karena
iman maka Musa oleh orang tuanya ditaruh di sungai Nil. Karena iman ,maka Musa
begini-begitu.” Mengapa Tuhan menaruh keluarga ini sebagai pahlawan iman? Tuhan
tidak bisa dibohongi. Iman adalah urusan pribadi seseorang dengan Tuhan. Kita bisa
berlaga rohani tetapi kita tidak mungkin bisa tulus rohani, hanya Tuhan yang
tahu. Jadi kalau Tuhan berkata Keluarga ini punya iman, berarti benar keluarga
ini punya iman karena Alkitab yang mencatatnya. Di tengah kesulitan, ia tidak
putus harapan. Orang yang beriman bukan orang yang malas atau orang yang bodoh
tetapi orang yang cerdik, tahu susah, tahu bayar harga dan tahu merencanakan. Karena
Iman modal dari segala sesuatunya. Ketika Amram dan Yokhebed beriman, modal
beriman itu membuat mereka berani menanggung resiko. Kalau ketahuan anaknya masih
hidup, mereka beresiko akan dihukum mati. Bukan hanya untuk menyelamatkan nyawa
sendiri, tetapi berani mengambil resiko kalaupun nyawa itu dipertaruhkan.
Sepertinya berbicaranya mudah, suatu hari mungkin kita diijinkan untuk
mengalami masalah seperti ini. Di saat itulah kita baru tahu apakah kita berani
mengambil resiko atau tidak. Iman adalah modal untuk orang tua ini memiliki
kecerdikan luar biasa. Mengapa saya katakana demikian? Sungai Nil pada zaman
dulu memiliki aliran air yang sangat deras atau hampir seperti sungai Yordan
derasnya. Tetapi orang tua ini tahu bagaimana bisa membuat peti pandan yang dipakalnya
dengan gala-gala dan ter, tidak masuk ke muara yang lebih besar. Kemungkinan
besar, Amram membuat satu jalur di mana ia menaruh anaknya di situ, sehingga
berada di jalur aman tidak terseret arus kemana-mana. Apa pun penafsiran itu, ini
adalah orang tua yang rajin, berani beresiko, dan mau berusaha. Di tengah
kesulitan ada sesuatu yang mereka ingin perbuat, tidak berhenti begitu saja. Bukan
hanya sekedar cinta pada Musa, tetapi saya sangat yakin karena ia punya modal
iman yang luar bisa.
2. Kecerdikan
Walau tidak diceritakan, kalau
kita membaca ayat yang ketujuh, waktu putri Fiarun sudah menemukan bayi kecil
ini, menurut penafsir bayi ini kemudian di bawa pulang oleh dayang-dayang. Berhari-hari
bayi ini tidak mau makan ,menyusui dan terus menangis. Jadi ada jeda waktu.
Tetapi ada atau tidak jeda waktu, Miryam diajar orang tuanya untuk menangkap
momentum untuk berbicara apa di saat yang tepat. Waktu ia melihat raut muka putri
Firaun yang mungkin kebingungan karena melihat bayi kecil ini menangis, ia
berkata , "Akan kupanggilkah bagi
tuan puteri seorang inang penyusu dari perempuan Ibrani untuk menyusukan bayi
itu bagi tuan puteri?" (Kel 2:7) Puteri Firaun setuju. Lalu Miryam memanggil
mamanya sendiri. Karena mamanya juga pasti ingin tetap masih dekat anaknya, bagaimana
mendidik adiknya. Tangkap momentum, bagaimana ia bisa mendidik Musa di tengah
keluarga selama mungkin. Mengapa Miryam bisa menangkap momentum? Mengapa mereka
bisa membuat keranjang alang-alang (keranjang pandan)? Mengapa? Karena Tuhan
memberikan hikmat (kecerdikan). Lalu di mana peran Tuhan kalau semua bisa diusahakan
oleh manusia. Kalau kita memperhatikan cerita ini, air sungai mengalir deras.
Putri Firaun mandi di pinggir sungai saja yang sudah dibuat sedemikian rupa.
Sekalipun mungkin Amram membuat jalur, tetapi kalau Allah tidak berkenan, maka bisa
menghilang di tengah derasnya aliran air. Tetapi itu tidak terjadi karena ada
peran Tuhan di dalamnya. Itu bukan hal yang susah untuk Tuhan. Waktu Tuhan
membelah laut Teberau nantinya pun bukan hal yang susah buat Tuhan. Waktu Tuhan
mau membesarkan nama Yosua dan membelah Sungai Yordan sejauh 7 km, itu juga
bukan hal yang susah untuk Tuhan. Ia adalah Allah atas alam. Ia yang
menciptakan. Ia bisa atur semuanya (kita tidak bisa atur). Yang penting, hati
ada di mana? Apalagi peran Tuhan? Memegang hati orang. Kita tidak bisa memegang
hati orang. Hati pasangan saja kita tidak bisa memegangnya. Kalau kita
berpikir, bahwa kita bisa memegang hati suami lewat kecantikan, dengan pedicure dan medicure. Bohong. Orang kalau mau selingkuh (dosa) bisa saja. Itu
sebabnya kita perlu tangan Tuhan yang memegang. Suami juga begitu, mau istri
dikandangi di rumah agar tidak melihat pria lain, tetapi kalau tetap mau nakal,
maka ia akan nakal saja. Ada 1.001 macam cara. Maka hati harus dipegang oleh Tuhan.
Hati putri Firaun, mengapa tidak bisa takut pada titah ayahnya? Ayahnya kan sudah
jelas memberi perintah, “Bunuh anak laki-laki dan buang ke sungai Nil!” malah
ia dapat anak dari Sungai Nil dan ia sangat yakin itu adalah anak Ibrani tetapi
mengapa ia bisa punya iba dan berbelas kasihan? Kalau bukan Tuhan yang menaruh
belas kasihan dan kalau bukan Tuhan yang menaruh ia agar percaya kata-kata
Miryam, ia tidak mungkin melakukan hal itu. Ia bisa saja berkata, “Bayi ini
pasti bayi orang Ibrani, kasih Firaun pasti dibunuh. Cari keluarganya sampai
dapat. Cari semuanya sehingga mereka
dibunuh!” Hal ini bisa terjadi karena Tuhan
pegang hatinya.
Bagaimana sekarang dengan
keluarga dengan masing-masing permasalahan yang ada di tengah keluarga kita. Apakah dari kecil anak sampai besar mulai dari
lahir, dibawa ke sekolah di hari pertama, menjadi remaja dan bisa main ensemble
atau hari ini akan menikah, adakah iman bertumbuh di tengah keluarga? Bagaimana
peran kita sebagai orang tua di tengah keluarga? Melihat anak-anak sebagai
tumbuhan yang harus dirawat . Tumbuhan yang bukan hanya sekedar harus diberi
makan secara jasmani tetapi juga memberi makan secara rohani sehingga secara
mental, sosial dan sisi apa pun ia bagus.
Kalau kita membaca Alkitab
dari Perjanjian Lama sampai Perjanjian Baru, Yosua 24:15 “aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada
TUHAN!". Yosua dalam usia tuanya tidak bergeming di tengah-tenngah
keluarga yang tidak mau beribadah. Ini sikap yang harus dipegang. Jangan
melihat orang lain. Kalau kita datang beribadah, kita datang beribadah. Kalau
kita mau mendidik anak dengan cara yang benar, maka kita tetap didik anak kita dengan
benar. Jangan terpengaruh dengan orang lain seperti teman, keluarga lain dll. Kalau
kita mau konsentrasi beribadah maka konsentrasilah. Kalau orang lain mau main handphone biarkan saja. Kalau sudah
ditegur tapi tidak peduli maka kerjakan
bagian kita. Kalau kita mau didik anak kita , maka kita didik dengan cara
terbaik, mungkin kita tidak perlu ikut keluarga orang lain. Karena anak
keluarga kita , kita tahu seperti apa.
Susanna
Wesley (1669 –1742) adalah seorang ibu yang melahirkan 19 anak (tidak semuanya
hidup). Ada beberapa yang meninggal . Anak ke-15 namanya John Wesley yang nantinya
menjadi pemimpin pergerakan rohani yang luar bisa di Amerika dan menjadi
pendiri gereja Methodist. Adiknya yang terkecil Charles Wesley, selain
penginjil juga seorang musisi musik gerejawi yang telah menciptakan lagu rohani.
Ada lagu himne sekitar 8.000 buah yang ia ciptakan. Itu dari orang tua
yang saleh dan mendoakan anaknya. Orang tua yang memberikan hal-hal yang baik
kepada anaknya. Rasul Paulus berkata kepada Timotius, “Hai Timotius! Engkau
sudah belajar Alkitab dari kecil. Jangan tinggalkan iman itu. Ikuti teladan nenekmu,
Lois, dan ikuti ajaran ibumu, Eunike. Kenapa bapak tidak disebut? Apakah tidak
berperan? Mungkin bapaknya sudah meninggal. Ketika istri disebut itu juga
berlaku untuk suami, dan sebaliknya. Siapa pun di dalam keluarga, Allah mau
semuanya terlibat.
Keluargaku adalah ladangku
Bagaimana pandangan kita tentang
keluarga adalah ladangku? Apakah keluarga itu menjadi ladang yang berharga dari
Tuhan dan akan kita kembalikan untuk Tuhan? Perkawinan dan keluarga bukan
manusia yang ciptakan pertama kali. Bukan inisiatif manusia tetapi Tuhan yang
berinisiatif untuk membentuk keluarga. Jadi harus kita kembalikan untuk
kemuliaan Tuhan. Kalau kita melihat keluarga sebagai ladang yang berharga maka kita
harus memberi nutrisi yang bagus untuk keluarga kita. Saya tidak bicara tentang
makanan yang sehat jasmani, tetapi makanan yang bersifat pengajaran rohani atau
pun mental dan hal yang lain. Susana Wesley mempunyai 3 cara mendidik anak.
a.
Ia selalu pakai
tongkat untuk anaknya.
Selama anak
masih bisa dikasih tongkat atau dipukul dengan tongkat, seperti firman Tuhan
ajarkan maka ajarlah. Supaya tongkat ini bisa melembutkan hatinya.
b.
Ia selalu bicara
mengajar anaknya. Walau pun hati tidak suka , mau berontak, berteriak dan ingin
menangis maka lakukanlah dengan suara yang lembut. Artinya ia sedang mengajar mengajar
anaknya untuk lembut (jangan menantang)
c.
Ia selalu katakan
kepada anaknya, “Jangan selalu minta saya untuk mengoreksi kesalahanmu, tetapi kamu
harus belajar mengoreksi dirimu sendiri.” Ia mengajarkan kepada anaknya untuk
menilai diri sendiri, apakah yang
dilakukan betul atau tidak. Jangan selalu minta mama dan papa untuk mengoreksi.
Ini cukup unik juga. Tetapi akhirnya ia bisa mendidik anak-anaknya. Mungkin ada
hal yang bisa kita pelajari dari dia.
Penutup
Bagaimana dengan kita ketika kita
mendengar firman Tuhan ini? Seorang PM Israel pernah komplain kepada salah satu
misionaris yang masuk ke Israel. Dia berkata,”Apakah tidak banyak orang Kristen
yang bisa melakukan seperti di buku yang ditulis di dalam Alkitab ini?”. Sang misionaris menjawab,”Banyak orang Kristen.
Berjuta-juta di tengah dunia ini!” Tetapi kemudian Perdana Menteri ini
berkata,”Kalau begitu banyak orang Kristen seperti yang kamu katakan, mengapa hanya
kalimat-kalimat di buku yang bagus, tetapi kenyataannya di dunia itu tidak bagus?” Pemimpin negara yang katanya
Kristen melahirkan keputusan yang tidak bagus dan sangat menentang firman Tuhan
dan tidak selaras dengan kebenaran Firman Tuhan. Ternyata, orang zaman sekarang
termasuk kita cenderung gudangnya garam, bukan menjadi garam itu sendri. Jadi
ia menumpuk garam. Gudangnya garam bukan garam itu sendiri. Terbukti banyak
keluarga (mungkin termasuk kita) hari ini yang tidak prihatin terhadap hal-hal
sosial yang terjadi di sekitar kita. Kita tidak prihatin terhadap kejahatan ,
ketidakdisiplinan, kebersihan, kebebasaan seksual di sekitar kita, penjahan
media sosial yang menceritakan hal-hal yang tidak benar, tidak peduli
perceraian, tindak kekerasan dan sebagainya karena kita menganggap itu tugas
negara, pemerintah , kepala desa, pasukan kuning yang membersihkan kali dan itu
bukan tugas saya.
Beberapa hari lalu, ada orang di depan saya dan mu-shi, membuang sampah banyak sekali di pinggir jalan. Satu kresek
lebih. Mu-shi reflex otomatis
klakson. Tapi garangan dia yang naik motor. Ia langsung melihat ke arah kita. Saya
berkomentar,”Lihat tuh, garangan dia dari kita! Coba kalau dia berhenti, sudah
saya fotoin.” Mu-shi menanggapi, “Tidak.
Ia pasti lari karena ketakutan. Dia mengira kita petugas kebersihan.” Buang
sampah sembarangan itu bukan urusan saya? Tetapi begitu banjir dan Jakarta tenggelam baru
katakan itu tugas siapa? Tidak fair kan? Sama kita juga tidak peduli terhadap
hal-hal yang lain. Keluarga-keluarga Kristen hari ini seringkali tidak mementingkan
kehidupan dan mengutamakan hal-hal rohani dalam hidup berkeluarga. Boro-boro
saat teduh, mezbah keluarga, pelayanan bahkan
beribadah saja mungkin bisa bolong-bolong. Ini baru hal sederhana. Semua itu
bisa terjadi dari hal-hal yang kecil baru bisa dipercaya hal-hal yang besar.
Kalau tidak keluarga kita akan begitu-begitu saja terus menerus. Karena kita
susah melihat bagaimana Tuhan bisa bekerja di tengah keluarga kita. Kita tidak
bersungguh-sungguh dalam berhubungan dengan Tuhan kita. Kita hanya menganggapNya,
ada dan tidak ada. Tidak ada tapi ada. Begitu-begitu saja. Keluargamu adalah
ladangmu! Sadarkah kita bahwa kita perlu membawa keluarga kita bertemu secara
pribadi dengan Tuhan. Ikut Tuhan, tidak bisa ikut-ikutan. Anak kita harus
bertemu dengan Tuhan secara pribadi. Suami (pasangan) kita yang belum percaya
harus bertemu dengan Tuhan secara pribadi. Semua kita harus mendoakan keluarga
kita supaya masing-masing bertemu Tuhan secara pribadi.
No comments:
Post a Comment