Pdt. Hery Kwok
Maz 92:13-16
13 Orang benar akan bertunas
seperti pohon korma, akan tumbuh subur seperti pohon aras di Libanon;
14 mereka yang ditanam di bait
TUHAN akan bertunas di pelataran Allah kita.
15 Pada masa tua pun mereka masih
berbuah, menjadi gemuk dan segar,
16 untuk memberitakan, bahwa
TUHAN itu benar, bahwa Ia gunung batuku dan tidak ada kecurangan pada-Nya.
2 Timotius 1:3-5
3
Aku mengucap syukur kepada Allah, yang kulayani dengan hati nurani yang
murni seperti yang dilakukan nenek moyangku. Dan selalu aku mengingat engkau
dalam permohonanku, baik siang maupun malam.
4
Dan apabila aku terkenang akan air matamu yang kaucurahkan, aku ingin
melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku.
5 Sebab aku teringat akan imanmu
yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan
di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.
Pendahuluan
“Rumah yang kokoh” adalah
gambaran yang diharapkan terjadi pada generasi muda saat ini yakni generasi
muda yang kokoh dalam melawan arus zaman atau ilah zaman ini yang ingin
memporak-porandakan generasi muda. Penulis kitab Mazmur pasal 92 ingin menuliskan pengalaman hidupnya.
Menurutnya orang benar yakni orang yang percaya kepada Yahweh ( Allah / Kristus)
akan bertunas seperti pohon Korma. Buah dari pohon Korma banyak disediakan oleh
kaum Muslim saat berbuka puasa sehingga saat itu didatangkan (diimpor) buah
korma yang terbaik dari Timur Tengah. Orang benar akan tumbuh seperti pohon Aras di
Libanon. Pohon Aras Libanon adalah pohon yang kayunya digunakan untuk membangun
Bait Suci karena memiliki kualitas yang sangat baik. Orang benar (termasuk keturunannya)
yang ditanam di Bait Tuhan (konsep Bait Tuhan adalah mendengar firman Tuhan)
akan bertunas di pelataran bait Allah dan di masa tuanya tetap berguna. Hal ini
berbeda dengan banyak orang tua yang merasa tidak berguna, kesepian atau
ditinggalkan karena tidak berbuah. Orang benar akan senantiasa memberitakan
Tuhan dalam hidupnya. Lalu pada 2 Tim 1:5 , Rasul Paulus mengatakan kepada
salah satu anak rohaninya (Timotius), “Aku
teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di
dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di
dalam dirimu.”
Rumah yang Kokoh dan Rumah yang
Kropos
Dalam Matius
7:24-25 Tuhan Yesus mengatakan "Setiap
orang yang mendengar perkataan-Ku ini dan melakukannya, ia sama dengan orang
yang bijaksana, yang mendirikan rumahnya di atas batu. Kemudian turunlah hujan dan datanglah banjir,
lalu angin melanda rumah itu, tetapi rumah itu tidak rubuh sebab didirikan di
atas batu.” Perumpamaan tentang rumah yang didirikan di atas batu karang
yang kokoh atau di atas pasir merupakan catatan terakhir sewaktu Tuhan Yesus
mau mengakhiri seluruh rangkaian khotbahNya di bukit (Matius 5-7). Tuhan Yesus menceritakan
perumpamaan tentang rumah. Dalam hal ini, Alkitab dengan sederhana menceritakan
keseharian dalam hidup kepada pembaca. Jadi ada bagian Alkitab yang sulit dan
ada juga yang mudah, namun membaca Alkitab merupakan sesuatu yang berguna. Di
perumpamaan ini diungkapkan ada 2 rumah yang sama tipe, ukuran, bentuk dan
warnanya. Sepintas lalu secara kasat mata kedua rumah ini seperti tidak ada
bedanya. Bisa jadi seluruh tampak luar rumah itu mirip sekali satu dengan yang
lainnya sehingga sulit dibedakan. Yang membedakan ternyata bukan terletak pada
fisik atau disain bangunannya tetapi pada kemampuan saat menghadapi badai. Itu
adalah inti dari perumpamaan ini. Tetapi setiap orang yang mendengar
perkataan-Ku ini dan tidak melakukannya, ia sama dengan orang yang bodoh, yang
mendirikan rumahnya di atas pasir. Kemudian turunlah hujan dan datanglah
banjir, lalu angin melanda rumah itu, sehingga rubuhlah rumah itu dan hebatlah
kerusakannya." Kalau kamu mendengar firman Tuhan (pengajaranKu),
tetapi kamu tidak melakukanNya kamu seperti rumah yang didirikan di atas pasir.
Saat ada “badai” berupa kesulitan, pergumulan dan tantangan hidup baru ketahuan
mana rumah yang kokoh dan mana yang kropos. Rumah yang dibangun di atas pasir merupakan
gambaran orang yang mendengar firman Tuhan tetapi tidak melakukannya. Rumah ini
akan hancur saat ada badai yang datang tiba-tiba. Badai seperti ini pasti
datang dan tidak mungkin menghidarinya. Rumah yang kokoh menggambarkan orang
yang mendengar firman Tuhan dan melakukannya walau terkadang sulit dan seringkali
mengalami benturan. Orang seperti itu akan terbukti saat dilanda badai,
goncangan dan tantangan hidup, ia tidak akan kalah. Membicarakan hal ini,
mengingatkan saya pada sebuah fakta kehidupan sehari-hari.
Beberapa waktu lalu
seorang sahabat berkata kepada saya,“Her, kamu kan sekarang seorang pendeta. Bisa
kamu bicara dengan anak saya? Kamu ajarkan dia firman Tuhan agar dia bisa menjadi
anak baik. Sekarang ini dia tidak mau ke gereja di tempat saya bergereja. Selama
ini saya kasih dia uang dan apa yang dia mau, namun hidupnya tidak karu-karuan.
Ia tinggal dengan neneknya, tidak mau tinggal dengan saya. Saya berkata
kepadanya tapi tidak mau turut.” Saya menyambutnya,”Coba saja bawa ke gereja
saya. Tapi saya tidak menjamin karena saya bukan tukang sulap atau ahli nujum.
Saya akan mengajari dia firman Tuhan” Dia pun menyanggupi. Tetapi ternyata anaknya
tidak bersedia datang. Hidupnya terus ugal-ugalan. Tiap hari minggu dia gunakan
untuk kegiatan yang tidak karu-karuan. Sahabat saya akhirnya berkata,”Tidak
usah repot-repot. Saya sudah mencoba , tapi dia tidak mau.” Mendengarnya, saya
prihatin. Anaknya memang bermasalah. Anaknya sekarang menjadi duri dalam daging
dan membuat sahabat saya pusing. Ia telah memberikan uang kepada anaknya. Ia telah
memasukkan ke sekolah yang baik namun anaknya tidak mau bersekolah dengan tekun.
Akhirnya hidup sang anak kacau balau. Mendengar kisahnya, saya jadi teringat
firman Tuhan Ini. Rumah kokoh yang ibarat generasi muda kokoh adalah generasi
yang tidak berdiri dengan sendirinya. Tetapi generasi muda harus dipersiapkan
dan diperhatikan dengan baik. Ini perkara yang serius karena zaman ini adalah
zaman yang benar-benar membuat orang
muda jauh dari Tuhan. Seluruh daya tarik dunia menjauhkan orang muda dalam
mencari Tuhan, karena jauh lebih menarik untuk mencari daya tarik dunia.
Orang Tionghoa punya
pepatah yang terkenal : “Banyak anak banyak rejeki”. Sehingga orang-orang dulu
punya banyak anak. Paman saya punya 12 orang anak (jumlahnya seperti sepasukan
pemain sepak bola). Papa saya punya 5 orang anak. Ada lagi orang tua yang punya
lebih banyak anak. Itu karena menganut filosofi orang Tionghoa. Kalau anak-anaknya
‘jadi’ dan tidak menimbulkan masalah maka orang tuanya enak hidupnya, tetapi
kalau berantakan maka hal ini akan menjadi masalah. Dalam mendidik anak yang
diprioritaskan (yang menjadi utama) selalu memenuhi kebutuhan sekolah, ini tidak
salah. Juga kebutuhan uang. Betul. Tapi jarang orang tua memperhatikan iman
dari anaknya. Ini masalah yang mengerikan. Ada banyak keluarga yang
memprioritaskan anaknya pada hal-hal yang mereka anggap penting di masa depan,
misal untuk menjadi pintar dan mapan. Sahabat saya telah memberikan semua hal ke
anaknya tapi tidak iman, itu yang menjadi masalah. Ini membuat generasi menjadi
sulit dan kacau. Seringkali kita berpikir iman jadi terpisah dari fakta hidup. Seharusnya
iman tidak terpisah dari kehidupan kita. Contoh nyata pada Markus 4:35-41 Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata
kepada mereka: "Marilah kita bertolak ke seberang." Mereka
meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan
mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga
menyertai Dia. Lalu mengamuklah taufan
yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu
itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di
sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya:
"Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?" Iapun bangun,
menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: "Diam! Tenanglah!"
Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: "Mengapa
kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?" Mereka menjadi sangat
takut dan berkata seorang kepada yang lain: "Siapa gerangan orang ini,
sehingga angin dan danaupun taat kepada-Nya?" Kemelut yang terjadi
dalam angin ribut itu sebenarnya kemelut yang bisa dihadapi dengan iman. Berarti
iman tidak terpisah dari fakta (kenyataan) hidup. Seringkali kita memisahkan
iman sehingga tidak menginvestasikan pada generasi di bawah kita. Setelah anak
bermasalah baru mengetahui bahwa iman itu bagian yang penting dan dibutuhkan.
Iman adalah bagian yang berjalan bersama-sama dengan kita. Ingat pada kisah
Rasul Petrus dengan peminta-minta.
Pada suatu hari menjelang waktu sembahyang, yaitu pukul tiga petang,
naiklah Petrus dan Yohanes ke Bait Allah. Di situ ada seorang laki-laki, yang
lumpuh sejak lahirnya sehingga ia harus diusung. Tiap-tiap hari orang itu
diletakkan dekat pintu gerbang Bait Allah, yang bernama Gerbang Indah, untuk
meminta sedekah kepada orang yang masuk ke dalam Bait Allah. Di sana di pintu
gerbang yang disebut "Pintu Indah," ada seorang laki-laki yang lumpuh
sejak lahir. Setiap hari orang itu dibawa ke sana untuk mengemis kepada
orang-orang yang masuk ke Rumah Tuhan. Ketika orang itu melihat, bahwa Petrus dan
Yohanes hendak masuk ke Bait Allah, ia meminta sedekah. Mereka menatap dia dan Petrus berkata:
"Lihatlah kepada kami." Lalu orang itu menatap mereka dengan harapan
akan mendapat sesuatu dari mereka. Tetapi Petrus berkata: "Emas dan perak
tidak ada padaku, tetapi apa yang kupunyai, kuberikan kepadamu: Demi nama Yesus
Kristus, orang Nazaret itu, berjalanlah!". Lalu ia memegang tangan kanan orang itu dan
membantu dia berdiri. Seketika itu juga kuatlah kaki dan mata kaki orang itu.
(Kis 3:1-7). Uang yang dibutuhkan pengemis dijawab dengan iman oleh Rasul Petrus.
Iman tidak merupakan bagian yang terpisah waktu menghadapi pergumulan dan
masalah. Justru dalam menghadapi pergumulan
itulah, iman menjadi dasar dan penopang. Maka dalam ayat Roma 10:17 dikatakan ,
Jadi, iman timbul dari pendengaran, dan
pendengaran oleh firman Kristus. Waktu iman itu timbul , ia akan memimpin
orang percaya dalam menghadapi seluruh tantangan hidupnya. Di situ ia bisa bertahan
dan keluar menjadi pemenang. Kalau duit bisa jadi pemenang maka kita akan mencarinya
mati-matian. Kalau duit bisa memberi jaminan, maka orang kaya tidak akan minum
obat tidur. Ada orang yang duitnya banyak tapi tidak bisa tidur. Apa yang tidak
bisa dibeli orang kaya? Kalau duit bisa memberi jawaban terhadap pergumulan
hidup maka carilah duit mati-matian, karena ia yang bisa menolong. Tetapi ternyata
tidak dan hanya iman yang terbukti bisa menolong.
Generasi yang baik
adalah generasi yang diwariskan imannya. Surat Rasul Paulus ke Timotius adalah
surat pastoral yang sangat menyentuh hati. Seorang bapa rohani menulis surat ke
anak rohani yang sedang menghadapi kesulitan dalam pelayanan di daerah Asia
yang banyak berhala. Timotius mengalami kegentaran dan ketakutan. Di tengah ketakutan
itulah Paulus menulis surat berbau iman untuk menguatkan Timotius. Dan apabila aku terkenang akan air matamu
yang kaucurahkan, aku ingin melihat engkau kembali supaya penuhlah kesukaanku. Sebab
aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup
di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga
di dalam dirimu. (2 Tim 1:4). 3 generasi bisa mewariskan iman itu bukan
main-main. Itu merupakan usaha keras dari keluarga untuk meneruskan iman.
Saya suka membaca
riwayat orang-orang sukses. Saya membaca bahwa generasi pertama sukses. Misal
Gudang Garam atau Djarum dan lain-lain. Kejatuhan pada perusahaan besar terjadi
bukan pada generasi pertama tetapi di generasi berikutnya. Seringkali hancurnya
di generasi kedua atau berikutnya. Contoh
restoran Angke. Generasi pendahulu membuat restoran menjadi terkenal tapi
hancur oleh anaknya. Juga pada usaha Roti Kartika di Bandung generasi
berikutnya membuat susah. Generasi penerus belum tentu bisa bertahan. Saat
membayangkan Lois, Eunike dan Timotius, iman mereka hebat. Saya terpesona bagaimana
mereka (3 generasi) bertahan, imannya sungguh nyata dalam pelayanan. Ketiga
generasi berkiprah dalam pelayanan Rasul Paulus. Maka Rasul Paulus menyatakan
iman Timotius pernah dilihat di neneknya. Ia pernah bersama dengan nenek
Timotius. Rasul Paulus pernah pelayanan bersamanya, bagaimana Lois membuktikan
imannya dalam pelayanan , pergumulan dan mengatasi kesulitan. Rasul Paulus juga
mengenal bagaimana mama Timotius yang luar biasa menurunkan (mewariskan) imannya
kepada Timotius. Generasi ini luar biasa karena mewariskan iman sulit sekali.
Mewariskan uang (deposito) dan harta benda seperti rumah lebih mudah. Menurunkan
iman tidak mudah. Menurunkan iman berarti menurunkan keteladanan hidup kita
kepada anak. Kalau tidak konsisten dan tidak menjaga diri kita maka sulit
menurunkannya pada anak kita. Kalau anak tidak mau melayani itu mungkin karena
anak melihat contoh dari orang tuanya. Itulah yang tidak diwarisi oleh generasi
tua kepada generasi muda.
Penutup
Dr. Andar Ismail (Siem
Hong An) menulis cerita yang bagus sekali tentang kesaksian hidupnya. Ia adalah
seorang penulis 27 buku Seri Selamat yang
terkenal dan selalu menjadi best-seller.
Setiap buku seri-nya selalu mempunyai 33 cerita. Angka “33” sendiri diambilnya dari
usia Tuhan Yesus selama di dunia yakni 33 tahun. Dia seorang dosen di STT
Jakarta yang hebat sehingga bila seorang mahasiswa teologi dibimbingnya saat
menyusun skripsi, maka mahasiswa tersebut seperti mendapat rejeki. Ia juga seorang
pendeta di GKI. Di salah satu bukunya, ia mengisahkan tentang warisan iman yang
diterimanya dari orang tuanya. Berikut sebagian kisahnya.
Ibu menanam
saya di gereja (istilah menanam ini seperti yang tertera di Maz 92:14 bahwa seorang
yang ditanam di Bait Tuhan akan hidup seperti tunas yang kokoh). Pagi-pagi buta
saya telah dibangunkan oleh mama padahal saya masih merasa ngantuk dan ingin terus
tidur. Mama berkata, “Nak hari ini adalah hari bergereja.” Pagi-pagi dalam
cuaca masih dingin , Ibu menyuruh saya mengenakan pakaian yang bagus karena kami
akan ke gereja. Itu terjadi saat saya berusia 4 tahun. Itu kenangan saya pertama
tentang gereja. Di luar saat pergi gereja, udara dingin Bandung langsung
menusuk tulang-tulangku. Sering udara masih berkabut. Bersama 3 kakak perempuan
saya berjalan. Gereja kami terletak di Jalan Kebon Jati. Sekolah Minggu
diadakan di dalam ruangan-ruangan di bagian belakang gereja. Kami duduk tenggelam
di kursi besar mengitari meja panjang yang bertaplak hijau. Di ujung depan meja
terdapat beberapa buku. Entah itu buku apa saya juga tidak tahu karena saya
belum bisa membaca. Ada juga palu kayu yang berukir. Suasana ruangan di sana kaku
dan tegang. Yang menarik ada satu pigura gambar besar Tuhan Yesus yang memegang
tongkat besar dengan ujung yang melengkung
(gambar Yesus sebagai gembala). Murid-murid di kelas saya hanya 5 anak ,
jadi masih banyak kursi yang kosong. Kemudian hari saya baru tahu ruangan di
mana saya sekolah minggu adalah ruang konsistori tempat rapat majelis setiap
bulannya. Di ruangan itulah saya mendengar cerita tentang Abraham, Daniel,
Paulus, Debora dan Tuhan Yesus. Di situlah saya mendengar cerita tentang hal
itu dari Sekolah Minggu. Guru Sekolah Minggu saya orangnya gemuk, senyumnya
lebar dan sikapnya ramah. Saya memanggilnya Om Siu Peng. Ia mengajar dengan
penuh semangat. Pernah ia memperagakan sesuatu lalu lengannya terayun ke kepala
saya hingga kepala saya kena. Kemudian guru sekolah minggu itu berkata,”Maaf
tidak sengaja memukul kepala kamu Hong An”. Dan minggu-minggu depan saya datang
seperti biasa. Itulah pengalaman saya bergereja. Setelah saya sekolah di Penabur,
sekolah saya tidak jauh dari gereja. DI sana saya juga selalu dibawa untuk
bergereja dengan sekolah pada waktu-waktu tertentu.
Sore hari saya menemani
Ibu pergi ke gereja lagi karena Ibu belajar katekisasi. (Jadi Ibunya meneladani imannya melalui Ibunya datang ke gereja belajar
Alkitab. Anak yang usianya 4 tahun tidak
tahu apa-apa hanya menemani ibu). Di situ saya belajar mengenal yang
namanya gereja. Sore hari Rabu ada ibadah wanita, mama mengajak saya untuk
menemaninya. Saya tidak mengerti tapi Ibu mengatakan “Coba” jadi saya hanya
duduk (Saya coba membayangkan ibu yang
telaten. Seorang ibu yang benar-benar tahu anak yang membutuhkan pertumbuhan iman,
bukan hanya untuk dirinya saja tapi juga
anaknya). Saat ayah sakit dan tidak bekerja, maka Ibu benar-benar bekerja banting
tulang. Makanan di rumah semakin terbatasi. Bahkan saya menjadi anak yang dimasukkan
ke program diakonia. Program dimana gereja membantu jemaat. Hidup itu susah.
Hidup itu tidak mudah. Apalagi saat itu zaman Jepang, zaman yang tidak enak.
Tetapi Ibu tidak pernah meninggalkan saya untuk pergi ke gereja. Dalam catatan
terakhir ia berkata, “Begitulah saya betul-betul tiap hari berada di gereja
dari usia 4 tahun hingga 12 tahun.” Gereja menjadi rumah kedua saya. Gereja bukan
menjadi tempat asing. Saya besar di gereja. Sepertinya Ibu sedang menerapkan
Mazmur 92. Saya seolah-olah ditanam di pelataran gereja sehingga menjadi tunas yang kokoh.
Entah dengan sengaja atau tidak Ibu telah menanam saya di pelataran gereja.
Kalau orang bertanya di manakah awal karir saya, saya menjawabnya dipelataran gereja
di Kebun Jati, Bandung. Di situ saya merupakan benih kecil waktu ditanam. Di
situ saya bertumbuh menjadi anak yang diasuh gereja dalam program diakonia.
Dari murid Sekolah Minggu hingga saya menjadi dosen teologia. Dari anak bocah yang
tidak bisa baca saya sekarang menjadi penulis buku yang cukup digemari. Generasi seperti itulah yang harus dihasilkan
oleh gereja. Generasi itulah yang kita perlu berikan dukungan agar kelak gereja
memiliki generasi yang baik.
Andar Ismail memberi
penekanan bahwa generasi muda tidak rugi saat berada di gereja, saat belajar firman
dan saat beribadah kepada Tuhan. Karena ia telah memberikan bukti kebenaran
iman. Waktu imannya bertumbuh ia menjadi orang yang berguna. Kiranya gereja
kita boleh menjadi gereja yang melahirkan generasi yang memiliki iman dalam
perjalanannya. Dengan iman itulah ia akan menghadapi badai yang paling sulit ,
tetapi tetap berdiri dan menjadi saksi hidup. Amin.
No comments:
Post a Comment