Ev. Susan Guo
Yosua 24:14-15, 29
14 Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN
dan beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah
yang kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di
Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN.
15 Tetapi jika kamu anggap tidak baik
untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan
beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di seberang sungai
Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan
seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!"
29 Dan sesudah peristiwa-peristiwa ini,
maka matilah Yosua bin Nun, hamba TUHAN itu, ketika berumur seratus sepuluh
tahun.
Pendahuluan
Hari
ini kita memperingati hari ayah internasional dan tema hari ini adalah “Belajar
dari Keluarga Yosua”. Beberapa minggu lalu ada sebuah berita yang unik. Seorang
kakek berusia 70an meninggal di salah satu kamar hotel. Setelah diperiksa
dokter, ternyata dia meninggal akibat mengkonsumsi obat kuat sebelum bermain
dengan seorang wanita tuna susila. Sangat tragis sekali, orang setua ini yang
seharusnya memberi dan menabur contoh yang baik tetapi didapati meninggal
karena hal yang tidak baik. Orang-orang yang mengenalnya akan mengenang peristiwa
itu sehingga keluarga dekatnya (orang tua, istri, anak dan cucunya) akan
dicemooh. Contoh : “Oh itu yang
engkongnya meninggal karena obat kuat”. Tentu hal ini sangat menyedihkan dan
mengecewakan orang-orang dekatnya. Dari sini, seharusnya kita belajar agar
tidak melakukan hal seperti itu. Kita tidak boleh seperti dia.
Beberapa
tahun yang lalu, saat saya bersama mu shi
berjalan-jalan sore di Ancol ada pemandangan yang tidak biasa. Seorang kakek
berusia sekitar 65 tahun sedang bercengkerama mesra dengan seorang gadis
berusia sekitar 22 tahun yang bukan merupakan cucunya. Isyarat tubuh sang kakek
menunjukkan perlakuan mesra yang tidak sepantasnya kepada sang gadis. Hal tidak
seharusnya ini mungkin biasa terjadi di lapangan. Namun kita akan belajar hal
yang benar dari keluarga Yosua.
3 Hal yang Dipelajari dari Yosua
Sebagai
pemimpin bangsa Israel dan keluarganya, Yosua telah memimpin dengan baik. Walau
di dalam Alkitab tidak banyak diceritakan tentang Yosua dan keluarganya , tetapi
Yosua bukanlah pribadi yang sembarangan. Sejak muda sampai tua, ia sangat baik
secara rohani (moral dan mental). Buktinya dapat dilihat di ayat 24:14-15 dan
29 yang merupakan perkataan-perkataan Yosua menjelang meninggal. Ada 3 poin
yang bisa kita pelajari :
1.
Tantangan terakhir.
Apa yang Yosua katakan merupakan suatu tantangan dan
warisan terakhir bagi orang Israel sebelum ia meninggal. Ia tidak punya banyak
kesempatan lagi sehingga pada pasal sebelumnya dikatakan bahwa ia mengumpulkan
tua-tua, ayah-ayah dan pemimpin Israel. Pada ayat 15, ia mengatakan, “jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah
kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah”. Itu
adalah pernyataan sekaligus tantangan Yosua kepada Israel yang selama ini “turun-naik”
dalam mengikuti Tuhan. Sebelum mati, ia ingin memberi kepastian (konfirmasi)
agar Israel memilih Allah yang sejati. Ini pilihan yang diarahkan. Dengan
pilihan yang diberikan Yosua, bangsa Israel harus berpikir dan menyelidiki
secara pribadi (jangan dengar kata orang, bukan karena tradisi, keturunan, tapi
pertobatan pribadi). Namun sayangnya kekristenan di mana pun merupakan kumpulan
orang Kristen tradisi di mana pertobatan, perjumpaan, iman pribadi kepada Allah
tidak jelas sama sekali. Ke gereja hanya dengar khotbah begitu saja dan pulangnya
tidak ada yang membuatnya termotivasi untuk berbuat apa-apa. Dari generasi ke generasi,
secara pribadi tidak berjumpa dengan Tuhan. Ini berbahaya! Yosua ingin agar
secara pribadi, setiap bangsa Israel menyelidiki hati masing-masing : apakah
benar-benar sudah menerima Tuhan? Karena secara kolektif , bangsa Israel adalah
umat Allah tetapi secara pribadi apakah benar orang pilihan? Yosua memberi
tantangan kepada umat Israel. Dalam kehidupan sekarang, tantangan dan pertanyaan
apa yang akan diberikan kepada anak-cucu yang mengorek hati mereka agar mereka
benar-benar mengikut Tuhan. Seorang Ibu yang berada mempunyai 13 orang anak (4
perempuan dan sisanya laki-laki). Sebelum meninggal, dia sudah dinasehati untuk
membuat warisan yang jelas dan tertulis agar nantinya anak-anaknya tidak ribut
dan pecah. Sang ibu berkata tidak perlu karena ia bersama suaminya yang mencari
harta, untuk apa mengurus pembagian harta mereka (biarkan saja kalau anak-anaknya
ribut). Rupanya dia kecewa, dalam kondisi sehat saja anak-anaknya sudah meributkan harta warisan. Apalagi saat
ia sakit! Ternyata 3 tahun lalu dia meninggal dan anak-anak serta para mantunya
benar-benar ribut. Apa tantangan (warisan, pertanyaaan) terakhir yang akan kita
berikan kepada orang-orang di sekeliling kita?
2. Memprioritaskan hal Rohani
Dalam bahasa sehari-hari Yosua berkata, “tetapi sekarang aku akan kasih tahu, aku sendiri pilih apa. Aku dan seisi rumahku , kami akan beribadah kepada Tuhan (Yahwe, Yehova, Allah)”. Yosua adalah kepala keluarga yang memprioritaskan hal rohani. Kalimat ini mungkin klise di telinga kita, namun hal yang dianggap sepele seringkali tidak dilakukan dalam hidup kita. Yosua mengambil otoritas dia sebagai ayah, suami, kakek, untuk mengumpulkan ,mengarahkan dan membangun keluarga untuk memprioritaskan hal-hal yang rohani. Yosua dan seisi rumahnya beribadah kepada Tuhan! Istri, anak, menantu, cucu semua beribadah kepada Tuhan. Bagaimana dengan keluarga Kristen hari ini? Apakah kita memprioritaskan hal rohani? Banyak orang tua yang memaksa anaknya belajar, tetapi terkadang tidak seimbang untuk tidak memaksa anaknya beribadah kepada Tuhan. Terkadang anak dipaksa dalam memilih jurusan di SMA atau universitas walau tidak sesuai hatinya, tetapi kalau (tidak) pergi ke gereja, dikatakan itu hak asasi masing-masing (terserah). Padahal itu adalah hal penting yang harus diarahkan sejak kecil karena orang tua adalah mandataris Allah untuk mengarahkan keluarganya dan itu bukan masalah HAM. Selama menjadi anak kita, ia harus diarahkan, dipupuk, dipelihara, dibangun dalam jalan yang benar untuk beribadah. Saat menghadai banyak ulangan, banyak orang tua yang mengatakan, “Tidak usah ke gereja, belajar saja!” Seolah-olah pergi ke gereja akan menggangu belajar. Ini salah. Kita tidak melihat buahnya sekarang, tapi akan terlihat nanti. Kalau kegiatan gerejawi (seperti latihan) bisa diatur ulang bila ujian, tetapi perintah untuk tidak ke gereja dan beribadah merupakan hal yang sangat salah. Kita harus meletakkan konsep nilai yang benar kepada anak kita sejak kecil. Perintah untuk tidak beribadah berkonotasi beribadah itu tidak penting dan itu akan mewarnai cara belajar anak kita, sikap hidup, keputusan yang akan diambilnya. Itu bukan kesalahan anak yang memupuk nilai dan memprioritaskan hal yang salah. Ibadah (avodah atau abodah dalam bahasa Ibrani) artinya hormat, taat, tunduk kepada Tuhan. Pergi ke gereja merupakan suatu seremoni yang tidak bisa ditinggalkan, tapi yang lebih penting adalah harus ada sikap ibadah yang ditanamkan. Ibadah tidak akan berguna kalau hanya sebagai aspek seremonial. Dengan sikap ibadah yang benar, maka kita akan tunduk kepada Tuhan melalui puji-pujian, firman dll. Sehingga kalau kita tidak mengajar anak sikap beribadah yang benar dan hanya menganggap seremoni saja, maka ibadah akan dihapus dari tata nilai anak kita dan itu berbahaya!
Dalam bahasa sehari-hari Yosua berkata, “tetapi sekarang aku akan kasih tahu, aku sendiri pilih apa. Aku dan seisi rumahku , kami akan beribadah kepada Tuhan (Yahwe, Yehova, Allah)”. Yosua adalah kepala keluarga yang memprioritaskan hal rohani. Kalimat ini mungkin klise di telinga kita, namun hal yang dianggap sepele seringkali tidak dilakukan dalam hidup kita. Yosua mengambil otoritas dia sebagai ayah, suami, kakek, untuk mengumpulkan ,mengarahkan dan membangun keluarga untuk memprioritaskan hal-hal yang rohani. Yosua dan seisi rumahnya beribadah kepada Tuhan! Istri, anak, menantu, cucu semua beribadah kepada Tuhan. Bagaimana dengan keluarga Kristen hari ini? Apakah kita memprioritaskan hal rohani? Banyak orang tua yang memaksa anaknya belajar, tetapi terkadang tidak seimbang untuk tidak memaksa anaknya beribadah kepada Tuhan. Terkadang anak dipaksa dalam memilih jurusan di SMA atau universitas walau tidak sesuai hatinya, tetapi kalau (tidak) pergi ke gereja, dikatakan itu hak asasi masing-masing (terserah). Padahal itu adalah hal penting yang harus diarahkan sejak kecil karena orang tua adalah mandataris Allah untuk mengarahkan keluarganya dan itu bukan masalah HAM. Selama menjadi anak kita, ia harus diarahkan, dipupuk, dipelihara, dibangun dalam jalan yang benar untuk beribadah. Saat menghadai banyak ulangan, banyak orang tua yang mengatakan, “Tidak usah ke gereja, belajar saja!” Seolah-olah pergi ke gereja akan menggangu belajar. Ini salah. Kita tidak melihat buahnya sekarang, tapi akan terlihat nanti. Kalau kegiatan gerejawi (seperti latihan) bisa diatur ulang bila ujian, tetapi perintah untuk tidak ke gereja dan beribadah merupakan hal yang sangat salah. Kita harus meletakkan konsep nilai yang benar kepada anak kita sejak kecil. Perintah untuk tidak beribadah berkonotasi beribadah itu tidak penting dan itu akan mewarnai cara belajar anak kita, sikap hidup, keputusan yang akan diambilnya. Itu bukan kesalahan anak yang memupuk nilai dan memprioritaskan hal yang salah. Ibadah (avodah atau abodah dalam bahasa Ibrani) artinya hormat, taat, tunduk kepada Tuhan. Pergi ke gereja merupakan suatu seremoni yang tidak bisa ditinggalkan, tapi yang lebih penting adalah harus ada sikap ibadah yang ditanamkan. Ibadah tidak akan berguna kalau hanya sebagai aspek seremonial. Dengan sikap ibadah yang benar, maka kita akan tunduk kepada Tuhan melalui puji-pujian, firman dll. Sehingga kalau kita tidak mengajar anak sikap beribadah yang benar dan hanya menganggap seremoni saja, maka ibadah akan dihapus dari tata nilai anak kita dan itu berbahaya!
3. Konsistensi Iman
Yosua 24:29 Dan sesudah peristiwa-peristiwa ini, maka matilah Yosua bin Nun, hamba TUHAN itu, ketika berumur seratus sepuluh tahun. Sesuah peristiwa-peristiwa ini, Yosua seakan-akan berkata, “kamu yang akan jadi saksi atas ucapanmu”, lalu matilah Yosua bin Nun ketika berumur 110 tahun. Berarti ia memiliki konsistensi iman dan berkesinambungan terus-menerus (dari muda sampai tua dan meninggal). Iman Yosua dapat kita lihat pada peristiwa runtuhnya tembok Yerikho saat bangsa Israel mau memasuki tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua. Ia mengajak bangsa Israel mengelilingi tembok Yerikho sekali selama 6 tari dan pada hari ke tujuh 7 kali dan akhirnya runtuhlah tembok Yerikho. Kalau imannya tidak kuat, Yosua bertanya, “Untuk meruntuhkan tembok Yerikho kenapa hanya berkeliling saja?”. Itulah peran seorang pemimpin untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya untuk percaya dan melakukan hal itu. Jauh sebelum itu, hanya Yosua dan Kaleb (2 dari 12 pengintai yang diutus ke tanah Kanaan) yang membawa berita yang optimis yang muncul dari iman yang percaya. Mereka yakin bahwa Allah yang mengutus dan membawa ke tanah Kanaan bukan Allah yang menipu. Tetapi 10 orang pengintai lainnya membuat takut dengan berkata bahwa “Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada kita."(Bil 13:31), "Negeri yang telah kami lalui untuk diintai adalah suatu negeri yang memakan penduduknya, dan semua orang yang kami lihat di sana adalah orang-orang yang tinggi-tinggi perawakannya . Juga kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami." (Bil 13:32-33).” Mereka lupa bahwa mereka akan diberikan tanah Kanaan. Tetapi Yosua dan Kaleb berkata, “Janganlah memberontak kepada TUHAN, dan janganlah takut kepada bangsa negeri itu, sebab mereka akan kita telan habis. Yang melindungi mereka sudah meninggalkan mereka, sedang TUHAN menyertai kita; janganlah takut kepada mereka. (Bil 14:9) " Itu Yosua saat usianya masih muda. Apakah kita punya konsistensi iman dari muda dan terus-menerus ikut Tuhan? Dalam perjalanan hidup mungkin kita gagal, tetapi dengan konsistensi itu, kita balik lagi percaya Tuhan. Jadi jangan waktu muda aktif tetapi setelah tua meninggalkan Tuhan.
Yosua 24:29 Dan sesudah peristiwa-peristiwa ini, maka matilah Yosua bin Nun, hamba TUHAN itu, ketika berumur seratus sepuluh tahun. Sesuah peristiwa-peristiwa ini, Yosua seakan-akan berkata, “kamu yang akan jadi saksi atas ucapanmu”, lalu matilah Yosua bin Nun ketika berumur 110 tahun. Berarti ia memiliki konsistensi iman dan berkesinambungan terus-menerus (dari muda sampai tua dan meninggal). Iman Yosua dapat kita lihat pada peristiwa runtuhnya tembok Yerikho saat bangsa Israel mau memasuki tanah Kanaan di bawah pimpinan Yosua. Ia mengajak bangsa Israel mengelilingi tembok Yerikho sekali selama 6 tari dan pada hari ke tujuh 7 kali dan akhirnya runtuhlah tembok Yerikho. Kalau imannya tidak kuat, Yosua bertanya, “Untuk meruntuhkan tembok Yerikho kenapa hanya berkeliling saja?”. Itulah peran seorang pemimpin untuk membawa orang-orang yang dipimpinnya untuk percaya dan melakukan hal itu. Jauh sebelum itu, hanya Yosua dan Kaleb (2 dari 12 pengintai yang diutus ke tanah Kanaan) yang membawa berita yang optimis yang muncul dari iman yang percaya. Mereka yakin bahwa Allah yang mengutus dan membawa ke tanah Kanaan bukan Allah yang menipu. Tetapi 10 orang pengintai lainnya membuat takut dengan berkata bahwa “Kita tidak dapat maju menyerang bangsa itu, karena mereka lebih kuat dari pada kita."(Bil 13:31), "Negeri yang telah kami lalui untuk diintai adalah suatu negeri yang memakan penduduknya, dan semua orang yang kami lihat di sana adalah orang-orang yang tinggi-tinggi perawakannya . Juga kami lihat di sana orang-orang raksasa, orang Enak yang berasal dari orang-orang raksasa, dan kami lihat diri kami seperti belalang, dan demikian juga mereka terhadap kami." (Bil 13:32-33).” Mereka lupa bahwa mereka akan diberikan tanah Kanaan. Tetapi Yosua dan Kaleb berkata, “Janganlah memberontak kepada TUHAN, dan janganlah takut kepada bangsa negeri itu, sebab mereka akan kita telan habis. Yang melindungi mereka sudah meninggalkan mereka, sedang TUHAN menyertai kita; janganlah takut kepada mereka. (Bil 14:9) " Itu Yosua saat usianya masih muda. Apakah kita punya konsistensi iman dari muda dan terus-menerus ikut Tuhan? Dalam perjalanan hidup mungkin kita gagal, tetapi dengan konsistensi itu, kita balik lagi percaya Tuhan. Jadi jangan waktu muda aktif tetapi setelah tua meninggalkan Tuhan.
Kesaksian
Papa
saya konsisten dalam iman percaya kepada Tuhan. Saya sangat mengidolakan papa
saya. Tetapi suatu kali ia pernah gagal. Waktu saya remaja, papa selingkuh
dengan orang lain dan itu membuat saya marah dan benci. Saya paling meledak
dalam keluarga dan tidak bisa terima hal ini. Sehingga saya bilang ke mama
saya, “Ma tinggalkan dia. Kita saja anak-anak hidup berempat. Tidak usah urus
dia”. Bagi saya, ia tidak hanya menghianati mama saja tapi juga saya. Lalu saya
bilang, “Mama diajak ngomong tidak mau jawab. Ambil keputusan sekarang!”. Hari
itu mama diam saja dan baru 1 minggu kemudian, mama saya berkata, “Kalau papa
kamu salah, kita belajar untuk menolong dia supaya dia tidak terus jatuh dalam
kesalahannya”. Saya menanggapinya,”Terserah mama. Tapi kalau saya, baju, celana
panjang, makan-minuman dia bukan urusan saya lagi”. Memang sejak SD VI saya sudah biasa cuci baju,
pergi ke pasar karena saya diajar mama begitu. Tetapi dengan peristiwa itu, saya
berprinsip “Pokoknya mulai hari ini saya tidak mau urusin hal tentang dia”.
Mama yang berkata, “Mama yang akan urus”. Hari itu saya bilang, “Mama saya bodoh
amat. Kalau saya perempuan saya tidak mau begitu.” Selama 3 tahun yakni saat SMP kelas 1 sampai kelas 3, walau hidup
serumah dengan papa, saya tidak mengurusi makanan-pakaian papa. Saya anggap dia
tidak ada di antara kami walau secara fisik ada. Hati saya tawar dan dingin.
Saya tidak marah lagi. Namun di kelas 1 SMA saya bertobat dan belajar
mengampuni papa saya. Padahal waktu ketahuan selingkuh, papa hanya pacaran
saja. Begitu papa melihat betapa bijaknya mama, ia sangat menyesal. Ia melihat
sikap mama yang mengampuni yang luar bisa. Waktu 1 SMA saya baru bisa
mengampuni papa. Awalnya saya bilang, “Saya benci papa”. Papa saya hanya diam.
Semua perasaan saya keluar. Papa saya menangis, sehingga saya ikut menangis. Papa
berkata, “Setiap malam, Papa nangis sejak kamu tidak urus papa lagi. Papa tidak
membencimu, karena tahu papa salah”. Sampai mati ia tidak melakukan kesalahan
yang sama. Ada saat di mana kita gagal. Kegagalan itu tidak membuat kita
tertidur dalam kegagalan. Sebagai ayah , suami, istri , anak kita ada kegagalan.
Mari kita tidak hidup dalam kegagalan. Kita belajar dan bangkit. Karena Yosua
meninggalkan perlajaran yang luar biasa, sampai meninggal, ia hidup dalam iman
dan pilihannya tidak salah!
No comments:
Post a Comment