Ev Helen Sung
Maz 42:1-4
Untuk pemimpin biduan. Nyanyian pengajaran bani Korah.
(42-2) Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku
merindukan Engkau, ya Allah. Jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup.
Bilakah aku boleh datang melihat Allah? Air mataku menjadi makananku siang dan
malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: "Di mana
Allahmu?"
Maz 137:1-4
Di tepi sungai-sungai Babel, di sanalah kita duduk
sambil menangis, apabila kita mengingat Sion.
Pada pohon-pohon gandarusa di tempat itu kita menggantungkan kecapi
kita. Sebab di sanalah orang-orang yang menawan kita meminta kepada kita
memperdengarkan nyanyian, dan orang-orang yang menyiksa kita meminta nyanyian
sukacita: "Nyanyikanlah bagi kami nyanyian dari Sion!" Bagaimanakah
kita menyanyikan nyanyian TUHAN di negeri asing?
Suatu saat ada
seseorang jatuh ke laut. Ia dikelilingi oleh air laut. Di mana-mana air laut.
Namun ia berseru-seru,”Saya perlu air. Saya perlu air.” Berkali-kali ia berseru.
Sungguh ironis, orang yang dikelilingi air namun masih terus berteriak perlu
air karena air laut memang tidak bisa dimunum langsung karena mengandung kadar
garam yang tinggi. Air memang merupakan kebutuhan utama manusia. Tanpa air,
manusia tidak bisa hidup. Pemazmur mengatakan, “Bila tidak ada Tuhan ibaratnya seperti
tidak ada air.” Maka pemazmur mengatakan, “Hatiku rindu akan Engkau. Seperti
rusa yang rindu sungai yang berair.”
Waktunya Menyembah Tuhan
Saat itu orang-orang
Israel sedang ditawan oleh bangsa Babel sehingga tidak bebas menyembah Tuhan. Sewaktu
mengigat negara sendiri, bangsa Israel sangat sedih karena saat itu mereka
sangat bebas menyembah Tuhan. Semuanya bersukacita datang ke bait Allah menyembah
Allah. Setelah ditawan di Negara Babel, mereka tidak bisa bebas menyembah Allah
lagi. Karena bangsa Babel adalah bangsa yang menyembah berhala, Tuhan kita sangat
humoris. Ia tahu orang Israel sangat
suka menyembah berhala sehingga Ia biarkan mereka ditawan di negara Babel yang
menyembah berhala. Contoh : mereka menyembah sapi emas yang mereka kira membawa
mereka keluar dari Mesir. Sehingga setelah meninggal, jasad Musa disembunyikan
karena dikhawatirkan orang Israel akan menyembahnya bila mengetahui tempat
jasadnya dikuburkan. Tuhan membiarkan mereka ditawan di Babel selama 70 tahun
supaya mereka jera (takut) dan tidak berani lagi menyembah berhala, Mazmur 137
mengatakan bahwa orang Israel pernah duduk-duduk di tepi sungai Babel. Ketika
duduk, mereka menangis memikirkan Sion yang menggambarkan Yerusalem. Ketika
mengingat Sion mereka meratap karena di Babel mereka tidak bebas menyembah
Tuhan. Orang Babel terus menertawakan mereka, “Di manakah Tuhanmu?” atau “Kalau
Tuhan ada, mengapa engkau ditawan di Babel?” dan mereka tidak bisa menjawabnya.
Mereka ingin menyanyikan lagu penyembahan kepada Tuhan di Babel tetapi penulis Mazmur
berkata, “Bagaimana kami menyanyi tentang Yehova di negari asing?” sehingga
mereka merasa kesepian. Mereka tidak merasakan kehadiran Tuhan. Musuh dibiarkan
menertawakan mereka supaya mereka mengetahui apa yang mereka hadapi bila hidup
jauh dari Tuhan.
Sekarang ini kita
hidup dalam zaman mas dan Tuhan menaruh kita di negara Indonesia, negara
yang penduduknya bebas menyembah Dia.
Maka kita jangan menganggap bisa beribadah atau tidak, bukan merupakan masalah.
Kita jangan menganggap ibadah sebagai sesuatu yang suka-suka saja (kalau suka
datang, tidak suka tidak datang). Ada
juga yang datang ke rumah Tuhan untuk beribadah tapi tanpa memiliki kerinduan kepada
Tuhan bahkan ada yang sampai tertidur. Bagaimana jikalau misalnya pemerintah melarang
kita beribadah? Maka kita harus menghargai kesempatan beribadah saat ini. Tanpa
menilai apakah cara membawakan khotbah enak atau tidak, kita dengan hati rindu datang
beribadah kepadaNya. Melalui kebersamaan dalam rangkaian ibadah termasuk puji-pujian,
doa, pembacaan Alkitab, kita akan bertemu dengan Tuhan. Umat Kristen Tiongkok
mengalami kesulitan beribadah selama puluhan bahkan ratusan tahun lalu. Ketika aliran
komunis datang, semua kepercayaan dan agama harus dimusnahkan. Mereka
menganggap tidak ada Tuhan sehingga tidak perlu beribadah, maka semua gereja
dan wihara berubah menjadi tempat peternakan
sapi. Hal ini menakutkan. Umat Kristen yang mengasihi Tuhan rindu untuk datang beribadah
kepada Tuhan. Mereka beribadah dengan cara satu per satu datang ke rumah
jemaat. Karena bila datang serombongan, keberadaan mereka akan diketahui
sehingga mereka akan ditangkap polisi. Saat beribadah mereka bernyanyi tanpa
mengeluarkan suara. Mereka bergandengan tangan dan hanya membuka mulut
bernyanyi dengan hati memuji Tuhan. Melihat keadaan demikian sungguh tergerak
hati kita. Hari ini, kita bebas memuji Tuhan dengan suara keras, boleh bertepuk
tangan bahkan menari. Kita sangat bebas beribadah, tetapi kenapa kita tidak
menghargai waktu ini? Sekarang pintu Injil di Negara Tiongkok sudah terbuka,
yang percaya Tuhan semakin hari semkain banyak, Kita harus rindu mendekat dan
mengenal Tuhan kita. Jangan asal sempat baru datang beribadah. Kalau kita
memiliki hati yang rindu, walaupun bagaimana sibuknya, kita datang beribadah
menyembah Tuhan kita. Sekali tidak beribadah ada rasa kehilangan.
Pada tahun 1986,
saya bersama Pdt Paulus Sung pergi ke Tiongkok. Waktu itu kehidupan bergereja
belum sebebas sekarang, walaupun sekarang pun masih dikendalikan pemerintah.
Pada hari Minggu, kami mencari gereja
mau beribadah namun tidak tahu di mana tempatnya. Saat bertanya dimana gereja,
bahkan ada yang tidak tahu apa itu gereja.. Setelah mencari-cari akhirnya
ketemu. Karena saat itu taxi tidak sebanyak sekarang, maka kami menunggu lama
sekali sehingga sewaktu tiba di gereja sudah terlambat. Ibadah sudah selesai
dan jemaat sudah pulang. Kami pun mencari pendetanya dan mengobrol. Sewaktu
bertanya umur sang pendeta, ia menjawab, “Saya berumur 60 tahun. Saya pendeta
termuda di tempat ini.” Waktu mendengar hal ini, saya merasa beruntung karena
usia 21 tahun saya sudah menjadi penginjil.
Kita harus datang ke
gereja untuk beribadah dengan kerinduan kepada Tuhan. Bukan saja di gereja, di
rumah juga harus menyembah Tuhan. Demikian pula di tempat kerja. Setiap saat mendekat
pada Tuhan. Karena Tuhan suka saat kita dekat denganNya. Hari ini, mungkin kita
tidak dapat bekerja bagi Tuhan mengerjakan pelayanan yang besar-besar. Hal ini
tidak apa-apa karena Tuhan mau kita tidak henti-hentinya berdekat kepadaNya. Ibarat
sepasang muda-mudi yang sedang berpacaran.
Mereka tiap hari ingin bertemu. Tiap hari berharap mendengar suaranya. Hal ini
sekarang dapat dilakukan dengan mudah karena ada ponsel (HP). Dulu saat saya
pacaran tidak ada HP bahkan tIdak punya telpon. Seminggu kami bertemu sekali
yaitu hari Senin, hari di mana kami beristirahat. Siang hari Pdt Sung datang
dan sore hari sudah pulang. Mengapa kita rindu berdekat? Karena kita mengasihi
dia. Kalau engkau berpacaran tanpa rasa cinta, maka tidak usah lagi pacaran.
Karena kita mencintainya kita rindu bertemu dan mendengar suaranya. Mengapa
kita terhadap Tuhan tidak demikian? Karena kita tidak sungguh-sungguh atau
cukup mencintaiNya. Hati kita tidak sungguh-sungguh beribadah kepada Tuhan.
Kalau kita sungguh-sungguh, kita pasti setiap saat rindu kepada Tuhan, berdekat
kepadaNya, senang mendengar suaraNya, karena suara Tuhan sangat lemah lembut.
Berdekat kepada Tuhan bukan hanya berdoa meminta Tuhan memberikan ini-itu atau
saat kita mengalami begitu banyak masalah. Mari kita berdekat pada Tuhan, hati berpaling
padaNya dan merenungkan cinta Tuhan.