Pdt. Hery Kwok
Pengkhotbah 3:11
1
Untuk segala sesuatu ada masanya, untuk apapun di bawah langit ada
waktunya.
2
Ada waktu untuk lahir, ada waktu untuk meninggal, ada waktu untuk
menanam, ada waktu untuk mencabut yang ditanam;
3
ada waktu untuk membunuh, ada waktu untuk menyembuhkan; ada waktu untuk
merombak, ada waktu untuk membangun;
4
ada waktu untuk menangis, ada waktu untuk tertawa; ada waktu untuk
meratap; ada waktu untuk menari;
5
ada waktu untuk membuang batu, ada waktu untuk mengumpulkan batu; ada
waktu untuk memeluk, ada waktu untuk menahan diri dari memeluk;
6
ada waktu untuk mencari, ada waktu untuk membiarkan rugi; ada waktu
untuk menyimpan, ada waktu untuk membuang;
7
ada waktu untuk merobek, ada waktu untuk menjahit; ada waktu untuk
berdiam diri, ada waktu untuk berbicara;
8
ada waktu untuk mengasihi, ada waktu untuk membenci; ada waktu untuk
perang, ada waktu untuk damai.
9
Apakah untung pekerja dari yang dikerjakannya dengan berjerih payah?
10
Aku telah melihat pekerjaan yang diberikan Allah kepada anak-anak
manusia untuk melelahkan dirinya.
11 Ia membuat segala sesuatu indah pada
waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan dalam hati mereka. Tetapi manusia
tidak dapat menyelami pekerjaan yang dilakukan Allah dari awal sampai akhir.
Tidak Ada yang Kekal di Dunia Ini
(Semuanya Terbatas)
Pada
waktu kita membaca kitab Matius pasal 17, di sana Matius mencatat satu peristiwa
di mana Tuhan Yesus dimuliakan di atas gunung yang dikenal dengan istilah transfigurasi.
Pada waktu itu, murid-murid Tuhan Yesus yang
diajak hanya 3 orang yaitu Petrus, Yohanes dan Yakobus. Saat Tuhan Yesus dimuliakan
dalam peristiwa transfigurasi itu, Ia berbicara dalam kemuliaanNya dengan Nabi Elia
dan Nabi Musa. Keduanya adalah tokoh (nabi) besar. Orang Israel sangat mengenal
kedua nabi tersebut. Karena Musa membawa bangsa Israel ke luar dari perbudakan menuju
ke Tanah Perjanjian. Di sana mereka sungguh-sungguh dibawa ke dalam satu kemerdekaan
sebagai satu bangsa. Bukan itu saja Musa melepaskan mereka dari perjanjian dengan
ilah bangsa Mesir yang sangat kuat dan mengikat sehingga akhirnya membuat iman mereka
kepada Allah bercampur dengan kepercayaan bangsa Mesir. Lalu bangsa Israel dibawa
oleh Musa ke tanah yang dijanjikan Allah. Dan itu menjadi sebuah peristiwa
besar sehingga orang-orang Israel tidak pernah melupakan siapa Nabi Musa.
Sedangkan Nabi Elia adalah nabi yang membawa kerohanian bangsa Israel yang
sudah melempem untuk kembali kepada Allah. Elia saat itu membunuh 400 nabi Baal
yang menyesatkan orang-orang Israel. Sehingga Nabi Elia dikenal sebagai nabi
pembaharuan dan sungguh-sungguh dikenal
oleh bangsa Israel. Ia tidak mengalami kematian karena diangkat oleh Tuhan.
Petrus
menyaksikan peristiwa transfigurasi ini, dan melihat apa yang dialami Tuhan
Yesus, lalu ia berkata kepada Tuhan
Yesus,” Tuhan betapa senangnya kami berada di sini. Apakah Engkau mau kami
membuat 3 tenda : satu untuk Engkau, satu untuk Musa dan satu untuk Elia?” Ungkapan
Petrus ini menjelaskan bahwa manusia pada umumnya senang dengan hal-hal yang
menyenangkan. Perasaan bahagia (senang) yang dialami kalau bisa berlangsung
terus (jangan hilang). Rasa bahagia tersebut kalau bisa jangan berakhir. Itulah
manusia. Maka kalau kita melihat catatan dalam kitab Pengkhotbah bahwa di dalam
dunia ini segala sesuatu ada batas-nya (tidak ada yang bersifat kekal di dunia
ini, karena memang dunia ini fana dan terbatas). Itu sebabnya suka cita yang
dialami seseorang pun terbatas.
Menghadapi
liburan lebaran tahun ini, saya sudah mendengar beberapa jemaat sesudah ibadah
akan langsung berangkat masuk tol agar tidak terkena macet di Cikampek. Mereka ingin
bergegas karena waktu liburan yang juga terbatas. Kalau tidak pergi sekarang, nanti
tidak bisa liburan bersama keluarga lagi. Ini hal yang bagus, tetapi kita menghadapi
keterbatasan, karena setelah liburan selesai maka pekerjaan atau sekolah
memanggil kita kembali. Itu adalah waktu yang terbatas. Kondisi susah sekalipun
juga terbatas. Tidak ada yang tidak terbatas. Artinya penulis kitab Pengkhotbah
memberikan suatu kebenaran, bahwa di bawah kolong langit tidak ada yang tidak
terbatas.
Allah yang Kekal Memberikan Kepuasan dalam Hati Manusia
Pada
waktu membaca Pengkhotbah 3:11, “Ia
membuat segala sesuatu indah pada waktunya, bahkan Ia memberikan kekekalan
dalam hati mereka. Tetapi manusia tidak dapat menyelami pekerjaan yang
dilakukan Allah dari awal sampai akhir, ada 2 hal yang ingin disampaikan dalam
tulisan Pengkhotbah tersebut :
1.
Kepuasan tidak
akan pernah didapati di dalam dunia yang fana. Hati manusia hanya bisa
dipuaskan oleh Allah yang kekal.
Pengkhotbah membawa kepada satu kebenaran bahwa manusia bersifat terbatas di dunia yang fana
ini, tetapi manusia adalah ciptaan Tuhan berdasarkan peta dan teladan Tuhan
yang diciptakan Tuhan dalam sifat kekekalan. Kekekalan artinya tidak musnah
(hilang) dan bersifat kekal seperti Penciptanya. Oleh karena manusia adalah ciptaan
yang bersifat kekal, maka kepuasan yang ada di dalam diri manusia tidak mungkin dicapai melalui hal-hal yang terbatas.
Hanya Allah yang kekallah yanag sanggup memuaskan hati manusia. Ini adalah hal yang
sangat penting yang disampaikan oleh Pengkhotbah. Karena dalam keterbatasan
waktu, tidak ada yang di dalam keterbatasan ini bisa memuaskan hati manusia
yang sifatnya kekal.
Kalau bicara tentang uang, maka sebanyak
apapun uang yang dimiliki tidak pernah bisa memberikan kepuasan secara tak terbatas.
Kalau berbicara tentang kekuasaan, maka kekuasaan tidak pernah membuat orang
untuk bisa menikmatinya sepuas-puasnya. Mungkin sebentar kita bisa merasa puas
karena punya kekuasaan. Kita bisa menyuruh dan mengatur orang. Bila punya uang ,
kita bisa beli sesuatu , pergi atau melakukan banyak hal (meskipun tidak semua
hal) tapi sifatnya terbatas. Sehingga segala yang terbatas di dunia ini, tidak
pernah memberikan kepada kita kepuasaan jikalau bukan Yang Kekal yang
memberikan kepuasan itu. Bukankah sejarah
sudah mencatat ada banyak orang dengan kekayaan yang berlimpah , tetapi mereka mati secara mengenaskan. Kita menemukan
banyak artis yang hidupnya bergelimangan harta dan pujian. Contoh : Michael
Jackon atau, penyanyi-penyanyi besar lainnya baik di luar negeri maupun di
Indonesia ditemukan mati secara tragis di dalam ketenaran dan kemewahan mereka karena
apa yang dimiliki tidak bisa memuaskan mereka. Kitab Suci memberikan penjelasan
yang baik sekali. Itu sebabnya di dalam Pengkhotbah 3:11 dikatakan bahwa Ia
memberi kekekalan dalam hati manusia. Karena manusia sifatnya kekal waktu dilahirkan
oleh orang tua, kemudian berada dalam keberadaannya maka manusia sifatnya
kekal. Meskipun kita akan mati secara fisik, tapi kita tidak musnah (punah). Kita
terus berada dalam keberadaan kita karena kita kekal adanya. Dan yang kekal itu
tidak mungkin bisa dipuaskan oleh yang tidak kekal.
Saya pernah bertemu dengan seorang penderita
kanker stadium 4 yang hatinya bisa tetap tenang. Artinya apa? Ia tidak melihat
bahwa yang bersifat kekayaan, keuangan dan segala macam itu menjadikan manusia mampu
untuk menikmati kepuasan itu. Tetapi justru orang-orang tertentu yang dalam kesulitan dan kesakitan tetapi
bisa berkata, “Aku bisa tenang. Aku bisa melihat perkara ini”. Hal ini terjadi pada
waktu hidup manusia berelasi dengan Allah, waktu ia memiliki iman percaya
kepada Allahnya, sehingga ia bisa melihat kepuasaan dari Allah. Ini perkara
yang penting sekali. Mengapa?
Kepuasaan yang sejati sungguh-sungguh hanya
berasal dari Allah yang kekal. Penulis kitab Pengkhotbah ingin mengingatkan bahwa
kita hidup di dunia fana. Kita boleh bekerja dan mencari uang, menempuh studi (kuliah)
atau mencari kepintaran tetapi semua yang cari dan kejar itu sifatnya terbatas
dan kita tidak bisa mendapat kepuasan di sana. Di sanalah kita harus belajar bagaimana
kita sungguh-sungguh mencari kepuasan sejati dari Allah. Kitab Pengkhotbah menghantar
kita pada satu kebenaran bahwa Manusia yang diciptakan Allah seturut gambar dan
rupa Allah. Gambar dan rupa Allah mempunyai sifat kekekalan seperti penciptaNya
yang membawa manusia sungguh-sungguh harus menyadari bahwa manusia benar-benar tidak
terlepas dari penciptaNya.
Orang seringkali melupakan Tuhan oleh karena
menganggap apa yang mereka kejar dan cari sudah mereka dapatkan, padahal tidak.
Justru dalam kekekalan itulah, Allah menaruh dalam diri manusia hati yang mencariNya.
Manusia itu unik karena seringkali manusia itu baru bisa menghargai hidup kalau
ada kematian. Kalau tidak ada kematian, kita tidak menghargai hidup. Waktu ada
kematian, di situ kita tahu bahwa kematian ini membuat kita memahami apa yang
harus kita perbuat di dunia ini. Kematian yang sementara membawa kita tercelik
bahwa kita bukan hidup di dunia ini selamanya.
Jumat lalu kita mengadakan ibadah tutup
peti untuk Sdr. Asen. Dia dioperasi jantungnya untuk dipasang ring. Dari
saat dioperasi sampai kemudian meninggal, ia tidak bisa apa-apa lagi. Saya
jarang menemukan orang kalau dibalon (di-ring) mati. Ini kasusnya 1 di
antara 1000. Kalau ada orang yang dioperasi pasang ring, di jantungnya, maka ia
menjadi satu-satunya yang terkena dampaknya. Ia tidak pernah bisa mengalami dan
merasakan apa-apa lagi. Setelah masuk rumah sakit , menjalani operasi sampai meninggal
ia tidak merasaakan apa-apa. Kalau tidak melihat kematian, kita tidak pernah menghargai
hidup. Kita hidup dalam kefanaan dan untuk masuk dalam kekekalan, bagaimana
kita mengisi hidup ini? Itu adalah perkara penting yang perlu kita pelajari.
Saat Pengkhotbah berbicara tentang
keterbatasan hidupnya di mana kita sungguh-sungguh tidak bisa dipuaskan oleh
yang tidak terbatas, kira-kira bagaimana kita mengisi dan menjalani hidup? Apakah
kita sungguh-sungguh menjalani dalam takut akan Tuhan atau sungguh-sungguh
menjalani hidup untuk diri sendiri? Kalau untuk diri sendiri maka kita hanya akan
berakhir dengan ketidak-puasaan hidup ini. Unik sekali manusia ini karena di
dalam limitasi hidup baru manusia mengerti hidup. Waktu di dalam kekekalan yang Allah berikan,
Allah memberikan kesementaraan di dunia.
Waktu kesementaraan itu ada, baru kita bisa mengerti ada kekekalan. Karena ada
kekekalan itulah, maka ada hidup yang harus dipertanggungjawabkan.
2.
Dalam
kekekalan yang akan dimasuki baru kita bisa pahami dalam keterbatasan ini, di
situlah baru kita bisa belajar bagaimana mengisi hidup ini.
Apakah hidup yang kita isi adalah hidup
yang sia-sia saja, hidup yang hanya berorientasi pada diri sendiri atau hidup
untuk kehidupan kita saja atau tidak? Pada waktu Tuhan Yesus ditanya oleh orang
Farisi, “Guru apa sebenarnya intisari dari hukum Taurat?” Yesus menjawab, “Kasihilah
Tuhan Allahmu dengan totalitas hidupmu, dengan segenap hati, segenap pikiran,
segenap perbuatan. Yang kedua, kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu
sendiri. Pada kedua hukum itulah, seluruh hukum Taurat tergantung” Artinya dalam
2 intisari ini, kalau engkau lakukan, maka engkau akan hidup. Waktu Tuhan
berbicara, Dia bicara tentang Firman yang kekal. Waktu kita sungguh-sungguh melakukan
firman yang kekal, maka kita akan masuk di dalam kekekalan dengan berani untuk
kita bertanggung jawab atas apa yang kita kerjakan.
Pada waktu penghakiman dan bertemu Pencipta
kita, Rasul Paulus berkata bahwa setiap orang akan diadili menurut segala
perbuatan yang dilakukan dalam dunia ini. Kalau di dunia ini kita hanya mengisi
hidup untuk diri sendiri (memuaskan diri sendiri , hanya untuk ego sendiri), maka
kita akan berhadapan dengan Pencipta kita yang akan mengadili di dalam
kebenaran dan keadilan dan Dia tidak akan tawar-menawar dengan kita. Itu
sebabnya saya senang dengan filsafat Tionghoa yang dipopulerkan oleh Pdt.
Stephen Tong tentang waktu.
Waktu itu adalah seperti hakim (penuntut)
yang kejam tetapi sekaligus ia adalah kawan yang setia. Saat kita tidak
menggunakan kesempatan di dalam waktu yang terbatas itu, maka ia akan membuat
dan menyatakan kita sebagai orang yang teledor dalam hidup kita (sebagai orang
yang sungguh-sungguh menyia-nyiakan hidup yang diberikan dalam kesempatan). Karena
itu Ia akan menjadi hakim yang menuntut dan menelanjangi kita terhadap hidup
yang disia-siakan. Tetapi bila waktu digunakan dengan baik, maka Dia akan bersaksi
bahwa orang ini benar, setia, dan menggunakan waktu (kesempatan) ini dengan
baik.
Itu sebabnya dalam Efesus 5:16 dengan
berani Rasul Paulus berkata bahwa hari-hari itu jahat. Kalau hari-hari yang
terbatas itu jahat dan kita berada dalam keterbatasan waktu untuk masuk dalam kekekalan. Kira-kira bagaimana
kita mengisinya? Bagaimana kita menghidupinya? Ini sesuatu yang sangat penting
sekali. Kepada orang-orang di Korintus,
waktu menulis surat, Rasul Paulus menegur mereka. Mereka berada dalam filsafat
yang salah. Mereka katakan hidup itu tidak ada kekekalan dan berhenti dalam
kematian. Maka silahkan makan dan minum saja, berpuas-puas diri saja. Kalau masih
muda, maka gunakanlah masa mudamu dengan sebebas-bebasnya. Bila engkau ingin menggunakan
tubuhmu untuk seks , narkoba silahkan saja karena akan mati dan berakhir di kuburan. Rasul Paulus
berkata, “Tidak! Karena ada kebangkitan dan Kristuslah yang sulung yang bangkit”.
Itulah yang menandakan adanya kekekalan. Waktu kekekalan itu kita masuki
setelah kita meninggalkan dunia yang terbatas, apakah kita siap berjumpa dengan
Hakim yang agung itu?
Saat saya masih menjadi pengacara,
setiap kali masuk ke ruang pengadilan, hati saya merasa gentar. Apa yang
membuat saya gentar? Saya hanya berpikir, “Apakah hakim yang akan mengadili perkara
ini jujur dan baik atau tidak? Kalau tidak baik, maka ia akan memihak yang
jahat. Padahal saya mencoba tidak mau menyuap. Saya tidak mau berlaku curang, tapi kalau hakim ini main mata
dengan lawannya, lalu kemudian ia memenangkannya , maka Tuhan sepertinya usaha
saya sia-sia saja”. Saya suka gentar masuk ke ruang pengadilan karena berjumpa
hakim karena mereka bisa menyalahgunakannya. Tetapi waktu Alkitab bicara tentang
Hakim yang agung itu, hal ini jauh lebih menggentarkan, karena Dia menghakimi
dengan keadilanNya dan kebenaranNya dan itu tidak akan pernah bisa terlepas. Kalau
hidup seorang pendeta tidak benar dalam menggembalakan dan menggunakan uang jemaat
secara tidak benar, jemaat memang tidak tahu tetapi ada Tuhan yang tahu.
Kalau kita menjadi seorang suami atau
istri, apakah kita sungguh-sungguh mengisi hidup kita sebagai suami/istri yang
takut Tuhan? Sebagai pemuda, apakah engkau mengisi masa mudamu sungguh-sungguh dengan
melakukan kehendak Tuhan? Sebagai siswa yang masih studi, apakah engkau
sungguh-sungguh melakukan studimu dengan baik dan bertanggung jawab kepada Allah?
Istri saya berkata,”Saya terkadang malu
melihat orang Indonesia belajar dibanding orang Tiongkok. Orang Tiongkok dalam
belajar tidak main-main. Perpustakaan dipenuhi oleh para siswa. Mereka senang
dengan textbook. Mereka tidak mencari bahan di handphone melainkan
di perpustakaan. Jadi kalau terlambat, kita sulit mendapat tempat untuk belajar
di perpustakaan. Sedangkan bagi banyak orang Indonesia, yang ramai adalah mal (bukannya
perpustakaan), apalagi menjelang lebaran semua harga barang dibanting. Semua stock
di gudang diobral. Bahkan ada mal yang menyelenggarakan midnight sale. Seorang
anak muda berkata kepada saya,”Mu-shi nanti belajar di mal saja karena
ada midnight sale”. Herannya kalau ada midnight sale mata tidak
mengantuk sehingga mal pun ramai. Orang Tiongkok yang disampaikan oleh shimu hebat
sekali. Mereka bertanggung-jawab dalam mencari pengetahuan. Orang Indonesia belajarnya
sore-sore, karena tidak terlalu serius dalam belajar. Saya belajar secara serius
sewaktu di sekolah Alkitab, sebelumnya tidak. Untung saja, saya tidak jadi
pengacara gadungan. Karena kita pernah menyaksikan di video, seorang yang
menjadi dokter walaupun belajarnya tidak benar (menyuap). Waktu ada pasien di
meja operasi dia kebingungan. Yang dia operasi adalah istri dari dosennya yang
disuap. Cerita ini bagus. Tidak perlu banyak ribut. Dosen itu juga menyesal
karena ia sudah menghasilkan dokter gadungan. Murid-muridnya (mahasiswa dokter
gadungan) memang senang cara belajar seperti itu. Kita akan menghadap Hakim yang
agung. Maka Kitab Suci memberikan kepada kita kebenaran yagn luar biasa, firman
Tuhan yang kekal yang bisa membawa kita untuk memahami kekekalan itu dan
mengisi hidup di dalam keterbatasan supaya kita hidup di dalam kekekalan.
Penutup
Waktu cepat sekali berlalu. Sekarang kita sudah memasuki
bulan Juni. Sebentar lagi kita akan masuk Natal, setelah itu masuk Paskah, lalu
Lebaran dan Natal lagi. Waktu yang sangat cepat bergulir membawa orang melihat
waktu cepat berlalu. Cepat tetapi isinya tidak ada. Kalau tidak pernah diisi,
apanya yang cepat? Tetap saja belajarnya malas. Hidupnya sebagai orang muda disia-siakan,
sebagai keluarga hidupnya tidak dibawa kepada Tuhan. Katanya cepat tapi tidak
pernah di-isi. Ini adalah sesuatu yang perlu dipikirkan. Kitab Pengkhotbah
mengingatkan kita dua hal dalam ayat 11 : Allah menaruh kekekalan dalam hati mansuai,
agar kita tahu bahwa dunia yang fana tidak
bisa memuaskan kita. Carilah Tuhan selama Dia bisa ditemui karena Dialah yang
memberi kepuasan itu. Yang kedua, Dia yang kekal akan menghakimi kita yang
kekal selama dalam keterbatasan, kita mengisi keterbatasan dengan melakukan apa
yang Tuhan kehendaki atau tidak? Dia memberikan perintah, “Kasihilah Tuhan
Allahmu. Kasihilah sesamamu.” Penajabarannya luas dalam kehidupan praktis kita.
Kita mengasihi sesama , orang-orang di sekitar kita. Apakah dalam bentuk
bantuan secara material atau moral atau yang terpenting secara rohani mengabarkan
Injil pada orang-orang ini. Apakah kita sungguh-sungguh melakukannya dalam keterbatasan
waktu, karena dikatakan di bawah kolong
langit, itu sangat terbatas. Apa keterbatasan kita? Hari ini kita pergi
liburan, tidak tahunya bisa saja tidak kembali lagi. Artinya di dalam
keterbatasan itulah, mari kita pikirkan hidup kita ini. Kiranya Tuhan menolong
kita memasuki bulan Juni dan kita sungguh-sungguh mengisi hidup ini seperti
yang Tuhan mau.
No comments:
Post a Comment