Ev. Susan Guo
Yosua 24:14-15
14
Oleh sebab itu, takutlah akan TUHAN dan beribadahlah kepada-Nya dengan
tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang kepadanya nenek moyangmu telah
beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir, dan beribadahlah kepada TUHAN.
15
Tetapi jika kamu anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN,
pilihlah pada hari ini kepada siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya
nenek moyangmu beribadah di seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang
negerinya kamu diami ini. Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah
kepada TUHAN!"
Pendahuluan
Warisan
rohani apa yang kau tinggalkan? Warisan di sini bukan dalam bentuk harta
duniawi, tetapi dalam bentuk iman, rohani dan nilai-nilai baik. Kalau
pertanyaan ini ditanyakan kepada kita, “Untuk anak, cucu dan orang-orang dekat
di sekelilingmu, hal-hal rohani apa yang akan kamu wariskan?” Apa jawaban kita?
Puluhan
tahun lalu ketika masih kecil, orang yang mewarisi kehidupan rohani kepada saya
adalah papa saya. Papa dengan setia mengingatkan saya untuk pergi ke Sekolah Minggu.
Saya masih ingat saat saya digendongnya untuk pergi ke gereja dan ia
berpesan,”Di gereja jangan ribut ya. Duduk diam di sebelah saya!” Hobi papa bernyanyi
sehingga ia mengenal hampir setiap lagu yang dinyanyikan di gereja. Saya senang
memperhatikan dan mendengar papa saya menyanyi. Di rumah, papa juga senang
menyanyi semua lagu dari lagu rohani sampai lagu dangdut. Salah satu lagu
rohani yang sering dinyanyikan adalah Ke Tempat yang Tertinggilah (Higher
Ground, Charles H. Gabriel, 1898) : Ke
tempat yang tertinggilah g’nap jiwaku merindulah. Kunaikkan doa tiap waktu, Tuhan
tetapkan jiwaku. Reff : Tuhan tetapkan jiwaku lebih dekat kepada-Mu.
Lebih tinggi ‘ku merindu, di tempat yang lebih tinggi. Sehingga waktu kecil
saya sudah menghafalnya. Itulah warisan rohani yang dia tinggalkan. Mungkin papa
tidak tahu itu warisan rohani yang dia tinggalkan , tetapi apa yang dia
tinggalkan itulah warisan rohaninya. Saat ini saya senang bernyanyi dan sudah
menjadi hamba Tuhan itu semua karena warisan rohani. Papa saya senang membaca Alkitab di rumah
dengan keras. Di desa yang rukun dan memiliki toleransi tinggi, tidak masalah
kalau orang membaca Alkitab di halaman rumah keras-keras. Mama bertanya
kepadanya, “Mengapa kamu membaca Alkittab keras-keras dan mengapa membacanya di
halaman rumah?. Papa menjawab,”Supaya orang lain bisa mendengar!” Saya juga
bertanya, “Mengapa membacanya keras-keras? Nanti orang lain marah!”. Papa
menjawab, “Biar saja orang mendengar, sehingga saya membacanya keras-keras. (sekarang
saya tidak berani membaca Alkitab keras-keras karena situasinya berbeda). Itu
bagian kecil yang ditinggalkan papa ke saya, sekarang saya harus bertanya, “Apa
yang saya tinggalkan untuk generasi sesudah saya? “
Warisan Nilai Rohani Yosua
1.
Warisan rohani (iman,
nilai rohani) sesuai kebenaran firman Tuhan memerlukan sesuatu yang konkrit dalam keseharian (implementasi
harus jelas dalam kehidupan sehari-hari).
Salah satunya yang kita pelajari dari Yosua. Sebelum
meninggal dalam usia sekitar 110 tahun, Yosua mengingatkan generasi bangsanya akan
satu hal yang penting dan ditekankan yaitu untuk beribadah pada Tuhan. Dari kitab
Bilangan diketahui bahwa Yosua bukanlah pribadi yang sembarangan. Nama aslinya
Hosea bin Nun , namun Musa memberinya nama Yosua (Bil 13:16). Ia keturunan Efraim
,anak Yusuf. Yosua bersama Kaleb bin Yefune (suku Yehuda) dan 10 pemimpin suku
Israel lainnya diutus Musa untuk mengintai Kanaan. Dari 12 orang pengintai itu,
hanya Yosua dan Kaleb yang kembali dengan berita yang menyejukan hati. Di
lapangan, kedua belas pengintai (termasuk Yosua dan Kaleb) melihat hal yang
sulit (Bil 13:27-29). Mereka tidak menipu kenyataan yang ada. Mereka menyampaikan
keadaan yang jelas dan sulit dilawan. Bahwa ada tantangan yang besar untuk
bangsa Israel masuk ke Kanaan (Bil 13:32-33). Tetapi Yosua dan Kaleb mempunyai
persepsi yang berbeda dalam melihat keadaan saat itu. “Memang ada masalah,
orang Kanaan tidak mudah ditaklukkan tetapi kalau Tuhan yang mengutus untuk masuk
ke tanah Kanaan maka pasti kita masuk” (Bil 14:7-9). Itu yang tidak bisa dilihat
oleh 10 orang pengintai lainnya. Kalau ditanya apakah ke sepuluh pengintai
lainnya beriman? Pasti mereka menjawab mereka keturunan orang-orang yang merasakan
campur tangan Tuhan yang luar biasa dan mereka umat piihan, jadi mereka juga
orang beriman. Tetapi pengintai yang 10 orang berbeda dengan yang 2 orang saat menghadapi
masalah karena di situ imannya berbicara. Menurut ke 10 pengintai “Kita tidak
mungkin mengalahkan orang Kanaan jadi lebih baik tidak masuk tanah Kanaan”
sehingga orang Israel menjadi marah dan ingin melempari Musa dengan batu. Hanya
Yosua dan Kaleb dapat melihat dengan iman sesungguhnya betul ada masalah,
tetapi Tuhan lebih besar dari masalah yang ada. “Kita harus memegang janji Tuhan.
Kalau Tuhan menyuruh masuk kita bisa masuk, kalau tidak suruh, kita tidak bisa
masuk. Iman seperti inilah yang ingin ditinggalkan Yosua kepada bangsa Israel
berikutnya.” “Takutlah akan TUHAN dan
beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas dan setia. Jauhkanlah allah yang
kepadanya nenek moyangmu telah beribadah di seberang sungai Efrat dan di Mesir,
dan beribadahlah kepada TUHAN” (Yosua 24:14)
2.
Yosua pemimpin
politik yang berintegritas.
Pada Yosua 24:14-15 Yosua lebih banyak berbicara
sebagai negarawan , pemimpin politik dan pemimpin bangsa Israel. Namun ia tidak
saja berbicara tentang politik, melainkan juga berbicara hal yang rohani, “beribadahlah kepada-Nya dengan tulus ikhlas
dan setia”. Indonesia merindukan pemimpin politik seperti ini. Pemimpin
yang tidak hanya bicara secara politik
tetapi juga mengimplementasikan (mengaplikasikan)nya secara jelas. Kadangkala,
pemimpin rohani (termasuk majelis) tidak memiliki cara pandang dan kalimat
rohani untuk generasi gereja yang dipimpinnya. Sebelum Yosua kembali kepada
Allah ia mengingatkan bangsa Israel untuk beribadah kepada Allah dengan memberi
pernyataan yang dewasa, Tetapi jika kamu
anggap tidak baik untuk beribadah kepada TUHAN, pilihlah pada hari ini kepada
siapa kamu akan beribadah; allah yang kepadanya nenek moyangmu beribadah di
seberang sungai Efrat, atau allah orang Amori yang negerinya kamu diami ini.
Tetapi aku dan seisi rumahku, kami akan beribadah kepada TUHAN!" Yosua
mempunyai wibawa rohani dan integritas yang jelas. Ia berbicara selaku pemimpin
bangsa dan kepala rumah tangga. Bulan ini adalah bulan keluarga sehingga tema-nya
menyangkut rumah tangga. Adakah ayah atau suami di dalam gereja ini yang berani
dengan wibawa rohani mengatakan kalimat, “Aku akan membawa istri dan anakku , menantuku
untuk beribadah kepada Tuhan”?
Yosua memiliki integritas yang jelas dan konsisten dari
muda sampai tua dan tutup mata selamanya. Ia tidak beralih dari keyakinan
imannya dan kerinduannya untuk beribadah kepada Yahwe. Kalau kita di gereja
atau kekristenan saat ini suka terbalik realitanya. Selagi muda aktif tetapi begitu sudah menikah ternyata menikah
dengan orang yang tidak seiman sehingga lama-lama hilang dari gereja (pindah
dari gereja bahkan iman). Konsistensi seperti Yosua merupakan tantangan dan
motivasi untuk kita pada zaman ini. Integritas Yosua jelas dari yang diucapkan
dan dilakukannya dari muda sampai mati. Apakah kita seperti itu? Yosua memberikan ketegasan untuk anggota
keluarganya. Ini tidak bicara tentang Yosua tidak toleransi terhadap hak azasi
anak dan mantunya tetapi ini berbicara tentang suatu bentuk tanggung jawab di
hadapan Tuhan bahwa beribadah kepada Tuhan adalah sesuatu yag serius (tidak
main-main), bukan suatu alternative (bisa ya atau tidak). Tetapi beribadah dan percaya
kepada Tuhan itu sesuatu yang serius, dan seharusnya selaku orang dewasa dan
sebagai orang tua, kita melihat mandat ini dan sebagai mandataris Allah dalam keluarga
Kristen kita harus meneruskannya kepada anak kita. Tetapi hari ini banyak orang
yang mengatakan “Itukan hak azasi manusia. Itu pilihan dia kalau dia sudah
dewasa.” Betul! Tetapi apakah anak kita memilih Allah karena dari kecil sudah
ditanamkan dengan baik? Apakah selaku orang tua dan pembina rohani kita
memberikan warisan yang jelas (baik kata, kalimat rohani atau apapun yang
keluar dari diri kita yang menunjukkan kita orang yang beribadah dan percaya)? Berkali-kali kata ibadah muncul
dalam ayat 14-15. Kata ibadah (berasal dari kata Ibrani ‘abodah) mempunya 2
arti yaitu menyembah dan taat atau
tunduk atau melakukan perintahNya dan menjauhi laranganNya. Konsep dasar dari
ibadah adalah pelayanan atau pengabdian seutuhnya kepada Allah, yang dinyatakan
baik dalam bentuk penyembahan (kultus) maupun dalam tingkah laku atau tabiat
(jadi bukan hanya menyangkut hal-hal ritual yang bersifat formal legalistis). Bukan sesuatu yang main-main atau ritual
seperti setiap hari Minggu harus rajin beribadah dan mengikuti persekutuan
sekolah minggu. Itu masih sebatas hal kecil tetapi ibadah adalah hidup hari
lepas hari yang merupakan penyembahan dan ketaatan kepada perintah Allah
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam hidup sehari-hari. Bukan ibadah
seremonial bangun mezbah dll tetapi bagaimana hidup ibadah seperti darah dan
daging dalam hidup seseorang tidak bisa dipisahkan.
2 Hal dalam Mewariskan Kerohanian
1.
Keluarga adalah tempat dimana seluruh anggotanya
belajar tentang Allah , mengenal Allah , berjalan bersama Allah dalam suka dan
duka.
Apakah orang tua hari ini mewariskan kepada
anak-anaknya bahwa keluarga kita adalah keluarga yang merupakan wadah mengenal
Allah dan berjalan bersama Allah dalam suka dan duka?. Orang tua seharusnya mendorong anak-anaknya
untuk ke gereja, karena bila tidak
bagaimana keluarga bisa jadi mezbah keluarga dan anak mengenal Allah dalam susah- senang? Saya
punya 3 orang keponakan yang masih kecil dan sempat tinggal bersama di pastori
selama 1-2 bulan. Selama itu, pagi hari
saya bangun lalu sibuk memasak dan menyiapkan semua karena tidak ingin ketiganya
kelaparan. Suatu kali selesai minum susu , keponakan saya yang terkecil (hampir
6 tahun) berkata, “Kuku setelah minum susu, saya mau berdoa dan membaca Alkitab
dengan mama.” Saya kemudian mengintip, ternyata dia sedang bersama koko, cici,
dan mamanya. Mamanya saat itu sedang menjelaskan isi Alkitab. Jadi pagi-pagi mereka
mengadakan mezbah keluarga walau bapaknya tidak ada. Saya bertanya kepada diri
saya, “Kalau punya anak, bisa tidak saya melakukan hal itu?” Kalau punya anak
seberapa jauh kita membangun mezbah keluarga supaya anak mengenal Tuhan? Suatu
kali saya bertanya kepada keponakan saya yang berusia 6 tahun, “Abi, apakah Tuhan
harus menyembuhkan semua penyakit?” Anak ini menjawab, “Tidak harus! Itu
terserah Tuhan. Kalau Tuhan mau, Dia akan sembuhkan. Tapi kalau tidak mau Tuhan
tidak harus menyembuhkan.” Walaupun nantinya setelah dewasa kalimat ini tidak
mudah dijalankan , ia sudah memiliki fondasi untuk kehidupannya. Bagaimana
dengan keluarga kita? Mungkin tidak mudah bagi kita karena kesibukan, kelelahan
atau waktu yang tidak sinkron antara anak-anak dan kita sendiri. Saudara saya itu
juga tidak setiap kali melakukan mezbah keluarga (dilakukan di hari Sabtu
karena kalau hari sekolah tidak bisa). Bisa juga dilakukan malam sebelum tidur berkumpul
bersama dan kemudian belajar mengenal Allah melalui keluarga.
2.
Orang tua mempunyai peran yang benar.
Kita harus menamamkan kepada anak bahwa sebagai orang
tua, ayah-ibu punya peran yang benar di mata anak. Melakukan peran yang benar adalah
penting, karena berarti mengajarkan anak kita nilai moral seperti kerajinan,
keteguhan, kejujuran, keikhlasan, hidup suci dll dari keluarga (orang tua).
Tetapi kalau orang tua sendiri tidak memakai peran itu tidak benar bagaimana?
Pdt Irwan Hidayat menceritakan pengalaman dia berbicara pada seorang ayah. Ia
terkejut karena ayah itu berkata, “Bagi saya, tidak apa-apa kalau anak saya
tahu pornografi, dan saya okey saja anak saya mengakses situs porno dan
sebagainya”. Sewaktu ditanya alasannya, Bapak itu berkata, “Iyalah, supaya mengerti
dan tidak kuper. Tetapi Pdt. Irwan mengingatkan bahwa apa yang dilakukannya
salah besar. Mengajar anak melihat buku porno dan situs porno bukan cara yang
benar. Pendidikan seks yang benar dilakukan oleh hamba Tuhan atau kelompok yang terpercaya.
Kalau ayah keluarga Kristen hari ini memiliki cara pandang seperti ini,
bagaimana nanti anaknya? Anak tidak kuper diajar seperti itu, karena ia bisa
belajar sendiri. Seharusnya orang tua mencegah, tetapi ini malah dibebaskan (sangat
sekuler sekali). Kalau seorang ayah sedemikian, warisan rohani apa yang
ditinggalkan untuk anaknya? Untuk seorang ibu , warisan rohani apa yang diwariskan kepada anak? Saya pernah
mengajar anak SMA dan pernah berbincang dengan seorang siswa kelas 2 SMA. Saya
bertanya,”Kamu membawa bekal apa?” Yang dijawabnya,”Nasi goreng” Rupanya setiap
hari ia dibekali menu yang sama yakni nasi goreng! Sejak TK , SD, SMP dan sampai
SMA 2 dibekali nasi goreng setiap hari sehingga ia melihat nasi goreng saja
sudah tidak nyaman. Sewaktu ditanya, “Apakah mamamu tidak bisa masak menu lainnya?”
Dijawabnya,”Tidak tahu. Kan kerjanya tiap hari menelpon temannya. Begitu papa
pergi kerja, mama pasti menelpon temannya. Bisa dari pagi sampai sore! Mungkin itu
pekerjaan mama yang mengasyikkan . Karena waktunya sempit, maka masak yang
paling gampang adalah membuat nasi goreng! Dalam sebulan pulsa teleponnya bisa
mencapai jutaan rupiah. Papa hanya membayar saja karena baginya yang penting
mama senang. Papa tidak makan di rumah. Saya diberi uang jajan sedikit, jadi saya
terpaksa makan nasi goreng saja!” Jadi dari TK sammpai SMA 2 selama 13 tahun,
mamanya masak nasi goreng! Bila untuk
makanan jasmani anaknya saja tidak serius apalagi makanan rohani? Apakah ada
yang merasa kesal mengantar anak ke gereja?
Bagaimana bila nanti suatu kali sang anank meminta diantar ke nite club? Anak melihat papa rajin ke
gereja tapi terus ribut dengan mamanya. Saya punya anak murid yang berkata, “Bu
lihat perubahadn di muka saya?” Saya menjawab “Tidak”. Dia berkata lagi, “Lihat
mata saya?” Saya berkata,”Tidak ada perubahan.” Lalu dia melanjutkan, “Bu, saya
sedang sedih. Papa dan mama ribut lagi. Sejak
kemarin papa pulang kantor, saya bangun tidur sampai mau berangkat sekolah mereka
ribut terus. Padahal papa dan mama merupakan aktifis gereja. Saya nanti tidak
mau menikah dengan orang Kristen karena percuma! Tante saya yang tidak Kristen tenang saja.”
Apakah hal ini yang salah kekristenan? Padahal Tuhan Yesus tidak mengajar
begitu. Tapi akhirnya anaknya berkata, “Saya tidak mau kawin seperti itu!” Pada
tahun 1960-80an kita menemukan pertanyaan di lapangan, “Kok bercerai? Kenapa bapa dan ibu itu bercerai?” Hal ini
menunjukkan kebingungan kenapa bercerai karena rumah tangga umumnya harmonis
dan perjalanan rumah tangga bisa panjang. Namun pertanyaan sekarang, “Kok
harmonis ya? Kok bisa harmonis? Apa resepnya?” Saya ingat waktu itu TV masih
hitam putih. Pasangan Ahmad Albar dan RIni S Bono dipanggil dan ditanya, “Apa
resepnya bisa harmonis?” Ahmad Albar dan RIni memberitahu resepnya namun
ternyata tidak sampai setahun kemudian mereka bercerai! Sehingga pertanyaan yang
merebak “Kok bisa ya harmonis?” Generasi diwarisi hal-hal yang tidak beres,
maka anak-anaknya ragu-ragu dan pesimis tentang pernikahan yang langgeng dan
menguatkan. Sulit menemui ayah-ibu yang serasi. Anak sekarang hidup dalam
keraguan sehingga mengatakan tidak perlu menikah! Akhirnya free-sex dengan pacar atau pergi ke lokalisasi tanpa ketahuan. Ada
juga wanita yang mau punya anak saja tanpa menikah (menjadi orang tua tunggal
alias single parent). Itu semua
berawal dari dalam rumah. Tetapi Yosua berkata, “Aku dan seisi rumahku, kami
akan beribadah kepada Tuhan!”
No comments:
Post a Comment