Ev. Esther Kurniati
Amsal 11:24-26
24 Ada yang
menyebar harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa,
namun selalu berkekurangan.
25 Siapa banyak
memberi berkat, diberi kelimpahan, siapa memberi minum, ia sendiri akan diberi
minum.
26 Siapa
menahan gandum, ia dikutuki orang, tetapi berkat turun di atas kepala orang
yang menjual gandum.
Amsal 21:13 Siapa menutup telinganya bagi jeritan
orang lemah, tidak akan menerima jawaban, kalau ia sendiri berseru-seru.
Amsal 22:9
Orang yang baik hati akan diberkati, karena ia membagi rezekinya dengan
si miskin.
Amsal 28:7-8, 22
7 Orang yang
memelihara hukum adalah anak yang berpengertian, tetapi orang yang bergaul
dengan pelahap mempermalukan ayahnya.
8 Orang yang
memperbanyak hartanya dengan riba dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk
orang-orang yang mempunyai belas kasihan kepada orang-orang lemah.
22 Orang yang
kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui bahwa ia akan mengalami
kekurangan.
Pendahuluan
Di zaman dan kondisi yang sulit
(tidak mudah mendapat pekerjaan dan orang kaya takut miskin walau hidup serba
berkecukupan), tema “Memberi Tak Menjadikan Miskin” ini menarik. Di zaman ini,
manusia cenderung berpusat pada diri sendiri (sulit memikirkan orang lain) dan banyak
orang yang merasa mampu mengatasi masalah tanpa Tuhan. Di tengah kondisi
seperti ini terdapat ada 2 kelompok manusia yakni :
-
orang
mengindroktinasi (mensugesti) diri sendiri bahwa ia mampu. Jadi ia coba
menenangkan diri sedemikian rupa bahwa “saya bisa melakukan dan mencukupi diri
sendiri”
-
tenggelam dalam
kebingunan, ketakutan dan akhirnya depresi.
Namun keduanya berpusat pada diri sendiri dan menyebabkan
masalah psikis dan rohani tercampur.
Kata “memberi” sendiri memiliki pengertian yang luas.
Kita bisa memberi kepada gereja dan orang di sekeliing kita. Tapi apapun yang
diberikan, apakah tema ini relevan? Apakah tema ini terbukti? Bandingkan dengan
filosofi dunia “siapa cepat , ia dapat”. Kita berpacu dalam apapun juga untuk mendapat
keuntungan. Yang lebih cepat, lebih untung. Misalnya supir mikrolet dan angkot
yang mengebut untuk rebutan penumpang. Atau prinsip ekonomi yang diajarkan
kepada mahasiswa Fakultas Ekonomi “dengan pengorbanan yang sekecil-kecilnya
untuk mendapat hasil yang sebesar-besarnya”. Filosofi-filosofi seperti di atas
bertentangan dengan yang diajarkan Alkitab sehingga kita tertantang dengan tema
di atas karena sudah banyak ditinggalkan. Amsal banyak memberikan pelajaran
tentang bagaimana memberi kepada orang yang miskin. Hal ini perlu diperhatikan
dalam menjalani kehidupan di Indonesia yang dilanda krisis kepedulian. Seperti
adanya pemimpin daerah yang mobil koleksiannya saja berjumlah beberapa puluh
(mengalahkan ruang pamer mobil) padahal masih banyak bayi yang tidak pernah merasakan
enaknya susu. Sebagai jemaat Tuhan , mari kita memperhatikan orang-orang yang “miskin”
(termasuk di gereja). Gereja bisa jadi “miskin” kalau tidak yakin Allah kita
kaya.
Kekontrasan di Alkitab
Tema kita senada
dengan Amsal 11:24 Ada yang menyebar
harta, tetapi bertambah kaya, ada yang menghemat secara luar biasa, namun
selalu berkekurangan. Ada bagian
yang dkontraskan di kitab Amsal. Ayat sebelum dan sesudahnya dibandingkan
dengan kontras walau ada juga yang hanya dibandingkan saja. Contoh : yang ini
merah dan yang itu biru (kontras). Ada juga ayat yang saling mendukung. Yang
ini biru, yang lain bilang benar yang ini biru. Orang yang punya harta untuk diberi
dan disebarkan maka dia bertambah kaya. Ada yang menghemat secara luar biasa
(kikir?) namun selalu berkekurangan (ini
kontras). Ada yang menahan gandum (ayat 26) dikutuki orang (dikontraskan), siapa
yang banyak memberi berkat diberi kelimpahan (ayat 25). Filosofi Alkitab aneh
tapi nyata! Apakah mungkin dengan banyak memberi, tidak menjadikan miskin?
3 Prinsip dalam Memberi dalam kaitannya dengan “Memberi Tak Menjadikan Miskin
1.
Apa yang kita punya (uang, harta dll) bukan milik kita tetapi milik Tuhan. Sehingga Ayub berkata, "Dengan telanjang aku keluar dari kandungan ibuku, dengan
telanjang juga aku akan kembali ke dalamnya. TUHAN yang memberi, TUHAN yang
mengambil, terpujilah nama TUHAN!" (Ayub 1:21). Kita seringkali lupa
dan menganggap bahwa kita punya harta karena kita rajin bekerja. Semakin rajin,
semakin sering lupa bahwa kita bukanlah pemilik harta tersebut. Ada orang tua
mahasiswa yang berkata, “Hari ini jangan banyak-banyak ayat Alkitabnya. Karena
yang penting anak itu, bisa punya gelar dan itu pun karena di dunia ini tanpa
gelar tidak dianggap. Yang penting kerja keras! Saya bila tidak bekerja keras
tidak dapat. Orang bilang kalau berkata, tidak ke gereja tidak diberkati. Tapi
tanpa bekerja? Dulu saya bekerja beberapa jam, sekarang bertambah lama sehingga
dapat menjadi seperti sekarang.” Padahal semuanya bukan milik kita, kita
hanyalah pengelola. Kita bukan siapa-siapa tapi diberikan kepercayaan untuk
mengelola milik Tuhan termasuk uang. Dalam mendidik anak dalam hal keuangan, anak
perlu mengerti tentang kecukupan. Saat anak merengek minta dibelikan barang
yang sudah dimiliki, saya berkata, “Mama punya uang. Tapi masalahnya, uang mama
ini adalah titipan Tuhan, karena itu punya Tuhan. Jadi waktu mau dipakai harus
tanya dulu. Tuhan apakah cocok tidak untuk memakai uang untuk membeli mainan
itu. Bukannya mainan sudah banyak, apakah perlu beli lagi?” Sehingga anak saya tidak
merengek dan bergulung untuk meminta barang.
Perlu dibedakan antara “keperluan” dan “keinginan”. Untuk suatu keperluan
akan disediakan Tuhan. Sedangkan untuk keinginan , kalau kita tidak punya tidak
masalah karena kita hanya bisa mengelola. Yang berhak mengatur adalah Tuhan.
Pada premarital conselling, saya
bertanya, “Siapa yang berhak atur uang di rumah?” Di jawab , “Kaum pria karena mereka
yang bekerja” . Ada juga yang berkata, “Yang bekerja”. Pada Alkitab dikatakan,
yang mengatur adalah pemiliknya yaitu Allah. Allah yang berhak punya cara dan
aturan main tentang apa yang kita punya. Pada waktu saya ganti mobil, anak saya
yang besar berkata, “Ma rasanya tidak ada orang yang mau ganti mobil
pergumulannya seperti mama”. Saya kumpulkan anak-anak dan bertanya, “Apakah
perlu ganti mobil tidak?” Jadi waktu ganti mobil saya bertanya,”Untuk apa kita
ganti? Untuk prestise?” Sehingga anak saya berkata, “Beli mobil ribet amat”. Saya
menjawab, “Karena ini milik Tuhan , untuk apa ganti mobil? Semua milik Tuhan.” Kita
hanyalah saluran berkat, Tuhan memberi lewat kita. Tuhan memberi kita, lalu kita
berikan lagi ke orang lain. Tapi kalau lupa, kita seperti lautan mati. Semuanya
untuk kita sehingga kita tidak mengalami indahnya Tuhan. Apakah mungkin
memberi? Sangat mungkin, karena yang ada, bukan punya kita, maka berilah!
Kecuali dalam memberi banyak salahnya misalnya : cara memberi salah. Itu
salahnya kita. Allah yang sempurna, kalau Dia memberikan sesuatu , itu sempurna!
Ayub yang begitu kaya, tahu prinsip ini. Meskipun semua meragukan apa yang
dialaminya, dia menjawab, “Bukan saya tapi Tuhan yang berhak”. Kita tidak
miskin, kita memberi karena Tuhan yang perintahkan dan yang kita berikan itu semua kepunyaan Allah!
2.
Memberi
memiutangi Tuhan, apapun yang diberi.
Amsal 19:17 Siapa menaruh belas kasihan
kepada orang yang lemah, memiutangi TUHAN, yang akan membalas perbuatannya itu.
Jadi janganlah kita sombong kalau sudah memberi, karena yang diberikan itu
milik Tuhan. Kita tidak punya apa-apa. Mama saya pekerja keras. Saya berusia 13
tahun ketika papa dipanggil Tuhan. Lalu mama bekerja sendiri dan membuka toko pk 3.30 pagi. Ia bekerja keras
sehingga bisa membesarkan anak-anaknya. Sekarang kalau kami berikan uang untuk
mama , dia berikan ke cucunya. Saya katakan,”Ma, anak-anak senang dengan barang
yang mama berikan ke mereka”. Ia hanya jawab, “Itukan uang dari kamu.” Tanpa
mengetahui prinsip dasar bahwa segala sesuatu milik Tuhan, maka kita cenderung
merasa kita ini hebat. Siapa yang memberi terbesar? Tuhan Yesus! Karena semua
punya Tuhan. Kalau kita memberi, itu punya TUhan. Kita memiutangi dan Tuhan
tidak pernah tidak membayar “utangNya” kepada kita. Tuhan tidak pernah
berhutang. Tuhan bisa bayar yang kita berikan. Kalau kita dipercayakan Tuhan
untuk memberi ke orang lain, maka apakah sulit orang tersebut membayar kembali
ke kita? Tuhan itu kreditor yang selalu membayar tunai. Tuhan tidak pernah
berhutang kepada saya. Dia berikan lebih banyak dan belum tentu dalam bentuk
kas juga. Terkadang rasa humorNya tinggi. Saya merasa tidak layak tapi Dia buka
jalan sedemikian rupa. Anak saya yang pertama, doanya seperti nya dijawab Tuhan
persis seperti yang dia mau. Dari kecil sejak kecil, dia dapat apa yang dia
doakan. Sehingga waktu dia ingin masuk ke sekolah yang notabene mahal, saya
bilang dibayar pakai apa? Tapi Tuhan bukan jalan, selama sekolah, dia hanya
bayar 1/3 atau ¼ dari yang lain dan tidak pernah dinaikan uang sekolahnya. Dia
bisa berikan dengan caraNya sendiri. Kalau Dia beri perintah dan Dia akan mem-backup semua dan tidak pernah berhutang
kepada kita. Seharusnya saat memberi, kita dengan semakin ringan memberi,
karena tahu itu milik Tuhan. Allah itu Allah yang berdaulat. Gereja injili
menekankan Allah adalah Allah yang berdaulat, bekerja dan punya. Ia adil dan
memberikan janji serta menggenapinya. Di kitab Amsal kita menemukan banyak ayat
tentang memberi. Contoh : Amsal 21:13; 22:9; 28:22. Orang yang kikir tergesa-gesa mengejar harta, dan tidak mengetahui
bahwa ia akan mengalami kekurangan (Ams 28:22). Orang yang tidak sadar diri
siapa dia. Semua milikkku dan bersandar pada diri sendiri. Dia terus mengejar
harta itu. Tergopoh-gopoh, jiwanya tidak bisa tenang. Kalau teman bisa beli
apartemen, dia juga ingin punya. Dia pikir kalau dikejar tidak akan kekurangan.
Dia pikir ia bisa menjagai lumbungnya (ukuran kekayaan dulu dilihat dari agaris).
Ketika harta miliknya ada dimana-mana, ia merasa tidak akan hilang. Kaum “the
haves” (orang kaya) memiliki tekanan luar biasa dalam hidup mereka dan terikat
pada harta itu. Ketika Tuhan memerintahkan untuk memberi, maka Tuhan minta kita
tidak pelit. Amsal 28:8 Orang yang memperbanyak hartanya dengan riba
dan bunga uang, mengumpulkan itu untuk orang-orang yang mempunyai belas kasihan
kepada orang-orang lemah. Bandingkan dengan ayat 28:27 Siapa memberi kepada orang miskin tak akan berkekurangan, tetapi orang
yang menutup matanya akan sangat dikutuki. Itu sebenarnya cara kerja Tuhan.
Yang berhak mengatur dan mengalokasikan uang kita adalah Dia. Jadi kita harus
tunduk pada cara kerja Tuhan. Kita adalah saluran berkat untuk dibagikan. Tuhan
bisa memberikan semuanya, berdaulat, tidak terjangkau cara pikiranNya. Pilihan
di kita , apakah kita mau tunduk kepada Tuhan? Pengkhotbah 11:1 Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan
mendapatnya kembali lama setelah itu. Kalau saudara tidak ingin sia-sia,
maka seperti nasehat Salomo- raja yang penuh hikmat, nanti sesuai dengan
kedaulatan Tuhan maka engkau akan mendapatkannya kembali. Tuhan tidak pernah
berhutang kepada kita. Apa yang kita beri sama dengan memiutangi Tuhan.
3. Kita
tidak miskin karena kita punya status sebagai orang yang tidak mungkin “miskin”.
Kita adalah anak dari Raja Diraja. Kita orang benar. Amsal
29:7 Orang benar mengetahui hak orang lemah, tetapi orang fasik tidak
mengertinya. Orang benar berbeda dengan orang baik. Orang benar seharusnya
pasti baik. Tapi orang baik belum tentu orang benar. Orang baik belum tentu
kenal Kristus, belum tentu milik Tuhan dan punya kerajaan Sorga. Tetapi kita diubahkan menjadi
orang benar, yakni dari orang yang berdosa , dibenarkan dan dosanya dihapus.
Orangnya tidak kudus tapi dikuduskan. Kata “di” menunjukkan ke-pasif-an karena
yang mengerjakan Allah. Benar karena kita milik Allah dan sorga. Identitas kita
baru, itu tidak ada di agama apapun. Kita
focus pada 1 hal yang penting. Beda antara kita memberi dengan orang di luar Kristus
memberi. Apakah kita berani bersaing dalam memberi? Kita gentar. Mereka memakai
kaus putih lalu memegang sampah, memberi sana-sini sehingga ada anak yang
pindah dari sekolah Kristen ke sekolah mereka yang digratiskan. Karena bagi
mereka kalau amal banyak, akan pergi ke surga. Sehingga mereka berjuang. Kita
karena yakin masuk sorga sehingga tidak berjuang. Memang benar, surga itu sdah
pasti miliki kita. Tapi kita seringkali malu-maluin. Padahal kita adalah orang
paling kaya di dunia ini, semua milik Bapa. Di Sekolah Minggu saya berkata, “Ibu
Ester merasa paling bahagia karena paling kaya sedunia”. Anak-anak Sekolah
Minggu protes, “Mobil ibu Ester apa? Rumahnya di mana?” Saya jawab, “Langit
punya siapa? Tuhan. Tuhan adalah Bapa dari Ibu Ester.” Kita terkadang malu-maluin,
warga surga tapi tidak seperti warga surga. Orang fasik tidak mengerti prinsip
ini. Orang benar tahu status. Orang benar harusnya orang baik. Kalau tidak
benar, status benarnya dipetanyakan. Jangan-jangan anak gereja tapi bukan anak
surga. Orang benar sangat suka berbuat baik, karena hatinya diubah Tuhan. Amsal
21:26 Keinginan bernafsu sepanjang hari,
tetapi orang benar memberi tanpa batas. LAI tidak mencantumkan kontrasnya
secara harafiah, kalau orang benar dikontraskan dengan orang fasik the
weak man (dalam kitab bahasa Inggris). Orang fasik kalau punya keinginan
rakus. Dikontraskan dengan kita anak Allah. Bukan berarti pulang dari gereja ,
rumah dijual lalu tidak punya apa-apa tetapi untuk memberi itu tidak merasa
lelah dan tidak merasa cukup. Dari muda sampai tua terus memberi. Yang penting
adalah identitas warga kerajaan sorga dengan kekayaan rohani (anugerah dari
Tuhan). Orang benar memberi tanpa batas, karena dia tanpa batas. Orang yang
belum dibenarkan, wajar kalau ia ketakutan. Karena belum tentu ia punya, karena
sumbernya tidak jelas.
Kesimpulan
Apakah kita bisa
memberikan tanpa jadi miskin? Pasti. Dia yang punya dan memberikan perintah itu
(perintah untuk memberi). Waktu kita memberi, yang kita berikan itu punya
Tuhan. Kita hanya saluran. Kita orang benar. Status kita diuji apakah kita
orang benar atau kita baru di level orang baik yang berusaha menjadi orang baik
untuk mendapat kavling di surga. Orang yang dapat kavling di sorga adalah orang
benar. Kita harus buktikan, status kita dengan jadi orang baik. Namun ada yang
berbuat baik karena kendala psikis. Ada orang yang terlalu baik sehingga
dimanfaatkan orang. Dia selalu memberi. Ini something
wrong. Setelah 3 sesi konseling, saya mendapat akar masalahnya. Jiwa orang
ini, jiwa dari orang yan g minder. Ia perlu kebutuhan psikis untuk dihargai
orang. Dia merasa berarti kalau memberi. Walau dia hutang sana sini, dan merasa
benar, dengan memberi ke sana sini. Saat menjadi saluran berkat, maka pusatnya
adalah Allah. Kita memberi , ternyata untungnya untuk kita, prestise dan
ketenangan jiwa kita. Ketika memberi, kita tahu karena kita terlebih dahulu
diberi, bukan untuk membuat kita tenang (berpusat pada diri sendiri). Ilustrasi
: ada seorang kakek yang punya tongkat ajaib berkeliling desa. Anak-anak boleh
minta apa saja dengan tongkat ajaib , namun setiap anak hanya boleh minta satu
permintaan dan diberi kesempatan untuk memikirkannya satu malam. “Pikirkan
malam ini, besok kakek datang. Sekali minta tidak boleh diganti”. Sehingga
malam itu tidak anak yang tidur. Orang tua juga ikut tidak tidur. Karena
sebenarnya orang tua yang tamak. Jadi ia sarankan untuk minta yang lebih mahal.
Keesokan harinya, semua anak meminta dari tongkat ajaib. Ada yang minta sepeda
dan minta yang mahal-mahal. Tinggal 1 anak yang tidak minta. Ditanya, “Kenapa
tidak minta?” Ia merasa ragu tapi akhirnya berkata, “Saya sudah tahu apa yang
mau saya minta, tapi apakah kakek akan menepati janji?” Kakek marah, karena
diragukan. Dipanggillah para saksi dan sang anak diminta untuk mengajukan
permintaannya dengan cepat karena kakek tersebut mau pergi ke desa lain. Akhirnya
si anak berkata, “Saya hanya minta 1 hal. Saya minta tongkat kakek itu!” Rupanya
dia pikir semalam, kalau minta motor atau mobil dikasih tapi hanya sekali.
Kalau tongkat di tangan, maka bisa minta apa saja. Sorga punya kita , dan sorga
bagaikan tongkat ajaib. Marilah kita hidup , supaya tongkat jadi berkat bagi
kita semua.
No comments:
Post a Comment